Hari kembali terang tanah, sepasang remaja terlihat tengah memasuki gapura depan komplek kediaman bangsawan Taji. Mereka adalah seorang pemuda tampan karismatik mengenakan baju abu abu muda lengan pendek terbuka di bagian dada, bawahan celana komprang hitam dipadu kain batik ungu tua terikat di pinggang sepanjang lutut, mengenakan ban kain putih di pergelangan tangan kanan, serta sebilah katana terselip di belakang pinggang. Seorang lagi gadis cantik mengenakan gaun biru pastel oriental, dengan pita panjang senada menghiasi rambut coklat panjangnya yang jatuh tergerai indah sepinggang bak air terjun, dan kedua remaja itu tak lain adalah Lin bersama sang adik Cempaka.
Mereka akhirnya tiba di kediaman itu untuk memenuhi undangan Lin Tang, setelah sebelumnya Lin Tang datang terlebih dahulu menemui Cempaka di kota Beringin, meminta kesediaan Cempaka untuk mencoba mengobati romonya yang menderita kelumpuhan di sekujur tubuh.
Setibanya di depan Pendopo utama kediaman, keduanya di sambut seorang pelayan yang datang menghampiri keduanya dengan tergopoh gopoh menyambut kedatangan mereka, dan setelah Cempaka menyampaikan maksud kedatangannya di kediaman itu kepada pelayan tersebut, pelayan itu lantas mengantar keduanya menuju aula untuk bertemu sang Nyonya kediaman.
Sementara Lin bersama Cempaka tengah menunggu untuk bertemu bangsawan Shin Duk dalam aula utama kediaman bangsawan Taji, di tempat lain, dalam aula utama komplek kediaman Adipati Kota Kawi. Seorang pria paruh baya tengah duduk di atas kursi besar dalam aula, mengenakan beskap hitam sulaman bunga warna emas di bagian tengah, dipadukan dengan jarik batik keris coklat yang ia kenakan sebagai bawahan, dengan blangkon batik warna senada menghiasi atas kepalanya. Di kedua kakinya, ia mengenakan sepasang sepatu slop hitam sulaman bunga warna emas serta sebilah keris terselip di belakang pinggang, dan pria paruh baya itu tak lain adalah Adipati Jalu, putra sulung bangsawan Taji. Sedangkan, berdiri di samping kanan depan sang Adipati, seorang pria paruh baya mengenakan surjan lurik coklat hitam, dengan jarik batik coklat tua di bagian bawah serta blangkon senada di atas kepala, berdiri menyamping menghadap seorang utusan dari kediaman bangsawan Taji yang datang menghadap dan berdiri dihadapan sang Adipati, guna menyampaikan kabar perihal kedatangan bangsawan Sima di kediaman bangsawan Taji, serta menyampaikan kabar penting perihal kedatangan murid Dewi Jampi di kediaman bangsawan Taji hari ini. "Tunggu! Apa maksudmu dengan murid Dewi Jampi?!". Mendengar utusan itu mengatakan kata murid Dewi Jampi, Adipati Jalu seketika menyela dengan penuh tanya.
"Seperti yang dikatakan Nyonya, Tuan. Gusti Ayu Sima mengatakan, Putri Cempaka dari keluarga Hiragana yang diminta Nyonya untuk mengobati penyakit Tuan Taji, adalah murid dari Dewi Jampi".
"Benarkah?!" Tanya Adipati Jalu, ragu, ia tidak bisa langsung percaya begitu saja.
"Begitulah yang saya dengar, Tuan".
Adipati Jalu terdiam, wajahnya sangat memperlihatkan jika ia sedang berpikir.
"Nyonya juga berpesan, Tuan. Supaya Tuan Adipati segera datang ke kediaman Tuan Taji, untuk menemui Gusti Ayu Sima". Utusan itu kembali melanjutkan.
"Ada urusan apa wanita itu di kota ini?".
"Saya tidak tahu, Tuan. Dari yang telah saya dengar, beliau singgah di kediaman Tuan Taji dalam perjalanan kembali ke kota Beringin".
Adipati Jalu kembali diam dan berpikir sejenak, sebelum kemudian kembali berkata. "Ada lagi yang akan kau sampaikan?".
"Sudah tidak ada, Tuan".
Senyum tiba tiba mengembang di wajah Adipati Jalu. "Baiklah, sampaikan kepada Nyonyamu, jangan khawatir..." Pungkas Adipati Jalu. "Sekarang kau boleh kembali!".
Sesaat setelah utusan itu undur diri meninggalkan aula, pria dengan surjan yang berdiri menyamping di kanan depan Adipati Jalu lantas bertanya. "Apa Tuan akan pergi ke sana?".
"Aku sama sekali tidak ada urusan dengan wanita itu. Lagi pula siapa dia, wanita itu bukan siapa siapa. Dulu dia memang seorang Ratu. Tapi itu dulu. Sekarang dia hanyalah seorang wanita biasa yang dibuang suaminya. Tidak ada gunanya bagiku untuk menemuinya".
