Chapter 4 - Chapter 3 : Kinship

Bagian 1

Pagi itu, matahari baru saja akan terbit, menyinari kota Eldoria yang masih diselimuti hawa dingin. Louis, Darius, Sylphia, dan Alice sudah bersiap-siap untuk pulang ke desa Gatewood. Mereka berkumpul di bar langganan mereka, tempat di mana mereka sering memulai hari dengan sarapan hangat dan obrolan ringan.

Di dalam bar, suasana tenang dan damai. Beberapa petualang lain terlihat duduk di meja, menikmati sarapan mereka. Louis dan kawan-kawan duduk di meja pojok dekat jendela, memesan roti panggang, telur, teh hangat, dan lainnya. "Jadi, apa rencana kalian begitu kita sampai di Gatewood?" tanya Sylphia sambil menyendok sup ke mulutnya.

Alice tersenyum, mengaduk-aduk teh dalam cangkirnya. "Aku ingin menghabiskan waktu di kebun bunga, mungkin menata ulang beberapa tanaman dan menunjukkan beberapa bunga langka yang kutemukan kepada Louis. Selain itu, aku juga ingin mengunjungi teman-teman lamaku."

Louis mengangguk. "Aku juga ingin berlatih lagi bersama Griselda. Sudah lama tidak berlatih serius sejak kita sering keluar untuk misi. Aku juga ingin menghabiskan waktu bersama keluarga dan mengenang ayah."

Darius, yang duduk di sebelah Louis, menambahkan, "Aku berencana menghabiskan waktu bersama keluargaku juga. Sudah lama aku tidak pulang, dan pasti ada banyak cerita yang mereka ingin bagikan."

Setelah selesai sarapan, mereka membayar makanan dan keluar dari bar. Udara pagi yang dingin menyambut mereka, tapi semangat untuk pulang ke desa membuat langkah mereka tetap ringan. Jalanan kota Eldoria masih sepi, hanya beberapa orang yang berlalu-lalang untuk memulai aktivitas harian mereka.

"Perjalanan kali ini akan lebih tenang," kata Louis sambil menyesuaikan posisi pedangnya di punggung. "Setelah pemberantasan bandit kemarin, jalan menuju Gatewood seharusnya aman."

Mereka mulai berjalan menyusuri jalan setapak yang mengarah keluar kota. Sepanjang perjalanan, mereka berbincang-bincang tentang masa lalu mereka sebelum menjadi petualang.

"Sylphia, kau belum pernah menceritakan padaku bagaimana kau tertarik dengan sihir," kata Alice sambil berjalan di samping adiknya.

Sylphia tersenyum mengingat kenangan lamanya. "Sebenarnya, waktu kecil aku tidak pernah berpikir akan menjadi penyihir. Semua berawal ketika aku menemukan sebuah buku sihir tua di perpustakaan desa. Buku itu sangat menarik, dan aku mulai mencoba beberapa mantra sederhana dari buku itu. Aku ingat betapa terkejutnya ketika berhasil membuat api kecil di tanganku."

Darius tertawa kecil. "Aku masih ingat hari itu. Sylphia sangat gembira berlari ke rumah sambil menunjukkan sihirnya kepada semua orang. Sejak itu, dia terus belajar supaya bisa menjadi penyihir hebat."

"Bagaimana denganmu, Darius?" tanya Louis. "Kapan pertama kali kau mulai tertarik dengan memanah?"

Darius menghela napas panjang, mengingat masa kecilnya. "Aku selalu tertarik dengan busur dan panah sejak kecil. Sebelum menjadi pedagang dan pengusaha, ayahku dulu adalah pemburu. Dia sering membawaku berburu bersamanya. Dari sanalah aku belajar tentang memanah. Semakin aku berlatih, semakin aku menyukai keterampilan itu. Ketika aku bertemu denganmu, Louis, dan memutuskan untuk menjadi petualang, aku tahu bahwa memanah akan menjadi keahlianku yang utama."

