Keempat orang tidak dikenal itu berlarian menuju tikungan jalan menyusul San bersama Kuro yang tiba tiba bergerak cepat dan menghilang dari pandangan di balik pepohonan. Akan tetapi, setelah beberapa jauh berlari memasuki tikungan, keempat orang tidak dikenal itu berhenti, melihat dan memeriksa ke sana ke mari dalam kebingungan. Sejauh mata mereka memandang, di atas jalan sepi yang tampak membelah rerimbunan pepohonan, tidak seorangpun tampak terlihat melewati jalanan itu, Kuro bersama San seolah raib dan hilang ditelan pepohonan, yang tampak hanyalah rerimbunan semak serta pepohonan yg tumbuh subur sepanjang kanan kiri jalan. "Berpencar, periksa sekitar! Mereka berdua pasti belum jauh dan masih berada di sekitar sini," Perintah salah satu dari mereka yang tampaknya adalah pimpinan gerombolan.
Namun, belum lagi keempat orang tidak dikenal itu berpencar. Tiba tiba! Sesosok bayangan berkelebat cepat menghantam keempatnya. Seketika itu juga, satu per satu keempat orang tidak dikenal itu berjatuhan serta bergelimpangan di tengah jalan.
Selang waktu berlalu, di balik rerimbunan semak belukar tidak jauh dari tempat itu. Melihat Kuro keluar dari balik pepohonan dan menuju ke arah persembunyiannya, San yang bersembunyi dibalik semak belukar berdiri dan menunjukan diri."Bagaimana?".
"Aku sudah urus mereka," Jawab Kuro. Tanpa buang buang waktu, keduanya lantas keluar dari semak semak tempat persembunyian San menuju jalan yang tadinya mereka lewati, dan kembali melanjutkan perjalanan.
Bersamaan dengan itu, di kediaman bangsawan Taji. Bangsawan Shin Duk tengah duduk dengan tidak tenang di kursi sebuah meja dalam ruang paviliun utama kaputren, wajahnya tampak sekali gelisah. Kedua kepala pelayan kediaman yang juga tampak gelisah, berdiri menemani bangsawan Shin Duk di seberang meja tempat duduknya. Di saat yang sama, pintu ruangan terbuka, menyusul kemudian, seorang pelayan wanita kediaman muncul di ambang pintu dan memasuki ruangan.
"Kenapa kamu datang sendirian?!" Tanya kepala pelayan wanita kediaman, heran. "Mana Dhen Ayu Lin Tang?".
"Maaf Nyonya". Pelayan wanita yang baru saja memasuki ruangan meminta maaf kepada bangsawan Shin Duk, lalu terdiam, wajahnya terlihat sedikit ketakutan. Lantas dengan ragu melanjutkan. "Dhen Ayu Lin Tang, sepertinya tidak ingin menemui Nyonya hari ini?!".
Bangsawan Shin Duk seketika menatap tajam pelayan wanita yang berdiri bersama kedua kepala pelayan di seberang meja di hadapannya, matanya melotot, wajah cantiknya yang tampak sekali gelisah bercampur aduk dengan amarah, membuat pelayan wanita yang melihat hal itu saat itu juga menunduk. "Apa katanya?".
Sembari menunduk, pelayan wanita itu dengan takut menjawab. "Maaf Nyonya, Dhen Ayu Lin Tang tidak berkata apa apa. Dhen Ayu Lin Tang hanya memerintahkan salah satu pelayan di sana untuk menyuruhku kembali. Itu saja Nyonya".
Sesaat setelah pelayan wanita yang baru saja kembali dari paviliun Lin Tang meninggalkan ruangan, bangsawan Shin Duk tetap terdiam, kilatan emosi tertahan tampak jelas dari sorot matanya, wajahnya yang tampak sekali gelisah semakin terlihat gelap. "Apa yang dilakukan gadis itu saat ini?" Tanyanya kemudian, kepada kedua kepala pelayan kediaman yang juga berdiri dalam diam di hadapannya.
"Maksud Nyonya... Nona Cempaka?". Kepala pelayan wanita ragu bertanya. Akan tetapi, bangsawan Shin Duk tak menjawab, ia hanya menatap wanita kepercayaannya tersebut dengan sangat jengah. "Maaf Nyonya, Nona Cempaka saat ini sedang melanjutkan pengobatan Tuan Taji". Kepala pelayan wanita ragu ragu menjelaskan.