Hampir bersamaan dengan itu, tidak berselang lama, setelah pelayan yang menyambut kedatangan Lin dan Cempaka meninggalkan aula, bangsawan Shin Duk bersama Lin Tang tiba dan memasuki aula. Sekilas, jika diperhatikan, tidak ada yang istimewa dari kedua bangsawan itu ketika memasuki aula bersama beberapa pelayan wanita yang mengiring di belakang mereka, selain gemerlapnya kilau kemewahan yang selalu mereka tonjolkan dalam tiap waktu dan kesempatan. Tetapi, jika dilihat dengan sedikit lebih seksama, dari kecantikan serta keanggunan berbalut kemewahan wajah juga penampilan mereka, baik bangsawan Shin Duk maupun Lin Tang, samar terlihat seolah tersimpan sesuatu yang sangat mengganggu pikiran keduanya, terlebih lagi bangsawan Shin Duk. Dan begitu cepatnya semua itu berubah sirna entah kemana, manakala bangsawan Shin Duk melihat sosok Cempaka yang tengah duduk bersama Lin di dalam aula.
"Saya Cempaka, dan kakak saya Lin". Cempaka memperkenalkan diri, setelah sebelumnya terlebih dahulu memberi salam hormat kepada bangsawan Shin Duk, kemudian Lin Tang, satu per satu bergantian. "Saya datang kemari untuk memenuhi undangan dari nona Lin Tang".
Sembari duduk anggun di atas kursi besar berukir di ujung dalam aula, dengan keramahan khas bangsawan Kawi, bangsawan Shin Duk, membalas juga dengan memperkenalkan dirinya, serta tak lupa memperkenalkan kembali sang putri kesayangan, Lin Tang. Akan tetapi, di sela bangsawan Shin Duk yang tengah mengutarakan maksud dan tujuannya mengundang Cempaka datang ke kediaman, yang tak lain adalah meminta Cempaka untuk mencoba mengobati penyakit sang suami, bangsawan Taji. Terselip senyum sinis, tipis dan tersembunyi dibalik tutur lemah lembut bibir merah bergincunya yang telah menjadi ciri khas keluarga Kawi, serta kemilau kecantikan wajahnya yang bertabur polesan kemewahan. Namun, baik bangsawan Shin Duk maupun Lintang sadari, semua itu tak luput dari pandangan mata hitam Lin, yang memandangnya dengan sorot mata tajam setajam seekor elang yang sedang mengintai mangsa, dan tersembunyi dalam ketenangan duduknya yang bagaikan arca es batu di samping kanan Cempaka.
Setelah sekilas memberitahu Cempaka mengenai kondisi sang suami, serta berbasa basi sejenak untuk mempermanis bibir merahnya yang bergincu, bangsawan Shin Duk, mengantar Cempaka menuju ke ruang pembaringan sang suami yang juga masih berada di salah satu sudut paviliun utama, agar Cempaka bisa melihat secara langsung kondisi sang suami sebelum memulai langkah pengobatan penyakitnya.
Sesaat, ketika melangkah bersama menuju ke ruang pembaringan bangsawan Taji, Lin masih bisa melihat ada sedikit kekhawatiran mengambang di wajah adiknya, meskipun Lin tahu, Cempaka berusaha menyembunyikan kekhawatiran itu. "Mungkinkah ini karena untuk kali pertama dia melakukannya sendirian, tanpa nenek Shu Su?!" Pikir Lin, mencoba menyimpulkan apa yang menjadi penyebab dari kekhawatiran Cempaka. "Meskipun bersama nenek Shu Shu, setahuku, dia juga selalu melakukannya sendiri?!". Dan seketika memasuki ruangan, mereka disambut oleh pemandangan tubuh bangsawan Taji yang terbaring dan terbujur tak berdaya di atas pembaringan. Sejenak, Lin sekali lagi melirik wajah Cempaka yang terus melangkah mendekati pembaringan bangsawan Taji, sebelum ia berdiri dan menunggu di salah satu sisi ruangan.
Bersamaan dengan itu, Chin Chin serta beberapa pria dan wanita pelayan kediaman menyusul memasuki ruangan. Tidak ada sesuatu keanehan yang mencolok, tampak terlihat pada diri mereka saat bersama sama memasuki ruangan. Akan tetapi, itu menjadi terlihat aneh, ketika Chin Chin melangkah menuju salah satu sudut ruangan di mana Lin berada. Alih alih melangkah menuju meja bundar dengan taplak sutra lebar dalam ruangan, dan duduk di sana bersama Lin Tang yang telah lebih dulu duduk di sana, ia malah berdiri di samping Lin didampingi seorang pelayan yang kemungkinan adalah pelayan pribadinya. Sedangkan, Lin yang berdiri di sisi kiri Chin Chin memutar mata ke kanan, melihat dengan sudut matanya yang dingin dan bertanya tanya, karena dari sudut matanya itu pula, ia melihat dan bisa membedakan, jika gadis di sampingnya itu bukanlah salah satu bagian dari para pelayan yang memasuki ruangan bersamanya.
