Chereads / KURO / Chapter 19 - Intrik

Chapter 19 - Intrik

Melihat pelayan Lin Tang tidak lagi berusaha bangkit untuk kembali mengeluarkan umpatan kepada sahabat sekaligus tuannya, melainkan hanya meringkuk dan merintih kesakitan di tepi jalan batu taman bersama pecahan pot beserta tanah rabuk yg berserakan di sampingnya, dengan wajah kecilnya yang tampak sarkastik, pelayan kecil Chin Chin hendak mengatakan sesuatu kepada pelayan Lin Tang yang sedang merintih di sisi jalan taman. Namun, sebelum sebuah kalimat yang juga tampaknya sarkastik keluar dari mulut pelayan kecilnya, Chin Chin telah lebih dulu membungkam mulutnya, lalu menyeret tangan pelayan kecilnya tersebut untuk pergi meninggalkan tempat itu.

"Dhen Ayu, bagaimana dengan dia?". Karena jarik yang dikenakan menyulitkannya untuk bergerak cepat, sambil bertanya dengan khawatir pada keadaan pelayan Lin Tang, pelayan kecil Chin Chin berjalan berjinjit serta sedikit melompat lompat ringan, untuk mengimbangi jalan Chin Chin yang menyeretnya pergi.

Chin Chin tak menjawab, ia terus menyeret pelayan kecilnya menuju gapura taman. "Kau tau? Kita pasti akan dapat masalah lagi," Ucapnya kemudian. Dan seolah juga sudah menyadari yang akan terjadi pada mereka selanjutnya, pelayan kecil Chin Chin sama sekali tidak terlihat kaget mendengar ucapan tuannya.

Benar saja, belum lagi jauh melangkah meninggalkan gapura taman, seorang pelayan pria paruh baya datang menghampiri Chin Chin bersama pelayan kecilnya, menyampaikan kepada Chin Chin perintah langsung dari sang romo, bangsawan Taji. "Dhen Ayu, anda diperintahkan oleh Tuan untuk datang ke aula utama sekarang juga!".

Chin Chin tak menjawab, dengan wajah datar, tanpa sedikitpun memperlihatkan kesan apapun di wajah kecilnya, menoleh ke kanan, melihat sahabat kecilnya yang berdiri di samping belakang dirinya dan berkata. "Tee Wol kau kembalilah! Biar aku kesana sendirian".

"Tidak! Aku akan ikut Dhen Ayu ke sana. Tidak akan kubiarkan Dhen Ayu pergi ke sana sendirian". Sama halnya dengan Chin Chin, tanpa menunjukkan kesan apapun di wajah kecilnya, pelayan kecil Chin Chin membantah perintah sahabat sekaligus tuannya tersebut.

"Tapi, jika di sana nanti kau mendapat luka, kau jangan merengek! Aku tidak mau mengoleskan obat pada lukamu," Ancam Chin Chin sarkastik dan cenderung apatis.

Mendengar ancaman Chin Chin yang bagi anak anak adalah sesuatu yang mengerikan dan seharusnya menakutkan, kemudian pergi sejauh mungkin meninggalkan Chin Chin, tetapi tidak untuk Tee Wol kecil Chin Chin. Kedua sudut bibirnya seketika itu juga melengkung, sesungging senyum kebahagiaan terulas di wajah kecilnya yang begitu imut serta menggemaskan.

Tanpa sedikitpun ketakutan tergambar di wajah kecil keduanya, apalagi harus menunjukkan kekhawatiran pada apa yang akan terjadi nanti di aula utama, baik Chin Chin kecil maupun Tee Wol kecil, kedua sahabat kecil itu dengan tenang melangkah menyusuri koridor,melangkah tanpa sedikitpun keraguan mengikuti pelayan pria paruh baya yang mengantar mereka menuju aula utama.

Sementara itu, di aula utama kediaman bangsawan Taji. Di hadapan bangsawan Taji yang sedang duduk diatas kursi besar aula, Lin Tang sedang merintih kesakitan di samping sang Ibu, bangsawan Shin Duk, yang sedang bersilat lidah di depan sang suami dengan bibir merahnya yang bergincu, hingga membuat emosi bangsawan Taji tersulut serta dahi berkerut. Begitu melihat Chin Chin memasuki aula utama bersama pelayan kecilnya, sementara Lin Tang semakin mengeraskan suara rintihan kesakitannya, bangsawan Shin Duk seketika berhenti bersilat lidah, bergegas menghampiri Chin Chin dengan amarah, dan.