"Maaf Nyonya". Kepala pelayan pria tiba tiba membuka suara dan menyela. "Mengenai kekacauan yang ditimbulkan oleh Nona Cempaka dan Kuro di belakang kediaman. Kalau boleh saya memberi saran, kita bisa menjadikan hal itu sebagai alasan untuk mengusir Nona Cempaka dari sini. Kebetulan, anak yang bernama Kuro itu adalah bagian rombongan Gusti Ayu Sima, sekalian kita juga gunakan hal itu agar Gusti Ayu Sima bisa segera angkat kaki dari sini".
"Apa maksudmu?!" Tanya bangsawan Shin Duk, ragu sekaligus bertanya tanya. Disisi lain, ia juga memperlihatkan ketertarikan serta meminta kepala pelayan pria itu menjelaskan lebih lanjut rencananya.
Di saat yang hampir bersamaan, di dalam ruang paviliun dimana bangsawan Taji yang masih belum sadarkan diri ditempatkan untuk mendapatkan perawatan dari Cempaka, Cempaka tengah menggunakan Dujutsu bola cahaya hijau penyembuhnya, pada dada bangsawan Taji yang terbaring di atas pembaringan dan secara bertahap mulai memulihkan kondisinya. Sembari mengkonsentrasikan Dujutsu bola cahaya penyembuhnya pada dada bangsawan Taji, melihat wajah seorang pelayan wanita yang kebetulan berada dalam ruangan yang sangat terlihat lesu, tidak bisa membuat Cempaka hanya diam dan tidak menggerakkan kedua bibirnya untuk bertanya. "Nyai kenapa? Apa Nyai tidak sehat?".
"Saya... Saya baik baik saja Nona," Jawab pelayan wanita paruh baya itu kikuk, setelah untuk beberapa saat, Cempaka terus memperhatikan dirinya dengan seksama.
Cempaka tiba tiba menghentikan Dujutsu bola cahaya penyembuhnya di dada bangsawwan Taji, lantas melangkah mendekati pelayan wanita tersebut dan mengajak pelayan itu menuju sebuah meja dalam ruangan. "Nyai duduklah!". Tanpa lagi bertanya apalagi membantah, pelayan wanita itu menuruti permintaan Cempaka dan duduk di salah Satu kursi, dari empat kursi yang mengelilingi meja bundar di sisi kanan ruangan.
Cempaka kemudian melangkah ke belakang kursi dimana pelayan wanita tersebut duduk di atasnya, dan menggunakan Dujutsu bola cahaya penyembuhnya di punggung pelayan wanita tersebut. "Nyai tenang saja! Aku akan memulihkan kondisi Nyai," Ucapnya, melihat pelayan wanita tersebut sedikit tersentak, sesaat bersamaan dengan ia mengalirkan energi pemulihnya kedalam tubuh pelayan wanita paruh baya tersebut.
"Maaf Nona". Sembari berusaha setenang mungkin merasakan sesuatu yang untuk pertama kalinya mengalir masuk ke dalam tubuhnya, pelayan wanita paruh baya itu menjawab dengan penuh sesal, dan seiring energi pemulih dari bola cahaya hijau penyembuh Cempaka yang mengalir ke dalam tubuhnya. Perlahan, wajah pelayan wanita paruh baya yang tadinya lesu menjadi kembali segar dan berseri seri.
"Nyai, dari tadi malam, Nyai sama sekali belum istirahat?" Tanya Cempaka heran. "Sejak aku masuk ruangan ini, aku tidak melihat pelayan lain yang datang ke sini, Apa Nyai sendirian yang ditugaskan di sini".
"Kami berdua, Nona. Sejak Tuan di pindah ke sini, saya tidak bisa tidur Nona, saya juga tidak tahu harus tidur di mana?".
"Maksud Nyai?!" Tanya Cempaka, mata coklatnya mengernyit penuh tanda tanya.
