Bagian 1
Arlan berjalan melalui kepadatan, merasakan sedikit nostalgia dengan keramaian-pikuk kota besar. Ia menuju ke Guild Petualang, tempat yang biasa ia kunjungi untuk mencari informasi dan bertemu dengan petualang lainnya. Guild Petualang di Eldoria adalah salah satu yang terbesar di kerajaan, dan Arlan yakin bahwa di tempat inilah ia bisa mendapatkan petunjuk tentang artefak kuno yang sedang ia cari.
Ketika ia mendekati pintu besar guild, suara riuh rendah dari perbincangan dan tawa terdengar semakin jelas. Arlan mendorong pintu kayu berat itu dan melangkah masuk. Suasana di dalam guild seketika berubah. Perbincangan yang tadinya meramaikan ruangan besar itu tiba-tiba hening. Semua mata melihatnya, seolah mengenali pria berpakaian serba hitam dengan pedang di belakangnya.
Arlan melangkah lebih dalam, merasa puluhan pasang mata mengikuti setiap gerakannya. Beberapa petualang yang duduk di meja-meja berbisik-bisik, sementara yang lainnya hanya memandang dengan kekaguman dan rasa hormat. Tak bisa dipungkiri, nama Arlan sebagai salah satu petualang kelas S telah menyebar luas di kalangan petualang, dan kehadirannya selalu menimbulkan kekaguman.
Di sudut ruangan, seorang pria besar dengan lebatnya berdiri dan mendekati Arlan. Pria itu adalah Harold, pemilik dan kepala Guild Petualang di Eldoria. Dengan senyum lebar, Harold menyambut Arlan dengan pelukan hangat. "Arlan! Lama tidak bertemu, sahabatku. Apa yang membawamu ke Eldoria?"
Arlan membalas pelukan itu dengan senyuman tipis. "Terima kasih atas Terima kasih hangatmu, Harold. Jadi aku datang ke sini untuk mencari informasi tentang artefak kuno yang tersembunyi, beberapa orang yang mengungkapkan di pegunungan Altair, dan ada juga yang mengatakan kuburan di bawah istana kerajaan. Aku butuh bantuanmu."
Harold mengangguk dengan serius. "Tentu, tentu saja. Mari kita bicara di ruanganku." Ia memimpin Arlan melalui podcast yang kini berbisik-bisik lebih keras, menanyakan tujuan kedatangan petualang legendaris tersebut. Mereka memasuki sebuah ruangan kecil di belakang guild, di mana Harold menyimpan catatan-catatan penting dan peta-peta kuno.
Setelah mereka duduk, Harold mengeluarkan sebuah peta tua dari laci meja kayunya. "Saya pernah mendengar tentang artefak itu. Legenda mengatakan bahwa artefak tersebut memiliki kekuatan luar biasa, dan banyak yang telah mencarinya selama berabad-abad. Namun, tak banyak yang tahu lokasi pastinya."
Arlan memandang peta itu dengan mata tajam. "Griselda, seorang kesatria kerajaan di Gatewood, memberiku petunjuk bahwa artefak itu terkubur di bawah istana. Aku membutuhkan lebih banyak informasi untuk memastikan keberadaannya dan cara mengaksesnya."
Harold mengangguk, lalu membolak-balik beberapa halaman dari sebuah buku catatan tebal. "Ada beberapa catatan lama tentang terowongan bawah tanah yang menghubungkan berbagai bagian istana. Mungkin salah satu terowongan itu mengarah ke lokasi artefak. Saya akan memberikan semua informasi yang saya miliki."
Sementara Harold terus memberikan rincian dan petunjuk yang dapat membantu Arlan dalam misinya, suasana di luar ruangan kembali berangsur-angsur menjadi ramai. Para petualang mulai berdiskusi lagi, kali ini tentang kemungkinan misi besar yang mungkin sedang direncanakan oleh Arlan.
Setelah mendapatkan informasi yang diperlukan, Arlan berterima kasih kepada Harold dan bersiap untuk pergi. "Terima kasih atas bantuanmu, Harold. Aku akan melanjutkan penelusuranku."
Harold menampar bahu Arlan. "Semoga beruntung, Arlan."