Plaak...! Tanpa sedikitpun rasa welas asih, apalagi harus peduli bahwa yang ditampar adalah anak anak, sebuah tamparan keras bangsawan Shin Duk mendarat di pipi kiri kecil Chin Chin, begitu kerasnya tamparan itu, jika Tee Wol kecil tidak dengan sigap memegang tubuh Chin Chin, Chin Chin pasti sudah tersungkur di atas lantai marmer aula yang begitu mengkilap, sampai sampai bayangan orang yang berdiri di atasnya pun bisa terlihat. Meskipun demikian, mendapat sebuah tamparan keras di pipi yang membuatnya hampir tersungkur, tidak ada tangisan, atau bahkan rintih kesakitan dari gadis sekecil itu, wajah kecilnya tetap dingin dan apatis memegang pipi kirinya yang memerah dengan sedikit darah segar meleleh di sudut bibir kirinya, hanya kelopak matanya saja yang terlihat bergetar serta mata berkaca kaca menahan sakit.

Sebagai seorang Adipati, sebagai seorang pemimpin, pengayom, serta pelindung rakyatnya, seorang pria berderajat tinggi yang dianggap berbudi tinggi, melihat putri kecilnya sendiri, darah dagingnya sendiri yang seharusnya sudah menjadi kewajibannya untuk melindunginya, ditampar dengan tanpa belas kasihan oleh orang lain di depan mukanya, tepat di depan matanya sendiri. Sebaliknya, tidak satupun sikap yang selalu ditempelkan pada beskap Adipatinya ditunjukkan di depan aula, bangsawan Taji hanya melihat hal itu dengan dingin, seolah gadis kecil itu bukan putri kecilnya, seolah gadis kecil itu bukan darah dagingnya, ia tak ubahnya sebuah arca batu yang duduk di atas singgasana Adipati, tidak tampak sedikitpun belas kasihan atau bahkan perasaan dalam dirinya.

"Lihat Tuan! Lagi lagi anak ini menyakiti putri kita, putri kesayangan Tuan. Setelah ibunya yang jahat itu berulang kali menuduhku yang bukan bukan, kini apa lagi?! Tidakkah Tuan tahu, betapa sama jahatnya anak ini dengan ibunya". Setelah menyambut kedatangan Chin Chin di aula dengan memberi tamparan keras di pipi kirinya, bangsawan Shin Duk lantas memutar tubuh menghadap bangsawan Taji, mengadu sambil menunjuk Chin Chin yang berdiri di belakangnya. "Setelah ini, aku tidak bisa lagi membayangkan apa yang akan dilakukan oleh ibu dan anak jahatnya ini kepada kita, Tuan. Kita berdua, selama ini sudah terlalu banyak dibuat menderita oleh mereka Tuan, kita berdua sudah tidak sanggup lagi, kita juga tidak tahu sampai kapan mereka akan terus menyiksa kita, dan menuduh saya dengan tuduhan tuduhan keji yang tidak pernah saya lakukan. Kalau bukan Tuan, lalu siapa lagi yang bisa melindungi kita?! Lakukan sesuatu, Tuan. Bila perlu, Tuan usir saja Ibu bersama anak jahatnya ini dari sini, agar mereka berhenti untuk terus menyakiti orang orang dalam kediaman ini. Setelah kita berdua, lalu siapa lagi yang akan mereka sakiti, Tuan?! Saya yakin Tuan sendiri tidak akan menginginkan hal itu, kalau tidak, berarti Tuan tega melihat kita semua terus menderita dan terus mendapat tuduhan tuduhan keji dari Ibu dan anak jahat ini. Atau Tuan usir saja kita berdua dari sini, apa gunanya kita tetap tinggal di sini, kami sudah tidak ada harganya lagi di tempat ini," Lanjutnya memelas, mata berkaca kaca, kepedihan tampak jelas dari wajah cantiknya yang penuh dengan polesan kemilau kemewahan.

Selesai mendengarkan semua keluh kesah berhias derai air mata yang merusak polesan kemilau kemewahan di pipi halus sang istri muda kesayangan, bangsawan Taji berpaling ke kanan, melihat pria paruh baya dengan surjan lurik coklat yang berdiri menyamping di sisi kiri depan singgasana Adipati, lalu berkata. "Bawa mereka ke sini!".

Lantas, tanpa lagi menunggu sang Adipati mengulang perintah, pria paruh baya dengan surjan lurik coklat tersebut meneruskan perintah bangsawan Taji, kepada pelayan pria yang tadi menjemput Chin Chin untuk datang ke aula. "Bawa Dhen Ayu Chin Chin ke mari!".

