Chereads / I Want To Be Strong And Protect My Village Vol. 1 / Chapter 13 - Chapter 12 : Final Battle

Chapter 13 - Chapter 12 : Final Battle

Bagian 1

Pagi itu, di hamparan luas di perbatasan antara Althar dan Calestia, ketegangan yang sudah lama terasa akhirnya pecah menjadi peperangan yang mematikan. Matahari terbit memancarkan sinarnya di antara awan-awan putih, menciptakan bayangan panjang yang menakutkan di medan perang yang luas.

Kesatria-kesatria dari Althar, dipimpin oleh komandan mereka yang tak kenal takut, bergerak maju dengan gagah berani. Bersama mereka, pasukan berkuda Althar menyerbu dengan kecepatan menggemparkan, siap meluluhlantakkan pertahanan Calestia. Di sisi lain, Pangeran Cedric dari Calestia memimpin pasukannya dengan gagah berani, membalas serangan dengan pertahanan yang kokoh dan serangan balasan yang tajam.

"Serang!!!" teriak salah satu kesatria Althar, memecah kesunyian pagi dengan keganasan serangannya. Pasukan Althar yang dilatih dengan baik mengikuti perintah mereka dengan disiplin yang mematikan.

"Serang!!!" balas teriakan Pangeran Cedric, menaikkan semangat pasukannya yang telah lama siap untuk pertempuran ini. Di bawah panji-panji Calestia, kesatria-kesatria mereka bertempur dengan keberanian yang luar biasa. Mereka membentuk barisan pertahanan yang rapat, sementara para pemanahnya yang berlatih membalas serangan arquebus dan meriam Althar dengan panah-panah yang mematikan.

Gelora peperangan pun meletus dengan segala kekuatan yang dimilikinya. Suara teriakan, dentuman meriam, letupan arquebus, dan suara benturan besi saling bersahutan di udara. Perang medan segera berubah menjadi sebuah arena kematian, di mana tiap langkah dan serangan bisa menjadi penentu hidup dan mati.

Dari kejauhan, korps penembak Althar terus mengirimkan hujan peluru arquebus mereka, mengenai pasukan Calestia dengan akurasi mematikan. Kavaleri Althar tidak kalah berperan, dengan meriam-meriam mereka yang menjatuhkan hujan besi di tengah-tengah musuh.

Namun, pasukan Calestia tidak mundur begitu saja. Mereka mempertahankan barisan mereka dengan gigih, menanggapi setiap serangan dengan tekad yang tak tergoyahkan. Pangeran Cedric berada di garis depan, memimpin dengan teladan yang baik, menantang setiap musuh yang datang ke arahnya.

Di tengah kekacauan peperangan, keberanian dan semangat berjuang membara di hati setiap prajurit dari kedua belah pihak. Kematian dan penderitaan menjadi harga yang harus dibayar di medan perang ini, di mana hanya yang terkuat dan paling berani yang akan bertahan hidup.

Pertempuran berlanjut sepanjang hari, menghancurkan tanah dan menguras kekuatan kedua belah pihak. Setiap serangan dan perlindungan menjadi bagian dari sejarah yang tak terlupakan, di mana keputusan masa depan benua ini sedang dipertaruhkan.

Saat senja mulai menyelimuti medan perang yang dipenuhi mayat dan darah, kedua pihak menarik napas dalam-dalam. Kedua pasukan menahan napas, menunggu momen berikutnya yang akan menentukan siapa yang akan memenangkan perang berdarah ini.

Malam harinya, kedua pasukan menghentikan peperangan sejenak. Tenda-tenda dibangun di sekitar daerah peperangan. Di tenda utama Calestia, pangeran Cedric bersama para kesatria dan penasihatnya kembali menyusun strategi. Di tengah heningnya tenda utama Calestia yang berada di kamp perang, suasana tegang menggantung di udara. Pangeran Cedric duduk di meja strategi, dikelilingi oleh para kesatria dan penasihatnya yang tampak lelah namun penuh tekad. Mereka mempertimbangkan setiap kemungkinan, menghitung langkah-langkah berikutnya untuk menghadapi pasukan Althar yang sangat kuat.

"Pasukan Althar menggunakan senjata-senjata terbaru mereka dengan sangat baik," ujar Harris, salah satu kesatria senior yang memimpin sebagian dari pasukan Calestia. "Kami harus menemukan cara untuk menutup kelemahan kami terhadap senjata-senjata yang mereka miliki."

Pangeran Cedric mengangguk serius. "Kita perlu memanfaatkan kecepatan dan mobilitas kesatria kita. Kita harus mencari celah untuk menyerang balik dengan lebih banyak strategi."

Sementara itu, di tenda utama Althar, suasana berbeda terasa. Vanessa, wanita berambut panjang berwarna putih yang merupakan salah satu tokoh kunci di Althar, duduk di atas takhta sementara Franklin, pendamping setianya, berdiri di sampingnya. Mereka berdua dikelilingi oleh para kesatria tinggi dan ahli strategi Althar yang sedang merencanakan langkah setelah kesuksesan berikutnya mendesak pasukan Calestia.

"Kita telah membawa kemajuan besar dalam pertempuran hari ini," kata Vanessa dengan suara tegas. "Kita telah membuktikan keunggulan kita. Sekarang saatnya kita menggunakan kekuatan sejati kita."

Franklin mengangguk, "Artefak kuno ini akan memberi kita keunggulan besar. Kita bisa memanfaatkannya untuk menimbulkan kekacauan di belakang garis musuh. Para monster akan menjadi senjata kita."

Vanessa tersenyum penuh keyakinan. "Kekuatan Calestia sedang lemah karena sebagian besar pasukan mereka sedang dalam pertempuran. Sekarang adalah waktu yang tepat untuk menyerang."

Rencana jahat mereka terasa begitu kuat di dalam tenda yang berpendar dengan obor-obor. Mereka telah merencanakan untuk menggunakan artefak mereka, yang memiliki kekuatan untuk mengendalikan monster dari jarak jauh. Dengan memicu kekacauan di wilayah Calestia, mereka berharap bisa mengalihkan perhatian dan memperlemah pertahanan musuh.

Malam itu, di dalam tenda utama Althar, suasana terasa tegang dan dipenuhi oleh ekspektasi jahat. Franklin berdiri di tengah-tengah ruangan, menyembunyikan artefak itu yang memancarkan cahaya kehijauan yang misterius. Vanessa berdiri tak jauh darinya, matanya bersinar dengan kegelapan, sementara senyum jahatnya menghiasi wajahnya.

"Sudah waktunya," gumam Franklin dengan suara rendah namun penuh kekuatan. "Artefak ini akan memanggil monster-monster terkuat dari hutan-hutan gelap dan gunung-gunung tinggi untuk menjadi kekuatan. Kita akan mengejutkan musuh kita yang tak menyadari apa yang sedang kita lakukan saat ini."

