Kuro membaringkan tubuh ketiga perampok yang sudah sama sekali tak berdaya, di bawah salah satu pohon besar yang ada di tepi jalan. Ia mengamati dengan seksama pedang dengan tali berumbai dan ornamen warna emas pada warangkanya, milik salah satu perampok bertubuh tanggung yang juga dipungutnya sesaat sebelum mengangkat tubuh perampok tersebut. Dahinya berkerut, mata birunya menatap tajam pedang berumbai di tangannya, wajahnya menunjukkan ekspresi berbagai pertanyaan yang mengganggu pikirannya. Lantas, Kuro melepas tali berumbai yang ada di ujung gagang pedang sambil bergumam. "Ini bukan pedang biasa, mungkin saja suatu saat bisa berguna. Atau aku bisa menjualnya". Lalu menyeringai dan menyimpan rumbai pedang itu dalam kantong kecil di pinggangnya, kemudian memeriksa ketiga tubuh perampok tersebut satu per satu. Kuro menemukan dua kantong kecil koin perunggu dan perak pada masing masing tubuh perampok bertubuh tanggung, juga sekantong koin serupa dan sebuah lencana kecil berumbai dari logam pada tubuh si perampok bertubuh gempal.
Sementara itu, tak jauh dari tempat Kuro berada, seorang wanita paruh baya mengenakan gaun jingga oriental sedang berjalan menuju ke arahnya, wajah wanita itu tampak ragu dan masih memperlihatkan kekhawatiran terhadap perampok perampok tersebut dan bertanya. "Apa mereka sudah tidak apa apa?".
Kuro berpaling, menoleh ke arah datangnya wanita paruh baya dengan gaun jingga oriental yang sedang melangkah menuju ke arahnya. "Tidak apa apa, Nyi, jangan khawatir!" Ucapnya meyakinkan.
Setelah berada di dekat Kuro, wanita paruh baya itu lantas menyampaikan kepada Kuro pesan dari sang junjungan. "Apa sudah selesai den? Jika sudah, Gusti ayu Sima ingin bertemu dengan Aden".
"Aden?!". Mendengar ucapan wanita itu, mendadak mata Kuro sedikit melebar, bingung, ia merasa sangat asing dan baru kali ini mendengar kata itu di telinganya, ia juga sama sekali tak mengerti apa maksudnya, serta kenapa wanita itu memanggilnya demikian. Seingatnya, selama ia tinggal di telaga sore bersama sang Kakek, kakeknya hanya memanggilnya dengan sebutan Kuro yang juga ia kenali sebagai namanya, ia tidak pernah tahu, jika Aden adalah panggilan hormat kepada orang yang lebih muda, lantas celingak celinguk melihat ke belakang, siapa tau wanita itu berbicara dengan orang lain. Setelah melihat tidak ada orang lain lagi di sekitar mereka, KURO kembali menatap wanita itu ragu sambil menunjuk sendiri hidungnya, dengan memasang ekspresi wajah konyol dan bertanya tanya.
Melihat yang diajak bicara malah terlihat kebingungan, wanita itu pun menjadi heran. "Apa dia tidak mengerti yang kubicarakan?! Bukankah itu sudah umum diucapkan, Bagaimana dia bisa tidak tahu?!" Pikirnya heran. Berbagai pikiran buruk yang merendahkan tiba tiba memenuhi pikirannya, namun, semua pikiran pikiran itu segera dibuangnya jauh jauh, mengingat anak yang tengah berdiri dengan wajah konyol di hadapannya adalah penyelamat mereka. Lantas ia tersenyum dan mengulang kembali perkataannya dengan memberi sedikit perubahan. "Jika sudah selesai, Gusti ayu Sima ingin bertemu denganmu". Kemudian berbalik arah dan berjalan kembali menuju ke tempat sang junjungan yang belum lama tiba kembali di tempat itu, meninggalkan Kuro yang masih berdiri kebingungan.
Sementara itu, Kuro yang masih kebingungan, menatap wanita itu pergi meninggalkan dirinya dengan wajah konyol sambil menggaruk garuk kepala. Kemudian, memutar mata birunya ke arah wanita bangsawan berkebaya biru muda yang tengah mendapat perawatan luka di pelipisnya oleh dua gadis bergaun kuning oriental, tak jauh dari pengawal Wong yang juga merawat rekan rekanya yang terluka bersama para pengiring pria, lalu berpaling menunduk mengamati kembali pedang dengan ornamen warna emas pada warangkanya yang masih ia pegang, dan seketika itu juga wajah konyolnya berubah sambil bergumam. "Gusti Ayu?! Apakah wanita itu salah satu anggota keluarga kerajaan?!".
Bagi Kuro, ini adalah dunia baru baginya, dunia baru yang baru saja ia masuki setelah sekian lama tinggal di tempat sunyi dan terpencil, seumur hidupnya, bisa dihitung dengan jari berapa kali ia berkunjung ke desa terdekat dengan telaga sore bersama sang Kakek, banyak sekali hal yang pastinya sama sekali baru dan sama sekali tidak ia mengerti di dunia baru ini. Meskipun begitu, sang kakek telah membesarkanya dengan baik selama tinggal di telaga sore, sang Kakek juga telah memberikan banyak sekali ilmu pengetahuan kepadanya yang mungkin akan sangat berguna di masa depan.