Menyadari ada yang salah dengan perkataannya, tetapi apa mau dikata, perkataan itu tanpa sadar telah meluncur dari mulutnya begitu saja, pelayan wanita paruh baya itu segera mengulang perkataannya, untuk menepis kecurigaan Cempaka yang mungkin saja dapat mengancam keselamatan dirinya. "Eh... Maksud saya, tempat istirahat saya ada di samping belakang paviliun utama, Nona. Ketika Tuan masih di paviliun utama, saya bisa istirahat di paviliun tempat istirahat kita. Setelah Tuan dipindah ke sini, Nona tahu sendiri, di sini tidak ada ruang lagi untuk kita istirahat. Saya kira, akan terlalu jauh jika kita sama sama pergi ke depan untuk istirahat, jadi kita putuskan untuk bergantian istirahat Nona". Pelayan wanita paruh baya itu berkata dengan sedikit gugup.
"Oh... Jadi begitu," Balas Cempaka, datar. Tetapi sebaliknya, ia mendengarkan penjelasan pelayan wanita paruh baya itu dengan dahi mengernyit, memperhatikan dengan seksama semua perkataan pelayan tersebut yang terkesan gugup, seolah ada sesuatu yang tersembunyi di balik semua perkataannya.
Cempaka menghentikan Dujutsu bola cahaya hijau penyembuhnya, lantas melangkah ke sisi pelayan paruh baya yang masih duduk dengan wajah yang telah kembali segar dan berseri seri. "Nyai makan ini! Pil itu akan menjaga kondisi Nyai selama tiga hari," Ucapnya, mengulurkan sebuah pil yang diambilnya dari kantong kain yang menggantung di pinggangnya.
Dengan senang hati, pelayan wanita itu menerima pil dari Cempaka serta dengan tulus berkata. "Terimakasih Nona". Dan sembari memakan pil pemberian Cempaka, ia terkesan seolah hendak mengatakan sesuatu kepada Cempaka, tetapi ia sangat terlihat ragu untuk berkata.
"Nyai kenapa?! Apa ada yang ingin Nyai tanyakan," Tanya Cempaka. Akan tetapi, pelayan wanita paruh baya itu tetap terlihat ragu untuk berkata, seolah ada sesuatu yang menahan mulutnya untuk terbuka. Dan melihat pelayan wanita paruh baya yang duduk di hadapannya tersebut menjadi bingung dan salah tingkah, Cempaka lantas lanjut berkata. "Jika ada yang ingin Nyai tanyakan kepadaku, Nyai tanyakan saja! Nyai jangan ragu!".
Setelah mendengar perkataan Cempaka yang terkesan memintanya untuk memberanikan diri bertanya, dengan ragu ragu, di tambah wajahnya yang tiba tiba mendadak cemas, barulah, pelayan wanita itu menguatkan diri serta mempertaruhkan semuanya untuk bertanya. "Nona, apa Tuan bisa sembuh dan sehat kembali?".
Cempaka tidak lantas menjawab. Sejenak, ia menatap dalam dalam pelayan wanita paruh baya di hadapannya, wajahnya tampak sekali menunjukkan kecemasan serta ketakutan pada pertanyaan yang baru saja disampaikan kepada dirinya. Namun, Cempaka bisa melihat pelayan itu bertanya dengan tulus serta penuh harapan, yang membuat Cempaka tidak ragu untuk kembali bertanya. "Di saat yang lain menginginkan Tuan Taji mati, kenapa Nyai berharap Tuan Taji sembuh?".
Pelayan wanita paruh baya itu tersentak. "Ba... Bagaimana Nona bisa tahu?!" Jawabnya tergagap.
"Adaà apa?". Tiba tiba! Lin sudah melangkah memasuki ruangan dan mengagetkan keduanya, baik Cempaka maupun pelayan wanita paruh baya seketika menoleh, dengan keterkejutan tampak pada wajah keduanya.
Merasa lega karena yang tiba tiba memasuki ruangan adalah Lin, Cempaka menghela nafas panjang dan berkata. "Kak, bisakah kau berjaga di luar ruangan!" Pinta Cempaka, setelah Lin tiba dan berdiri di sampingnya.