Para kesatria dan prajurit Althar yang berkumpul di sekitar Franklin tampak terkesima. Mereka tahu betul bahwa artefak ini memiliki kekuatan yang luar biasa, dan dengan kegunaannya, mereka dapat menghancurkan musuh-musuh mereka dengan lebih cepat.

Vanessa mendekat, matanya bersinar dengan kegembiraan yang gelap. "Dengan ini, kita akan menaklukkan Calestia dan seluruh daratan Altheria," terdengar suara bagaikan bisikan yang mengerikan di dalam tenda yang sepi.

Franklin mengangkat artefak itu tinggi-tinggi, lalu mulai merapal mantra dalam bahasa asing. Kata-kata yang diucapkannya terdengar aneh dan tidak dapat dipahami oleh sebagian besar yang hadir di sana, namun mereka tahu bahwa ini adalah kunci untuk membangkitkan kekuatan artefak tersebut.

Di luar tenda, angin malam yang sepi tiba-tiba berubah menjadi angin ribut yang membawa aura kegelapan. Langit malam yang sebelumnya cerah kini diselimuti oleh awan-awan gelap yang bergulung-gulung, menciptakan suasana yang mencekam.

Perlahan-lahan, dari hutan-hutan dan gunung-gunung di berbagai titik benua itu, muncul bayangan-bayangan besar yang bergerak dengan kecepatan yang menakutkan. Monster-monster yang terbangun oleh kekuatan artefak itu mulai bergerak menuju arah yang ditentukan oleh Franklin. Mereka adalah makhluk-makhluk buas dengan kekuatan yang luar biasa, siap menghancurkan apa pun yang ada di hadapan mereka.

Di dalam tenda, Franklin menampilkan artefak dengan senyum kemenangan di wajahnya. "Sekarang, kita tinggal menunggu," katanya dengan suara dingin. "Monster Pasukan ini akan menghancurkan desa-desa dan kota-kota di Calestia, membuat pasukan mereka terpecah dan lemah. Dan saat mereka teralihkan, kita akan menyerang dengan kekuatan penuh."

Vanessa tertawa kecil, senyum jahatnya semakin lebar. "Kita akan menguasai seluruh daratan Altheria, dan tidak ada yang bisa menghentikan kita."

Para kesatria Althar yang hadir di sana mengangguk setuju, senyum-senyum jahat memikat wajah mereka. Mereka tahu bahwa dengan kekuatan artefak ini, kemenangan sudah di depan mata.

Sementara itu, di kamp passuka Calestia, pangeran Cedric bersama para penasihat dan kesatria terus merancang strategi. Mereka tidak menyadari ancaman besar yang sedang mendekati mereka dari arah belakang. Mereka hanya mengetahui bahwa malam ini adalah malam yang penting, malam di mana mereka harus memastikan kesiapan untuk menghadapi serangan dari pasukan Althar yang sudah terlihat sangat kuat.

Tetapi di luar pengetahuan mereka, bayangan-bayangan gelap dari monster-monster yang dipanggil oleh artefak mulai bergerak menuju wilayah Calestia, membawa kehancuran dan kekacauan di beberapa desa dan kota di Calestia yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Di dalam kegelapan malam, pertempuran besar ini akan segera berubah menjadi mimpi buruk yang mengerikan, di mana bukan hanya pasukan manusia yang harus mereka hadapi, tetapi juga kekuatan monster yang tak terduga. Di tengah semua itu, Franklin dan Vanessa menikmati momen kemenangan mereka, yakin bahwa tidak ada yang bisa menghalangi jalan mereka untuk menguasai seluruh daratan Altheria.

Bagian 2

Sementara itu di Calestia, kegelapan malam yang sebelumnya hanya menyelubungi kota dengan kenyamanan, kini dipenuhi oleh suara mengerikan dari monster-monster yang datang menyerang. Dari berbagai arah, makhluk-makhluk buas itu muncul, melompat dan melahap, menyerang segala sesuatu yang mereka temui di hadapan mereka. Gelombang monster yang tiba-tiba dan tak pernah mereka duga ini bertabrakan dengan kekuatan yang luar biasa.

Para kesatria dan petualang berjuang mati-matian untuk mempertahankan tempat itu. Mereka menghunus pedang, menembakkan panah, dan melafalkan mantra-mantra sihir untuk melawan serangan monster. Namun, jumlah prajurit di sana sangat sedikit karena beberapa besar prajurit dan kesatria hebat mereka berada di medan perang, membuat mereka kerepotan dengan jumlah monster yang terus datang tanpa henti. Setiap sudut kota dipenuhi dengan pertempuran yang sengit. Bangunan-bangunan roboh, teriakan-teriakan ketakutan dan kesakitan memenuhi udara, sementara darah dan debu mengotori jalanan yang sebelumnya damai.

Di tengah-tengah kekacauan itu, Sir Reynold, salah satu kesatria yang berada di ibukota Calestia, menyadari situasi yang semakin kritis. Dengan jumlah prajurit yang sangat terbatas dan tak ada petualang peringkat A dan S di Calestia yang dapat menghadapi monster-monster ini, Reylond sadar bahwa mereka tidak akan mampu mempertahankan ibukota lebih lama meskipun mereka telah berusaha sekuat tenaga. Mereka tidak memiliki kemampuan dan kesiapan yang cukup untuk menghadapi serangan gelombang monster yang begitu dahsyat.

Di jantung kota, di dalam istana kerajaan, keluarga kerajaan Calestia merasa ketakutan dan cemas. Ratu Juliana, dengan wajah pucat dan mata yang berkaca-kaca, memegang tangan putra-putrinya dengan erat. Raja Frankus, yang baru saja kembali dari pertemuan situasi di luar tampak bingung dan marah. Dia tahu bahwa dia harus melakukan sesuatu untuk melindungi keluarganya, tetapi dia juga tidak bisa meninggalkan rakyatnya yang sedang berjuang mati-mati.

Saat situasi semakin memburuk, Reynold mengajukan saran kepada Sang Raja. Dia berlari menuju istana dan segera menemui Raja Frankus. "Yang Mulia," ujar Reynold dengan suara tegas namun penuh kekhawatiran, "kita harus mengevakuasi keluarga kerajaan sekarang juga. Ibukota dalam keadaan yang sangat genting, dan kita tidak bisa menjamin keselamatan mereka di sini. Kita harus mengirim mereka ke Lumania, di sana mereka akan lebih aman."

Raja Frankus terdiam sejenak, memikirkan kata-kata Reynold. Dia tahu bahwa meninggalkan rakyatnya pada saat-saat seperti ini adalah sesuatu yang sangat berat baginya. Namun, dia juga memahami bahwa keselamatan keluarganya adalah prioritas utama. "Baiklah," ujar Raja Frankus akhirnya, suaranya penuh tekad. "Evakuasi keluarga kerajaan. Aku akan tetap di sini bersama pasukan, berjuang hingga titik darah penghabisan."