Malam itu, di bawah langit berbintang, Arlan melanjutkan perjalanannya dengan antusias setelah mendapatkan informasi yang berguna baginya. Dengan yang diperolehnya dari Harold, ia merasa lebih yakin bahwa misinya untuk menemukan dan melindungi artefak kuno, cepat atau lambat akan memberikan hasil informasi.
Pagi hari tiba, matahari terbit dengan cahayanya yang lembut menyinari kota Eldoria. Louis, Darius, dan Sylphia berdiri di depan gerbang kota, bersiap untuk kembali ke desa Gatewood. Setelah malam penuh petualangan dan pertemuan dengan Aria, mereka merasa penuh semangat dan siap untuk melanjutkan perjalanan mereka.
Aria berdiri bersama mereka, wajahnya penuh senyum. "Jaga diri kalian baik-baik," katanya dengan suara lembut.
Louis mengangguk dengan rasa terima kasih yang mendalam. "Terima kasih, Aria. Bantuanmu sangat berarti bagi kami."
Aria tersenyum, matanya bersinar penuh harapan. "Aku percaya kalian akan menjadi petualang yang luar biasa. Selamat jalan dan sampai ketemu lagi."
Setelah memberikan perpisahan, Aria melangkah pergi ke arah lain untuk melanjutkan misinya. Sedangkan Louis, Darius, dan Sylphia pun mulai berjalan menuju desa Gatewood, menelusuri jalan setapak yang membawa mereka kembali ke desa Gatewood. Perjalanan kali ini terasa berbeda, mereka merasa lebih kuat dan lebih yakin akan kemampuan mereka.
Sepanjang perjalanan, mereka berbicara tentang pengalaman mereka dan pelajaran yang mereka peroleh. Louis, dengan pedangnya yang kini terasa lebih ringan dan lebih akrab di tangan, memimpin jalan. Ia berpikir tentang bagaimana Aria telah mengajarkan mereka banyak hal dalam waktu singkat, dan bagaimana pengalaman itu membuatnya semakin bersemangat untuk melindungi desanya.
Darius, dengan busur di punggung, berjalan di samping Louis. Ia bercerita tentang mimpinya menjadi petualang kelas A dan bagaimana ia akan terus berlatih untuk mencapai tujuan itu. "Aku ingin menjadi seseorang yang bisa diandalkan dalam pertempuran," katanya. "Seperti Aria dan regunya. Mereka adalah panutan yang luar biasa."
Sylphia, yang berjalan di sisi lain Louis, mengangguk, "Aku juga merasakan hal yang sama. Bertemu dengan Aria dan melihat kekuatannya membuatku ingin menjadi penyihir yang lebih baik. Aku akan belajar lebih giat dan memperdalam pengetahuan sihirku."
Mereka melanjutkan perjalanan dengan penuh semangat, berbicara tentang masa depan dan rencana-rencana mereka.
Ketika mereka akhirnya tiba di tepi hutan yang mengelilingi desa Gatewood, mereka berhenti untuk beristirahat. Louis duduk di atas batu besar, memandang sekeliling dan merasa bersyukur bisa kembali ke tempat yang ia anggap sebagai rumah. Darius dan Sylphia duduk di suatu tempat, merasakan ketenangan yang sama.
"Kita sudah melalui banyak hal," kata Louis dengan suara tenang. "Tapi ini baru permulaan. Masih banyak yang harus kita pelajari dan masih banyak tantangan yang harus kita hadapi."
Darius mengangguk. "Benar. Tapi aku merasa lebih siap sekarang. Bersama-sama, kita bisa mengatasi apapun."
Sylphia tersenyum. "Kita adalah tim yang kompak. Aku yakin kita bisa mencapai banyak hal bersama."
Setelah berhenti sejenak, mereka melanjutkan perjalanan mereka kembali ke desa. Ketika mereka akhirnya tiba di gerbang desa Gatewood, mereka disambut oleh senyum dan sapaan hangat dari penduduk desa. Kepala desa, Pak Neils, datang menyambut mereka dengan penuh kegembiraan
"Selamat datang kembali!" seru Pak Neils. "Kami sangat bangga dengan kalian. Setelah sekian lama, akhirnya ada juga petualang dari desa ini. Kalian adalah kebanggaan kami."
