Chereads / KURO / Chapter 6 - Dua Jalan Satu Tujuan

Chapter 6 - Dua Jalan Satu Tujuan

Rombongan bangsawan Sima bersama Kuro yang turut serta dalam rombongan sudah semakin dekat dengan kota Beringin, bila dihitung jarak dengan waktu, kurang lebih akan memakan waktu seharian berjalan kaki untuk bisa sampai di kota itu. Setelah beberapa hari bersama rombongan bangsawan Sima dalam perjalanan menuju kota Beringin, Kuro menjadi lebih mengenal, serta semakin akrab satu sama lain dengan para anggota rombongan, terutama dengan Bangsawan Sima. Pribadi bangsawan Sima yang lembut, baik hati dan juga keibuan, Kuro seolah mempunyai keluarga baru setelah sang kakek.

Menjelang tengah hari, rombongan itu melintasi sebuah jalan di antara dua padang rumput luas, dengan deretan perbukitan hijau berdiri anggun di belakang mereka. Dari dalam joli rombongan yang sedang bergerak pelan menyusuri jalan berpasir tersebut, bangsawan Sima terlihat sedikit menyibakkan tirai jendela joli sisi kanannya yang terbuka dan terikat ke samping pada masing masing sisi, lantas berkata kepada Nyai Bulan yang berjalan seiring joli. "Bulan, kita cari tempat untuk istirahat sebentar! " Pinta lembut bangsawan Sima kepada Nyai Bulan.

"Baik Gusti Ayu". Tanpa membantah, Nyai Bulan mengangguk menanggapi permintaan sang junjungan.

Rombongan itu terus bergerak sambil mencari tempat yang cocok untuk istirahat. Setelah beberapa saat berjalan, mereka akhirnya berhenti beristirahat di bawah rindangnya pepohonan tak jauh dari jalan yang mereka lewati. "Kalian mau ke mana?". Melihat San yang bersama Kuro hendak masuk ke dalam hutan kecil di sekitar tempat itu, Ping bertanya kepada keduanya dengan sedikit berteriak.

"Cari makanan," Sahut San dari kejauhan, setelah keduanya berhenti sejenak dan menoleh ke arah Ping yang berdiri bersama bangsawan Sima serta Nyai Bulan.

Bangsawan Sima lantas duduk di atas sebuah batu yang baru saja dibawakan oleh dua Orang pelayan pria sebagai tempatnya duduk di tempat itu, setelah sebelumnya, Nyai Bulan melapisi bagian atas batu tersebut dengan kain yang dibawakan Ping, kemudian dengan lembut berkata. "Anak itu sudah sangat terbiasa dengan hutan, setiap kita beristirahat di tempat sepi, dia selalu keluar hutan dengan membawa banyak makanan untuk kita semua, entah itu buah, hewan buruan ataupun ikan," Puji Bangsawan Sima terhadap kemandirian Kuro. "Kakeknya pasti seorang yang sangat hebat, meskipun dibesarkan di tempat yang jauh dari peradaban, pengetahuan anak itu tentang dunia ini cukup luas, juga sikapnya yang selalu baik pada orang lain tanpa membeda bedakan".

"Tapi makannya banyak," Celetuk Ping, disusul senyum dan tawa ringan oleh anggota rombongan lainnya.

Sementara rombongan bangsawan Sima tengah beristirahat; di tempat lain, di salah satu pintu gerbang sebuah kota dengan tembok kota yang tinggi menjulang. Lin bersama Cempaka sedang berjalan diantara kerumunan orang orang, serta kereta barang yang juga keluar masuk kota melewati gerbang kota tersebut.