Perjalanan mereka berlangsung lancar. Pohon-pohon hijau dan ladang-ladang yang subur menjadi pemandangan yang menemani langkah mereka. Mereka sesekali berhenti untuk beristirahat, mengingatkan diri mereka pada masa-masa indah yang telah mereka lalui bersama.

Sore hari, mereka mulai melihat tanda-tanda familiar dari desa Gatewood di kejauhan. "Kita hampir sampai," kata Louis dengan nada penuh haru. Desa yang menjadi rumah mereka tampak damai, dikelilingi oleh ladang-ladang yang subur dan hutan yang menenangkan.

Ketika mereka memasuki desa, mereka disambut oleh beberapa penduduk yang ramah. Beberapa anak kecil berlari menghampiri mereka, meminta cerita petualangan baru. Louis dan regunya tersenyum, membagikan sedikit cerita tentang misi terakhir mereka, meskipun mereka menyimpan detail yang mengerikan untuk diri mereka sendiri.

Di tengah kegembiraan tersebut, Griselda muncul dan mendekati mereka, senyum lebarnya menyambut mereka. "Selamat datang kembali," katanya. "Aku dengar kalian telah menyelesaikan misi besar di Eldoria. Aku bangga pada kalian."

Sore itu, matahari mulai merendah di cakrawala, mewarnai desa Gatewood dengan rona keemasan yang menenangkan. Angin lembut berhembus melalui pepohonan, membawa aroma segar dari ladang dan hutan di sekeliling desa. Darius, Sylphia, dan Alice masing-masing menuju rumah mereka, berbagi senyuman dan sapaan hangat dengan penduduk desa yang antusias menyambut mereka pulang.

Sementara itu, Louis berhenti sejenak di bawah sebuah pohon besar di tengah desa. Pohon itu, dengan cabang-cabangnya yang rimbun dan akar yang menjalar, sudah lama menjadi tempat perhentian favoritnya sejak masa kecil. Louis duduk di bawah naungan pohon, memandangi desa yang kini terasa begitu akrab dan damai. Ia mengingat kembali perjalanan panjang yang telah dilaluinya dan merasa bersyukur bisa kembali ke rumah.

Griselda, yang baru saja selesai berlatih dengan para pemuda desa, melihat Louis dari kejauhan. Dengan langkah yang tenang dan mantap, ia mendekati Louis. Ekspresi wajahnya menunjukkan kehangatan dan kebanggaan ketika melihat anak didiknya kembali ke desa.

"Louis," sapa Griselda, suaranya lembut namun penuh makna. "Kau kembali juga akhirnya."

Louis menoleh dan tersenyum. "Griselda, sudah lama sekali sejak terakhir kali aku pulang. Rasanya seperti rumah ini semakin berharga setiap kali aku kembali."

Griselda duduk di samping Louis, membiarkan keheningan sesaat mengisi udara di sekitar mereka. Setelah beberapa saat, ia memulai percakapan dengan lembut, "Aku dengar dari Alice bahwa kalian mendapatkan misi besar di Eldoria. Bagaimana pengalamanmu?"

Louis menghela napas, kemudian memulai ceritanya. "Misi kemarin cukup menegangkan. Kami ditugaskan untuk memberantas bandit-bandit yang berkeliaran di wilayah Eldoria. Adipati Eldoria ingin menghilangkan mereka secepat mungkin, jadi kami dan petualang lainnya diminta untuk terlibat."

Griselda menatapnya dengan penuh perhatian, siap mendengarkan setiap detail. "Apa yang kau rasakan selama misi itu? Ada hal yang menarik atau mungkin menantang?"

Louis melanjutkan, "Sebenarnya, itu pengalaman yang campur aduk. Kami melihat banyak kekacauan dan kehancuran. Banyak petualang lain yang bertindak sangat brutal, bahkan mereka membakar mayat bandit hingga tak tersisa. Aku sempat merasa bimbang dengan cara mereka menangani situasi itu."