Louis, Darius, dan Sylphia tersenyum, merasa bangga dengan pencapaian mereka. Mereka tahu bahwa perjalanan mereka belum selesai, namun mereka merasa siap untuk menghadapi apapun yang datang. Mereka telah belajar banyak dan menjadi lebih kuat, dan dengan semangat baru, mereka akan terus melindungi dan melayani desa Gatewood dengan sepenuh hati.
Hari itu ditutup dengan perayaan sederhana di desa, di mana semua orang berkumpul untuk merayakan lahirnya kembali para petualang muda di desa itu. Louis, Darius, dan Sylphia duduk bersama teman-teman dan keluarga mereka, merasakan kebahagiaan dan kedamaian yang hanya bisa ditemukan di rumah. Dan di bawah cahaya bintang-bintang malam, mereka berjanji untuk terus berjuang demi desa mereka, apa pun yang terjadi.
Dari agak jauh, Alice dengan sangat bangga memandangi mereka. Ia tak menyangka seorang petualang baru telah lahir di desa ini, dan mereka adalah sahabat dan saudaranya.
Adapun Griselda, ia bangga setelah para pemuda yang ia didik telah berkembang dan kini menjadi petualang yang mengakui desa ini.
Bagian 2
Di istana Kerajaan Lumania, malam yang tenang membawa kedamaian di sekitar istana besar yang megah. Bulan purnama mencapai taman-taman istana dengan cahayanya yang lembut, menciptakan bayangan-bayangan yang menari di atas dinding-dinding batu.
Di salah satu kamar mewah di sayap timur istana, Putri Charlotte sedang duduk di dekat jendela besar, menikmati pemandangan taman di bawahnya. Di dekatnya, seorang pelayan bernama Margarret, seorang gadis berambut muda jingga yang telah menjadi pelayannya secak kecil, ia mendengarkan Charlotte berbicara sambil merapikan tempat tidur putri dengan hati-hati.
"Ah, Margaret, kamu tahu tidak?" kata Charlotte dengan nada riang. "Aku tidak bisa berhenti memikirkan tentang Louis."
Margarret, yang sudah lama melayani Putri Charlotte, tersenyum lembut. "Louis? Putri, Anda sudah sering menyebut namanya akhir-akhir ini. Apakah Anda ingin bercerita lebih banyak tentang dia?"
Charlotte mengangguk, matanya bersinar penuh semangat. "Tentu saja, Margaret. Louis adalah seorang pemuda yang sangat berani dan mulia. Aku tidak akan pernah melupakan bagaimana dia menyelamatkanku dari para bandit."
Margarret duduk di kursi dekat tempat tidur, siap mendengarkan cerita putri. "Bagaimana kejadiannya, Putri? Ceritakan lebih banyak."
Charlotte menghela nafas panjang, mengenang peristiwa tersebut. "Itu terjadi beberapa pekan lalu, saat aku sedang dalam perjalanan pulang dari kediaman temanku di Rederic. Rombonganku tiba-tiba diserang oleh sekelompok bandit. Mereka sangat terlatih dan memiliki seorang pemimpin dengan kekuatan sihir. Para pengawal kami kalah jumlah dan keinginan menghadapi serangan mereka. "
"Wah, pasti menakutkan sekali, Putri," Margaret berkomentar dengan wajah prihatin.
"Benar, Margaret. Itu adalah momen yang sangat menakutkan," lanjut Charlotte. "Aku kemudian disekap oleh pimpinan bandit. Aku berpikir bahwa tidak ada harapan lagi, sampai tiba-tiba dua orang pemuda muncul dari hutan."
"Dua pemuda? Siapa mereka, Putri?" tanya Margaret, meski sudah bisa menebak jawabannya.
"Mereka adalah Louis dan Darius," jawab Charlotte dengan senyum lebar. "Mereka berdua dengan berani menghadapi para bandit, meskipun mereka sangat kalah jumlah. Aku melihat bagaimana mereka bertarung dengan segenap keberanian dan keteguhan hati."
Margaret mengangguk, semakin tertarik dengan cerita tersebut. Lalu, apa yang terjadi selanjutnya?
