Berbanding terbalik dengan kediaman bangsawan Taji yang diselimuti ketegangan, ketenangan begitu terasa di sekitar dua pondok kayu yang berdiri di tengah hutan bambu belakang kediaman. semilir angin menerpa sela batang batang bambu, lembut mengalun bak seruling gembala, diiringi kicau burung burung bernyanyi riang, daun daun saling bergesekan, menciptakan sebuah orkestra merdu yang menenangkan jiwa. Di atas cakrawala, mendung dua warna lembut berarak di bawah langit sore, kian menambah keindahan nuansa sore hari yang cerah.
Dalam ruang depan pondok yang berdiri di sisi kiri pondok lainnya, Chin Chin ditemani salah seorang pelayan pribadinya, diam diam berlatih teknik bela diri yang dipelajarinya dari sebuah buku, yang juga dengan cara diam diam, buku itu dibelinya dari salah seorang pedagang tua yang ada di pasar, dan untuk berjaga jaga, ia tetap mengenakan kebaya yang dikenakan, tetapi jarik batik yang menjadi bawahannya ditarik ke atas hingga pertengahan paha. Sementara Chin Chin di tengah ruangan melakukan teknik teknik gerakan menyerang lawan menggunakan belati lempar, pelayan pribadinya berdiri memperhatikan dari sisi depan ruangan, sambil sesekali mengintip keluar pondok, melalui lubang kecil dinding depan pondok di belakangnya. "Dhen Ayu, bagaimana kalau mereka tahu, kita diam diam kembali ke sini?" Ujar pelayan sekaligus sahabat Chin Chin tersebut khawatir, sembari kembali melihat ke arah jalan setapak yang membelah rumpun bambu di depan pondok, melalui lubabnng kecil dinding depan pondok.
"Apalagi yang akan mereka lakukan...? kalau bukan memukuli kita," Jawab Chin Chin sekenanya, seolah olah itu menunjukkan, ia serta sahabatnya tersebut telah terbiasa dengan hal seperti itu, sambil tetap terus berkonsentrasi melakukan gerakan gerakan menyerang lawan dengan belatinya.
Seketika, pelayan Chin Chin menarik mata dari lubang dinding, memutar kepala melihat ke arah Chin Chin sembari merengek. "Dhen Ayu..." Protesnya, tidak terima dengan jawaban Chin Chin yang terdengar sangat mengerikan, ketakutan serta trauma masa lalu seketika itu juga tergambar jelas di wajahnya.
"Kau tenanglah...! Selama Gusti Ayu Sima ada di sini... Mereka tidak akan berani berbuat apapun kepada kita".
"Dhen Ayu, menurut Dhen Ayu, mungkinkah Gusti Ayu Sima, tidak menyadari apapun yang mereka lakukan padamu, Tuan Taji dan Nyonya Gie Wang?".
Chin Chin berhenti melakukan gerakan, lalu melangkah menuju meja di sisi ruangan, membolak balik buku bergambar peragaan gerakan gerakan bela diri yang ada di atasnya, sambil berkata. "Entahlah...?! Meskipun Gusti Ayu menyadarinya, kau pasti tahu, mereka tidak akan pernah tinggal diam," Jawab Chin Chin skeptis. "Selain itu, andaipun Gusti Ayu tahu dan hendak melakukan sesuatu, aku yakin, itu tidak akan terjadi dalam waktu dekat".
Selesai membolak balik bukunya, Chin Chin kembali ke tengah ruangan, lantas melakukan gerakan gerakan bela diri yang sama sekali berbeda dengan sebelumnya, memukul dengan telapak tangan terbuka, berputar sambil mengayunkan kedua tangan, melangkah ke depan sambil memukul dengan telapak tangan beruntun kanan dan kiri, berkelit ke kanan ke kiri, lalu mundur dan membuat gerakan menangkis.
"Oh ya! Ngomong ngomong". Pelayan Chin Chin kembali bersuara, setelah beberapa saat terdiam dan memperhatikan Chin Chin berlatih dalam kebisuan. "Dhen Ayu bilang, seorang anak yang ada bersama rombongan Gusti Ayu Sima, dan menurut Dhen Ayu konyol itu, mengetahui Dhen Ayu berlatih...?!" Pelayan itu berhenti berkata, matanya berputar putar mengingat ingat sesuatu. "Apa itu namanya?!" Lanjutnya bingung.
