Chereads / KURO / Chapter 10 - Misteri Kain Penutup Gerobak Kayu

Chapter 10 - Misteri Kain Penutup Gerobak Kayu

Malam kian beranjak larut, kentongan malam ke dua sayup terdengar telah dipukul dari kejauhan, seluruh penjuru komplek kediaman bangsawan Taji tampak begitu sunyi, yang terlihat hanya beberapa penjaga kediaman yang sedang menjaga gapura depan, beberapa lagi di kedua gapura samping, serta sesekali terlihat seorang pelayan kediaman melangkah menyusuri koridor di bagian depan komplek kediaman, di tengah penerangan nyala api lentera lentera minyak jarak dalam ting bertiang batu yang bertebaran di seluruh penjuru kediaman bagian depan. Sementara itu, di bagian belakang komplek kediaman yang cukup gelap, dengan penerangan ting gantung yang menggantung redup pada tiap teras depan masing masing paviliun, serta beberapa lentera minyak jarak dalam ting bertiang batu, yang berdiri angkuh pada tiap sisi persimpangan jalan batu penghubung antar paviliun di bagian belakang komplek. Di balik jendela samping paviliun yang terbuka menghadap ke belakang komplek kediaman, Kuro sedang termenung di bawah cahaya temaram lentera gantung di tengah ruangan, mata birunya menatap jauh ke arah hutan bambu di belakang komplek, melewati beberapa paviliun di bagian belakang komplek kediaman yang berdiri seperti bayangan hitam dalam kegelapan. Pikirannya terus berkecamuk dan terus bertanya tanya, teringat kembali akan sebuah tangan yang tiba tiba keluar dari penutup kain di atas gerobak kayu yang dibawa oleh beberapa pelayan ketika berpapasan dengannya di koridor tadi sore, dan itu adalah pemandangan baru yang untuk pertama kalinya ia lihat. "Apa sebenarnya yang terjadi pada orang itu, kenapa para pelayan tadi membawanya dengan?!...". Karena ia tidak tahu nama benda yang didorong oleh dua pelayan tadi, pikirannya seketika teralihkan pada benda serupa yang pernah dilihatnya digunakan oleh penduduk untuk mengangkut barang saat berpapasan di jalan, hanya saja, yang dibawa para pelayan tadi terlihat lebih bagus. "Apa itu namanya?!" Gumamnya lirih dengan mata birunya berputar putar bertanya tanya, disusul pikirannya yang kembali pada gerobak berpenutup kain di atasnya yang dibawa oleh beberapa pelayan tadi sore. "Kenapa para pelayan itu menutup sekujur tubuh orang itu dengan kain?!" Pikirnya terus bertanya tanya.

Biarpun banyak sekali hal yang tidak ia tahu di dunia ini, dan ia harus banyak belajar mengenal hal baru di dunia barunya ini, rasa penasaran serta rasa keingintahuannya yang besar mengalahkan ketidak tahuannya sendiri akan dunia ini. Apalagi, melihat salah seorang pelayan yang mengiring gerobak kayu tersebut buru buru memasukkan kembali sebuah tangan yang tiba tiba keluar dari kain penutupnya, seolah ada yang harus tetap tersembunyi dan tidak ada yang boleh mengetahui apa yang mereka bawa di balik kain penutup di atas gerobak kayu itu,naluri alaminya bisa merasakan bahwa ada sesuatu yang salah dengan semua itu. Di sisi lain, kenyataan jika di sini dia bukan siapa siapa dan tidak tahu apa apa, melainkan hanyalah kebetulan numpang lewat bersama rombongan bangsawan Sima, ia sadar harus berhati hati pada sikapnya yang bisa saja akan menimbulkan masalah bagi orang lain, karena ketidaktahuannya akan banyak hal dan di sampingnya ia tidak sendiri, ada banyak orang yang datang ke kediaman ini bersamanya. Sehingga, ketika ia melihat sesuatu yang dalam sudut pandangnya ada yang salah, meskipun secara sadar ia sendiri tidak tahu akan semua itu, ia hanya diam serta berusaha menunjukkan sikap seolah tidak melihat apa apa. Namun, kembali lagi pada rasa penasaran serta rasa keingintahuannya yang besar mengalahkan ketidak tahuannya sendiri akan dunia ini, tidak akan membuatnya hanya diam dan menutup mata begitu saja, ia berniat akan mencari tahu sendiri hal yang belum ia ketahui tersebut secara diam diam, meski pada akhirnya, yang ia temukan nantinya akan berbeda dengan yang ia pikirkan, dengan banyaknya kemungkinan yang sama sekali belum ia ketahui dan belum pernah satupun ada dalam pikirannya sebelumnya, atau bahkan ia sama sekali tidak menemukan apa apa dan tetap tidak tahu apa apa.

