Bersamaan dengan sang burung emas semakin jauh condong ke barat, rombongan bangsawan Sima kembali melanjutkan perjalanan. Dan ketika lembayung senja di langit barat kembali menebarkan pesonanya, rombongan bangsawan Sima sedang melintasi sebuah gapura tinggi yang menjadi batas terluar kota Kawi, kota di mana sebagian besar keluarga Kawi berasal dan tinggal, kota yang juga menjadi tempat asal bangsawan Sima, serta kota tempat dimana bangsawan Sima dulu dilahirkan.
Rombongan terus bergerak menyusuri jalan utama kota, bersama orang orang yang hilir mudik melewati jalanan itu, rumah rumah joglo berderet rapi sejauh mata memandang, dengan pagar bunga tumbuh indah sepanjang kanan kiri jalan. Beberapa puluh langkah setelah melewati belokan jalan, rombongan bangsawan Sima memasuki sebuah gapura salah satu komplek kediaman milik seorang bangsawan, dan seperti yang telah direncanakan sebelumnya, rombongan bangsawan Sima akan singgah di kediaman itu untuk sementara.
Sementara bangsawan Sima menunggu empunya rumah di depan pendopo utama, dengan Kuro serta para pengiring mendampingi di belakangnya. Dari arah dalam pendopo utama, tiga orang wanita bangsawan berjalan dengan tergopoh-gopoh menghampiri bangsawan Sima, disusul beberapa pria dan wanita yang juga berjalan dengan tergopoh gopoh di belakang mereka, serta puluhan lagi berjalan di samping kanan kiri pendopo utama.
Kuro sedikit tersentak, ketika pandangannya tertuju pada sosok gadis bangsawan berkebaya jingga muda, di belakang wanita bangsawan berkebaya ungu muda dan seorang lagi gadis bangsawan berkebaya merah muda, wajah gadis bangsawan itu sangat tidak asing dan pernah dilihatnya. Begitupun juga sebaliknya, gadis itu juga sedikit menunjukkan kekagetan melihat Kuro yang berdiri di samping belakang bangsawan Sima, sebelum gadis bangsawan itu membungkuk memberi hormat kepada bangsawan Sima bersama yang lainnya. Dan ketika gadis bangsawan itu kembali menegakkan tubuhnya, tampak sebuah ketakutan terselip di antara wajah ayunya, yang tersamarkan oleh ulas senyum lembut ala gadis bangsawan muda, seolah ada sesuatu yang tersembunyi di balik keanggunannya.
Di sisi lain, bangsawan Sima merasa keberatan ketika tiga wanita bangsawan di hadapannya, yang tak lain adalah bangsawan Shin Duk, sang Nyonya besar kediaman sekaligus istri mantan Adipati kota Kawi, memberi sambutan hormat bersama putrinya Lin Tang dan putri tirinya Chin Chin beserta seisi kediaman. "Mbakyu tidak perlu lagi melakukan hal ini kepadaku!" Sergah bangsawan Sima dengan tutur lembutnya.
Tanpa memperdulikan perkataan bangsawan Sima, bangsawan Shin Duk, membalas keberatan bangsawan Sima juga dengan tutur katanya yang lemah lembut ciri khas keluarga Kawi. "Kenapa Gusti Ayu tidak memberi tahu kami terlebih dahulu, kalau Gusti Ayu akan datang ke kediaman kami?".
"Aku kebetulan lewat sini Mbakyu, jadi sekalian mampir untuk melihat keadaan kangmas Taji".
Seraya tersenyum Rama, bangsawan Shin Duk mempersilahkan bangsawan Sima masuk ke dalam pendopo utama, di susul dua orang pelayan kediaman menghampiri Ping dan San mengajak untuk mengikutinya, dua orang lagi mengajak Kuro, pengawal Wong, pengiring pria juga para pengawal lainnya, sedangkan Nyai Bulan ikut bersama bangsawan Sima melangkah memasuki pendopo utama.
