Pagi menjelang, semburat cahaya jingga perlahan mengisi kelamnya malam di langit timur, diiringi kokok ayam jantan saling bersahutan dari kejauhan, suara tumbukan lesung satu per satu mulai terdengar dari seluruh penjuru Kota Kawi, membangunkan jiwa jiwa yang terlelap dalam rengkuhan hangat sang Dewi Mimpi, saatnya untuk bangkit menggapai harapan yang menggantung di langit dalam terangnya hari.
Bersamaan dengan sang burung emas yang terlihat mulai terbang meninggi, melepaskan diri dari jeratan daun serta ranting pepohonan yang membuatnya selalu terlihat seolah mengintip dunia bagi tiap tiap pasang mata yang melihat ke arahnya di pagi hari, burung burung pipit saling berlompatan dan bernyanyi riang di halaman paviliun tamu komplek kediaman bangsawan Taji. Di dalam ruang tengah paviliun, Nyai Bulan bersama Ping sedang menyajikan teh untuk bangsawan Sima di sebuah meja dalam ruangan. Tak lama berselang, San masuk ruangan sembari memasang wajah sok imutnya yang tampak berseri seri, tetapi menggelikan. "Kau kenapa?!" Tanya Nyai Bulan, geli bercampur heran.
"Paling ada maunya!" Tebak Ping ketus, menimpali, melihat San yang senyum senyum sembari memasang wajah sok imut di depan bangsawan Sima.
"Gusti Ayu," Ucap San, tanpa memperdulikan celoteh Ping ataupun keheranan atasannya, ia lantas mengutarakan maksud hatinya kepada bangsawan Sima. "Dhen Kuro memintaku untuk menemaninya pergi melihat lihat pasar Kota?".
"Dhen Kuro?!" Sahut Nyai Bulan, wajahnya yang sebelumnya terlihat heran bertambah penasaran.
"Apa gak kebalik tuh?!". Ping dengan ketus kembali menimpali, dan seketika itu juga Ping melonjak, karena San tiba tiba menginjak kaki kanannya. "Aau...!" Jerit Ping kaget, sekaligus merasakan rasa ngilu di kakinya.
Sejenak, bangsawan Sima menyesap tehnya sebelum lantas bertanya. "Memangnya ada apa di pasar?".
"Dhen Kuro katanya ingin melihat orang gila". Mendengar jawaban konyol keluar dari mulut San, tentu saja Nyai Bulan Serta Ping menjadi terkikik. Sebaliknya, bangsawan Sima yang tidak melihat adanya tanda tanda sebuah candaan di wajah sok imut San yang menggelikan, bangsawan Sima terlihat berpikir sejenak.
"Boleh ya... Boleh ya... Boleh ya...". Tetap dengan memasang wajah sok imutnya yang menggelikan, San merengek untuk merayu bangsawan Sima, lalu berkedip kedip genit, layaknya anak kucing yang menggemaskan sedang kelilipan.
Melihat tingkah konyol gadis centil kesayangannya yang sedang berusaha merayu, dengan cara yang tidak biasa dilakukan oleh seorang Dayang Istana, bangsawan Sima tersenyum lantas mengangguk. "Ehm... Tapi ingat, kalian harus hati hati! Jangan sampai membuat masalah yang bisa menarik perhatian banyak orang!".
"Yahuu...!". Mendapat ijin dari sang junjungan, San melonjak kegirangan, dan tanpa lagi membungkuk untuk memberi hormat kepada sang junjungan, dengan sangat bersemangat bergegas melangkah keluar meninggalkan ruangan.
Sementara itu, bangsawan Sima yang melihat tingkah gadis centil kesayangannya tersebut, hanya menanggapinya dengan menyunggingkan senyum lembutnya sembari menggelengkan kepala. Di saat bersamaan, Nyai Bulan beserta Ping yang baru menyadari adanya sebuah komunikasi rahasia, antara sang junjungan dengan gadis centil kesayangannya, saling berpandangan satu sama lain, penasaran. Lantas, secara bersamaan memandang bangsawan Sima dengan penuh tanya. "Kalian kenapa?!" Tanya bangsawan Sima heran.
"Gusti Ayu tidak ingin memberitahu kita?". Nyai Bulan balik bertanya.