Reynold mengangguk, lalu segera mengatur rencana darurat. Ratu Juliana, bersama putra-putrinya, dipandu oleh para kesatria menuju gerbong kerajaan yang sudah disiapkan di halaman belakang istana. Dengan hati yang berat, Ratu Juliana menatap Raja Frankus yang tetap tinggal di ibukota. "Hati-hati, suamiku," bisiknya dengan mata yang berkaca-kaca. Sang Raja mengangguk dan mencium kening istrinya, "Aku akan melakukan yang terbaik untuk melindungi semuanya, sayang."

Setelah itu Raja Frankus memberikan sepucuk surat kepada pemimpin kesatria yang siap mengawal keluarga kerajaan menuju Lumania. "Berikan surat ini kepada Raja Theodore." Kesatria itu mengangguk. "Baik, Yang Mulia, sesuai perintah anda."

Gerbong kerajaan, dengan penjagaan ketat dari para kesatria, mulai bergerak keluar dari istana dan menuju jalan rahasia yang akan membawa mereka keluar dari ibukota tanpa ketahuan oleh monster-monster yang mengamuk. Jalan yang mereka lalui gelap dan sepi, hanya diterangi oleh cahaya obor yang redup. Setiap langkah yang mereka ambil dipenuhi dengan ketegangan, mengetahui bahwa di luar sana, kekacauan dan kematian sedang merajalela. Mereka akan menuju ke sebuah bangunan rahasia di wilayah itu, dimana di dalam bangunan tersebut terdapat portal sihir yang terhubung dengan wilayah di Lumania. Sesampainya mereka dengan penuh kehati-hatian, penyihir kerajaan yang ikut bersama mereka melakukan ritual yang sangat rumit untuk membuka portal.

Di Eldoria, Louis dan regunya terus berjuang melawan serangan monster. Louis menyemangati para petualang lainnya untuk menjaga semangat juang mereka yang tinggi. "Kita tidak boleh menyerah!" teriakan Louis dengan penuh semangat. "Kita akan melindungi Eldoria, apapun yang terjadi kawan-kawan! Ini adalah saatnya kita menunjukkan keberanian kita!" Louis mempertahankan Eldoria bersama regu dan para petualang lain. Namun di sisi lain, pikiran juga tidak tenang, mengarahkan desanya dimana di desa Gatewood tak ada petualang lain, hanya ada Griselda dan beberapa pemuda yang belum lama menjalani pelatihan. Namun ia tetap meyakinkan dirinya sendiri, dan mempercayakan desa Gatewood pada Griselda dan para pemuda di desa itu. Ia yakin, para pemuda dan penduduk desa pasti akan melakukan apapun untuk melindungi kampung halamannya.

Situasi semakin genting. Gelombang monster mulai keluar dari hutan-hutan yang ada di sekitar kerajaan, menyerang kota-kota dan desa-desa tanpa ampun. Louis dan regunya bersama para petualang lain serta prajurit kota Eldoria berada dalam pertempuran sengit melawan monster gelombang yang menyerang mereka. Malam itu, udara terasa dingin dan suasana tampak tegang di sepanjang dinding kota Eldoria. Barisan perlindungan telah terbentuk dengan rapi, dipimpin oleh seorang kesatria yang berdiri tegak di garis depan, mata penuh dengan tekad dan semangat juang yang tak tergoyahkan.

Monster-monster itu datang dalam jumlah besar, menerjang pagar kota dengan ganas. Mereka beragam jenisnya, dari goblin kecil, ogre, hingga troll raksasa yang membawa senjata berat. Bau darah dan lumpur dari pertempuran semakin mengisi udara, namun Louis dan regunya tetap fokus pada tugas mereka untuk melindungi kota dan penduduknya.

Dengan pedang yang berkilat, Louis memimpin serangan balik, menghujam ke tengah-tengah pasukan monster dengan penuh keberanian. Di sekitarnya, Darius dengan panahnya yang mematikan, dan Sylphia dengan sihirnya menembakkan bola-bola petir ke para monster yang menuju ke arah mereka. Prajurit kota Eldoria dengan para petualang itu. Mereka mengikuti perintah dengan disiplin, menahan serangan monster dengan tekad yang sama kuatnya seperti pemimpin mereka. Teriakan dan seruan semangat menggema di udara, memberikan semangat tambahan bagi mereka yang bertarung.

Namun, serangan monster tidak berhenti begitu saja. Gelombang demi gelombangmakhluk-makhluk buas terus menerjang, mencoba menjebol perlindungan kota. Setiap sudut dinding kota menjadi medan pertempuran, dengan pertumpahan darah yang tak terhindarkan di setiap langkah.

Louis dan regunya harus berpikir cepat dan bertindak lebih cepat lagi. Mereka merencanakan strategi, memanfaatkan kekuatan mereka masing-masing untuk menjaga agar tidak ada celah bagi monster untuk melewati garis pertahanan. Sylphia mengeluarkan sihir pemusnah massal, membakar barisan monster dengan api birunya yang mematikan. Darius dan para pemanah dan pengguna senjata berat memanfaatkan keahlian mereka untuk menargetkan pemimpin-pemimpin monster yang lebih besar.

Louis dan regunya bersama regu Alan berada dalam pertempuran melawan monster gelombang yang menyerang mereka di pinggiran kota Eldoria. Mereka bertarung dengan gigih, menangkis serangan monster yang datang bertubi-tubi.

"SRINGGG!!!"

Dalam celah keheningan di antara suara benturan senjata dan serangan sihir, Louis memotong salah satu goblin yang melompat ke dalam adegan dengan gesit. "Jaga posisi kita! Jangan biarkan mereka menembus ke dalam kota!" teriak Louis kepada regunya sambil belati pedangnya dengan penuh keberanian.

Di dekatnya, Alan dan regunya bergerak dalam koordinasi yang solid. Alan, yang sedang mengarahkan panahnya ke arah troll yang berusaha merobohkan pagar kota, berbalik sejenak ke arah Louis. "Louis, kita butuh bantuan di sini! Tahan mereka di luar dulu!" seru Alan, sementara panahnya melesat dan mengenai mata troll dengan presisi yang mematikan.

Darius, yang berdiri di samping Louis, menanggapi dengan sigap. "Aku akan membantu Alan menahan monster-monster besar itu. Sylphia, tolong bantu kami dengan serangan sihirmu!" tanya Darius kepada Sylphia yang tengah berkonsentrasi memanggil serangkaian bola api yang meluncur ke arah goblin-goblin kecil yang berusaha mendekati tembok.

Sylphia menganggukkan kepala singkat. "Aku akan terus mempertahankan perisai sihir di sekitar kita. Tidak ada yang boleh lolos dari sini!" sambil mengeluarkan ledakan sihir yang memantulkan serangan-serangan monster ke arah lain.

