Chereads / KURO / Chapter 17 - Cangkang Kosong 2

Chapter 17 - Cangkang Kosong 2

Keheningan terjadi di antara Lin Tang serta kedua kepala pelayan yang tengah berada dalam salah satu ruangan paviliun utama kaputren, tidak satupun dari ketiganya berani mengeluarkan sepatah katapun untuk membantah kehendak sang Nyonya besar. Ketegangan serta kepanikan yang semula berkuasa dengan menjerat dan membelenggu setiap orang ke dalam ketakutan, seketika takluk oleh keangkuhan serta kesombongan sang Nyonya besar kediaman.

Dalam ruang peristirahatan pribadinya yang tidak sembarang orang bisa masuk dengan seenaknya, tidak ada lagi yang perlu ditutup tutupi dan disembunyikan oleh bangsawan Shin Duk. Keangkuhan, kesombongan, sifat serta tabiat asli yang dibawanya semenjak masih dalam kandungan, terbuka selebar lebarnya hingga terlihat jelas tanpa penghalang. Keahlian satu satunya yang dimiliki bangsawan Shin Duk dalam bermain kesan, dibiarkan teronggok di bawah kursi tempat duduknya, sementara kelembutan serta keanggunan yang selalu melekat erat dalam tiap diri bangsawan Kawi, yang selama hidupnya, selalu ia kenakan untuk mempercantik kesan bagi siapapun yang berhadapan dengan dirinya, dilemparkan begitu saja ke pojok ruangan, menemani ketegangan serta ketakutan yang tertunduk lesu di sana, setelah kehilangan taringnya sebagai makhluk yang menyeramkan. Tidak ada lagi kegelisahan, kekhawatiran, kepanikan, atau bahkan ketakutan yang sebelumnya tampak begitu rumit di wajah dan sangat terlihat mengganggu dirinya, semua sirna, begitu tiba tiba telah dilemparkan serta dilupakan begitu saja, seolah semua itu hanyalah sesuatu yg menjadi angin lalu belaka.

Akan tetapi, ketika bangsawan Shin Duk berkata serta memaksakan kehendak yang tak ubahnya seekor babi sedang menyeruduk, tidak peduli akan apapun yang ada di sekeliling, apalagi harus mempertimbangkan sesuatu yang mungkin saja akan membahayakan dirinya serta orang orang sekitarnya, dengan mengabaikan serta memandang rendah segalanya, tanpa sedikitpun memberi kesempatan kepada kedua orang kepercayaannya tersebut untuk memikirkan ataupun merencanakan apapun, tak terkecuali putri kesayangannya sendiri, Lin Tang. Keheningan itu tidak serta merta sejalan dengan pikiran ketiganya, baik Lin Tang maupun kedua kepala pelayan kediaman, ketiganya terseret oleh gelombang besar dalam pikiran masing masing, yang mengombang ambingkan ketiganya dalam ketakutan dan pada akhirnya akan menghempaskan mereka entah ada di mana, masih hidup atau sebaliknya, hanya tinggal menyisakan jasad mereka yang tak bernyawa. Berusaha meraih serta mencari sesuatu yang bisa digapai oleh kedua tangan untuk menyelamatkan diri mereka masing masing, juga telinga ketiganya yang tiba tiba mendadak tuli akan sekitar, oleh kepanikan serta ketakutan akan nasib mereka selanjutnya.