"Tinjutsu," Sahut Chin Chin, menjawab kebingungan pelayannya.
"Oh, iya itu, Tinjutsu! Bagaimana jika anak itu memberitahu Gusti Ayu Sima, jika Dhen Ayu berlatih Tinjutsu di tengah hutan?".
Chin Chin tiba tiba kembali berhenti melakukan gerakan, memutar tubuh menghadap pelayan sekaligus sahabatnya tersebut. "Sekian lama tinggal di sini, sepertinya aku telah melupakan cara hidup sebagai seorang putri bangsawan Kawi. Tampaknya aku juga tidak lagi peduli dengan aturan aturan itu. Kalau kau tak bertanya, mungkin aku sudah lupa akan hal itu," Jawabnya lantas berpaling, sebelum kemudian kembali berkata. "Aku hanya tak menyangka, jika anak konyol itu bersama Gusti Ayu Sima. Selain itu...". Chin Chin seketika terdiam, kesedihan seketika itu juga hinggap di wajah cantiknya yang sarat akan kesederhanaan. "Kalau bukan karena Ibu, saat ini mungkin aku sudah tidak lagi berada di tempat ini, aku akan pergi sejauh jauhnya dari tempat ini dan tak akan pernah kembali".
Mendengar perkataan yang untuk pertama kalinya terdengar di telinganya terucap dari bibir Chin Chin, pelayan Chin Chin tersentak, kesedihan karena tidak ingin ditinggalkan membayang di wajahnya. Di sisi lain, ingatan Chin Chin melambung ke masa lalu, kepedihan masa lalu yang selalu di anak tirikan dan tak dianggap keberadaanya oleh ayahnya sendiri, bangsawan Taji, satu persatu kembali menyiksa benaknya.
Waktu itu; Di sudut taman kediaman bangsawan Taji, seorang gadis kecil sepuluh tahun sedang bermain boneka dari daun pisang yang digulung dan bagian atasnya dibuat berumbai hingga menyerupai rambut, penampilannya sederhana, sama sekali tidak menunjukkan kalau gadis kecil tersebut adalah putri pertama dari keluarga aristokrat nomor satu kota Kawi, bahkan boneka daun pisang yang merupakan mainan rakyat jelata tersebut, dirangkai dan dibuatnya sendiri bersama seorang gadis pelayan seumuran dengannya yang senantiasa selalu bersama dan menemaninya, hanya wajah anggun dari gadis kecil itu yang tidak bisa menutupi jati dirinya sebagai putri seorang bangsawan. Sementara keduanya sedang asyik asyiknya bermain boneka daun pisang, dari sisi lain taman, seorang gadis kecil lain sedang lari larian di atas jalanan batu taman. "Ayo kejar aku kalau bisa... Ayo kejar...!" Teriak gadis itu dengan riangnya, tertawa tawa bahagia sembari terus berlarian dalam taman yang dipenuhi bebungaan indah aneka warna. Meskipun juga masih seumuran dengan gadis kecil sebelumnya, pakaian gadis kecil yang sedang bermain kejar kejaran dengan dua pelayan wanita remaja tersebut jelas tampak lebih mewah, daripada pakaian yang dikenakan gadis kecil sebelumnya.
"Dhen Ayu...! Dhen Ayu...! Dhen Ayu Lin Tang jangan cepat cepat larinya...! Nanti jatuh," Teriak kedua pelayan remaja itu khawatir, sambil terus berusahha dengan susah payah berlari lari kecil mengejar Lin Tang. Dengan kebaya serta jarik batik yang kedua pelayan itu kenakan, bisa dibayangkan, betapa repotnya bagi keduanya untuk berlari mengejar tuannya, sementara yang mereka kejar dan berlarian di dalam taman mengenakan gaun dengan rok lebar.
"Ayo kejar aku...! Ayo kejar aku...! Ayo tangkap aku kalau kalian bisa!". Dengan terus berlari sambil melihat ke belakang dan tertawa tawa bangga penuh kemenangan, Lin Tang balas berteriak kepada kedua pengejarnya. Dan ketika hendak melintas di depan tempat dua gadis kecil sebelumnya sedang bermain boneka daun pisang, yang tak lain adalah Chin Chin kecil bersama pelayan sekaligus sahabat kecilnya, oleh karena Lin Tang berlari sambil melihat belakang, untuk meledek kedua pengejarnya yang tidak kunjung bisa mengejar dan menangkap dirinya. Tiba tiba!