Di desa Gatewood, Griselda dan para pemuda yang telah dilatihnya juga bersiap siaga. Mereka berjaga-jaga di pos-pos yang strategis, mengawasi setiap gerakan yang mencurigakan di hutan sekitar. Ketegangan terasa di udara, semua orang sadar bahwa serangan monster bisa terjadi kapan saja.

Griselda dan salah satu pemuda berkeliling dari ujung ke ujung desa itu. Matanya memperhatikan setiap gerak-gerik mencurigakan di sekitar desa. Tiba-tiba, seekor burung merpati terbang ke arahnya. Burung itu membawa pesan dari Raja Theodore. Ia kemudian mengambil gulungan kecil yang diikatkan di kaki burung itu.

"Ratu Juliana dari kerajaan Calestia, bersama beberapa pengawal kesatria dan anak-anaknya, telah tiba di Lumania." Bunyi pesan itu. Griselda paham akan apa maksud dari berita ini. Ia menjadi terlihat serius dan cemas, ekspresi tampak seperti sedang memikirkan sesuatu yang sangat rumit dan mendesak.

Seorang pemuda yang sedang bersamanya menanyakan tentang pesan itu. Griselda menjelaskan, jika Ratu Calestia beserta anak-anaknya telah ada di Lumania, berarti tidak lain dan bukan bukan karena kerajaan Calestia telah berada di ambang kehancuran.

Di Istana Lumania, suasana yang biasanya tenang dan megah tiba-tiba berubah menjadi hiruk-pikuk. Rombongan Ratu Juliana dari Calestia akhirnya tiba, membawa serta anak-anaknya dan sejumlah pengawal kecil yang setia. Mereka datang dalam keadaan tergesa-gesa, wajah mereka penuh kekhawatiran dan ketakutan.

Raja Theodore menyambut mereka dengan tangan terbuka. Ia tahu betapa gentingnya situasi di Calestia, dan hatinya tergerak oleh penderitaan yang dialami Ratu Juliana dan rakyatnya. "Selamat datang di Lumania, Ratu Juliana," katanya dengan suara hangat dan penuh empati. "Anda dan anak-anak Anda aman di sini. Kami akan melakukan segala yang kami bisa untuk melindungi Anda."

Ratu Juliana, meskipun lelah dan cemas, merasa sedikit lega mendengar kata-kata Raja Theodore. Ia mengangguk dengan rasa terima kasih yang mendalam. "Terima kasih, Raja Theodore. Keadaan di Calestia semakin tidak terkendali. Suamiku, Raja Frankus, tetap berada di sana untuk memimpin perlawanan, tapi kami takut bahwa...," suaranya terputus, tak mampu menyelesaikan kalimatnya.

Raja Theodore memahami kekhawatiran yang dirasakan Ratu Juliana. Ia mengambil surat dari Raja Frankus yang menyerahkannya dan membacanya dengan seksama. Ekspresinya berubah serius saat ia menyerap setiap kata dari surat tersebut. "Kami akan melakukan segala yang kami bisa untuk membantu," katanya dengan tegas. "Untuk sekarang, izinkan saya mengantar Anda ke ruang keluarga. Anda dan anak-anak Anda perlu istirahat."

Ratu Juliana dan anak-anaknya kemudian diantar ke ruang keluarga di istana, diiringi oleh para pelayan yang membawa makanan dan minuman untuk menyegarkan mereka. Saat mereka tiba di ruang keluarga, suasananya sedikit lebih tenang. Ruangan itu hangat dan nyaman, dengan perapian yang menyala lembut, mengeluarkan dingin yang menyusup dari luar.

Putri Charlotte, putri Raja Theodore, datang menyambut mereka. Charlotte adalah seorang gadis muda dengan hati yang lembut dan penuh perhatian. Ia melihat ketakutan dan kecemasan di wajah anak-anak Ratu Juliana dan segera mendekati mereka dengan senyum yang menenangkan. Halo, adik-adik, katanya dengan lembut. "Nama saya Charlotte. Jangan khawatir, kalian aman di sini. Kita akan bermain dan bersenang-senang bersama."

Anak-anak Ratu Juliana yang sebelumnya tampak ketakutan mulai merasa sedikit lebih tenang mendengar kata-kata Charlotte. Mereka kecil tersenyum, meski masih terlihat cemas. Charlotte kemudian membawa mereka ke sudut ruangan di mana ia telah menyiapkan beberapa mainan dan buku cerita. Ia mulai bercerita kepada mereka, mengalihkan perhatian mereka dari kekhawatiran yang melingkupi.

Sementara itu, Ratu Juliana duduk di dekat perapian, masih terlihat gelisah. Raja Theodore mendekatinya dan duduk di dekatnya. "Kami akan menjaga Anda dan anak-anak Anda sebaik mungkin, Ratu Juliana," katanya dengan tegas. "Saya akan segera mengirimkan pesan kepada para pemimpin kerajaan lain untuk meminta bantuan dan dukungan. Kita tidak akan membiarkan Calestia jatuh tanpa perlawanan."

Di wilayah Rederic, kota yang biasanya tenang kini dipenuhi dengan ketegangan dan kewaspadaan. Prajurit-prajurit kota berpatroli sepanjang jalan, mata mereka waspada terhadap setiap gerakan di kegelapan hutan yang mengelilingi kota. Cahaya obor yang mereka bawa memberikan sedikit rasa aman, namun bayang-bayang yang bergerak di antara pepohonan tetap membuat was-was mereka.

Di beberapa sudut kota, para petualang juga berjaga-jaga. Mereka adalah petualang berpengalaman, dengan senjata terhunus dan sihir siap digunakan. Mereka tahu bahwa monster bisa menyerang kapan saja, dan mereka harus siap menghadapinya. Jalan-jalan utama kota dijaga ketat, dan setiap suara yang tidak biasa langsung menarik perhatian.

Di dalam rumahnya yang megah, Melissa berdiri di dekat jendela, memandang keluar dengan perasaan cemas. Cahaya bulan memantulkan bayangan-bayangan aneh di jalanan yang sepi, dan setiap suara gemerisik dari hutan membuatnya gemetar ketakutan. Ia tahu bahwa serangan monster bisa terjadi kapan saja, dan ia takut rumahnya akan menjadi salah satu target.

"Ayah, bagaimana jika mereka menyerang rumah kita?" tanyanya dengan suara gemetar.

Adipati Leinhard, ayah yang bijaksana dan berwibawa, mendekatinya dengan langkah tenang. Ia merangkul bahu putrinya dengan penuh kasih sayang, mencoba ketenangan yang melanda hati Melissa.

"Tenanglah, Melissa," katanya dengan suara lembut namun tegas. "Kita punya prajurit yang kuat dan berani, dan para petualang di kota ini adalah yang terbaik. Mereka akan menjaga kota ini."