"Selain itu, Bu". Setelah kekhawatiran pertama yang menjadi beban dalam pikirannya, diabaikan begitu saja oleh Ibunya, meskipun bangsawan Shin Duk sendiri telah merencanakan antisipasi untuk mengatasi ancaman yang terjadi terhadap keselamatan mereka, andaikata Cempaka sanggup menawarkan racun Tujuh Teratai Api dalam tubuh bangsawan Taji. Akan tetapi, dengan semua pertimbangan yang diperkirakan bisa lebih memperburuk keadaan, ia tetap tidak sepaham, dan tetap tidak bisa menerima rencana Ibunya. Menurut perhitungan dan pertimbangan yang dipikirkannya secara singkat, bersamaan dengan bangsawan Shin Duk menjelaskan semua rencananya di depan dirinya dan kedua kepala pelayan kediaman, ia melihat rencana Ibunya tersebut memiliki banyak sekali kesalahan, dan sama sekali tidak memperhitungkan perkembangan serta situasi dalam kediaman saat ini, yang menurut perhitungan, situasi kediaman saat ini sangat berbeda dengan situasi dalam kediaman sebelumnya, sambil ragu ragu kembali membuka suara. "Aku juga khawatir, Chin Chin akan memberitahu Gusti Ayu Sima, semua yang telah kita lakukan selama ini kepadanya. Bahwa kita telah mengusirnya dari sini. Kita juga selama ini tidak merawat Romo, dengan mengasingkannya bersama Chin Chin ke tengah hutan bambu di belakang kediaman. Selain itu, kita juga mengurung Nyonya kedua yang gila, juga pastinya akan banyak lagi hal lain yang akan diceritakan Chin Chin kepada Gusti Ayu Sima".

"Dhen Ayu jangan khawatir mengenai hal itu! Kita telah mengurus anak itu. Saya berani jamin, anak itu tidak akan berani bercerita apapun kepada Gusti Ayu Sima," Tandas kepala pelayan pria, menjawab kekhawatiran Lin Tang.

"Kalau begitu, kau harus terus pastikan hal itu!".

"Baik Dhen Ayu". Sambil sedikit membungkuk, kepala pelayan pria itu menyanggupi perintah Lin Tang.

Mendengar apa yang sedang dibicarakan antara kepala pelayan pria dengan putrinya, bangsawan Shin Duk terlihat seolah ada sesuatu yang tiba tiba terbersit di benaknya, lalu bertanya kepada kepala pelayan wanita di hadapannya. "Bagaimana? Apa yang kau dapat dari mereka?".

"Oh...! Kebetulan sekali. Saya sebenarnya juga hendak menyampaikan hal itu kepada Nyonya".

"Jadi, apa saja yang berhasil kau dengar?".

"Seperti yang Nyonya perkirakan sebelumnya, sesaat setelah meninggalkan paviliun utama, Gusti Ayu Sima memerintahkan salah seorang Dayang beliau, untuk pergi ke paviliun Nyonya kedua".

"Apa wanita itu percaya, kalau sahabatnya itu telah mati?". Merasa besar kepala karena yang diperkirakan benar, sembari tersenyum bangga, bangsawan Shin Duk menyela dan memotong perkataan wanita kepercayaannya tersebut.

Kepala pelayan wanita itu mengangguk yakin. "Menurut pelayan yang saya perintahkan untuk mengawasi paviliun tamu, setelah mendengar kabar dari Dayang beliau, bahwa Nyonya kedua telah meninggal, Gusti Ayu Sima tampaknya langsung mempercayai kabar tersebut".

Sudut kiri bibir bangsawan Shin Duk seketika terangkat, membentuk senyum sinis. Lantas, dengan besar kepala, merasa dirinya lebih tinggi dari segalanya, dengan kalimat penuh cibiran ia berkata. "Wanita bodoh, pantas saja dia dibuang dari istana".

Akan tetapi, sebaliknya, berbeda dengan bangsawan Shin Duk serta kepala pelayan pria yang terlihat yakin atas penjelasan itu, tidak untuk Lin Tang, ia terlihat ragu akan penjelasan kepala pelayan wanita tersebut.

"Lalu, apa saja yang dilakukan wanita bodoh itu setelah meninggalkan paviliun utama?". Bangsawan Shin Duk melanjutkan pertanyaannya.

"Tidak ada Nyonya. Sejak tiba di sini, Gusti Ayu Sima tidak melakukan apapun, selain berbincang dengan kedua Dayang beliau di paviliun tamu".

"Tidak mungkin, itu tidak seperti yang selama ini kudengar tentang Gusti Ayu Sima?!" Sahut Lin Tang, berGumam skeptis. Keraguan tampak di wajahnya yang sekaligus bertanya tanya.