Gabruk...! Lin Tang terpeleset batu licin dan jatuh tersungkur di hadapan Chin Chin serta pelayan kecilnya.
Melihat keributan itu, Chin Chin kecil seketika berdiri serta menarik pelayan kecilnya untuk sedikit mundur menjauh, dan dengan tetap memegang boneka daun pisang di tangan kanannya, Chin Chin hanya melihat Lin Tang yang tersungkur di atas jalan batu taman di depannya dengan dingin dan apatis.
Sementara itu, menyadari tuannya terjatuh dan tersungkur ke tanah di depan mata, kedua pelayan remaja itu pun seketika mempercepat lari mereka. "Dhen Ayu...! Dhen ayu...!". Dan dengan Kepanikan di wajah wajah mereka, keduanya segera membantu Lin Tang yang merintih kesakitan untuk berdiri.
"Dhen Ayu tidak apa apa?" Tanya salah satu pelayan sambil membersihkan debu dari gaun Lin Tang dengan panik.
"Dasar pelayan bodoh!" Sambil tetap mengibas ngibaskan tangan di atas gaun Lin Tang untuk membersihkan debu yang masih menempel, pelayan lain Lin Tang membentak pelayan kecil Chin Chin dengan marah, karena tidak segera membantu Lin Tang yang terjatuh dan merintih kesakitan di depannya, tetapi Lin Tang yang terjatuh hanya dilihatinya begitu saja bersama Chin Chin. Akan tetapi, sebaliknya, pelayan kecil Chin Chin itu tidak sedikitpun menunjukkan kesan apapun, pelayan kecil itu hanya diam, dan sama halnya dengan Chin Chin, pelayan kecil itu tetap tenang sambil memegang erat boneka daun pisang dengan tangan kanannya, merasa tak bersalah, apalagi menunjukkan ketakutan setelah pelayan remaja dan lebih tua dari dirinya itu membentaknya.
Di sisi lain, sembari gaun yang dikenakan sedang dibersihkan oleh kedua pelayan, Lin Tang yang merengek setelah terjatuh Tiba tiba menghentikan rengekannya, kedengkian seketika itu juga bersarang di wajahnya, melihat serta mengetahui apa yang ada di tangan Chin Chin. "Berikan itu padaku!" Bentaknya, menunjuk dengan wajah kecilnya yang telah dipenuhi kedengkian pada boneka daun pisang yang di pegang Chin Chin. Namun, Chin Chin tak bergeming, ia hanya menatap Lin Tang yang menginginkan bonekanya dengan dingin dan apatis, yang membuat Lin Tang tak terima, dengan marah mengibaskan kedua tangan agar terlepas dari kedua pelayan yang tengah membersihkan gaunnya. "Lepaskan aku!" Bentaknya dengan marah, lantas dengan cepat bergerak ke depan hendak merampas boneka daun pisang dari tangan Chin Chin.
Namun, dengan cepat pula, Chin Chin menarik tangan ke belakang tubuhnya. Alhasil, rampasan tangan Lin Tang tak mengenai apapun, selain rasa malu yang tergenggam erat di tangan kanannya, hingga wajah kecilnya yang sebelumnya telah dipenuhi kedengkian, kini menjadi memerah karena malu dan amarah. Dengan dingin dan apatis, Chin Chin melempar boneka daun pisang di tangan kanannya ke atas tanah, lalu menginjak injaknya tepat di depan muka Lin Tang.
Malu, marah, dengki bercampur aduk menjadi satu, gagal mendapat yang diinginkan, Lin Tang hendak melampiaskan kegagalannya merampas boneka milik Chin Chin, dengan menoleh ke arah boneka daun pisang di tangan pelayan kecil Chin Chin. Akan tetapi, seolah telah mengetahui arah pikiran Lin Tang selanjutnya, Chin Chin lebih dulu merampas boneka tersebut dari tangan pelayan kecilnya, lalu melemparkannya ke atas boneka miliknya sendiri yang telah hancur di atas tanah dan kembali menginjak injaknya. Kemudian, dengan tetap dingin serta tanpa sepatah katapun terucap dari bibirnya, ia melangkah mundur kebelakang sambil menarik pelayan kecil sekaligus sahabatnya tersebut ikut mundur bersamanya, memberi kebebasan kepada Lin Tang untuk memandang sepuas puasnya kedua boneka yang telah hancur di depan mukanya.