Melissa menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya. Ia tahu bahwa ayahnya selalu tahu apa yang terbaik, dan ia harus mempercayai keputusan-keputusannya. Namun, bayang-bayang ketakutan masih mengintai di sudut pikiran.

"Baiklah, ayah," katanya akhirnya. "Aku akan berusaha tenang."

Bagian 3

Di sebuah kota kecil yang damai, hiruk-pikuk kota mulai mereda seiring dengan berjalannya malam. Para petualang dan prajurit kota berjaga di sekitar gerbang dan pos-pos strategis, memastikan keamanan bagi warga yang tinggal di dalamnya, mengingat sedang terjadi peningkatan aktivitas monster dan sadar bahwa ancaman dari gelombang monster dapat datang kapan saja.

Di salah satu rumah di pinggir kota, seorang wanita berambut merah muda berdiri di depan jendela sambil menggendong anaknya yang masih kecil. Ia memandang keluar dengan penuh kekhawatiran. Mata yang penuh perhatian memandang jauh ke arah perbukitan di sekitar kota, seolah-olah mencoba membaca tanda-tanda dari jarak jauh sambil memeluk anaknya dengan semakin erat.

Ia merasakan kegelisahan yang mendalam. Dia tahu betapa berbahayanya situasi saat ini. Gelombang monster yang mungkin akan menyerang, membuatnya khawatir akan keselamatan keluarga dan warga kota kecil ini. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri, namun hatinya masih tenang.

Kemudian, seorang pria yang tampak lembut, datang mendekatinya. Ia tak lain adalah suami yang baru saja pulang dari gerainya setelah melayani pelanggan sepanjang hari. Melihat istrinya yang tampak cemas, pria itu segera menggenggam tangannya dan memperhatikan dengan penuh kasih.

"Maria, apa yang mengganggumu?" tanyanya dengan lembut, menyentuh pipi istrinya dengan tangan yang hangat.

Maria tersenyum lemah dan kecewa kepala. "Aku hanya... merasa khawatir, Leo. Situasi di luar sana semakin buruk. Monster-monster itu bisa datang kapan saja, dan aku takut kita tidak siap."

Leo menarik Maria ke dalam pelukannya, mencoba memberikan ketenangan. "Aku mengerti kekhawatiranmu, Maria. Tapi ingat, kita memiliki prajurit dan petualang yang hebat di kota ini. Mereka akan melindungi kita. Dan kau, dengan kemampuanmu sebagai penyembuh terbaik di kota ini, kau bisa membantu banyak orang jika terjadi sesuatu."

Maria mengangguk perlahan, merasakan sedikit ketenangan dari kata-kata suaminya. "Kau benar, Leo. Aku hanya tidak ingin melihat ada yang terluka atau lebih buruk lagi."

Leo tersenyum dan memeluk Maria. "Kita akan melalui ini bersama. Kita sudah menghadapi banyak hal sebelumnya, dan kita akan melewati ini juga."

Malam itu, Maria dan Leo duduk bersama di ruang tamu, membicarakan langkah-langkah yang bisa mereka ambil untuk membantu kota mereka. Maria berencana menyiapkan lebih banyak ramuan penyembuh dan peralatan medis, sementara Leo berencana membantu logistik untuk memperkuat pertahanan kota dengan sumber daya yang dimilikinya.

Di tempat lain di sebuah desa pelosok yang dikelilingi oleh hutan lebat, suasana malam terasa mencekam. Beberapa petualang dan warga desa berjaga dengan waspada di sekitar perbatasan desa. Mereka membawa pedang, tombak, kapak, dan obor, siap menghadapi ancaman yang mungkin muncul dari kegelapan hutan. Cahaya rembulan yang tertutup awan sesekali menyinari desa itu dengan redup, menambah kesan suram dan penuh ketegangan.

Seorang petualang menatap ke arah hutan dengan wajah sangat serius, sesekai ia menggesekkan giginya. Kemudian ia memutar ke ujung sebuah menara kayu di sekelilingnya. "Bagaimana situasinya, Roland?"

Di atas sebuah menara pengawas yang dibangun dari kayu, seorang pria berdiri memandang jauh ke dalam hutan. Ia mendengar rekannya yang memanggil dari bawah. "Aku masih belum melihat apa-apa!" Dengan pengelihatannya yang setajam elang serta busur dan anak panah di punggungnya, Roland mengkondisikan setiap gerakan di antara pepohonan, pendengaran tajam mendengar suara-suara malam. Sebagai petualang yang berpengalaman, dia tahu betapa pentingnya namun tetap waspada, terutama pada saat-saat seperti ini.

Kemudian, di saat pertama, terdengar suara langkah kaki yang tergesa-gesa. Roland segera memperhatikan, memusatkan perhatian pada titik itu. Seorang petualang berlari menuju menara, membawa berita penting. "Roland! Ada sesuatu yang bergerak di hutan! Kelihatannya banyak, dan mereka mendekat dengan cepat!" teriak petualang itu dengan nada cemas.

Roland mengangguk dan segera mengambil busur serta menyiapkan anak panah. "Bersiaplah! Beri tahu yang lain untuk bersiap di pos mereka. Kita harus melindungi desa ini dengan segala cara!" perintahnya dengan suara tegas.

Petualang itu segera berlari kembali ke desa, menyampaikan peringatan kepada yang lain. Suasana desa berubah menjadi tegang. Para petualang dan warga desa segera bersiap di pos masing-masing, membentuk barisan pertahanan. Cahaya obor mereka yang berkobar-kobar memberikan sedikit penerangan di tengah kegelapan.

Di tengah persiapan itu, Roland memandang ke arah hutan dengan mata yang tajam. Bayangan-bayangan gelap mulai terlihat di antara pepohonan, semakin mendekati desa. Jumlah mereka banyak, lebih dari yang diharapkan. Roland menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri.

"Tenang, kita bisa mengatasinya," gumamnya pada dirinya sendiri. "Aku sudah pernah menghadapi yang lebih buruk. Arlan…. Apa yang sedang kamu lakukan sekarang…?"

Saat bayangan-bayangan semakin mendekat, Roland memberikan isyarat kepada orang lain untuk bersiap. Panahnya sudah tertarik, siap untuk dilepaskan. Dalam sekejap, bayangan pertama keluar dari hutan, menampakkan wujudnya. Monster-monster itu berbentuk aneh dan mengerikan, dengan mata yang berkilat di bawah sinar obor.

"Serang!" teriak Roland, melepaskan panah pertamanya. Panah itu melesat dengan cepat, menembus salah satu monster dan menjatuhkannya. Para petualang dan warga desa mengikuti perintahnya, menyerang dengan segala kekuatan yang mereka miliki. Pertempuran sengit pun dimulai.

