Bagian 1
Beberapa hari telah berlalu sejak gelombang serangan monster yang mengguncang berbagai kerajaan. Meski luka dan kehancuran masih membekas, kehidupan perlahan kembali ke jalur semula. Di kota Eldoria, Louis dan regunya kembali beraktivitas seperti biasa, menjalankan misi-misi dari guild petualang. Hari-hari mereka diisi dengan berburu monster, mengumpulkan bahan-bahan langka, dan melindungi desa-desa dari ancaman yang tak pernah berhenti.
Di desa Gatewood, Griselda melanjutkan pelatihannya dengan para pemuda desa. Di bawah bimbingannya, mereka belajar teknik bertarung yang lebih efektif dan strategi pertahanan yang lebih baik. Griselda selalu menekankan pentingnya kerjasama dan kesiapan mental. Para pemuda yang sebelumnya hanya memiliki keberanian kini juga memiliki keterampilan yang mumpuni untuk membantu menjaga desa mereka.
Arlan dan Aria, yang masih berada di Althar, terlihat sedang melatih beberapa kesatria baru di lapangan pinggir istana yang indah dan megah. Para kesatria yang dilatih oleh Arlan dan Aria kini memiliki kepercayaan diri yang tinggi dan siap menghadapi segala ancaman. Di tengah latihan, seorang pria muncul di balkon istana dengan pakaian berlapis jubah tebal beserta mahkota indah di atas kepalanya, disusul istrinya sambil memeluk tangan kiri pria itu. Mereka tak lain adalah keluarga pemangku tahta kerajaan Althar yang sah, Yang Mulia Raja Oberon dan Ratu Isabella. Diketahui sebelumnya, telah terjadi kudeta besar-besaran yang dipimpin oleh dua orang misterius yang sangat berpengaruh. Mereka tak lain adalah Vanessa dan Franklin, yang menggulingkan tahta keluarga kerajaan dan mengambil alih kekuasaan di Althar. Namun kini keluarga kerajaan yang telah lama dirindukan oleh rakyat Althar kini telah kembali untuk memimpin mereka. Dalam latihan tersebut juga memperlihatkan seorang remaja tampan. Ia adalah pangeran Oliever, yang akan mewarisi tahta kerajaan Althar di masa depan. Oliever nampak begitu antusias dan bersungguh-sungguh dalam latihan tersebut. Ia berusaha keras supaya bisa melindungi kerajaannya jika hal serupa kembali terjadi. Dari jauh, seorang gadis yang tak lain adalah putri Aurora, sedang memperhatikan mereka dari taman, ditemani beberapa pelayannya.
Sementara itu di daerah Rederic, Charlotte mengunjungi temannya Melissa. Dengan pengalaman yang pernah ia alami di masa lalu, kini Charlotte merasa perlu untuk meningkatkan keamanan. Ia memutuskan untuk menyewa regu petualang yang sudah dipercaya kehandalannya. Regu yang ia sewa tak lain adalah regu Alan. Kesempatan itu membawa kebanggaan tersendiri bagi Alan dan anggotanya, yang merasa terhormat bisa membantu mengawal perjalanan rombongan Tuan Putri ke wilayah Rederic.
Di Calestia, pangeran Cedric memimpin upaya pembangunan kembali ibukota yang hancur. Pemandangan reruntuhan yang sebelumnya mendominasi kini mulai digantikan oleh bangunan-bangunan baru yang berdiri megah. Cedric tidak hanya berfokus pada pembangunan fisik, tetapi juga pada pemulihan semangat rakyatnya. Ia sering terlihat di jalan-jalan, berbicara dengan warga, memberikan semangat, dan mendengarkan keluhan serta saran mereka. Di dalam istana, para penasihat dan kesatria setianya merancang rencana untuk memperkuat pertahanan dan mencegah serangan serupa di masa depan.
Kehidupan ibukota perlahan kembali normal. Pasar yang dulunya sepi kini ramai kembali dengan pedagang dan pembeli. Anak-anak bermain di jalanan, dan tawa serta keceriaan mulai terdengar lagi. Meski bayangan serangan monster masih menghantui, semangat untuk bangkit dan melanjutkan hidup lebih kuat dari sebelumnya.