Meskipun gumaman itu lirih, tetap saja membuat kedua kepala pelayan serta bangsawan Shin Duk tersentak, seketika menaruh pandangan mereka kepada Lin Tang, penuh tanya sekaligus heran, terlebih lagi bangsawan Shin Duk, dahinya berkerut, dan dengan emosi bertanya. "Apa maksudmu dengan tidak mungkin?!". Emosi bangsawan Shin Duk seketika tersulut, tidak suka jika ada seseorang yang tidak sepaham dan berbeda pendapat dengan dirinya, tak terkecuali sang putri kesayangannya sendiri, yang sejak awal, Lin Tang jelas jelas selalu menentang perkataannya.

Dengan sama sekali tidak memperlihatkan ketertarikan untuk menjawab pertanyaan Ibunya, Lin Tang memutar mata, menatap kepada kepala pelayan wanita kediaman dan bertanya. "Lalu, apa yang dilakukan para pengawal Gusti Ayu?".

Kepala pelayan wanita itu tak menjawab, lantas berpaling ke kanan, menoleh kepada kepala pelayan pria di sampingnya, yang disambut oleh kepala pelayan pria dengan menoleh ke arahnya, wajah kepala pelayan wanita itu menunjukkan, ia meminta kepala pelayan pria di sampingnya itu yang menjawab.

Paham akan maksud wanita di samping kirinya tersebut, kepala pelayan pria lalu berpaling menghadap Lin Tang. "Maaf Dhen Ayu". Kepala pelayan pria itu ragu ragu menjawab. "Para pengawal itu kelihatannya cuma pengawal rendahan, menurut saya, mereka tidak perlu dikhawatirkan. Sejak tiba di sini, mereka tidak kemana mana dan hanya beristirahat di paviliun belakang".

"Saya pikir juga begitu, Dhen Ayu. Diantara mereka semua, cuma Dayang paling muda beliau yang terlihat sering berkeliaran di kediaman, itupun hanya main main di paviliun belakang bersama anak laki laki yang ikut dalam rombongan beliau". Kepala pelayan wanita menimpali.

"Kau dengar sendiri. Sudah kukatakan padamu, wanita itu cuma wanita bodoh yang tidak tahu apa apa, pastinya para pelayannya juga sama bodohnya dengan wanita itu," Sahut bangsawan Shin Duk, sudut kiri bibirnya tertarik ke atas, dan berkata dengan penuh cibiran kepada bangsawan Sima. "Kau terlalu memandang tinggi wanita itu. Jika wanita itu seperti pandanganmu terhadapnya. Lihat! bagaimana dengan mudahnya wanita itu percaya, jika sahabatnya yang gila itu sudah mati. Apa kau lupa? Wanita itu bukan siapa siapa, bahkan seluruh harta yang dimiliki wanita itu, tidak akan pernah bisa sebanding dengan seujung kuku harta yang kita miliki, apa lagi yang wanita itu andalkan untuk melawan kita. Kalau dia bukan masih keluarga pria tua yang sedang sekarat itu, aku tidak akan pernah sudi membungkuk pada wanita itu. Kau mengerti?".

Sekali lagi, tanpa sedikitpun menunjukkan ketertarikan untuk membalas perkataan Ibunya, Lin Tang kembali melanjutkan pertanyaannya kepada kepala pelayan wanita kediaman. "Maksudmu, Dayang muda yang ikut melihat Nona Cempaka memeriksa Romo di paviliun utama?".

Kepala pelayan wanita itu mengangguk. "Seperti yang Dhen Ayu tahu, Dayang muda itu lebih sering terlihat bercanda dengan Kakak Nona Cempaka, sambil mengagumi perabot perabot dalam paviliun utama".

"Apa lagi yang kau takutkan, dari seorang Dayang rendahan seperti dia?!". Bangsawan Shin Duk kembali menyela, dan berkata dengan kembali menarik ke atas sudut kiri bibirnya.