Di Elenora, sebuah desa elf yang terletak di hutan lebat dekat ibukota Lumania, suasana malam dipenuhi ketegangan yang tak terlihat namun sangat terasa. Para elf pemanah dan penyihir berjaga-jaga dengan kewaspadaan tinggi, menjaga batas desa mereka yang penuh dengan keindahan alam namun kini terancam oleh kegelapan yang semakin dekat.. Cahaya rembulan mengaku di antara pepohonan tinggi, menciptakan bayangan yang bergerak seiring dengan hembusan angin malam. Desa ini terkenal dengan keindahan alamnya dan penduduknya yang hidup harmonis dengan alam sekitar. Namun, ancaman yang datang membuat para elf bersiaga penuh.

Para elf pemanah berdiri di pos-pos penjagaan yang tersebar di sekitar desa, memegang busur mereka dengan waspada. Panah mereka sudah siap, dipersiapkan untuk menghadapi setiap ancaman yang mungkin datang dari kegelapan hutan. Mata mereka yang tajam mengamati setiap gerakan, telinga mereka yang sensitif mendengarkan setiap suara aneh yang mungkin menandakan adanya bahaya.

Di dalam desa, para penyihir elf juga bersiaga. Mereka berkumpul di tengah desa, mempersiapkan mantra-mantra pelindung dan serangan. Cahaya lembut dari lingkaran sihir mereka memberikan sedikit ketenangan di tengah ketegangan yang melingkupi desa. Pemimpin penyihir, Liora, berdiri di tengah mereka, memberikan instruksi dengan tenang namun tegas.

"Jaga konsentrasi kalian. Kita tidak tahu kapan atau dari mana serangan akan datang, tapi kita harus siap menghadapi segala kemungkinan," kata Liora dengan suara lembut namun penuh kewibawaan.

Para elf yang memiliki kemampuan pedang berjaga di wilayah terluar desa. Mereka berjalan berkeliling, menjaga perimeter desa dengan waspada. Pedang mereka bersinar di bawah cahaya bulan, siap untuk dihunuskan kapan saja. Salah satu pemimpin mereka, Eldric, berjalan dengan penuh keyakinan, memimpin para elf dalam patroli.

Di desa Kailash, suasana sibuk dan penuh semangat terasa begitu kental di tengah hembusan angin sejuk pegunungan Altair yang terletak di utara Lumania. Desa ini merupakan rumah bagi kaum Dwarf yang terampil dalam seni menempa dan pertempuran. Bangunan-bangunan batu dengan desain yang kokoh dan fungsional tersebar di sepanjang lereng pegunungan, menunjukkan keberadaan mereka yang hidup dekat dengan alam.

Thror, seorang pandai besi terkemuka di desa, memimpin proses penempaan pedang-pedang baru yang akan digunakan untuk melindungi desa dari gelombang monster yang semakin sering muncul. Ia adalah sosok yang dihormati di kalangan penduduk desa, bukan hanya karena keahliannya dalam menempa, tetapi juga karena keberaniannya dalam pertempuran.

"Kita harus mempersiapkan segala sesuatunya dengan baik," kata Thror dengan suara yang tegas kepada para pandai besi yang bekerja di sekitarnya. "Gelombang monster semakin sering datang, dan kita harus siap menghadapinya. Setiap pedang yang kita buat haruslah kuat dan dapat diandalkan."

Para Dwarf lainnya, termasuk para prajurit dan petualang, juga mempersiapkan diri. Mereka melakukan pemeriksaan senjata, memperbaiki perisai, dan mempersiapkan perlengkapan perang lainnya. Setiap langkah diambil dengan hati-hati dan teliti, karena mereka menyadari betapa pentingnya perlengkapan yang tangan dalam melindungi desa mereka.

Di samping persiapan fisik, para Dwarf juga mengadakan pertemuan darurat untuk merencanakan strategi perlindungan lebih lanjut. Mereka membahas cara untuk meningkatkan pertahanan desa, termasuk memperkuat tembok pertahanan dan menyiapkan perangkap untuk menghadapi serangan monster yang mungkin datang.

Di berbagai belahan benua Altheria, malam itu menjadi saksi dari gelombang serangan monster yang menimpa beberapa kerajaan. Di Phyridia, kerajaan yang terkenal karena keahliannya dalam sihir dan ilmu gaib, para penyihir kerajaan berkumpul di perbatasan untuk melawan para monster yang mengancam kedamaian mereka.

Dalam kegelapan malam yang hanya diterangi oleh gemerlap cahaya mantra-mantra sihir, para penyihir berdiri tegak dengan tongkat sihir mereka yang bersinar. Mereka merapal mantra-mantra kuno yang dipelajari dari generasi ke generasi, memanggil elemen-elemen alam untuk menyerang musuh-musuh mereka. Kilatan cahaya dan ledakan energi magis mengguncang udara saat mantra-mantra itu dilontarkan, menghabisi barisan monster yang berani keluar dari hutan. Setiap gerakan tangan mereka membawa kekuatan yang luar biasa, menunjukkan keahlian mereka selama bertahun-tahun.

Di Veridian, kerajaan yang terkenal dengan keberanian dan kejujuran para kesatrianya, para ksatria berat terlihat sedang mempersiapkan diri mereka di hutan-hutan lebat yang melingkupi kerajaan mereka. Dengan baju zirah yang mengkilat dan senjata-senjata besar mereka yang siap tempur, para kesatria mengatur strategi untuk menghadapi serangan monster yang tak terhitung jumlahnya. Mereka menguasai teknik-teknik bela diri dan bertarung dengan gagah berani, siap mempertahankan perdamaian di wilayah mereka.

Dalam suasana hutan yang gelap, sinar bulan yang temaram menjadi Saksi saat para kesatria mengejar dan membasmi setiap monster yang muncul dari kegelapan. Kuda-kuda perkasa mereka menginjak-injak tanah hutan dengan gesit, sementara senjata-senjata mereka memotong dan menembus daging monster dengan kecepatan dan kekuatan yang memukau. Dalam pertempuran yang intens itu, nyali dan ketangguhan para kesatria Veridian teruji sampai batas maksimal.

Di benua bangian barat, kerajaan Draconhold yang terkenal dengan naga-naganya, satuan kesatria yang berkuasa menunggangi naga-naga yang terbang menjulang tinggi di langit. Mereka memanfaatkan kekuatan naga mereka, menembakkan bola-bola api biru membara dari mulut naga, menghantam dan membakar barisan monster yang mencoba menyerang desa-desa dan kota-kota mereka. Cahaya biru dari serangan mereka memandu di malam yang gelap, memberi harapan dan perlindungan bagi warga Draconhold yang terancam.

Setiap kerajaan dan wilayah menghadapi tantangan besar, namun tekad mereka untuk melindungi wilayah mereka adalah hal yang sama kuatnya. Prajurit, penyihir, kesatria, dan petualang dari berbagai belahan benua berdiri bersatu menghadapi monster gelombang yang tak terhitung jumlahnya.