"Apa maksudmu?!". Sembari mengangkat kembali cangkir tehnya untuk menyesap isinya, bangsawan Sima mengembalikan pertanyaan Nyai Bulan.
"Ih..." Gerutu Ping, jengkel. "Nyonya, sekarang tampaknya kita berdua sudah tidak lagi dianggap apa apa," keluhnya kepada Nyai Bulan.
"Kauh benar," Balas Nyai Bulan, wajah serta suaranya terdengar memelas.
Bangsawan Sima tersenyum geli, melihat kedua wanita kepercayaannya tersebut mengeluh seperti anak anak yang tidak kebagian jajanan pasar. Dan sembari menaruh kembali cangkir tehnya, dengan lembut ia berkata. "Itu cuma perasaan kalian saja".
Selang waktu berlalu, di gapura timur kediaman, Kuro bersama San terlihat keluar meninggalkan kediaman bangsawan Taji. "Hei... Cik. Kau yakin jalan ini menuju ke pasar?". Setelah cukup lama berjalan dan telah cukup jauh meninggalkan kediaman bangsawan Taji, melangkah di sisi kiri San, menyusuri jalan kecil dalam perkampungan penduduk yang cukup ramai, Kuro berjalan dengan meletakkan kedua telapak tangan di belakang kepala, sambil sesekali bercanda dan bertanya ini itu, serta apa saja yang dilihatnya dan ia tidak tahu, semua akan ditanyakan kepada San, seperti seorang anak anak yang sedang jalan jalan bersama ibunya, dan menanyakan apa saja yang terlihat oleh matanya kepada sang ibu, hingga San merasa jengkel karena kewalahan menjawab pertanyaannya.
"Adhen tenang saja!" Jawab San. Lantas, sembari terkikik, ia pun berfalsafah. "Malu bertanya, sesat di jalan".
"Kalau tersesat?!" Potong Kuro.
"Ya kita jalan jalan saja," Lanjut San, dan keduanya terkekeh.
Tiba di pertigaan jalan yang cukup lengang, sembari berhenti sejenak, San memperhatikan persimpangan jalan yang mengarah ke arah kiri, lalu memutar tubuh dan berbalik arah. Dengan sedikit mendongak, San jauh memperhatikan ke arah jalan dari kediaman bangsawan Taji yang membawa mereka ke tempat itu, jauh memperhatikan rerimbunan hutan bambu di belakang komplek kediaman bangsawan Taji, sebelum akhirnya ia mengajak Kuro meneruskan perjalanan mereka melewati persimpangan jalan yang mengarah ke arah kanan. "Ayo Dhen!".
"Kau yakin?".
"Ehm...". Dan San mengangguk.
Keduanya terus berjalan, mengayunkan langkah mereka bersama para penduduk kota yang hilir mudik melewati jalanan kota dengan memanggul urusan serta kepentingan di pundak masing masing. Tidak terlalu banyak memakan waktu lama, jalanan kota yang mereka lewati membawa keduanya tiba di pasar besar Kota Kawi.
"Ah...?!". Tiba tiba! Kuro tampak sedikit tersentak.
sembari berjalan diantara kios kios para pedagang pasar yang menjajakan dagangan masing masing, melihat Kuro yang sedikit tersentak dan terlihat sedang memperhatikan sesuatu, tetapi ia ragu apa yang sedang Kuro perhatikan, karena di matanya Kuro hanya melihat ke depan sambil sesekali melihat aneka barang yang dipajang pada kios kios para pedagang pasar. "Ada apa?" Tanya San penasaran.
"Aku tidak tahu?! Kenapa mereka terus mengikuti kita?!". Kuro dengan lirih ragu menjawab, ia tidak bisa memastikan, ia benar benar buta pada situasinya saat ini.