Griselda mengangguk, merenungkan kata-kata Louis. "Memang, terkadang dalam situasi seperti itu, kita bisa terjebak dalam dilema moral. Kadang-kadang, tindakan ekstrem tampak seperti satu-satunya solusi. Namun, penting untuk tetap menjaga prinsip dan kemanusiaan kita, meski dalam situasi yang sulit."

Louis melanjutkan, "Sylphia, Darius, dan aku, meskipun kami mengikuti misi dengan serius, kami tetap berusaha untuk menahan diri supaya tidak berbuat melewati batas. Kami lebih memilih untuk memberikan kesempatan kepada bandit untuk menyerah dan pergi, meskipun pada akhirnya petualang lain menghabisi mereka."

Griselda tersenyum lembut, mengingat kembali pelatihan yang pernah ia berikan kepada Louis dan regunya. "Kau telah tumbuh banyak sejak terakhir kali aku melihatmu. Aku bangga dengan prinsip dan keputusanmu. Itu adalah pendirian seorang kesatria sejati."

Louis tersenyum, merasa terharu dengan pujian Griselda. "Terima kasih, Griselda. Kami hanya mencoba melakukan apa yang selalu kau, Arlan, dan Aria ajarkan pada kami. Tapi, ada hal lain yang membuatku merenung. Aku melihat bagaimana para petualang lain mengatasi situasi dengan sangat agresif, dan aku mulai bertanya-tanya bagaimana kau, Arlan, dan Aria akan menghadapi hal seperti ini."

Griselda menghela napas dalam-dalam. "Arlan dan Aria, mereka adalah petualang kelas S yang sangat berpengalaman. Meskipun mereka sangat kuat, aku yakin mereka juga memiliki prinsip dan etika dalam menjalankan misi mereka. Mereka tahu kapan harus bertindak keras dan kapan harus menunjukkan belas kasihan."

Louis mengangguk, merasa lebih tenang dengan pendapat Griselda. "Aku berharap bisa mengikuti jejak kalian dan menjadi seorang kesatria dan petualang yang lebih baik. Selama ini aku merasa banyak yang harus aku pelajari."

Griselda menepuk bahu Louis, memberikan dukungan. "Kau sudah berada di jalan yang benar. Setiap petualang memiliki perjalanan dan tantangan masing-masing. Yang penting adalah tetap setia pada prinsip dan terus belajar dari setiap pengalaman."

Mereka berdua duduk dalam keheningan yang damai, menikmati momen kebersamaan di bawah pohon besar yang telah menyaksikan banyak cerita. Sementara itu, senja mulai merayap di desa Gatewood, menghidupkan suasana malam dengan kehangatan dan kenyamanan yang hanya bisa dirasakan di rumah.

Griselda akhirnya berdiri, "Ayo, kita pulang. Ada banyak hal yang bisa kita bicarakan lagi, tapi untuk saat ini, mari kita nikmati malam ini bersama keluarga."

Bagian 2

Setelah berpisah dengan Griselda, ia pun pulang ke rumahnya. Ia berjalan di jalan yang mengarah ke rumahnya dengan wajah yang tak sabar ingin memasuki rumah dan menemui ibunya. Tak lama kemudian, ia akhirnya tiba di depan rumah. Ia melihat rumahnya selama beberapa saat, kemudian tersenyum penuh kebahagiaan, seolah semua beban di pikirannya sirna. Ia pun memasuki rumah. "Ibu? Aku pulang!"

Di rumah, ia disambut oleh ibunya yang sedang menyiapkan makan malam. "Kau dari mana saja, Louis? Tadi ibu melihat Darius pulang ke rumahnya, jadi Ibu berfikir kau juga akan segera pulang. Lihat, ibu sudah membuatkan makan malam untukmu."