Sesaat kemudian, Kuro memberikan kedua kantung berisi koin perunggu dan perak yang diambilnya dari tubuh kedua perampok tadi pada pengawal Wong, untuk dibagikan kepada mereka yang terluka sebagai ganti rugi, setelah sebelumnya ,mengambil beberapa dan dimasukkan kembali kedalam masing masing kantong celana si perampok. Kemudian Kuro melangkah menuju ke tempat bangsawan Sima tak jauh dari tempat pengawal Wong, beserta para pengiring pria lain yang sedang merawat dua pengusung joli dan tiga rekan pengawalnya yang sudah siuman.
Di sisi lain, bangsawan Sima sedang duduk pada sebuah batu beralaskan kain di atasnya yang ada di tepi jalan, di belakangnya berdiri wanita paruh baya memakai gaun jingga oriental di sisi kiri, serta dua gadis memakai gaun Kuning oriental di sisi kanan. Meskipun bangsawan Sima mendapat luka memar di pelipis kirinya, keanggunan sosoknya sebagai seorang wanita bermartabat tetap memancarkan pesona kecantikan yang begitu paripurna dan sangat terlihat begitu bersahaja, tersenyum lembut menatap ke arah Kuro yang melangkah mendekati mereka. Parasnya bagai biji semangka sungguh cantik berkilau cahaya, kulitnya begitu halus, putih bersih sehalus batu giok, alis melengkung tajam ciri khas wanita kelas atas, hidung mancung, bibir merah cerry mengulum lembut, matanya yang lentik hitam jernih bertabur butiran cahaya bak langit malam bertabur bintang.
Sedangkan, dua gadis di belakang bangsawan Sima saling mencubit genit satu sama lain, bersama kedua mata mereka yang berbinar binar menatap Kuro yang tengah melangkah mendekati mereka. "Ganteng sekali?!" Kagum salah satu gadis sambil menggoyang goyang bahu gadis lainnya, genit.
"Ehem!". Melihat tingkah genit kedua bawahannya tersebut, wanita paruh baya bergaun jingga oriental di sebelah mereka berdehem menegurnya, tetapi sudut bibirnya melengkung mengulas senyum tipis.
Rona merah tiba tiba membias pada pipi keduanya, kedua gadis itu tersipu, lantas salah satu dari mereka berkata kepada bangsawan Sima untuk mendapat perlindungan dari atasan mereka yang telah menegur dengan dehemannya. "Gusti Ayu, bukankah dia benar benar ganteng?".
Mendengar hal itu, bangsawan Sima pun tersenyum. "Ingat umur! Dia itu pria kecil," Ucapnya, yang membuat kedua gadis bergaun kuning oriental itu semakin tersipu, dengan kedua pipi mereka yang semakin merah.
"Siapa namamu nak?" Bangsawan Sima bertanya dengan tutur lembut disertai senyuman anggun khas bangsawan, setelah terlebih dahulu mempersilahkan Kuro untuk duduk di hadapannya.
Kuro membungkuk memberi hormat, sebelum duduk bersimpuh di hadapan bangsawan Sima. "Kuro Gusti ayu," Jawab Kuro sopan, lalu menunduk menatap tanah, ia tahu apa yang seharusnya dilakukan ketika berhadapan dengan seseorang yang mempunyai derajat tinggi.
"Kamu tidak perlu melakukan itu padaku, angkatlah kepalamu!".
"Saya tidak berani, Gusti Ayu".
"Jangan khawatir! Aku lebih bahagia melihat orang yang sedang berbicara denganku sambil menegakkan kepala". Bangsawan Sima berkata lembut meyakinkan.
Perlahan, Kuro mengangkat kepala dan menatap bangsawan Sima, namun, ia kembali menunduk. Ia menemukan keteduhan dalam sorot mata bangsawan Sima menyentuh batinnya, yang membuatnya tak kuasa terus menegakkan kepala dan seketika kembali menunduk.
Bangsawan Sima tersenyum lantas berkata. "Kami semua sangat berterima kasih dan banyak berhutang Budi padamu, jika bukan karena bantuanmu , aku tidak bisa membayangkan bagaimana nasib kami selanjutnya. Kami tidak akan pernah bisa membalas dan melupakan semua Budi baikmu". Ucapan terima kasih bangsawan Sima dengan tulus, mewakili semua yang ada bersama dalam rombongannya. "Ambilah! Itu pasti tidak akan sebanding dengan Budi baikmu, setidaknya ambilah itu sebagai ucapan terima kasih dari kami," Lanjut bangsawan Sima, bersamaan dengan wanita paruh baya bergaun jingga oriental di sebelah kanannya, menyerahkan sebuah kotak kayu pada Kuro.