Bagian 4

Di medan pertempuran, Pangeran Cedric berdiri tegak di tengah kamp pasukannya, mengedipkan matanya ke langit yang gelap. Dia merasakan angin malam yang sejuk mengusap wajahnya yang tegang. Di tengah keheningan yang terasa semakin mencekam, suara langkah kaki prajurit yang mendekat memecah keheningan itu. Seorang prajurit muda dengan napas terengah-engah tiba di hadapannya, wajahnya pucat pasi.

"Pangeran Cedric," ucap prajurit muda itu, mencoba menahan ketakutannya. "Saya membawa pesan darurat dari Adipati di wilayah timur. Wilayah kita... sudah hancur. Monster-monster menyerang tanpa henti, kami tidak mampu menahannya."

Cedric berpikir sejenak, memahami berita itu dengan kepala yang berputar. Ini tidak mungkin, pikirnya. Bagaimana ini bisa terjadi begitu cepat? Namun, ketika beberapa prajurit lainnya datang dan menyampaikan pesan serupa dari adipati-adipati di wilayah lain, ketidakpercayaannya mulai sirna. Satu demi satu, daerah-daerah di Calestia dilanda gelombang serangan yang menghancurkan, meninggalkan jejak kehancuran di mana pun mereka melanda.

"Bagaimana dengan ibukota?" Cedric mengejar pikirannya ke tempat yang paling dia sayangi. "Adakah berita dari sana?"

Prajurit yang baru datang itu menenangkan kepala dengan sedih. "Belum ada berita pasti, Pangeran. Kami masih berusaha menghubungi pusat komunikasi, tetapi masalahnya sangat kacau di sana."

Cedric menggigit bibirnya, merasa hatinya tercekik oleh kecemasan yang mendalam. Ibukota adalah jantung kerajaannya, tempat di mana keluarganya tinggal. Pikirannya berkecamuk dengan bayangan-bayangan yang mengerikan tentang apa yang mungkin terjadi di sana. Dia merasa tak berdaya, terjebak di medan perang ini tanpa dapat melindungi orang-orang yang paling dia cintai.

"Tolong teruskan mencoba menghubungi ibukota," perintah Cedric dengan suara yang sedikit gemetar. "Dan siapkan pasukan untuk segera berangkat. Kita harus memastikan keamanan keluarga kerajaan dan rakyat yang tersisa."

Prajurit-prajurit itu menurutnya, meskipun terlihat kebingungan sendiri. Mereka tahu bahwa situasi yang mereka hadapi sangat genting, dan setiap detik berharga untuk menentukan nasib kerajaan ini. Cedric kembali memandang langit yang gelap, memohon agar ada jalan keluar dari malam yang gelap ini.

Di desa Gatewood, malam itu Sir Hansel melangkah keluar rumahnya dengan memakai jaket, membawa tas dan perbekalan seperti akan pergi ke tempat yang jauh. Ia memegang sebuah kotak yang ia dekatkan ke telinga, dan berbicara dengan bahasa asing.

"Aku sudah menduga hal ini akan terjadi. Sudahlah, akhiri saja percobaan ini. Aku akan meninggalkan benua ini. Aku juga berpikir Vanessa dan Franklin sudah tidak diperlukan lagi. Habisi saja mereka..." Selesai berbicara, Sir Hansel pun pergi meninggalkan tempat itu di tengah kegelapan dan kesunyian malam.

Kembali ke Cedric, ia memikirkan dalam keputusasaan dan kekhawatirannya yang mendalam. Dia membayangkan semua kemungkinan buruk yang mungkin menimpa kerajaannya. Pikirannya melayang ke ibukota yang mungkin telah hancur, keluarganya yang mungkin terancam bahaya, dan pertempuran yang semakin sulit untuk dimenangkan. Air mata mengalir deras dari matanya yang letih, meratakan kegagalan dan kegagalannya untuk melindungi kerajaannya dengan baik.

Saat Cedric tenggelam dalam kesedihannya, tiba-tiba ia mendengar suara gemuruh dari langit, disertai angin yang tiba-tiba berhembus lebih cepat. Tiba-tiba terdengar suara ledakan yang dahsyat hingga memekakan pendengaran selama beberapa saat. Gelombang kejut yang kuat menghempaskannya hingga beberapa langkah. Cahaya terang menyilaukan membelah kegelapan malam, menjadikan malam gelap itu tampak seperti siang hari. Ledakan demi ledakan terdengar dari tempat pasukan Althar berada, mengguncang bumi dengan kekuatan yang mengerikan.

Cedric memandang ke arah sumber ledakan dengan mata terbelalak. Dia melihat langit malam yang sesaat menjadi terang benderang oleh kilatan ledakan dimana puluhan ribu pasukan Althar berada. Mereka yang sebelumnya kuat dan penuh percaya diri, kini terlihat kacau balau. Mereka diserang oleh sesuatu yang tidak terlihat, sesuatu yang mampu menghancurkan mereka dalam sekejap.

Cedric berdiri tertegun, tak percaya dengan apa yang sedang terjadi. Apa yang bisa menyebabkan ledakan-ledakan itu? Siapakah yang bisa melancarkan serangan sedahsyat itu terhadap pasukan Althar?

Saat dia berusaha memahami situasi yang sedang terjadi, pikirannya berkecamuk mencoba mencari jawaban. Apakah ini merupakan kesempatan bagi Calestia untuk membalikkan dan memanfaatkan kelemahan pasukan Althar? Ataukah ini hanyalah awal dari kehancuran yang lebih besar, di mana semua pihak di benua Altheria akan terlibat dalam kekacauan yang lebih besar lagi?

Beralih ke pasukan Althar, rentetan ledakan dahsyat menghancurkan kamp-kamp pasukan besar mereka. Para prajurit berlarian kalang kabut. Bahkan para kesatria hebat dan petualang kelas S yang dimobilisasi pun hanya bisa mengambil posisi bertahan.

"NGIIIUUNGGG....., DUAARRRRR!!!!!!!" Pengumuman demi ledakan tiada henti memporak-porandakan mereka dengan membabibuta.

Di tengah kekacauan itu, Vanessa dan Franklin keluar dari tenda mereka yang hampir hancur. Wajah mereka penuh dengan kebingungan dan ketakutan. Vanessa, dengan tajamnya, mencoba memahami situasi yang sedang terjadi.

"Sial! Apa yang sedang terjadi, Franklin?" desis Vanessa, melihat sekeliling dengan mata memicing. Ia mencoba mencari tahu sumber ledakan yang menghantam pasukan mereka dengan begitu kuat.