Cempaka berhenti dan berdiri di samping pembaringan Bangsawan Taji. Pertama tama, mata coklatnya memeriksa dengan teliti serta seksama tanda tanda penyakit bangsawan Taji yang mungkin saja terlihat di tubuhnya. Pupil matanya tiba tiba mengecil, ketika beberapa keanehan tertangkap oleh matanya dari tubuh bangsawan Taji.
Sementara Cempaka tengah berkonsentrasi pada tubuh bangsawan Taji, berdiri di samping kanannya, bangsawan Shin Duk yang menemani Cempaka memeriksa tubuh sang suami tidak hanya tinggal diam, ia mengambil kesempatan ini untuk memperhatikan Cempaka dari dekat. Sebuah keraguan disertai simpul kebahagiaan berkembang di sudut bibir terlihat nyata dari wajah bangsawan Shin Duk, yang seolah menjadi penanda telah terlepasnya belenggu dalam pikirannya. Namun, bukanlah keraguan karena meragukan kemampuan yang dimiliki oleh Cempaka sebagai murid dari Dewi Jampi, ataupun meragukan kebenaran Cempaka sebagai murid Dewi Jampi, seperti semua yang telah diutarakan oleh bangsawan Sima sebelumnya, tidak dengan kenyataan betapa keluarga besarnya begitu sangat mengagungkan Dewi Jampi, seperti yang tersirat dalam semua perkataan Lin Tang kepada bangsawan Sima, apalagi harus bersikap sebaliknya, menjadikan kenyataan yang diungkapkan oleh putri kesayangannya sendiri sebagai pertimbangan dirinya dalam memandang seseorang, semua itu sama sekali tidak ada dalam pikirannya. Melainkan keraguan itu muncul, setelah melihat sendiri sosok Cempaka yang masih sangat belia, dan sangat jauh lebih muda bila dibandingkan dengan usia Lin Tang putrinya. "Tidak mungkin, gadis semuda itu menguasai keahlian mengobati penyakit seperti yang diderita suaminya?! Itu mustahil," Tak jauh jauh dari hal Seperti itulah yang selalu mengisi pikirannya. Selain itu, ia juga teringat penuturan Lin Tang sekembalinya dari kediaman Tuan Mi Chin di kota Beringin, yang mengatakan kalau gadis cantik itu juga adalah salah satu Hime dari keluarga Hiragana. Sehingga, untuk yang kesekian kalinya, dibalik wajah cantiknya yang bertabur polesan kemewahan, senyum sinis samar kembali melengkung di sudut bibirnya, menggantikan simpul kebahagiaan yang tidak seharusnya dan terlalu bodoh untuk terkembang di depan mata semua orang.
"Nyonya, kalau boleh tahu, sejak kapan Tuan Taji jatuh sakit?".
Mendengar Cempaka secara tiba tiba bertanya, membuat bangsawan Shin Duk seketika tersadar dari pikirannya, dan dengan sedikit gugup menjawab. "Oh, kurang lebih setahun enam purnama".
"Kalau boleh tau lagi, Nyonya. Bagaimana Tuan Taji bisa jatuh sakit?".
Bangsawan Shin Duk tidak lantas menjawab, ia tampak berpikir sejenak, dan terkesan hati hati saat menjawab. "Waktu itu, kejadiannya begitu cepat dan tiba tiba".
Cempaka terdiam, ia menatap bangsawan Taji yang tiba tiba memutar mata menatapnya. "Bagaimana mungkin, anda bisa bertahan hingga sejauh ini?!" Pikirnya heran, ia sungguh tidak bisa percaya pada kenyataan yang ada di hadapannya. "Lebih baik Aku memeriksanya lebih lanjut, agar aku bisa memastikannya!". Lantas, setelah yakin telah selesai mengamati tanda tanda penyakit bangsawan Taji yang bisa dilihatnya dengan mata telanjang, ia berpaling kepada bangsawan Shin Duk yang ada di samping kanannya. "Nyonya, saya minta izin untuk memeriksa Tuan Taji?".
Tanpa sepatah katapun terucap dari kedua bibirnya, bangsawan Shin Duk, mempersilahkan Cempaka dengan mengulurkan tangan kanan ke depan, kemudian melangkah menuju meja bundar dalam ruangan dimana Lin Tang berada.
Cempaka lantas menoleh ke arah beberapa pelayan kediaman yang berdiri tidak jauh dari pembaringan bangsawan Taji, dan meminta salah satu dari mereka untuk membantunya. "Tolong buka baju tuan Taji!" Ucapnya, setelah salah satu gadis mendekat dan berada di sampingnya.
"Semuanya, Nona?".
"Tidak, baju bagian depan saja".
Sebelum mulai memeriksa, sejenak, Cempaka kembali menatap bangsawan Taji yang menatapnya dengan sorot mata penuh tanya, seolah ia ingin berkata. "Kau siapa?".
"Tuan jangan khawatir!". Sembari tersenyum manis, Cempaka mencoba meyakinkan.