"Kau!" Bentak Lin Tang, menatap Chin Chin dengan amarah meluap luap dari wajah anak anaknya yang penuh kedengkian, wajah memerah, dahi berkerut, mata melotot, kelopak matanya bergetar. Sebaliknya, Chin Chin hanya menanggapinya dengan menunjuk dengan dagu kedua boneka yang telah hancur di atas tanah, sebagai isyarat untuk menyuruh Lin Tang mengambil boneka yang sudah hancur tersebut.
Merasa terhina atas apa yang dilakukan Chin Chin kepadanya, sakit hati, ditambah rasa malu yang tiada terkira. Dengan mata berkaca kaca serta mulut yang bergetar hendak menangis, Lin Tang berlari meninggalkan tempat itu penuh dendam.
Melihat tuannya tiba tiba telah berlari meninggalkan tempat itu, kedua pelayan Lin Tang pun bergegas menyusul meninggalkan tempat itu. Dan ketika keduanya melintas di depan Chin Chin serta pelayan kecilnya, dengan wajah judesnya yang sama sekali tidak sedap untuk dipandang, serta suara judesnya yang sangat menyakitkan hati dan telinga, salah satu pelayan yang sebelumnya membentak dan menghina pelayan kecil Chin Chin, mengumpat di depan Chin Chin kecil sembari membuang ludah. "Dasar anak sialan!". Dan belum lagi kedua pelayan itu jauh melangkah, tiba tiba!
Gabruk...! Pelayan yang mengumpat itu jatuh terpeleset, tersungkur dan kepalanya membentur batu jalan yang sedikit menonjol diantara batu lainnya.
Pelayan itu meringis menahan sakit, darah segar keluar dari dahinya, berusaha kembali bangkit sambil melihat ke arah temannya yang terus berlalu meninggalkan dirinya, seolah temannya itu tidak melihat apapun dan seolah tidak terjadi apapun pada dirinya, padahal ia terjatuh tepat di samping teman sesamanya sebagai pelayan Lin Tang tersebut, bagaimana mungkin temannya itu sampai tidak tahu jika dirinya terjatuh, atau temannya itu memang tidak peduli kepada dirinya, sambil sedikit memaksakan diri untuk berteriak memanggil. "Hei...! Tunggu aku!". Namun temannya tersebut seolah olah sedikitpun tidak mendengar apapun, terus berlalu meninggalkan dirinya. "Sialan...!". Sambil melihat darah di tangannya setelah memegang keningnya yang terluka, pelayan itu berusaha berdiri sambil kembali mengumpat. Lalu, menoleh ke belakang, melihat ke arah Chin Chin kecil yang melihatnya acuh bersama pelayan kecilnya, dan melontarkan umpatan selanjutnya sebelum berpaling lalu kemudian meneruskan langkah. "Ini gara gara kau! Dasar anak sialan!". Tiba tiba! ia terhuyung dan menabrak ting bertiang batu di tepi jalan batu taman. Dan.
Prak...! Anehnya, ting batu itu patah, dan jatuh menimpa kepalanya, yang membuat pelayan itu kembali tersungkur di atas jalan batu, merintih sambil memegangi belakang kepalanya yang tertimpa ting batu.
Belum puas atas apa yang terjadi pada dirinya, sambil bersusah paya untuk bangkit sembari memegang kepala yang terluka, pelayan wanita itu kembali mengumpat ke arah Chin Chin kecil bersama pelayan kecilnya. Dan seketika itu juga, pelayan itu kembali terhuyung huyung dan menabrak pot bunga di sisi jalan taman.
Brak...! Dua pot bunga hancur, tanah serta debu dalam pot berhamburan, bersamaan dengan bunga bunga yang ambruk, tubuh pelayan wanita remaja itu terguling ke tepi jalan batu taman, merintih, meringkuk kesakitan, kepala serta bagian atas tubuhnya penuh debu dan tanah.