Selang waktu berlalu, mereka berdua terus berjalan beriringan menjauh meninggalkan kota, dan kini mereka melewati sebuah jalan yang terbentang di antara danau dan perbukitan. Selama keduanya melangkah meninggalkan kota, berbeda dengan Lin yang mengayunkan tiap langkahnya dengan tenang tanpa beban di pundaknya, tampak sekali sebuah kekhawatiran menyelimuti paras cantik Cempaka yang berjalan di sisi kiri Lin, seolah ada sesuatu yang menghantui pikirannya dan menjadi beban dalam tiap langkahnya. "Kak... Bagaimana jika aku tidak mampu melakukannya?" Cempaka berkata dengan kekhawatirannya sambil terus mengayunkan langkah di samping Lin.

"Kau tak akan pernah tahu sesuatu kalau tak mencobanya," Balas Lin datar.

"Tapi kak... menurut nenek Shu Shu, aku masih butuh banyak waktu untuk berkultivasi dan terus melatih kemampuan mengkonsentrasikan Oura ku. Aku takut, semua ini di luar kemampuanku, dan aku juga takut nanti akan terhenti di tengah jalan, dan pada akhirnya aku hanya membuat orang lain semakin menderita". Cempaka mengutarakan keraguan dirinya bersama kekhawatiran yang semakin mengambang jelas di wajah cantiknya.

Sembari terus melangkah, Lin sedikit melirik wajah Cempaka yang berjalan di sisi kirinya. Ia dapat melihat dengan jelas, perjalanan ini benar benar telah mengganggu pikiran dan menjadi beban bagi adiknya, Cempaka yang sejak kecil dikenalnya sebagai sosok gadis yang selalu penuh percaya diri, kini seolah kalah oleh kekhawatirannya sendiri. "Sampai kapanpun, kau tak akan pernah mengetahui sampai dimana batas kemampuanmu, jika kau tak pernah berani untuk mulai mencoba apa yang telah kau kuasai". Lin mencoba membangkitkan kembali keyakinan adiknya. "Jika kau tak berani menembus batas kemampuanmu, sampai kapanpun, kau tak akan pernah bisa berkembang".

Lin diam sejenak, keduanya terus mengayunkan langkah tanpa sepatah kata terucap dari bibir mereka. "Mulai sekarang, kau harus selalu yakin pada semua yang kau lakukan!". Lin kembali meLanjutkan perkataannya, sambil sesekali menoleh ke kiri ke arah Cempaka yang melangkah di sampingnya. "Jangan pernah sia siakan kepercayaan mereka yang telah mempercayaimu, cuma karena ketidakpercayaan mu sendiri pada kemampuanmu!. Selagi ada jalan, disitu pasti ada ruang. Kau harus yakini itu!".

Setelah mendengar dan memikirkan semua perkataan Lin , Cempaka tampak mulai berusaha meyakinkan dan membangkitkan kembali kepercayaan dirinya sendiri, yang sedikit mulai goyah oleh beban yang diembankan di pundaknya dan sedang menanti kedatangannya di depan.

Kakak beradik itu terus melangkah beriringan menyusuri jalanan di tepian danau, hingga akhirnya mereka menghilang dari pandangan pada sebuah belokan menuju balik perbukitan di ujung jalan.

Deeerrr... Krasak krasak krasak... Teplok teplok... Teplok... Teplok teplok teplok teplok...! Buah buah apel yang menggantung manja pada tiap tangkainya, berebut saling mendahului berjatuhan ke atas tanah, akibat getaran hebat pada pohonnya karena terkena hantaman pukulan Kuro.

"Hi hi... Banyak sekali!". San kegirangan melihat buah buah apel yang berjatuhan dari pohon dan bertebaran di atas tanah.

Kuro tersenyum, melihat San yang berdiri kegirangan di antara buah buah apel yang bertebaran, lalu melangkah menuju dan berdiri di bawah pohon apel lainnya. "Apa yang ini juga?!".

"Ini saja sudah kebanyakan Den". San menjawab sambil mengambil satu per satu buah buah apel dari atas tanah.

San memasukkan apel apel itu ke dalam sebuah kantong kain yang memang sengaja dibawanya, karena pohon apel itu cukup besar dan berbuah sangat lebat, hingga kantong kain itu hampir penuh, masih banyak sisa buah apel yang bertebaran di atas tanah, dan mengumpulkan buah buah apel yang tersisa di atas tanah itu di satu tempat.