Louis pun menjelaskan jika baru saja ia bertemu Griselda. Ibunya pun tersenyum lembut. "Selama ini Griselda giat melatih para pemuda dan anak-anak di desa. Sesekali ia juga bercerita tentangmu, Louis. Sepertinya kakakmu itu benar-benar bangga denganmu." Kata ibunya.

Louis pun tersenyum mendengarnya. Sebelum tiba-tiba ia tersadar dengan yang baru saja ibunya katakan. "Jadi begitu, pantas saja tadi anak-anak di sini langsung berlari ke arahku setelah melihatku kembali. Tunggu…, Apa? Kakak??!" Louis terkejut sampai hampir keselek.

Ibunya pun bercerita yang sebenarnya. "Sebelum ibu dan ayah menikah, ayahmu pernah mengadopsi seorang anak dari panti asuhan. Namun anak itu hanya mengingat nama depannya, Griselda. Akhirnya ayahmu memberinya nama belakang, Bronze, seperti nama keluarga kita. Ayah merawat dan mendidik Griselda seperti putrinya sendiri. Namun, ketika ia berusia 13 tahun, Griselda memutuskan ingin menjadi petualang dan berpisah dengan mereka. Setelah ayahmu meninggal, ia nampak sangat sedih. Ibu sempat menyuruhnya untuk tinggal bersama, namun ia ingin melanjutkan karirnya dan ingin mengikuti jejak ayah angkatnya. Beberapa tahun kemudian, ibu mendengar kalau ia diterima sebagai prajurit istana dan menjadi kesatria, sama seperti ayahmu, Louis."

Louis terdiam sejenak, mencerna semua informasi yang baru saja didengarnya dari ibunya. Hatinya terasa hangat mendengar kisah tentang Griselda, seseorang yang telah lama ia kagumi yang ternyata adalah kakak angkatnya, yang selama ini begitu dekat dengannya tanpa ia sadari. Ia pun teringat dengan cerita Griselda ketika mereka baru pulang dari ibukota.

"Jadi begitu… Kesatria yang merawatnya ternyata adalah ayahku sendiri." gumam Louis sambil memegang dagunya. "Ibu, kenapa tidak pernah menceritakan ini sebelumnya?" lanjutnya.

Ibunya pun menjelaskan, ia baru tahu kalau Griselda ada di sini beberapa bulan yang lalu. "Kami baru bertemu beberapa bulan yang lalu saat kau masih di Eldoria, Louis. Saat itu ibu terkejut setelah mengetahui kalau ia ada di desa ini, terlebih lagi ternyata sudah setahun labih. Kami pun saling bercerita. Sepertinya ia juga baru mengetahui hal ini saat itu."

Louis seketika tercengang. "Jadi Griselda sekarang sudah tau akan hal ini?"

Ibunya pun menjawab, "Benar." Seketika itu membuat wajah Louis memerah, ia terlihat malu. "Jadi, tadi ketika kami bertemu, Griselda sudah mengetahui hal ini...?" Gumam Louis sambil menundukkan pandangannya, sesekali ia melirik ke ibunya. Ibunya yang bisa mendengar gumam Louis pun tersenyum sambil mengangguk.

Keesokan harinya, cahaya matahari pagi menyebar dengan lembut di atas desa Gatewood, memberikan kehangatan yang menyelimuti desa kecil itu. Suara burung berkicau dan aroma tanah basah menandai awal hari yang segar. Louis, yang baru saja memulai harinya dengan langkah santai, berjalan menyusuri jalan-jalan yang dikenalinya sejak kecil. Ia menikmati setiap detil dari kampung halamannya rumah-rumah kecil, kebun-kebun, dan senyum ramah dari tetangga-tetangganya yang sudah dikenalnya.

Saat dia sampai di persimpangan desa, yang biasanya dipenuhi aktivitas namun pagi itu terasa sangat sunyi, pandangannya tertuju pada sosok yang sangat dikenalinya. Griselda, mengenakan pakaian rumahan sederhana, tampak berjalan santai. Melihat sosok itu, Louis merasa jantungnya berdebar lebih cepat. Wajahnya memerah canggung, dan dia merasakan kegugupan yang belum pernah dirasakannya sebelumnya.