Charlotte melanjutkan dengan suara yang penuh emosi. "Pertarungan itu sangat sengit. Louis dan Darius hampir kalah, tetapi mereka tidak menyerah. Mereka terus berjuang meski luka-luka mulai menghalangi gerakan mereka. Namun, ketika situasi tampak semakin putus asa, seorang penyihir elf muncul dari balik pohon."
"Penyihir peri?" Margaret bertanya dengan matanya yang melebar.
"Iya, dia adalah Aria," jawab Charlotte. "Aria menggunakan sihirnya untuk mengalahkan pemimpin bandit dan menyelamatkan kami semua. Itu adalah momen yang sangat heroik. Namun sayang, semua pengawal dan pelayanku tidak ada yang selamat meskipun Aria telah berusaha menyelamatkan mereka.
Margaret tersenyum penuh kagum. "Mereka benar-benar pahlawan, Putri. Tidak heran Anda sangat terkesan dengan Louis."
Charlotte mengangguk, pipinya sedikit memerah. "Ya, sejak saat itu, aku tidak bisa berhenti memikirkan tentang keberanian dan kebaikan Louis. Dia bukan hanya persiapan, tapi juga sangat tulus dan rendah hati. Aku berharap bisa bertemu dengannya lagi suatu hari nanti."
Margaret tersenyum melihat wajah putri yang penuh semangat. "Saya yakin, Putri. Takdir akan mempertemukan Anda kembali dengannya. Mungkin ada banyak petualangan dan kejutan yang menunggu di depan."
Charlotte mengangguk, memandang keluar jendela dengan mata penuh harapan. "Aku juga berharap begitu, Margaret. Dunia ini penuh dengan misteri dan petualangan. Aku yakin, perjalanan hidupku akan membawa banyak kejutan, terutama jika aku bisa bertemu kembali dengan orang-orang yang telah menyelamatkanku."
Malam itu, bulan purnama menggantung rendah di langit, mencapai ibu kota Kerajaan Lumania dengan cahaya redup yang dipandu melalui awan-awan yang jarang. Jalan-jalan utama di kota dipenuhi dengan lampu-lampu minyak yang menyala redup, menciptakan siluet-siluet gelap dari bangunan-bangunan bersejarah yang menjulang tinggi di sepanjang jalan.
Di sudut jalan menuju istana, rombongan besar terlihat akan segera memasuki gerbang kota dalam beberapa saat, dengan gemuruh kaki kuda dan derap langkah ratusan prajurit yang mengawal mereka. Di tengah-tengah rombongan itu, sebuah kereta kuda besar yang ditarik oleh dua kuda hitam berkelebat melaju dengan gagahnya. Di dalamnya duduk Pangeran Cedric dari Kerajaan Calestia, seorang pria berpakaian mewah dengan jubah sutra ungu. Wajahnya yang tampan terlihat tersenyum bahagia ketika dia berbincang-bincang dengan Asisten Pribadinya, Demitri, seorang pria paruh baya yang sudah lama melayani keluarga kerajaan Calestia.
"Pangeran Cedric," ucap Demitri dengan hormat, "kita sebentar lagi akan tiba di istana Kerajaan Lumania. Persiapan untuk pertemuan Anda dengan Putri Charlotte sudah kami atur dengan baik."
Cedric mengangguk, melirik serius sambil memandang ke arah kota yang mulai terlihat. "Saya menghargai kerja keras Anda, Demitri. Kita harus memastikan bahwa pertemuan ini berjalan lancar dan sesuai dengan harapan kedua kerajaan."
Demitri mengangguk, Tentu saja, Pangeran. Putri Charlotte adalah permaisuri yang potensial bagi Anda, dan perjanjian ini akan menguntungkan kedua kerajaan. Kerajaan Calestia akan mendapat dukungan yang kuat dari Kerajaan Lumania.
Cedric menghela napas dalam-dalam, menimbang berbagai pertimbangan politik yang menyertainya. "Saya hanya berharap bahwa Putri Charlotte juga menyetujui pernikahan ini. Saya ingin mendapatkan hatinya dengan cara yang tepat."
Kereta kuda mereka melaju lebih dekat ke gerbang kota, dimana masyarakat setempat melihat mereka dengan penuh kekaguman.