Sejenak, lin menatap Cempaka, bertanya tanya, dan Cempaka membalasnya dengan mengangguk meyakinkan, lalu berpaling kepada pelayan wanita paruh baya yang duduk dengan cemas dan berusaha keras mengendalikan keterkejutan dirinya. "Baiklah," Ucapnya kemudian, lantas beranjak menuju ke luar ruangan.
Sementara Lin duduk di salah satu deretan kursi yang ada di depan pintu ruangan untuk berjaga jaga, seperti yang diminta Cempaka kepada dirinya. Di sisi lain kediaman, pelayan wanita kepercayaan Lin Tang terlihat terburu buru memasuki komplek kaputren
"Benarkah?!" Tanya Lin Tang, tak percaya pada apa yang didengarnya. Sesaat setelah pelayan kepercayaannya tersebut memasuki ruang peristirahatan dalam paviliun pribadinya dan menyampaikan sebuah berita penting kepadanya.
"Maaf Dhen Ayu, kita kehilangan jejak mereka". Pelayan Lin Tang melanjutkan perkataannya dengan penuh penyesalan dan rasa bersalah. "Kalau kita memaksa terus mengikuti mereka, aku khawatir orang orang itu akan mengetahui keberadaan kita. Maaf Dhen Ayu".
"Apa menurutmu, mereka adalah orang orang suruhan Ibu?".
"Aku tidak yakin, Dhen Ayu?!".
Sejenak, Lin Tang hanya diam dan tampak berpikir. Lantas kemudian berkata. "Jadi maksudmu...?!". Lin Tang coba menerka maksud pelayan kepercayaannya. Dan pelayan kepercayaan Lin Tang tersebut mengangguk, mengiyakan Tuannya.
Sementara itu, di saat yang hampir bersamaan, di balik lebatnya rerimbunan rumpun bambu, Kuro bersama San sedang mengawasi dua pondok kayu yang berdiri di tengah hutan bambu belakang kediaman bangsawan Taji. Dan setelah memastikan tidak ada seorangpun berada di sekitar pondok, serta keadaan di dalam kedua pondok juga dirasa aman, keduanya menyelinap masuk ke dalam pondok yang berdiri di sisi kanan pondok lainnya.
Di dalam ruangan dalam pondok yang memiliki pintu rahasia menuju ruang bawah tanah. Sementara Kuro melangkah menuju sisi kiri kepala ranjang batu untuk membuka pintu rahasia, San berdiri di tengah ruangan, mengamati dengan seksama seluruh ruangan yang di matanya tampak bersih dan terawat. Dan setelah dinding kayu di depan Kuro bergeser dan terbuka, keduanya bergegas masuk dan menuruni anak tangga menuju ruang bawah tanah.
Untuk berjaga jaga, agar wanita itu tidak berteriak teriak histeris ketika melihatnya tiba tiba masuk ke dalam ruangan, Kuro perlahan lahan membuka pintu, dan melongok kedalam ruang bawah tanah tempat wanita paruh baya yang kemarin ditemukannya terkurung dan terikat rantai besi di dalamnya. "Ehm...?!" Gumamnya heran, mata birunya menyipit, dahinya mengernyit bertanya tanya, mendapati wanita paruh baya tersebut tetap tenang di tempatnya, tidak berteriak teriak seperti sebelumnya, ketika wanita paruh baya itu melihatnya memasuki ruangan.
"Ada apa?!" Tanya San penasaran.
"Kenapa dia tidak berteriak teriak seperti kemarin?!" Jawab Kuro bingung, membuka pintu ruang bawah tanah lebar lebar, agar San bisa melihat wanita itu sendiri secara langsung. "Apa dia yang kau maksud Nyonya Gie Wang sahabat Ibu?".
San tak menjawab, matanya berkaca kaca, ia nyaris tidak mempercayai pandangan matanya sendiri, melihat seorang wanita yang dikenalnya sebagai seorang wanita bangsawan yang sering berkunjung ke kediaman sang junjungan, terkurung di ruang bawah tanah dengan keadaan yang begitu memprihatinkan, rantai besi tertancap pada dinding terikat di salah satu kakinya. "Apa yang terjadi pada Nyonya?" Ucapnya sembari melangkah mendekati wanita tersebut, kepedihan tampak sekali di matanya. Akan tetapi, wanita paruh baya tersebut hanya menatapnya dengan tatapan kosong dan hampa.