Lin Tang menghela nafas. "Kalian benar benar meremehkan beliau," Ucapnya sangat kecewa, ia merasa tidak habis pikir pada apa yang mereka pikirkan. "Aku jadi heran, apa yang ada di pikiran semua orang di kediaman ini, bisa bisanya, dengan begitu mudahnya meremehkan Gusti Ayu Sima. Apa semua orang di kediaman ini menutup mata, atau benar benar tidak tahu bagaimana sepak terjang beliau selama ini?!" Lanjutnya dengan nada bicara sarkastik.

"Apa maksudmu?!". Bangsawan Shin Duk menoleh, bertanya kepada putrinya dengan emosi tertahan di wajahnya.

Namun, lagi lagi Lin Tang tak menghiraukan Ibunya. "Apa kalian tahu, kenapa aku menyuruh kalian melarang para pelayan, untuk tidak menyebarkan kedatangan Gusti Ayu Sima di sini?" Tanyanya kepada kedua kepala pelayan di hadapannya.

Kedua kepala pelayan tak menjawab, baik kepala pelayan pria maupun kepala pelayan wanita, keduanya hanya diam dan menunduk menatap lantai marmer di bawahnya.

"Sudah kuduga," Lanjut Lin Tang. "Jika penduduk kota tahu beliau berada di sini, apa kalian pikir, para penduduk kota peduli Gusti Ayu Sima berada di kediaman siapa? Bahkan, biarpun itu di kediaman Adipati sekalipun, kalian pikir mereka akan peduli? Kalian tahu!? Mereka tidak akan peduli pada apapun dan berbondong bondong datang kemari, asalkan mereka bisa bertemu dan memberi hormat kepada Gusti Ayu Sima. Meskipun itu cuma sekedar bisa melihat serta memberi hormat dari kejauhan, mereka akan sangat merasa bangga. Dan jika itu terjadi di kediaman ini, apa kalian pikir para penduduk itu tidak menyadari semua yang terjadi di sini?! Apa kalian mengerti!? Lalu, menurut kalian, siapa yang memberi perintah semua pelayan untuk ikut menyambut kedatangan Gusti Ayu Sima, di pendopo utama kemarin sore!? Kalian yang memerintahkan? Bukankah kalian disibukkan dengan urusan Chin Chin dan Romo. Lalu siapa yang menyuruh mereka!? Jika tidak ada yang memerintahkan mereka, bagaimana mereka semua bisa seberani itu!? Kau pikir mereka akan peduli dengan hukuman yang mungkin akan mereka dapat setelah itu, seharusnya kalian sadari itu!". Lin Tang berkata dengan emosi. "Hampir semua penduduk menghormati dan menjunjung tinggi beliau, apalagi untuk mencari masalah dengan beliau, bahkan musuh musuh beliau sendiri sangat menghormati beliau, dan mereka sadar betul siapa Gusti Ayu Shima, sama dengan anggapan kalian, beliau hanya wanita biasa dan bukan siapa siapa. Sebaliknya, tidak ada yang tidak ingin tidak mematuhi perintah Gusti Ayu Sima. Apa itu yang kalian maksud bukan kekuatan!? Apa itu juga yang kau maksud tidak perlu untuk dikhawatirkan!?".

Dan untuk sejenak, Lin Tang terdiam lalu menghela nafas, sebelum berpaling kepada Ibunya yang sejak tadi menatapnya dengan mengerutkan dahi, dan berkata. "Kalau sudah begitu, Bu. Aku jadi bingung, siapa di sini yang bodoh?! Seharusnya Ibu sadar, selama ini Ibu juga tidak melakukan semuanya dengan tangan Ibu sendiri".

"Kau!". Seolah mendapat tamparan sandal jepit dari putri kesayangannya sendiri. Dahi bangsawan Shin Duk seketika semakin berkerut, matanya melotot, wajahnya semakin memmerah karena marah, dan seketika itu juga, udara dalam ruangan kembali dipenuhi ketegangan. Tiba tiba!

Terdengar pintu ruangan diketuk dari luar, menyusul kemudian, suara seorang wanita terdengar berkata dari balik pintu. "Nyonya! Nona Cempaka ada di sini dan meminta izin untuk bertemu Nyonya".