Sejak pertemuan pertama kalinya dengan Kuro di tengah hutan beberapa hari lalu, ketika Kuro menyelamatkan rombongan sang junjungan dari perampok, selain tugas pribadinya dari sang junjungan, bangsawan Sima, untuk mengasuh Kuro, San yang selalu menghabiskan waktu selama perjalanan dengan Kuro, termasuk kekacauan yang mereka berdua perbuat di desa Mundu tanpa sepengetahuan bangsawan Sima, ia sangat paham betul keterbatasan pengetahuan Kuro dalam dunia barunya ini. Dan setelah kekacauan yang terjadi di desa Mundu, San sedikit banyak telah mengetahui kemampuan yang dimiliki Kuro, serta memahami ia dan Kuro berada dalam situasi apa saat ini, tanpa lagi bertanya dan tanpa ragu ia memperingatkan Kuro. "Adhen jangan melihat ke belakang! Kita harus pura pura tidak mengetahui kalau kita sedang diikuti!" Ucapnya lirih.
"Ehm... Aku mengerti," Balas Kuro.
Ketika keduanya melintas di depan kios yang menjual pernak pernik perhiasan wanita, tanpa aba aba, San menyeret Kuro menuju kios tersebut. "Mari mari Nona... Silahkan Nona... Mau cari apa?" Sapa seorang wanita pemilik kios, ramah menyambut kedatangan San bersama Kuro yang datang mendekati aneka pernak pernik perhiasan yang tertata rapi di atas meja kios.
San tersenyum membalas sambutan rama pemilik kios, lalu berhenti di depan meja di mana berbagai jenis tusuk konde kecil berliontin aneka warna serta model tertata rapi di atasnya. Sementara tangannya memilah dan memilih tusuk konde berliontin yang mungkin cocok dengan dirinya, mata capungnya menyapu segalah arah, terutama arah yang sebelumnya ia lewati bersama Kuro, sambil bergumam lirih kepada Kuro. "Adhen masih merasakannya?".
Kuro sendiri yang telah mengetahui keahlian yang dimiliki San, sembari matanya berbinar binar mesum, mengamati gadis gadis cantik yang berkerumun di sebuah kios kain di samping kios di mana mereka berada, dengan lirih dan tampak sekali acuh ia menjawab. "Kau lihat empat pria yang baru saja duduk di meja kedai mie, yang ada di luar kedai? Salah satu dari mereka, yang memakai pakaian coklat muda masih memegang pedangnya".
"Ehm..." Jawab San, setelah mata capungnya menangkap ciri ciri empat sosok pria yang duduk di meja kedai mie seperti yang dikatakan Kuro. "Apa Adhen pernah merasakan energinya di kediaman Tuan Taji?".
"Aku tidak yakin?! Aku tidak menggunakan Ouraku selama tinggal di sana, kecuali kemarin sore, itupun untuk menahan pukulan Cempaka".
San sedikit tersentak, seketika berpaling kepada Kuro, heran, bertanya tanya. "Jadi, Adhen sekarang sudah tahu nama energi yang Adhen miliki?". San lantas tersenyum bahagia.
"Nona dari kediaman itu yang memberitahuku".
"Maksud Adhen?!" Tanya San bingung.
"Sebelum aku melihat Nona itu di hutan bambu, aku telah lebih dulu bertemu dengannya di hutan. Kau ingat, sebelum kita memasuki kota ini, kita berhenti di tepi hutan? Setelah Cik San membawa kembali apel apel itu untuk Ibu, saat itu aku bertemu dengannya".
San terdiam, dan sembari memilih tusuk konde yang cocok untuk dirinya, ia mengingat ingat apa yang dilakukannya bersama Kuro di hutan sebelah timur Kota Kawi. Untuk Sejenak, ia hanya diam dan berpikir, sebelum akhirnya kemudian ia kembali bergumam. "Aku telah mengingat ciri keempat orang itu. Agar mereka tidak curiga, kita berdua harus tetap terlihat tidak tahu kalau mereka mengikuti kita!". Dan Kuro mengangguk. Lantas, ia mengambil sepasang tusuk konde berliontin kristal krim menjuntai dan menggantung cantik di kedua ujungnya, yang bergoyang goyang indah ketika San memasang salah satunya di rambut hitam panjangnya yang di sanggul kepang di kedua sisi, dan menunjukkan kepada Kuro. "Bagus tidak Dhen?" Tanyanya, setelah untuk beberapa saat berbicara dengan bergumam dan nyaris berbisik.
Kuro mengernyitkan dahi, bertanya tanya, telunjuk kanan nya ditempel tempelkan di pipi kanan, wajah serta matanya terlihat seolah berpikir serius. "Tidak tahu?!" Jawabnya kemudian, bingung, lalu menyeringai konyol.