"Kau kenapa...? Kenapa berdiri di situ?" Tanya pengawal Wong So, yang secara tiba tiba sudah berada di belakang Kuro dan melangkah ke sisi lain jendela di mana Kuro berada.

Kuro memutar pinggang ke kanan, melihat pengawal Wong yang melangkah menuju sisi lain jendela di sebelah kanannya. "Pak Wong," Ucapnya lirih, lantas kembali berpaling menghadap depan, tanpa lagi ada kata yang terucap dari bibirnya. Baginya, ia tidak akan bisa dengan mudah mengatakan apa yang tengah berputar putar di kepalanya saat ini kepada orang lain, meskipun ia tahu, pengawal Wong juga melihat apa yang dilihatnya di koridor tadi sore.

"Apa tadi kau juga melihatnya?". Dengan suara lirih, pengawal Wong melanjutkan pertanyaannya setelah berdiri di samping Kuro.

"Ehm...". Dan Kuro mengangguk.

Untuk sesaat, baik pengawal Wong maupun Kuro hanya diam mematung di balik jendela, keduanya hanya berdiri dalam kebisuan dan sibuk dengan pikiran masing masing, memandang jauh ke arah kegelapan malam di belakang komplek kediaman bangsawan Taji.

"Menurut Pak Wong, apa yang terjadi dengan orang tadi?". Kuro akhirnya membuka suara, setelah untuk sesaat ia terjebak dalam pikirannya yang tanpa henti terus berkecamuk.

"Mungkin itu salah satu pelayan yang meninggal," Jawab pengawal Wong datar, dengan suara lirih dan nyaris bergumam.

Kuro kembali terdiam, akan tetapi, pikirannya tetap berputar putar pada sosok di balik penutup kain di atas gerobak kayu yang dilihatnya dibawa oleh beberapa pelayan tadi sore. Meskipun kini ia mendapat jawaban akan rasa penasarannya, namun jawaban itu hanya membuka satu pintu pengetahuan baru baginya, sekaligus menjawab satu kemungkinan yang terjadi pada sosok di balik kain penutup di atas gerobak kayu tersebut yang mulai ia pahami, dan jawaban itu sama sekali tidak menjawab pertanyaan pertanyaan beserta kemungkinan lain yang terus berputar putar di kepalanya.

"Apa kau juga merasa ada yang aneh dengan para pelayan tadi?".

Mendengar pertanyaan pengawal Wong yang tanpa ia sangka sangka sebelumnya, Kuro seketika menoleh. Matanya sedikit menyipit dan berputar ke kanan, sudut bibir kanannya sedikit terangkat ke atas. "Maksud Pak Wong?!" .Ia tampak sekali sangat penasaran.

"Ah...?!". Pengawal Wong seketika tersadar dari pikirannya dan tersentak karena perkataannya sendiri yang tanpa sadar telah ia ucapkan, seperti bayi yang kaget karena suara kentutnya sendiri, seketika itu juga menoleh ke arah Kuro, dengan wajah yang seolah mengatakan jika pertanyaan tersebut tanpa ia sadari keluar dari mulutnya begitu saja. "Sudahlah, jangan dipikirkan!".

Melihat pengawal Wong tampaknya sangat enggan untuk mengungkit hal itu dan lebih memilih menutup mata seolah tidak melihat apa apa di koridor, Kuro lantas kembali berpaling menghadap depan sembari bertanya. "Ngomong ngomong, sebelumnya apakah Pak Wong pernah berkunjung ke sini?".