"Saya berharap Putri Charlotte mengerti bahwa ini adalah langkah yang tepat untuk kedua kerajaan," ucap Cedric pelan, lebih untuk dirinya sendiri daripada untuk Demitri.
Demitri memberikan senyum bijaksana. "Saya yakin, Pangeran. Ketulusan dan niat baik Anda akan diterima dengan hati yang terbuka."
Mereka melanjutkan perjalanan mereka melintasi gerbang kota istana, di mana Cedric akan bertemu dengan Putri Charlotte, dan takdir kedua kerajaan akan segera ditentukan oleh keputusan mereka.
Bagian 3
Rombongan Pangeran Cedric dari Kerajaan Calestia memasuki gerbang megah istana Kerajaan Lumania dengan gemuruh kaki kuda dan langkah kaki ratusan prajurit yang mengiringi mereka. Pangeran Cedric, ditemani Asisten Pribadinya, Lord Harrington, keluar dari kereta kuda besar dengan sikap anggun dan penuh martabat. Di hadapan mereka, Raja Theodore sudah menunggu dengan penuh hormat, dikelilingi oleh para penasihatnya yang berdiri tegap di aula utama istana.
Raja Theodore menyambut kedatangan Pangeran Cedric dengan senyuman hangat. "Selamat datang, Pangeran Cedric, pangeran pertama dari Kerajaan Calestia. Kami sangat gembira atas kedatangan Anda dan harapannya untuk mempererat hubungan antara kedua kerajaan kami."
Cedric menundukkan kepala dengan penuh hormat. "Terima kasih, Raja Theodore. Saya berterima kasih atas Terima kasih hangat ini."
Raja Theodore mengangguk dan mengundang mereka masuk ke dalam istana. "Silakan, mari kita lanjutkan ke dalam untuk melakukan pembicaraan lebih lanjut. Putri Charlotte juga menanti untuk bertemu dengan Anda."
Sementara itu, di kamar pribadinya yang tenang, Putri Charlotte duduk di kursi berhias di dekat jendela besar yang menghadap ke halaman istana. Ia mendengar keramaian di luar, langkah kaki, suara kuda, dan gemuruh percakapan yang teredam. Dia merasa penasaran dan berdiri untuk melihat keluar.
Dengan anggunnya, Putri Charlotte mendekati jendela dan melongok keluar. Cahaya bulan purnama mencapai halaman istana, menambah kesan megah pada pemandangan di luar. Dia melihat rombongan besar yang sedang berjalan di aula utama, diiringi oleh Raja Theodore dan beberapa nasihatnya. Di antara mereka, dia melihat seorang pria muda berdiri tegak, dengan jubah mewah berwarna ungu dan sorot mata yang serius.
Sementara itu, di aula istana, pembicaraan berlanjut dengan penuh kehormatan antara Pangeran Cedric, Raja Theodore, dan para penasihatnya. Cedric menjelaskan dengan tujuan bijaksana kedatangannya untuk membangun persahabatan yang lebih kuat antara kedua kerajaan, sambil menghormati tradisi dan adat istiadat Kerajaan Lumania.
Raja Theodore mendengarkan dengan serius, menimbang manfaat dan risiko dari aliansi yang diusulkan. Dia tahu bahwa keputusan ini tidak hanya mempengaruhi politik, tetapi juga jalinan sosial dan budaya antara dua kerajaan yang berbeda.
Kembali ke kamar Putri Charlotte, dia masih melihat dari jendela, bertanya-tanya kepada Margarret, pelayan setianya.
Sementara itu, di aula istana, pembicaraan mendekati titik penting. Raja Theodore menunjukkan bahwa pertemuan formal antara Putri Charlotte dan Pangeran Cedric akan diadakan esok hari, untuk memberikan kesempatan pada kedua belah pihak untuk lebih mengenal satu sama lain sebelum membuat keputusan yang besar bagi kedua kerajaan mereka. Pangeran Cedric menyetujui dengan hormat, sementara para penasihat berdiskusi tentang persiapan yang diperlukan untuk acara tersebut.
