Chereads / KURO / Chapter 1 - Kuro Dari Telaga Sore

KURO

🇮🇩EmJe
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 6.8k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - Kuro Dari Telaga Sore

Dahulu kala...

Tap tap tap...! Gema pantulan suara tapak kaki seseorang yang sedang berlari dalam lorong panjang dan temaram, dengan penerangan lilin pada lubang lubang yang berjajar agak berjauhan sepanjang kanan kiri dinding lorong.

Dengan nafas terengah, orang itu terus berlari Dan berlari, menyusuri lorong yang semakin jauh dia berlari, lorong itu seolah semakin tak berujung. Berlari dan terus berlari. Hingga pada akhirnya, dia berhenti pada ruang gelap pekat tanpa setitik cahaya pun dihadapannya, yang ada hanya beberapa langkah jalan marmer dengan air di kedua sisi yang ditunjukkan oleh sisa sisa cahaya lilin di belakangnya.

Tiba tiba!

"Akhirnya kau datang juga ke tempat ini". Terdengar suara berat menggema memenuhi seluruh ruangan gelap tersebut.

Flash! Dalam sekejap, ruangan yang semula gelap menjadi terang benderang, dan seketika itu juga, muncullah sosok cahaya besar setinggi gunung dengan jarak beberapa ratus langkah dihadapannya. Sebuah cahaya jingga berbentuk sesosok tubuh tembus pandang yang memancarkan perbawa terang kuning keemasan dari sekujur tubuhnya, sedang duduk bersila pada sebuah altar, di atas lantai marmer melingkar di antara hamparan air dengan tepian yang menghilang dalam kegelapan. Kedua tangannya menengadah bertumpu pada masing masing lutut, dengan kedua ujung ibu jari dan jari tengah saling menempel, sorot matanya tajam penuh wibawa, dari kedua bola mata yang keemasan.

Orang tersebut tadi sedikit tersentak, dan terdiam menganalisa apa sebenarnya yang terjadi. Lantas, melangkah dengan mantap tanpa sedikitpun rasa takut, mendekati sosok yang pertama kali dilihat dalam hidup. Meskipun dia sadar, pasti ada Sebua bahaya sedang menunggu di depan, ia tetap melangkah tanpa ragu melewati jalan marmer penghubung antara lantai marmer dan lorong.

"Siapa kau? Dan tempat apa ini?" Tanya orang tersebut setelah sampai dan berhenti diujung jalan dengan altar yang masih beberapa puluh langkah di depannya, sembari kepalanya mendongak menatap wajah sosok cahaya tersebut.

"Ha ha ha ha...! Bodoh," Suara tawa yang menggema memenuhi seluruh ruangan, dengan jawaban yang terdengar agak sombong dan merendahkan. "Aku adalah kau, dan kau adalah aku, tapi kita tidaklah satu," Lanjut sosok cahaya tersebut setelah menghentikan tawanya.

Sementara orang itu hanya terdiam memandangi sosok cahaya tersebut sembari mengerutkan dahi, mencoba mencerna maksud dari ucapan sosok tersebut dengan raut muka penasaran dan penuh tanda tanya.

"Nanti akan ku jelaskan, setelah kau berada dalam titik terendah di hidupmu," Lanjut sosok cahaya tersebut memberikan teka teki.

Slaps! Tiba tiba semua menjadi gelap.

***

Di sebuah pondok sederhana yang berada di salah satu tempat terpencil di permukaan bumi, dengan sebuah telaga jernih yang menampilkan keindahan penghuninya terhampar di depannya, telaga yang airnya berkilau keemasan diterpa pancaran mentari sore, dikelilingi pohon pohon Cemara berjajar rapi diantara hijaunya pegunungan. Sebuah telaga yang lebih dikenal dengan sebutan Telaga Sore.

Ada seorang remaja sedang duduk dalam sebuah ruang yang tersembunyi di dalam pondok tersebut, Dia memegang sebuah pesan yang ditinggalkan untuk dirinya, sebuah pesan yang ditulis pada secarik kertas dari sebuah peti yang berada di depannya.

"Kuro cucuku

Jika kamu membaca pesan ini, mungkin kakek sudah tidak lagi berada di tempat ini, kakek sudah tidak bisa lagi mengurus dan menjagamu seperti dulu, mulai sekarang, kau harus belajar menjaga dan mengurus dirimu sendiri, Kakek yakin kau akan bisa melakukannya.

Sejak kecil, kau tumbuh besar bersama kakek di tempat ini, kakek sama sekali tidak berharap, kau akan hidup selamanya di tempat terpencil ini, kehidupan diluar sana sangat luas dan kompleks, tidak harus terus berdiam diri di tempat ini. Sepanjang umurmu kau harus terus belajar, berkembang dan melakukan sesuatu dalam untuk memenuhi takdir hidup.