Franklin, yang biasanya tenang dan selalu berpikir dengan kepala dingin, juga terlihat terkejut. Namun, ia segera mencoba untuk mengumpulkan pikirannya. "Sepertinya tidak mungkin jika serangan ini berasal dari Calestia." dia dengan nada yang tetap tenang meskipun situasi kacau balau di sekitarnya.

"Mungkinkah ini….?" gumam Vanessa, terdengar gemetar karena adanya keraguan.

Tiba-tiba, serangkaian ledakan yang lebih keras terdengar di sekitar mereka, menghentikan percakapan mereka. Vanessa dan Franklin segera menyadari bahwa mereka harus bertindak cepat untuk menyelamatkan diri.

Vanessa mendengar suara yang tidak lazim dari udara yang seharusnya ada di tempat itu, sebuah presensi yang membuatnya merinding. Cahaya yang menggema di kegelapan malam menyoroti wajah-wajah cemas di sekelilingnya. Dalam keadaan mendesak seperti ini, Vanessa tak bisa mengabaikannya yang kuat akan membahayakan.

"Franklin," teriaknya dengan nada tinggi, menyentuh lengan Franklin dengan tegas sambil memadatkannya langsung. "Ada sesuatu yang tidak beres di sini. Kita harus segera pergi dari sini sebelum semuanya terlambat."

"Bagaimana dengan seni…." Sebelum Franklin melanjutkan ucapannya, Vanessa memotong. "Sudah lupa saja benda itu! Kita harus kabur dulu dari sini!"

Vanessa menarik tangan Franklin dan bersama-sama mereka berlari menuju area kuda yang terikat di sekitar tenda utama. Dia berteriak kepada prajurit dan kesatria yang masih hidup di sekitarnya, memerintahkan mereka untuk bersiap-siap mundur.

"Siapapun yang masih hidup, kita akan mundur sekarang!" teriak Vanessa dengan suara yang menggetarkan, memastikan pesannya tersampaikan kepada semua orang di sekitarnya. "Ambil kuda dan persiapkan diri kita untuk pergi. Kita sudah tidak bisa lagi lebih lama bertahan di sini!"

Prajurit Althar yang tersisa segera menyambut perintah Vanessa dengan sigap. Mereka berlatih mempersiapkan kuda-kuda dan membantu yang terluka untuk segera meninggalkan daerah yang semakin tidak aman itu. Kegelapan malam yang dipenuhi ledakan dan kekacauan membuat situasi semakin mencekam.

Setelah malam yang penuh kekacauan dan kehancuran, gelombang serangan monster akhirnya mereda di seluruh benua Altheria. Para monster yang tersisa, perlahan-lahan kembali ke hutan-hutan tempat mereka berasal. Tak lama kemudian, fajar mulai menyingsing, warna ungu menggeser kegelapan malam yang telah mengiringi kekacauan beberapa saat sebelumnya.

Di Kerajaan Calestia, ibukota yang sebelumnya dilanda gelombang serangan monster kini tampak seperti kota yang dilanda bencana. Puing-puing bangunan, mayat-mayat monster, dan jejak-jejak pertempuran masih menyisakan luka yang dalam bagi penduduk dan pasukan pertahanan. Pasukan kesatria dan petualang yang masih hidup sibuk membersihkan sisa-sisa pertempuran dan mencari korban yang dari serbuan monster tersebut.

Di istana kerajaan, suasana juga penuh dengan kekhawatiran dan duka. Raja Frankus, yang telah menjadi sasaran serangan utama monster, terluka parah dalam pertempuran yang sengit. Para tabib kerajaan dan para kesatria segera menyelamatkannya, membawa ke ruang perawatan khusus di dalam istana. Setiap detik sangat berharga, dan mereka berusaha keras untuk menyelamatkan nyawa sang raja.

Di tengah kehancuran dan kepanikan ini, para pemimpin kerajaan Calestia bersama dengan pasukan kesatria dan petualangnya melakukan upaya penyelamatan yang terorganisir. Mereka mengatur pos-pos penjagaan baru di sekitar perbatasan kota yang hancur, memastikan tidak ada monster lain yang bisa masuk dan menambah kekacauan yang sudah ada.

Sementara itu, di dalam ruang perawatan istana, Raja Frankus berjuang untuk bertahan hidup. Para tabib dan dukun berusaha sekuat tenaga untuk menyembuhkan luka-lukanya yang parah, menggunakan semua pengetahuan dan keahlian mereka. Suasana di sekitar istana terasa mencekam, dengan doa-doa dan harapan agar sang raja dapat pulih dari luka-lukanya.

Ibukota Calestia, yang sebelumnya merupakan sebuah kota megah dan damai di Calestia, kini menjadi saksi dari kehancuran dan penderitaan yang mendalam. Warga kota berduka atas rasa kehilangan mereka, sementara para pemimpin berjuang untuk membangun kembali kehidupan dan kepercayaan yang telah tergoncang oleh serangan monster yang tidak terduga ini.

Di Eldoria, setelah gelombang serangan monster mereda dan hutan kembali sunyi, Louis dan regunya, bersama dengan regu Alan dan petualang lain, membutuhkan waktu untuk beristirahat. Mereka duduk di sekitar api unggun yang masih menyala, memeriksa luka-luka mereka dan saling memberitahukan kondisi mereka dalam pertempuran yang baru saja berlangsung.

Louis, yang duduk di antara Darius dan Alan, menatap kobaran api sambil mengingat saat-saat menegangkan ketika pertempuran berkecamuk. "Kita berhasil menahan mereka," ucapnya, terdengar terdengar lelah namun penuh kelegaan. "Tapi kita tak bolek lengah. Kita perlu mempersiapkan diri untuk kemungkinan serangan lain."

Alan, yang sedang memeriksa luka-luka ringan di lengannya, mengangguk, "Kita harus memastikan bahwa pertahanan kota ini diperkuat. Tidak ada jaminan bahwa serangan semacam ini tidak akan terjadi lagi."

Darius, yang tengah menajamkan ujung panahnya, menyambung, "Kita harus saling bertukar informasi dengan para petualang lain. Mereka juga harus siap sedia jika monster-monster itu kembali."

Di beberapa kota dan desa para penduduk setempat berupaya memulihkan lingkungan mereka pasca serangan monter yang terjadi malam itu. Mereka menimbulkan kerusakan yang terjadi akibat serangan monster dan memperbaiki apa pun yang dapat diperbaiki. Para elf di Elenora dan Dwarf di Kailash juga melakukan hal serupa, memperkuat pertahanan mereka dan siap sedia menghadapi ancaman masa depan.

Sementara itu, di seluruh benua Altheria, berbagai kerajaan dan kota-kota mengadakan pertemuan. Mereka membahas tentang apa yang telah terjadi, bagaimana mereka bisa melindungi diri dari ancaman serupa di masa depan, dan bagaimana mereka bisa memulihkan kerusakan yang disebabkan oleh gelombang serangan monster tersebut.