"Lagi lagi kau dan pelayanmu yg selalu membuat masalah," Kata bangsawan Taji, setelah Chin Chin bersama Tee Wol berdiri di depan singgasana Adipati, menggantikan Lin Tang yang bergeser dan berdiri menyamping di sisi kanan depan singgasana bersama ibunya. Wajah serta suaranya terdengar jengah, kilatan matanya menunjukkan ia sangat muak melihat putri kecilnya tersebut yang berdiri apatis di hadapannya. "Kenapa kau membuat Lin Tang jatuh hingga terluka!".

Hening, baik Chin Chin kecil maupun Tee Wol kecil keduanya hanya diam, sepatah jawaban pun tidak ada yang keluar dari mulut kecil keduanya.

"Kenapa kalian diam? Jawab pertanyaanku!".

"Apa gunanya aku menjawab? Sejak kapan kau butuh jawabanku? Bukankah apapun yang kukatakan, kau tetap akan memukulku?! Lalu apa gunanya aku menjawab?!" Sahut Chin Chin dingin dan apatis, mengabaikan semua kesopanan serta tata krama sebagai anak kepada orang tua, imbas dari semua perlakuan buruk dan tidak semestinya yang selama ini ia terima dari sang ayah.

Geram mendengar jawaban lancang Chin Chin, amarah yang sebelumnya telah menyala semakin membara di kepala, bangsawan Taji seketika kembali menoleh ke kanan, muka memerah, dan memberi perintah dengan marah. "Pukul mereka lalu kurung keduanya! Kurung juga siapapun yang berani membela dan membantu keduanya!".

"Tapi Tuan...?!". Ragu ragu, pria paruh baya dengan surjan lurik coklat itu hendak menyampaikan pendapat atas keputusan Tuannya tersebut, tetapi bangsawan Taji menyela dan memotong perkataannya dengan ancaman.

"Apa kau juga mau ikut dikurung bersama mereka!".

Di sisi lain, bangsawan Shin Duk yang mengetahui pria paruh baya ber surjan lurik coklat itu hendak menyampaikan pendapatnya untuk membela Chin Chin, tetapi tak berdaya untuk lanjut berkata, tanpa sepengetahuan bangsawan Taji yang menoleh serta membelakangi arah pandangnya, senyum licik penuh kemenangan tersungging dari bibir bangsawan Shin Duk.

Akhirnya, dengan sangat berat hati, pria paruh baya dengan surjan lurik coklat itu melangkah meninggalkan aula, lalu segera kembali memasuki aula bersama dua orang pelayan wanita yang masing masing memegang sebuah rotan panjang di tangan mereka.

"Angkat jarikmu!" Perintah bangsawan Shin Duk, mendahului sang suami, setelah kedua pelayan wanita itu bersimpuh di samping belakang Chin Chin kecil serta pelayan kecilnya, untuk segera melaksanakan perintah bangsawan Taji memukul Chin Chin kecil beserta pelayan kecilnya menggunakan rotan.

Namun, baik Chin Chin maupun Tee Wol tak bergeming, sedikitpun jemari kedua gadis kecil itu tidak bergerak untuk mengangkat jarik yang mereka kenakan, hingga membuat bangsawan Shin Duk geram dan membentak keduanya. "Angkat jarik mu!".

"Kau pikir kau siapa!? Kau pikir kau bisa seenaknya memerintahku!?". Sekali lagi, tanpa sedikitpun memperlihatkan rasa takut di wajah kecilnya, dengan dingin dan sarkastik, Chin Chin membantah perintah bangsawan Shin Duk.

"Kau...!". Kata kata gadis kecil itu seolah menjadi sandal jepit yg menampar pipi halus serta meludahi wajah cantiknya yang dipoles dengan paripurna, bangsawan Shin Duk seketika tak bisa berkata kata, lidahnya kaku, dahi berkerut, mata melotot, wajah memerah oleh malu dan amarah.

"Gadis lancang!". Tidak terima istri kesayangannya terhina di depan matanya, bangsawan Taji membentak Chin Chin kecil dengan amarah. "Kalian tunggu apa lagi? Pukul saja keduanya, lalu kurung mereka!".