"Ih..." Gerutu San ala gadis perawan, jengkel. Dan Kuro terkekeh. Sedangkan, wanita pemilik kios yang menyaksikan hal itu dari jarak yang tidak terlalu jauh, ikut tertawa geli.
"Cik Ping bilang, katanya tidak boleh pakai perhiasan?!".
"Itu kalau di istana Dhen, kalau dipakai di luar istana masih bisa, asalkan tidak ketahuan Dayang Inspektor," Jawab San Lirih, lalu berpaling ke arah pemilik kios dan berkata. "Nyonya! Aku ambil ini," Ucapnya, menunjukkan sepasang tusuk konde berliontin yang dipegangnya kepada pemilik kios.
Usai membayar tusuk konde yang dibelinya, San mengajak Kuro berkeliling pasar, dan dengan tetap memperlihatkan seolah tidak ada yang mengikuti mereka, mereka terus melangkah menyusuri lorong demi lorong pasar bersama para pengunjung pasar lainnya.
Tiba tiba! Kuro berhenti melangkah, mata birunya berbinar binar bahagia. "Waah...!" Serunya, mulut sedikit menganga, ketika ia bersama San melintas di depan kedai bertuliskan Soto Ayam Lamongan. Namun, ketika ia hendak melangkah memasuki kedai, San dengan cepat menyeretnya pergi. Sehingga, Kuro yang mendadak tubuhnya ditarik San dengan keras, melompat lompat dengan sebelah kaki, tangan kiri berputar putar mengimbangi tubuhnya yang condong ke samping karena diseret San, sambil berteriak teriak kaget. "Ya ya ya ya...!".
"Nanti saja makannya! Kita tidak punya banyak waktu. Jika Adhen makan di situ, pasti tidak hanya akan cukup menghabiskan sepuluh mangkuk," Omel San, mendadak emosi, sambil terus menyeret Kuro keluar meninggalkan pasar.
"Huh... Kau benar benar kejam," Keluh Kuro, lemas. Sementara itu, keempat pria tak dikenal yang membuntuti mereka, tanpa henti terus mengawasi dan mengikuti dari kejauhan kemanapun keduanya pergi.
"Hei Cik! Menurutmu, kenapa orang orang itu mengikuti kita?". Setelah cukup lama berjalan dan telah jauh meninggalkan pasar kota, San bersama Kuro berada di sebuah perkampungan yang tampak sangat sepi. Meskipun telah jauh pergi meninggalkan pasar, dan kini berada di pinggiran kota yang sepi, akan tetapi, Kuro tetap merasakan keempat orang itu terus mengikuti kemanapun mereka pergi.
"Jika mereka terus mengikuti kita, aku bisa menyimpulkan dua kemungkinan. Mereka adalah kelompok berandal, atau mereka memang sengaja diperintahkan untuk mengawasi dan mengikuti kita. Jika mereka berandal yang ingin merampok kita?! Bukankah itu aneh?! Apakah kita berdua tampak seperti seorang bangsawan yang membawa banyak harta?! Jika tidak, bisa dipastikan, orang orang kediaman Tuan Taji menyembunyikan sesuatu yang tidak baik terhadap Gusti Ayu. Dan jika itu benar, untuk alasan apa orang orang itu melakukannya, aku tidak yakin dan belum bisa memastikan".
"Apa ini ada hubungannya dengan Tuan Taji dan Nyonya Gie Wang?" Tanya Kuro, ragu.
"Itulah yang harus kita cari tahu, dan untuk melakukannya, pertama, kita harus lebih dulu menyingkirkan mereka," Tandas San. "Apa Adhen siap!". Dan Kuro menyeringai.
Tiba tiba! San bersama Kuro bergerak cepat, kemudian berbelok ke kanan di persimpangan jalan, dan menghilang dari pandangan di balik rerimbunan pepohonan.
Bersamaan dengan itu, di belakang mereka, keempat pria tak dikenal yang dengan sembunyi sembunyi tanpa henti terus mengikuti keduanya dari kejauhan, berhamburan berlarian di jalanan mengejar Kuro bersama San yang tiba tiba telah lenyap dari pandangan mereka.