Namun, kehidupan di luar sana tidak seperti yang bisa dilihat oleh mata telanjang, ada banyak seluk beluk kehidupan yang sama sekali tidak bisa dicerna oleh akal, ada sangat banyak sekali kepentingan-kepentingan yang tersembunyi dibalik sikap manusia, dan banyak kebencian kebencian tersembunyi dibalik senyuman. Kau harus pandai pandai menempatkan posisi serta memilih sesuatu yang terbaik . Karena sekarang kau sudah dewasa, kau pasti akan bisa memahami dan membedakannya serta memilih jalan hidupmu.

Gunakanlah apa yang kakek tinggalkan dan semua yang sudah kakek berikan padamu sebagai bekal dalam melangkah di kehidupan barumu kelak, gunakan dan manfaatkan dengan bijaksana, selalu rendah hati jangan pernah pongah, hindari perbuatan merugikan dan menyakiti hati orang lain, mengadu nasib, main perempuan dan jangan pernah berhutang, bangun dan jaga hubungan baik dengan sesama ataupun alam sekitar. Jika kau mempunyai dua ilmu pengetahuan maka tunjukkan satu sembunyikan lainnya, kecuali jika kamu terdesak atau terpaksa harus menunjukkannya.

Mengenai pertanyaan yang selalu kamu tanyakan sejak kamu masih kecil tentang orang tuamu, sebenarnya, kakek juga tidak tahu siapa kedua orang tuamu, siapa mereka, dimana mereka dan entah masih hidup atau tidak. Yang kakek tahu, kakek mulai membawamu ketika kakek berkunjung ke kota Beringin enam belas tahun lalu, ada seekor harimau putih mendatangi kakek, menyerahkan seorang anak bayi dengan menggigit bajunya. Pada waktu itu, tidak ada pesan apapun di tubuhmu, hanya baju, tanda lahir berbentuk cangkang kura kura yang ada di dadamu serta kalung kristal yang masih kakek simpan. Jika kamu berniat untuk mencari tahu kedua orang tuamu, mulailah dari kota Beringin.

Ingatlah selalu pesan kakek, dan jaga dirimu Kuro cucuku!

Doa kakek selalu menyertaimu".

Setelah Kuro membaca pesan dari sang Kakek, kemudian ia menggulung pesan tersebut dan menaruhnya kembali kedalam peti di depannya. Kuro melihat satu persatu semua isi dalam peti, ada beberapa gulungan kain , Sebua bola kristal biru Cera sebesar genggaman tangan, sebuah tongkat perak sepanjang tiga jengkal dan cukup banyak koin emas dan perak. Hingga, matanya tertuju pada sebuah kalung berliontin kristal berbentuk wajik, dengan ujung kristal terikat diantara dua buah kristal kecil yang menempel pada tali perak.

Kuro mengamati dalam dalam kalung kristal tersebut yang kini berada di tangannya, lalu mengikatkan kalung itu ke leher. Setelah itu, Kuro mengeluarkan tongkat perak, mengambil beberapa koin emas serta koin perak dari dalam peti, lantas bangkit dan berdiri sambil mengamati seluruh ruangan, sebelum ia melangkah lalu melompat ke atas.

Hari hari berikutnya berjalan seperti biasa, Kuro tetap melakukan aktivitas yang dilakukannya ketika masih bersama sang kakek, merawat tanaman, memancing ikan, memindahkan air dari telaga serta bermain main dengan binatang binatang kecil di sekitar pondok. Bedanya, dia sekarang melakukan semua itu sendirian tanpa ada lagi sang kakek. Namun, ia tetap menjalani hari harinya dengan penuh ceria.

Hingga pada suatu sore, Kuro duduk termenung di atas sebuah batu di tepi telaga, kedua kakinya masuk kedalam jernihnya air dan menjadi mainan ikan ikan kecil di bawahnya. Matanya menatap hamparan air telaga yang berkilau keemasan diterpa mentari senja, pikirannya menerawang jauh kemasa lalu, mengenang masa masa kebersamaan bersama sang kakek yang sudah dianggapnya sebagai orang tua. Satu per satu, semua kenangan kenangan itu mengalir bergantian, mulai dari kenangan masa kecil, hingga sekarang di usianya yang ke enam belas. Banyak sekali suka, duka, kebodohan bahkan kekonyolan yang dilaluinya bersama kakeknya, hingga tak terasa butiran air mata menetes dari kelopak matanya, dan tanpa ia sadari, Air telaga yang berkilau keemasan kini telah berubah menjadi temaram diterpa cahaya bulan sabit. Kuro terus melakukan hal itu hingga beberapa lama, sampai bulan sabit berubah menjadi purnama.