Keempat bangsawan tersebut masuk ke dalam sebuah ruang yang penuh ukiran indah. bangsawan Shin Duk duduk bersimpuh di samping kiri depan bangsawan Sima, duduk bersimpuh berdampingan bersama Lin Tang serta Chin Chin yang duduk di sisi kirinya, beralas permadani indah dengan gobyog kayu berukir yang tak kalah indah menjadi latar mereka. Dari keempat bangsawan yang ada dalam ruangan mewah tersebut, terdapat perbedaan sangat mencolok di antara keempatnya. Riasan wajah serta perhiasan yang dikenakan bangsawan Shin Duk serta putrinya terlihat benar benar mewah dan berkilauan, sangat berbanding terbalik dengan bangsawan Sima yang begitu sederhana tetapi tetap memancarkan kecantikan paripurna, juga Chin Chin yang tetap terlihat cantik dalam balutan kesederhanaan kebaya jingga muda yang ia kenakan. Sebagai Nyonya besar kediaman bangsawan yang berangkat dari istri ketiga dengan usia yang terbilang masih cukup muda, mungkin sudah sewajarnya jika bangsawan Shin Duk menunjukkan kecantikan dengan membalut dirinya dengan kemewahan, begitu juga Lin Tang, sang putri kandung sekaligus putri kesayangan bangsawan Shin Duk, sudah barang tentu ia selalu menjadi yang utama untuk semua keistimewaan serta kemewahan sebagai putri seorang bangsawan.
Sementara itu, Kuro bersama pengawal Wong, para pengiring pria serta pengawal lain bangsawan Sima, sedang melangkah menyusuri koridor di belakang dua wanita pelayan ke arah belakang kediaman, menuju paviliun yang telah disiapkan untuk mereka dan entah ada di ujung sebelah mana, dengan banyaknya paviliun paviliun beratap joglo dalam kediaman bangsawan Taji yang saling terhubung oleh koridor koridor beratap di bagian depan kediaman. Di tengah perjalanan, dari arah depan mereka, serombongan pelaayan terlihat sangat tergesah gesah menuju ke arah mereka, dengan dua orang di antaranya mendorong gerobak kayu panjang yang mengusung sesuatu tertutup kain tebal di atasnya. Mereka berhenti sejenak di sisi koridor dan memberi jalan kepada para pelayan itu untuk lewat, lantas kembali melanjutkan langkah.
Beberapa langkah setelah kembali melanjutkan langkah, Kuro bersama pengawal Wong yang berada paling belakang, secara bersamaan kembali menoleh melihat ke belakang ke arah rombongan pelayan yang baru saja berpapasan dengan mereka. Namun, keduanya seketika berbalik menghadap depan dengan raut muka terkejut, penasaran dan curiga bercampur aduk. Dan seperti keduanya telah sepakat seolah tidak melihat apa apa, keduanya hanya diam tanpa menunjukkan apapun dari wajah serta gerak tubuh mereka yang dapat memicu kecurigaan, baik kepada para pelayan yang baru saja berpapasan dengan mereka dan mungkin saja akan melihat ke belakang, melihat ke arah mereka setelah keduanya mengetahui salah satu dari pelayan itu, buru buru memasukkan kembali sebuah tangan kanan yang tiba tiba keluar dari penutup kain di atas gerobak, ataupun kepada beberapa pelayan di kanan kiri koridor dan kebetulan melihat ke arah rombongan mereka, sambil terus melangkah acuh mengikuti kedua pelayan yang melangkah paling depan dan terus melangkah menghadap depan.
semakin jauh melangkah ke belakang kediaman, kedua pelayan itu membawa mereka melewati jalan batu yang tertata rapi dengan berbagai bunga perdu tumbuh sepanjang kanan kiri jalan, yang menjadi penghubung antara paviliun satu dengan paviliun lain di bagian belakang kediaman, dan membuat kediaman ini tak ubahnya seperti sebuah perkampungan kecil. Hingga pada akhirnya, mereka dipertemukan dengan dua paviliun berhadapan beratap joglo yang berada jauh di bagian kanan belakang kediaman, yang dikatakan oleh salah satu pelayan sebagai tempat tinggal mereka selama berada di kediaman ini, sebelum kedua pelayan wanita itu beranjak pergi meninggalkan mereka.
Di bagian depan komplek kediaman, di ruangan mewah dalam salah satu paviliun dimana bangsawan Sima, bangsawan Shin Duk, Lin Tang serta Chin Chin berada. Untuk beberapa saat, bangsawan Sima berbincang ringan sembari sedikit melepas lelah setelah perjalanan, sebelum meminta dirinya untuk diantarkan melihat keadaan bangsawan Taji, suami bangsawan Shin Duk yang sedang menderita sakit. Dan selama perbincangan, Chin Chin terlihat banyak diam dan hanya sesekali membuka kedua bibirnya, untuk menjawab pertanyaan bangsawan Sima yang ditujukan kepadanya. Ia juga terlihat sama sekali tak menyentuh hidangan yang telah disiapkan, dan hanya terlihat sekali menyesap teh melati yang disuguhkan pelayan kepadanya. Wajah ayunya terlihat sangat tenang tanpa menunjukkan siratan apapun, tidak seperti sebelumnya, ketika sorot matanya menangkap sosok Kuro di depan pendopo utama.