Ketika Griselda melihat Louis, ia berjalan mendekatinya dan tersenyum lebar. "Dilihat dari ekspresimu, sepertinya ibumu baru saja menceritakan sesuatu kepadamu," katanya dengan nada penuh pengertian dan kehangatan. Griselda menyadari betapa canggungnya Louis saat itu.

Louis, yang biasanya selalu percaya diri saat menghadapi berbagai tantangan, kini merasa sangat grogi. "Itu… anu… ya, sepertinya begitu," jawabnya dengan ekspresi canggung. Dia menyadari betapa besar dampak berita ini terhadap dirinya, dan ini membuatnya merasa tidak nyaman sekaligus emosional.

Griselda melihat ketulusan dan kekacauan dalam diri Louis, dan tanpa berkata lebih lanjut, ia melangkah mendekat. Dengan lembut, dia membukakan pelukan hangatnya untuk Louis. Louis, yang merasa terharu dengan sikap penuh perhatian dan kasih sayang Griselda, merasakan kehangatan dari pelukan tersebut. Tangan Griselda melingkar di sekeliling punggungnya, memberikan rasa aman yang mendalam.

Louis merasa seolah semua beban emosionalnya selama ini menghilang seketika. Air mata yang sebelumnya dia tahan mulai mengalir dengan lembut di pipinya. Dia merasa haru dan bahagia bercampur aduk dalam dirinya. Keringat dingin di dahinya berubah menjadi tetesan air mata, dan Louis tidak bisa menahan perasaan ini lagi.

Griselda memeluknya dengan lembut, tidak mengatakan apa-apa, hanya merasakan dan memahami emosi yang dialaminya. Mereka berdiri dalam pelukan itu sejenak, menyerap setiap momen kebersamaan yang penuh makna ini. Louis merasakan kedekatan yang sangat mendalam dan mengharukan, sesuatu yang sudah lama hilang dan kini kembali hadir dalam hidupnya.

"Griselda, aku…" Louis memulai, tetapi kata-katanya terhenti oleh rasa terharu yang menguasai dirinya. "Aku benar-benar bersyukur bisa memiliki kesempatan untuk berbagi momen ini denganmu."

Griselda tersenyum lembut dan membelai punggung Louis. "Aku juga sangat senang bisa kembali bertemu denganmu, Louis. Ini adalah momen yang sangat berharga bagi kita berdua."

Mereka terus berada dalam pelukan itu untuk beberapa saat, sebelum akhirnya Griselda menarik diri sedikit dan melihat ke arah Louis dengan tatapan penuh kasih. "Bagaimana kalau kita berjalan-jalan dan berbicara lebih banyak tentang apa yang telah terjadi? Aku ingin mendengar semua ceritamu." Kata Griselda sambil mengelus kepalanya, memperlihatkannya seperti seorang kakak pada umumnya. "Baiklah, kakak…" jawab Louis dengan senyum ceria.

Setelah itu mereka pun berjalan-jalan sambil bercerita. Kemudian mereka menemukan seorang pedagang yang menjual bubur hangat. Mereka pun memesan dua roti dan memakannya bersama di sebuah bangku kayu yang tak jauh dari situ. Setelah itu, mereka berpisah dan pulang ke rumah mereka.

Bagian 3

Di istana Calestia yang megah, pangeran Cedric berjalan dengan tenang di lorong-lorong istana menuju ruang kerja Elias, sang ahli artefak. Cedric telah menghabiskan banyak waktu untuk mengawasi penelitian Elias terhadap artefak yang ia temukan di kamp pasukan Althar setelah perang besar yang terjadi setahun yang lalu. Cedric merasakan beban tanggung jawab besar atas penemuan ini, mengingat pentingnya potensi rahasia yang mungkin tersembunyi dalam artefak tersebut.