Di suatu hari yang cerah, seorang remaja sedang tegap berdiri diatas sebuah batu besar di tepi telaga sore, sorot matanya tajam menatap ke tengah telaga hingga jauh menusuk relungnya. Dia mempunyai tubuh tegap berisi, berkulit bersih, berambut hitam dan bermata biru jernih sejernih air telaga. memakai setelan putih, atasan tanpa lengan dan celana komprang sepanjang mata kaki, dipadukan dengan kain batik coklat tua diikat ke pinggang sepanjang lutut. Memakai sepatu kain hitam menutup sampai atas mata kaki dengan bagian jari kaki terbuka, juga sepasang ban kain hitam melingkar pada kedua pergelangan tangannya. Ia terlihat sangat gagah, dengan sebilah tongkat perak kecil terselip di belakang pinggang, dan remaja itu tidak lain adalah Kuro Dari Telaga Sore.

"Kakek, aku akan menjadikan semua pesan dan ajaranmu sebagai jalan hidupku. Mulai sekarang, cucumu ini akan menempuh jalan seperti yang kakek harapkan, ku harap, di sana kakek selalu melihatku sampai saat nanti kita berkumpul kembali," Ucapnya dalam batin, dengan tatapan mata tetap tertuju ke tengah telaga sore.

Sejenak, ia menatap pondok yang pernah ditinggali nya bersama sang kakek, sebelum ia melenting berpindah tempat ke atas batu yang tak jauh dari tempatnya berdiri, kemudian terus melompat dari batu satu ke batu lainnya menjauhi pondok.

"Kakek, suatu saat aku akan kembali lagi ke tempat ini, karena disinilah tempatku untuk pulang," ucapan selamat tinggal dari dalam batin, pada satu tempat yang menjadi saksi dimana ia tumbuh dan berkembang, sembari terus melompat berpindah pindah dari batu ke batu yang bertebaran di tepi telaga.

Dengan lincah, Kuro melompat berpindah dari batu besar ke batu kecil ke batu kecil lain, kembali melompat berpindah ke batu besar dan terus melompat tanpa sekalipun terpeleset ataupun terjatuh, seolah kedua kaki itu mempunyai matanya sendiri. Sesampainya di tanah datar, Kuro berlari dengan tubuh dicondongkan ke depan sembari kedua tangan direntangkan ke belakang, sampai akhirnya ia berhenti pada jarak terjauh tempat tersebut.

Kuro berjongkok, lalu membuat kombinasi gerakan berangkai dan berurutan menggunakan kedua tangan di depan dada, sebelum menempelkan kedua telapak tangannya ke atas tanah. Dan

Tap! seketika itu juga, muncullah gelombang gelombang cahaya putih tipis berbentuk kubah raksasa menyelimuti area tersebut, yang bisa dilihat hingga batas terjauh Telaga Sore dengan hutan, disusul terbentuknya sebuah lubang pada bagian gelombang cahaya tepat berada di depannya.

Ya, itu adalah Perisai Kuba Maya, peninggalan kakek Kuro yang menyelubungi seluruh area tersebut. Sebuah perisai pelindung Tak terlihat, yang digunakan untuk melindungi area tersebut dari kemungkinan serangan binatang buas, ataupun mencegah kemungkinan berkumpulnya oura oura bebas dan terkonsentrasi di tempat itu, juga untuk mendeteksi, adanya orang tak dikenal yang akan masuk ke area itu tanpa izin, tidak akan bisa dengan mudah menembusnya ataupun menghancurkannya. Perisai Kubah Maya tersebut hanya bisa dibuka, menggunakan kombinasi kunci gerakan tangan yang cuma diketahui oleh Kuro dan sang Kakek.

Kuro melenting ke atas dahan pohon besar tak jauh dari hadapannya melalui lubang pada perisai kuba maya yang terbuka di depannya, selanjutnya terus melompat dari pohon ke pohon menembus lebatnya hutan belantara.

Kuro terus berlompatan di antara pohon pohon besar hutan, berpindah dari dahan satu ke dahan lainnya dalam lebatnya belantara hutan yang gelap. Ia terus melompat dan melompat, melompat dan melompat, hingga tak tahu lagi berapa lama dan berapa jauh dia telah pergi meninggalkan telaga sore. Dan

Brak! Tubuh Kuro menabrak Dahan pohon besar di hadapannya, tubuhnya terpental ke bawah dengan kepala terperosok ke dalam tanah, kakinya berada di atas tertekuk ke belakang, tersangkut patahan Dahan pohon yang tergeletak di atas tanah. "Lapar...!" Rintihnya, dengan kepala terperosok di dalam tanah.