Tidak berselang lama, bangsawan Shin Duk melangkah seiring bangsawan Sima, menuju sebuah ruang peristirahatan di dalam bangunan utama komplek kediaman. Lin Tang, Chin Chin, Nyai Bulan beserta delapan orang wanita pelayan kediaman mengiring di belakang mereka.
Di dalam ruang peristirahatan yang luas dan mewah, pada sebuah peraduan kayu berukir dan sangat indah, seorang pria terbaring dan terbujur tak berdaya di atasnya. Dia adalah bangsawan Taji, penguasa kota Kawi, dan juga salah satu tetua dari keluarga besar Kawi. Sebuah martabat yang tidak bisa dipandang sebelah mata, terpaksa harus rela dia lepaskan karena penyakit yang tiba tiba mendera, dan melimpahkan semua kekuasaan yang ia miliki kepada sang putra sulung.
Kelumpuhan secara tiba tiba tanpa sebab yang jelas mendera tubuhnya semenjak setahun belakangan, memaksa bangsawan Taji hanya bisa terbaring dan terbujur tanpa daya di atas pembaringan, sekujur tubuhnya terdiam tanpa bisa di gerakkan, tubuhnya kini hanyalah seonggok sisa dari keagungan masa lalu yang mulai terlupakan, adalah sebuah keyakinan adanya secercah harapan yang membuat bangsawan Taji tetap bertahan.
Sudah banyak cara dan upaya telah dilakukan dengan tujuan bangsawan Taji mendapatkan kesembuhan, banyak ahli pengobatan terkenal dari penjuru negeri telah di datangkan, hingga membawa bangsawan Taji jauh berobat ke rumah sakit kerajaan. Namun, sampai saat ini, semua yang dilakukan oleh keluarga dan juga keluarga besarnya belum sesuai harapan , bangsawan Taji harus tetap menahan derita dan menapaki hari harinya dengan terbaring dan terbujur tanpa daya di atas pembaringan.
Bangsawan Sima melangkah mendekati pembaringan bangsawan Taji, duduk di tepi pembaringan di samping tubuh bangsawan Taji yang terbaring dan terbujur tak berdaya di atasnya. Ia menatap haru wajah bangsawan Taji yang terlihat sangat memprihatinkan, tubuhnya terlihat sangat lemah, kurus kering seolah hanya kulit yang membungkus tulang, sembari menggenggam lembut tangan bangsawan Taji yang terkulai lemas tanpa daya di atas pembaringan.
Air mata tiba tiba menggenang di kelopak mata bangsawan Taji, setelah ia menyadari siapa yang duduk di sampingnya, tetes demi tetes air mata jatuh ke telinga, terus menetes turun hingga membasahi bantalnya, dan hanya air mata yang mampu dia sampaikan pada bangsawan Sima, mewakili semua suara yang tak bisa diucapkannya.
Sekuat apapun bangsawan Sima berusaha tetap tegar dan menahan air mata. Namun, air matanya tetap saja menetes membasahi pipinya, merasakan kepedihan yang dialami salah satu anggota keluarganya. "Kangmas," Sapanya sambil terisak dengan air mata yang turun bercucuran, dan setelah itu, tidak ada lagi yang terucap dari bibir bangsawan Sima, selain Isak dan tangisnya.
Dalam sekejap, ruangan dipenuhi Isak tangis serta derai air mata oleh beberapa wanita yang hadir di ruangan itu. Dan seketika itu juga, Chin Chin yang tadinya terlihat dingin ikut terisak, dan dengan berurai air mata, tanpa mengucapkan sepatah katapun ia melangkah meninggalkan ruangan, diikuti dua wanita pelayan yang juga terisak dengan air mata yang turun bercucuran mengiringi kepergiannya.
Nyai Bulan yang mengetahui kepergian Chin Chin dari ruangan itu, menatap kepergian Chin Chin penuh rasa haru, dengan linangan air mata yang juga turun jatuh membasahi kedua pipinya.