Selesai dengan Buah apelnya, San beranjak terlebih dahulu dari tempat itu, membawa sekantong besar Buah apel untuk diberikan kepada sang junjungan dan juga yang lain, meninggalkan Kuro yang masih ingin berada di tempat itu sebentar lagi.

Sepeninggal San dari tempat itu, Kuro duduk bersila menghadap gunungan kecil Bua apel merah di depannya. "Makaaan!" Serunya, mengambil sebuah apel lalu menggigit dan mengunyah.

Krauk... Krauk... Krauk...! Sekejap, buah apel sebesar genggaman tangan hilang ditelan mulutnya. Krauk... Krauk... Krauk...! Dua buah apel telah masuk ke mulutnya. Krauk... Krauk... Krauk...! Empat buah apel. Krauk... Krauk... Krauk...! Sepuluh. Krauk... Krauk... Krauk...! Dua puluh lima. Krauk... Krauk... Krauk...! Empat puluh enam. Krauk... Krauk... Krauk...! Delapan puluh empat. Dalam sekejap, gunungan buah apel itu habis tanpa sisa, berpindah masuk kedalam perut Kuro yang seolah ada sebuah gentong besar di dalamnya.

"Huuuh... Kenyangnyaaa!". Kuro merintih kekenyangan sambil mengelus perut, lantas meregangkan tubuh dengan merentangkan kedua tangan dan menyandarkan punggungnya pada pohon apel dengan perut besar membuncit.

Kuro beranjak ke bawah pohon besar di sekitar tempat itu, melompat ke atas dahannya, kemudian merebahkan tubuh dengan menyatukan kedua tangan di atas kepala, sedangkan kaki kanan bertumpu pada kaki kiri yang di tekuk ke atas, rehat sejenak menunggu rombongannya melanjutkan perjalanan. Sesaat kemudian, ia pun terlelap dengan mulut terbuka.

Beberapa saat kemudian, terdengar suara gaduh tak jauh dari pohon tempat Kuro berbaring, dengan terpaksa Kuro harus kembali membuka mata karena terganggu oleh suara berisik yang timbul karenanya. Penasaran pada apa yang tengah terjadi di bawah, Kuro memutar pinggang ke kiri dan melihat ke arah datangnya suara berisik tersebut. Tampak olehnya, seorang gadis cantik sedang berlatih melempar belati di antara pepohonan hutan yang berdiri agak berjauhan, Tidak jauh di sebelah kiri dari dahan pohon tempat ia berbaring.

Dia adalah seorang gadis cantik berambut hitam panjang, mengenakan gaun merah muda membungkus tubuh langsingnya yang kuning langsat, bagian atas gaun gadis cantik itu berupa kemben sedada, berlapis dua selendang tersampir dari depan dada ke punggung melewati pundak serta sedikit bahunya yang terbuka, sedangkan bawahannya berupa celana panjang berlapis rok panjang di bagian luar, di kedua kakinya terikat sepatu kain warna senada namun sedikit lebih cerah.

Kuro mengernyitkan dahi, mata birunya memperhatikan dengan seksama gadis cantik tersebut yang sedang berlatih melempar enam belati sekaligus menggunakan kedua tangan, dengan target beberapa tanda yang menempel pada beberapa Pohon di sekitar gadis cantik tersebut. Namun, melihat cara gadis cantik itu dalam memegang dan melempar belati, tampaknya gadis cantik itu belum lama ini baru memulai latihan. Tiba tiba!

Wuuuch... Tak klotak! Salah satu belati gadis cantik itu melesat melintas di samping Kuro yang sedang berbaring sedikit miring dan membentur batang pohon di bawah kakinya. Menyadari ada benda tajam mengarah dan melintas di sampingnya, karena kaget, tubuhnya spontan bergerak dan kehilangan keseimbangan. Alhasil.

Braaak! Tubuh Kuro terpelanting jatuh menghantam tanah.