Ceplak...! Ceplak...! Ceplak...! Tanpa lagi menunggu kedua gadis kecil itu mengangkat jariknya hingga lutut, kedua pelayan wanita itu memukul kedua betis Chin Chin kecil serta Tee Wol kecil dengan rotan, hingga kedua gadis kecil itu tak kuasa lagi menahan rasa sakit di betis mereka dan ambruk ke lantai, ketika dua wanita bangsawan lain menerobos masuk aula bersama beberapa pelayan wanita mengiring di belakang mereka, yang tak lain adalah sang Nyonya Besar Kediaman beserta ibunda Chin Chin, bangsawan Gie Wang, menghentikan pukulan rotan kedua pelayan wanita tersebut di betis Chin Chin serta pelayan kecilnya pada pukulan ke tujuh. Sementara sang Nyonya Besar memaki habis habisan bangsawan Taji, bangsawan Gie Wang bersama para pelayan mengangkat kedua gadis kecil tersebut dari atas lantai, dan tanpa lagi memperdulikan siapa yang ada dalam aula, tanpa menunggu perintah, apalagi harus repot repot meminta izin kepada bangsawan Taji, mereka bergegas membawa kedua gadis kecil malang itu keluar meninggalkan aula.

Melihat Chin Chin terpaku dalam pikirannya, Tee Wol lantas menegurnya. "Dhen Ayu!". Suara Tee Wol tiba tiba menggema di telinga Chin Chin, seketika menarik Chin Chin kembali ke dunia nyata, kembali ke tengah ruangan depan pondok di tengah hutan bambu. "Apa yang kau pikirkan?" Tanya Tee Wol kemudian.

"Oh, tidak apa apa," Jawab Chin Chin, kemudian menghela nafas.

"Dhen Ayu, ngomong ngomong, apa menurut Dhen Ayu, Nona Cempaka akan sanggup menyembuhkan Tuan Taji?".

"Entahlah?!" Balas Chin Chin, kembali menghela nafas, dadanya tiba tiba terasa sesak. "Jika mengingat apa yang selama ini dilakukan Romo kepadaku, Ibu, kepadamu dan juga yang lain. Aku ingin dia tetap seperti itu dan tidak pernah sembuh. Di sisi lain, melihat Romo yang begitu menderita, aku benar benar tidak sanggup untuk tidak menangis. Bagaimanapun juga, dia adalah orang tuaku. Meskipun aku tidak lagi berada di tempat ini, jauh pergi meninggalkan tempat ini, atau bahkan sampai mati aku tidak akan pernah bertemu lagi, aku tidak akan pernah bisa memutus ikatan darah dengannya".

Wajah Tee Wol Mendadak muram, tatapannya luruh menatap lantai batu di bawahnya, kesedihan serta kekhawatiran mengambang di wajahnya. Melihat wajah pelayan sekaligus sahabatnya tersebut ditekuk tidak seperti biasanya, Chin Chin memandangnya heran sembari bertanya. "Kenapa wajahmu?".

"Apa Dhen Ayu akan meninggalkan aku?".

Merasakan kesedihan serta kekhawatiran sangat terasa dari jawaban sahabatnya, membuat Chin Chin bertanya tanya, ia sama sekali tak mengerti sekaligus tidak bisa memahami apa maksudnya. Dan melihat Chin Chin hanya diam serta tidak menjawab pertanyaannya, membuat wajah Tee Wol semakin muram dan menunduk sedih, lantas bergumam. "Jadi benar".

Mendadak, Chin Chin tersenyum jahat, lalu melangkah menuju pintu sembari dengan judes berkata. "Kalau ia, terus kenapa?!".

"Dhen Ayu...". Tee Wol merengek, menggoyang goyangkan bahu sambil menghentakkan kaki kanan ke atas lantai ala gadis perawan, Kesal. Dan Chin Chin terkekeh sembari membuka pintu pondok di samping kanan Tee Wol.

"Mau kemana? Itu jariknya belum diturunkan," Tanya Tee Wol, menunjuk dengan dagu sebagian besar paha Chin Chin yang terbuka.

"Lihat Ibu, makanannya tadi sudah dimakan apa belum?!".

"Tapi itu jariknya diturunkan dulu!" Seru Tee Wol menyusul dan menghentikan Chin Chin. "Nanti ada yang melihat".

"Gak apa apa, disini tidak ada orang".

Bersamaan dengan itu, di samping kanan pondok, mendapati Chin Chin secara tiba tiba keluar pondok. Kuro yang sejak dari awal mengintip serta mendengar semua yang terjadi dalam ruangan melalui lubang kecil pada dinding kayu sebelah kanan pondok, menjadi kelabakan, seketika melesat cepat ke belakang, dan menyembunyikan dirinya di belakang pondok.