"Pernah, waktu itu, aku mengawal Gusti Ayu ke kediaman ini untuk melawat istri pertama Tuan Taji yang meninggal, tapi itu sudah dulu sekali. Memangnya ada apa?".

"Tidak apa apa Pak Wong, cuma tanya saja," Jawab Kuro datar. Akan tetapi, dalam batinnya ia bergumam. "Tuan Taji?!". Ia kembali teringat akan ucapan bangsawan Sima beberapa hari lalu, waktu itu bangsawan Sima mengutarakan rencananya di depan rombongan, agar nanti singgah sebentar di kota Kawi untuk menjenguk bangsawan Taji yang sedang sakit, sambil terus berkata dalam batin. "Oh iya, benar juga. Sekarang aku berada di kota Kawi, dan tidak salah lagi, ini pasti kediaman Tuan Taji". Kemudian pikirannya kembali ke waktu dimana ia berada di depan pendopo utama bersama rombongan bangsawan Sima tadi sore, di sana ia hanya melihat tiga wanita bangsawan menyambut kedatangan bangsawan Sima, dan ia kini baru menyadari, jika di depan pendopo utama tadi tidak terlihat seorangpun bangsawan pria ada di sana. Lalu pikirannya kembali beralih pada beberapa pelayan kediaman yang terlihat tergesah gesah membawa gerobak kayu dengan penutup kain di atasnya, berjalan dengan terburu buru menuju paviliun besar di bagian depan komplek kediaman. "Jika ini benar kediaman Tuan Taji, apa mungkin tangan itu adalah tangan milik Tuan Taji?! Tapi kenapa...?!". Pertanyaan itu tiba tiba saja melintas di benaknya.

Melihat Kuro yang terus sibuk dengan pikirannya, pengawal Wong kembali bertanya. "Apa kau memikirkan tangan yang keluar dari penutup kain di atas gerobak yang dibawa para pelayan tadi di koridor?". Namun, Kuro hanya diam tak menjawab, ia tetap terpaku dengan pikirannya sendiri.

Sejenak, pengawal Wong menghela nafas dalam dalam, sebuah kekhawatiran tiba tiba mengambang di wajahnya. "Kita sama sekali tidak tahu apa sebenarnya yang terjadi dalam kediaman ini. Karena kita tidak sengaja melihatnya di koridor, dan jika benar, ada suatu yang salah dengan para pelayan itu, aku khawatir itu akan menimbulkan masalah untuk kita semua, terutama Gusti Ayu Sima. Tapi aku juga berharap semua itu tidak benar, dan sebaiknya, tidak ada orang lain lagi yang boleh tahu apa yang dibawa para pelayan itu selain kita berdua," Ucapnya tetap dengan suara lirih.

Mendadak, Kuro menyeringai konyol, lantas menoleh kepada pengawal Wong sambil menggaruk garuk kepala. "Pak Wong, apakah orang yang sudah mati itu ditutup dengan kain?" Tanyanya dengan wajah bodoh.

Pengawal Wong seketika menoleh, matanya melebar, ia sama sekali tak menyangka akan mendapat pertanyaan yang sangat jauh melenceng dari apa yang ia katakan. "Kau tidak tahu hal itu?!". Ia bertanya dengan sedikit kesal sekaligus heran, dan Kuro menggeleng sembari menyeringai bodoh.

Pengawal Wong kembali menghela nafas lantas berpaling, kedua bahunya mendadak lemas. "Jadi, dari tadi cuma hal itu yang dia pikirkan?!" Pikirnya tidak habis pikir dan bingung sendiri, kemudian dengan singkat menjawab. "Iya". Tampak sekali penyesalan di wajahnya, ia merasa malu sendiri kenapa harus mengatakan perkataan yang mungkin akan lebih baik jika tidak dikatakan.

Kuro berpaling sambil bergumam. "O... Jadi begitu".