Ruang kerja Elias terletak di sayap timur istana, dengan dinding yang dipenuhi rak-rak berisi buku tebal dan gulungan naskah kuno. Artefak yang ditemukan Cedric diletakkan di atas meja yang terbuat dari kayu pinus yang kuat. Elias, seorang pria tua dengan rambut putih dan janggut panjang, tengah membungkuk di atas artefak itu, mengamati setiap detail dengan kaca pembesar di tangan.

Cedric memasuki ruangan dengan langkah mantap, dan Elias menyambutnya dengan anggukan hormat. "Pangeran Cedric, saya sudah menunggu kedatangan anda," kata Elias dengan suara serak namun penuh wibawa.

Cedric mendekati meja dan melihat artefak yang telah menjadi pusat perhatian mereka selama hampir dua tahun. "Bagaimana perkembangan penelitian Anda, Elias?" tanya Cedric, nada suaranya penuh harap.

Elias menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab. "Pangeran Cedric, setelah penelitian yang panjang dan mendalam, saya harus mengatakan bahwa penemuan ini bukanlah artefak kuno seperti yang kita kira pada awalnya. Ini lebih mirip sebuah alat dengan mekanisme tertentu, mungkin sesuatu yang berasal dari sebuah peradaban yang lebih maju dari peradaban kita saat ini."

Cedric mengerutkan kening, merasa kebingungan. "Jadi, anda mengatakan bahwa ini bukan artefak yang memiliki kekuatan magis kuno?"

Elias mengangguk. "Benar, Pangeran. Ini bukan benda magis kuno, melainkan sesuatu yang lebih mekanis. Mekanisme ini sangat rumit dan sepertinya berasal dari peradaban yang memiliki pengetahuan yang luar biasa. Ini sudah di luar keahlian saya untuk memahami sepenuhnya."

Cedric merasa kecewa, tetapi ia juga merasa penasaran. "Jika ini di luar keahlian Anda, Elias, lalu siapa yang bisa membantu kita memahami alat ini?"

Elias berpikir sejenak sebelum memberikan saran. "Saya merekomendasikan Anda untuk membawa alat ini ke para pedagang atau pandai besi. Mereka mungkin memiliki pengetahuan tentang mekanisme semacam ini, atau setidaknya mereka dapat mengarahkan kita kepada seseorang yang lebih ahli dalam bidang ini. Atau jika ingin mengetahui pastinya, maka anda harus menemui orang yang telah menggunakannya."

Cedric mendengarkan saran Elias yang terakhir sebelum meninggalkan ruang kerja. Elias, dengan nada serius dan penuh keyakinan, menambahkan, "Pangeran Cedric, jika kita benar-benar ingin memecahkan misteri tentang alat ini, satu-satunya cara yang paling efektif adalah mencari orang yang telah menggunakannya. Karena benda ini ditemukan di kamp pasukan Althar, maka akan lebih tepat jika kita mencari penggunanya di Althar. Mereka mungkin memiliki pengetahuan langsung tentang alat ini."

Cedric mengangguk dalam-dalam, merenungkan kata-kata Elias. "Kau benar, Elias. Jika ada seseorang yang tahu bagaimana alat ini bekerja, mereka pasti berada di Althar." Setelah itu, pangeran Cedric kembali ke istana utama dan memanggil beberapa penasihat. Ia mengadakan rapat untuk rencana kunjungan ke Althar untuk menyelidiki benda itu.

Ruang pertemuan istana yang megah dengan dinding berlapis emas dan jendela-jendela besar yang menghadap ke taman istana segera dipenuhi oleh para penasihat. Mereka semua duduk mengelilingi meja besar yang terbuat dari kayu mahoni. Cedric berdiri di ujung meja, menunggu semua orang siap sebelum memulai rapat.