Sementara itu di dalam kamar, putri Charlotte penasaran dengan siapa yang datang, kemudian menanyakan kepada Margarret, pelayan pribadinya. "Apa yang terjadi di luar? Apa kau tahu sesuatu, Margarret?"
Margarret menggelengkan kepalanya. "Entahlah tuan putri, saya juga tak tahu karena sejak tadi saya berada di sini dengan anda."
Tiba-tiba seorang penasihat kerajaan mengetuk pintu, dan kemudian Margarret membukanya setelah Charlotte mengizinkannya.
"Tolong sampaikan kepada tuan putri, Pangeran Cedric, pangeran pertama kerajaan Calestia telah tiba. Ia datang ke kerajaan Lumania untuk melamar tuan putri, dan tuan putri akan dipertemukan dengannya secara resmi." Kata penasihat itu sebelum akhirnya berpamitan untuk melanjutkan pekerjaannya. Setelah itu Margarret pun menyampaikan hal tersebut pada Charlotte
Charlotte yang mendengar hal tersebut terkejut bukan main hingga sedikit syok. Itu karena ia sama sekali belum siap untuk dijodohkan, apalagi dengan sangat mendadak seperti saat ini. Terlebih lagi ia masih menaruh hati kepada seseorang, membuatnya semakin stress.
"Margarret, apa yang harus aku lakukan?" tanya Charlotte dengan gemetar, mencoba mengendalikan kecemasannya. "Aku sama sekali tidak siap untuk ini. Bagaimana bisa begitu mendadak?"
Margarret menatapnya dengan penuh empati. "Maafkan saya, Yang Mulia. Aku sendiri tidak menyangka hal ini akan terjadi. Tapi, mungkin ini adalah kesempatan baik untuk memperkuat hubungan antara kerajaan kita dan Calestia."
Charlotte menggelengkan kepala, pandangannya kosong ke arah jendela besar yang menghadap ke halaman istana. "Tapi aku belum siap untuk menikah, Margarret. Dan aku masih... masih..."
"Saya mengerti, Yang Mulia," potong Margarret dengan lembut. "Tapi ingatlah, putri harus mematuhi keputusan dan kebijakan yang diambil oleh keluarga kerajaan. Dan Pangeran Cedric adalah sosok yang terhormat dan disegani."
Percakapan mereka terhenti ketika ada ketukan pelan di pintu. Margarret menghampiri dan membukakan pintu untuk seorang pelayan muda yang tampak agak gelisah. "Maafkan saya, Yang Mulia, Pelayan Ethan ingin memberitahukan bahwa Pangeran Cedric telah tiba di istana dan Raja Theodore mengundang Anda berdua untuk bergabung di ruang tamu utama untuk menyambutnya."
Charlotte menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan keberaniannya. "Terima kasih, Ethan. Beritahukan kepada Raja Theodore bahwa kami akan segera bergabung."
Setelah pelayan pergi, Charlotte menatap Margaret dengan khawatir. "Apa yang harus aku katakan, Margarret? Bagaimana aku bisa bertemu dengannya tanpa... tanpa..."
Margaret menyentuh pundaknya dengan lembut. "Anda adalah putri yang tangguh dan bijaksana, Yang Mulia. Percayalah pada diri sendiri. Saya yakin Anda bisa melewati ini dengan baik."
Mereka berdua bangkit dari kursi mereka dan bersiap-siap untuk bergabung dengan acara penyambutan di ruang tamu utama. Di dalam hatinya, Charlotte masih merasakan kegelisahan yang mendalam. Dia memikirkan tentang perasaannya yang masih terikat pada seseorang yang tidak bisa dia sebutkan. "Bagaimana semua ini bisa terjadi begitu cepat? Bagaimana aku bisa menghadapi Pangeran Cedric dan apa yang diharapkan darinya?" gumamnya.
Saat mereka berjalan menuju ruang tamu, Margarret mencoba menenangkan Charlotte dengan kata-kata penuh kasih dan semangat. Mereka tiba di depan pintu ruang tamu utama, di mana Raja Theodore dan rombongan Pangeran Cedric sudah menunggu dengan penuh antusiasme. Charlotte mengambil napas dalam-dalam, menyiapkan dirinya untuk pertemuan yang akan menentukan ini.