"Jadi dari tadi itu yang kau pikirkan?!" Tanya pengawal Wong, kembali menoleh dan menatap Kuro yang berdiri di samping kirinya, tampak sekali ia tidak bisa menutupi kekesalan yang bercampur dengan kekecewaan kepada dirinya sendiri dari wajahnya.

Kuro tidak menjawab, ia hanya menyeringai sambil menunjukkan wajah konyolnya kepada pengawal Wong.

Dan dengan tanpa sepatah katapun keluar dari mulutnya, pengawal Wong berbalik, lantas melangkah meninggalkan jendela sembari menggelengkan kepala tak percaya, ia merasa dirinya benar benar seperti orang bodoh.

Melihat pengawal Wong meninggalkan dirinya begitu saja, Kuro memutar pinggang ke kanan, menatap datar pengawal Wong yang melangkah menjauh meninggalkan jendela hingga sosoknya menghilang dari pandangan di balik pintu ruangan yang ditutup dari luar. Lantas, ia kembali menghadap depan, menatap jauh ke dalam kegelapan hutan bambu di belakang komplek kediaman bangsawan Taji, lalu tersenyum geli sendiri.

Kuro kembali tenggelam dalam pikirannya, berdiri diam mematung di balik jendela di bawah siraman cahaya redup lentera gantung dari tengah ruangan. Hingga beberapa saat kemudian, sudut mata kirinya secara tidak sengaja menangkap kelap kelip cahaya lentera yang bergerak gerak jauh dari dalam kegelapan hutan bambu di belakang komplek kediaman. Kuro sedikit memutar pandangannya ke kiri, menatap lurus ke arah kelap kelip lentera tersebut yang terlihat bergerak menjauh, dari dua kelap kelip cahaya lentera lain yang tetap diam di tengah kegelapan hutan bambu. Dan semakin lama, kelap kelip cahaya lentera itu kian terlihat bergerak mengarah menuju ke arah kediaman bangsawan Taji, terus bergerak mendekat, hingga akhirnya keluar dari hutan bambu jauh di sebelah kiri bagian belakang komplek kediaman. Kuro semakin memutar pandangannya ke kiri, ketika dari arah kirinya muncul lentera lain bergerak menyusuri jalan batu menuju belakang komplek kediaman, dengan sosok samar dua orang pelayan melangkah di belakang lentera yang tampaknya adalah ting berpegangan kayu tersebut.

Kuro buru buru menutup kedua daun jendela tempatnya berdiri untuk menyembunyikan dirinya, ketika melihat dua lentera itu bertemu dan berhenti tidak jauh dari salah satu ting bertiang batu yang menerangi jalan batu di ujung belakang komplek kediaman bangsawan Taji, sambil terus memperhatikan mereka dari sela sempit di antara dua daun jendela yang ia buat. Tampak samar olehnya, salah seorang pelayan yang datang dari depan kediaman, sedang berbicara dengan pembawa lentera ting dari dalam hutan bambu yang ternyata adalah salah seorang pelayan wanita kediaman, dan bila diperhatikan dari gerak tubuhnya, pelayan yang datang dari depan samar seperti sedang marah marah, atau memarahi pelayan yang datang dari dalam hutan bambu, sebelum akhirnya mereka bertiga kembali melangkah menyusuri jalan batu menuju depan komplek kediaman.

Setelah ketiga pelayan itu benar benar menghilang dari pandangan, Kuro sejenak kembali memperhatikan kelap kelip lentera yang ada jauh di tengah kegelapan hutan bambu, sebelum membuka kembali daun jendela sebelah kanan dan melompat keluar paviliun. Kemudian berlari dan melompat tinggi ke atas joglo paviliun di depannya, lantas berlompatan melintasi atap atap joglo sepanjang bagian belakang kediaman menuju hutan bambu, dan melesat masuk menembus kegelapan hutan.

Di tengah hutan bambu, Kuro menemukan dua pondok cukup besar berdiri di atas tanah yang sedikit lebih tinggi dari sekitarnya, dengan sebuah ting tergantung pada masing masing teras. "Tempat apa ini?!" Pikirnya bertanya tanya.