"Terima kasih telah datang dengan cepat," kata Cedric membuka rapat. "Aku telah menerima informasi yang sangat penting tentang benda misterius yang kita temukan di kamp pasukan Althar. Elias, ahli artefak kita, telah menyimpulkan bahwa benda ini bukanlah artefak kuno, melainkan sebuah alat dengan mekanisme yang kompleks. Kita perlu memahami cara kerja dan tujuan dari alat ini untuk memastikan keamanan kerajaan kita."

Para penasihat saling bertukar pandang, menunjukkan ketertarikan dan kekhawatiran mereka. Cedric melanjutkan, "Aku berencana untuk melakukan perjalanan ke Althar untuk menyelidiki lebih lanjut tentang alat ini. Saya telah mendapatkan petunjuk dari seorang penduduk setempat bahwa kota Galdor di jantung Althar mungkin menjadi tempat yang tepat untuk memulai pencarian kita."

Penasihat lain menambahkan, "Kita juga perlu mempertimbangkan keamanan selama perjalanan dan kunjungan Anda di Althar. Apakah Anda telah merencanakan langkah-langkah keamanan yang cukup?"

Cedric mengangguk mengerti. "Ya, langkah-langkah keamanan akan menjadi prioritas utama. Saya akan memastikan bahwa segala sesuatu dipersiapkan dengan baik sebelum keberangkatan."

Rapat berlanjut dengan diskusi lebih lanjut tentang logistik perjalanan, diplomasi dengan pihak Althar, dan persiapan keamanan yang perlu dilakukan. Setiap keputusan dibuat secara hati-hati untuk memastikan kesuksesan misi dan keamanan Pangeran Cedric.

Setelah rapat selesai, Cedric mengucapkan terima kasih kepada para penasihatnya atas partisipasi dan masukan mereka. Dia kemudian mengatur pertemuan dengan stafnya untuk mempersiapkan rincian perjalanan dan persiapan lainnya untuk kunjungan penting ke Althar yang akan datang.

Bagian 4

Sinar matahari terik memancar di atas rerumputan yang hijau dan sejuk, di mana sebuah karavan besar sedang melaju perlahan di antara pohon-pohon rindang. Udara dipenuhi dengan aroma segar dedaunan dan semilir angin yang menenangkan. Karavan itu berisi para pedagang dan pengembara. Mereka membawa beberapa barang dan bahan-bahan untuk dijual di tempat lain ata hanya sekedar perbekalan untuk perjalanan mereka

Dari kejauhan, sekelompok orang dengan tampang mencurigakan tampak sedang mengawasi mereka dari kejauhan. Mereka tak lain adalah sekelompok bandit yang sedang memantau mereka. Bandit-bandit itu berencana akan menghadang ketika karavan itu telah sampai di jalan di dekat mereka dan kemudian menjarah semua benda-benda berharga yang di bawa oleh penumpang karavan itu.

"Lihat, apa yang kita temukan, kawan!" kata salah satu bandit. "Sepertinya kita akan berpesta malam ini." Kata bandit lainnya.

Setelah beberapa saat menunggu, akhirnya karavan itu sampai di titik yang mereka rencanakan. Mereka pun sontak menghadang dan menyergap karavan itu dari berbagai sisi. Hal itu membuat seseorang yang mengemudikan kereta kuda di depan mendadak menghentikan kereta kudanya, diikuti kereta-kereta kuda di belakangnya.

"Cepat serahkan barang-barang kalian!" Kata salah satu bandit dengan suara lantang. Hal itu pun membuat orang-orang di karavan tersebut ketakutan.

"Siapa kalian?" kata pengemudi karavan dengan raut wajah ketakutan.

Regu petualang yang bertugas mengawal karavan segera keluar dari dalam kereta kuda, siap untuk menghadapi ancaman yang muncul tiba-tiba ini. Mereka bersiap-siap menghadapi serbuan para bandit, yang mulai mengancam akan menghabisi mereka semua beserta rombongan karavan jika tuntutan mereka tidak dipenuhi.