Disela bangsawan Sima yang terus melanjutkan perkataannya, Kuro menatap wajah wanita paruh baya itu kemudian tatapannya turun berpindah pada kotak kayu yang di sodorkan kepadanya. "Namaku Sima, aku tinggal di kota Beringin , jika suatu saat kamu...". Tiba tiba, bangsawan Sima berhenti meneruskan perkataannya, karena Kuro spontan menatapnya dengan wajah yang terlihat kaget. Wanita paruh baya dan dua gadis yang mendampingi bangsawan Sima pun juga ikut saling berpandangan satu sama lain, merasa bingung pada apa yang sebenarnya terjadi. "Ada apa nak?!" Tanya bangsawan Sima penasaran.
"Saya tidak bisa menerimanya Gusti ayu, saya melakukan itu tidak untuk mengharapkan imbalan". Kuro menolak halus pemberian bangsawan Sima, dengan mendorong pelan kotak kayu tersebut menggunakan telapak tangan kanannya.
"Tidak apa apa nak, ambilah! Jika kamu menolak, sama saja dengan tidak menghargai pemberian tulus kami," Rayu bangsawan Sima dengan tutur lembutnya.
"Maaf Gusti ayu, saya tetap tidak bisa menerimanya, lagi pula, saya datang ketempat ini untuk mencari tahu arah jalan menuju kota Beringin pada orang yang bisa saya jumpai di jalan, tapi saya malah tidak sengaja bertemu dengan pak Wong bersama rekannya sedang melawan orang orang tadi. Karena Gusti ayu mengatakan tinggal di kota Beringin, jika Gusti ayu berkenan, saya ingin bertanya pada Gusti ayu Ara jalan menuju kota Beringin. Jika Gusti ayu tidak berkenan untuk memberi tahu dan tetap memaksa saya untuk menerima pemberian Gusti ayu, dengan sangat terpaksa, saya harus pergi dari sini untuk bertanya pada orang lain".
Bangsawan Sima kembali menyunggingkan senyuman lembutnya, kini ia menjadi mengerti, kenapa tiba tiba Kuro terlihat begitu kaget setelah mendengar perkataannya. "Baiklah kalau begitu, tapi kami tetap sangat berterima kasih padamu. Jika ada takdir,kalau lain kali aku bisa membantumu di masa depan, kamu harus menerimanya". Bangsawan Sima dengan bijak mengalah. "Kebetulan kami juga akan menuju kota Beringin, aku akan sangat senang jika kamu ikut bersama kami".
Kuro mengangguk, menanggapi tawaran bangsawan Sima sembari tersenyum sopan serta wajah yang tetap tenang.
Mereka terus berbincang bincang, serta sesekali bercanda kecil sembari beristirahat menunggu yang terluka selesai dirawat dan memulihkan tenaga mereka. Bangsawan Sima juga memperkenalkan ketiga pelayannya kepada kuro, wanita paruh baya memakai gaun jingga oriental itu bernama Bulan, sedang dua gadis yang memakai gaun kuning oriental bernama Ping dan San.
Setelah cukup lama beristirahat, akhirnya mereka kembali melanjutkan perjalanan bersama Kuro yang ikut dalam rombongan. Dua orang pengusung joli yang terluka, tugasnya sementara digantikan oleh dua pengiring yang membawa tas besar, sedangkan tugas membawa tas besar itu sendiri, digantikan oleh pengawal Wong dibantu Kuro yang berjalan paling depan dalam rombongan.
Bersamaan dengan lembayung senja mengibarkan pesonanya di langit barat, rombongan itu memasuki sebuah kota kecil yang terlihat sunyi dan lengang. Tiba tiba! Kuro mendadak menghentikan langkah. Melihat hal itu, spontan rombongan pun ikut berhenti. Tatapan Kuro lurus melihat ke arah depan tanpa berkata sepatah katapun, seolah ada sesuatu di depan sana yang akan mengganggu perjalanan.
"Ada apa?" Tanya pengawal Wong penasaran, berdiri di samping Kuro dengan raut muka penuh tanda tanya. Seperti halnya pengawal Wong, anggota rombongan lainya juga menatap ke arah depan dengan raut muka bingung bertanya tanya, sebab yang mereka lihat di depan sana tidak ada apa apa selain jalanan sepi kota, serta deretan rumah rumah penduduk dan bangunan.
"Maaakaaan...!". Kuro berlari cepat sambil berteriak kegirangan dengan kedua tangan direntangkan ke atas, diiringi kepulan debu yang berhamburan di belakangnya. Berlari cepat menuju sebuah kedai makan bertuliskan SOTO AYAM LAMONGAN, meninggalkan rombongannya yang masih berhenti dan berdiri kebingungan.
Setibanya rombongan bangsawan Sima di kedai makan yang dituju kuro, dan hendak masuk ke dalam, mereka semua terperangah melihat pemandangan di dalam kedai, tak terkecuali bangsawan Sima. Semua mata terbelalak dengan mulut menganga. Di dalam kedai, mereka melihat Kuro sedang melahap soto ayam dari mangkuk, dengan bertumpuk tumpuk mangkuk kosong soto ayam yang telah habis dilahapnya menumpuk di atas meja di depannya.