"Kalian takkan mendapatkan apapun dari kami!" teriak seorang wanita berambut cokelat tua yang merupakan anggota regu petualang.

Para bandit tertawa sambil mengejeknya. "Kalian yang masih ingin hidup, cepat serahkan benda-benda berharga kalian!! Mmpsshhh…. dan kau juga nona manis, malam ini kau akan menemaniku… Aku jadi tak sabar mencicipi bau badanmu…"

Perkataan bandit membuat wanita itu kesal. Ia pun langsung menghunuskan pedangnya dan mulai menyerang. "Kau akan menyesal telah mengatakan itu!!" Teriaknya.

Para bandit pun mulai menyerang mereka, sedangkan para petualang yang ada di sana memberikan perlawanan. Suara pedang saling berdentingan, dan anak panah berterbangan. Pertarungan meletus di tengah rerumputan yang dikelilingi pepohonan, antara para bandit yang terampil dan berjumlah banyak dengan regu petualang yang mengawal karavan. Serangan demi serangan berkelebatan di udara, sementara suara benturan senjata dan sorak-sorai perang menggema di sekitar mereka.

Namun, setelah beberapa saat para petualang terpojok oleh jumlah dan keahlian para bandit yang lebih unggul. Beberapa dari mereka mulai terluka, dan kekhawatiran mulai menyelimuti para penumpang karavan yang lain. Beberapa dari mereka membawa anak-anak yang masih kecil mulai memeluknya. Beberapa di antara mereka mulai berdoa pada dewa yang mereka yakini.

"Sial, kita terdesak!" kata salah satu petualang. "Kalau begini, mereka akan menyerbu karavan, dan kita akan berakhir di sini!"

Di tengah ketegangan itu, seseorang turun dari kereta belakang. Seorang perempuan yang nampak seperti penyihir itu melangkah maju dengan tegar.

"Ya ampun, ada apa ini," gumamnya melihat kekacauan yang ia saksikan saat itu. Sekelompok bandit yang menghadang karavan, dan regu petualang yang mulai terpojok.

"Jadi, begitu ya." Gumamnya.

Seketika perhatian para bandit tertuju ke arahnya. "Hei bocah, sepertinya tongkat dan perhiasanmu itu akan bernilai tinggi jika dijual!" kata salah satu bandit.

Namun, tanpa sepatah kata pun, penyihir itu mengeluarkan sihir tingkat tinggi. Ia mulai merapalkan mantra yang singkat, namun sebuah pola besar tiba-tiba muncul, bola-bola petir yang sangat banyak dan nampak kuat muncul. Dia kemudian mengarahkan serangannya ke arah para bandit. Bola petir disertai kilatan biru kehijauan itu memenuhi udara dan kemudian menghujani dan menghantam para bandit dengan kekuatan yang luar biasa. Beberapa dari mereka terlempar jauh, sementara yang lain tergeletak tak berdaya di tanah.

Salah satu bandit yang sedang terpojok melihat wajah penyihir itu. "Bukankah dia?!" gumamnya.

Saat beberapa dari mereka mencoba bangkit, penyihir itu dengan cepat merapalkan mantra lain. Kali ini, ia mengeluarkan beberapa pola dalam jumlah banyak dan kemudian mengeluarkan pedang-pedang bercahaya. Pedang-pedang cahaya itu kemudian terbang ke arah mereka dengan kecepatan tinggi, menusuk perut, dada, leher, hingga kepala para bandit itu, membuat mereka seketika tewas mengenaskan.

"Siapa kau sebenarnya?!" kata salah satu bandit yang tersisa dengan kesal.

Penyihir itu pun menunjukkan identitasnya. "Namaku Sylphia. Aku seorang petualang peringkat A dari guild petualang Eldoria. Aku sedang dalam perjalanan ke Phyridia untuk bersekolah di akademi sihir. Tapi ketika sampai di sini, kalian mengacaukan perjalananku!"