Sore itu, sinar matahari perlahan memudar di balik pepohonan, menciptakan bayangan panjang yang menjalar di tanah hutan. Louis dan regunya berjalan di antara pepohonan besar, suara langkah kaki mereka mengiringi keheningan senja. Mereka baru saja menyelesaikan misi yang diberikan oleh guild petualang di Eldoria dan sedang dalam perjalanan pulang.
"Bagaimana menurutmu keadaan di Desa Gatewood sekarang?" tanya Darius, memecah keheningan. Suaranya penuh kekhawatiran, memikirkan kampung halaman mereka yang telah lama mereka tinggalkan.
Louis menatap langit yang mulai berwarna oranye. "Aku harap semuanya baik-baik saja. Griselda pasti melakukan yang terbaik untuk menjaga desa. Dia sangat terampil dan dapat diandalkan."
"Betul, tapi aku tetap khawatir," ujar Sylphia, dengan nada suara yang lembut namun tegas. "Apalagi dengan semua berita yang kita dengar tentang serangan monster di ibu kota Calestia. Jika mereka bisa menyerang kota besar, apa yang menghalangi mereka untuk menyerang desa kita?"
"Desa kita lebih terpencil dan kurang strategis dibandingkan ibu kota, mungkin tak banyak monster yang menyerang, karena pada dasarnya insting mereka akan menyerbu tempat yang dihuni lebih banyak manusia." kata Alan, mencoba menenangkan. "Tapi tetap saja, kita harus selalu waspada."
"Benar," Louis menambahkan. "Aku ingin kita segera kembali ke Desa Gatewood setelah ini. Kita harus memastikan semuanya baik-baik saja dan membantu sebisa mungkin."
Semua terdiam, merenungkan kejadian mengerikan yang mereka saksikan beberapa hari lalu. Ibukota Calestia yang sebelumnya megah seketika berubah menjadi medan perang yang penuh dengan darah dan kehancuran. Monster-monster buas menghancurkan segalanya di jalan mereka, meninggalkan jejak kematian dan kehancuran.
"Apakah kita akan mengalami hal yang sama?" tanya Darius dengan suara pelan, seolah-olah takut mendengar jawabannya.
Louis menghela napas dalam-dalam. "Aku harap tidak. Tapi aku percaya Griselda dan yang lain pasti bisa menghadapi dan melindungi desa."
Percakapan mereka terhenti saat mereka mendengar suara gemerisik dari semak-semak di dekat mereka. Tangan mereka refleks meraih senjata, bersiap menghadapi ancaman yang mungkin muncul. Namun, suara itu ternyata berasal dari seekor rusa yang melompat keluar dari semak-semak dan berlari menjauh.
"Kita tidak bisa lengah, bahkan saat dalam perjalanan pulang," kata Alan, memasukkan pedangnya kembali ke sarung. "Musuh bisa muncul kapan saja, di mana saja."
Sesampainya di Eldoria, mereka menuju guild untuk menjual bahan-bahan yang mereka peroleh dari berburu. Mereka tampak senang ketika menerima imbalan dari hasil buruan mereka. Mereka keluar dari tempat itu dengan wajah ceria. "Bagaimana jika kita mengisi perut dahulu?" Ujar Darius.
"Baiklah, kita akan ke tempat seperti biasa." Louis mengajak yang lain menuju tempat makan langganan mereka.
Keesokan harinya, saat matahari baru saja mulai naik di ufuk timur, Louis dan regunya sudah sibuk mempersiapkan kepulangan mereka. Mereka mengemasi perlengkapan mereka dengan hati-hati, memastikan tidak ada yang tertinggal. Semangat mereka terpancar dari senyuman dan percakapan yang ringan, meskipun ada sedikit ketegangan tersembunyi di mata mereka.
"Aku tidak sabar untuk kembali ke Gatewood," ujar Darius sambil mengikatkan tali ranselnya. "Rasanya sudah terlalu lama kita meninggalkan desa."
"Aku juga," timpal Sylphia, yang tengah memastikan semua ramuan penyembuhnya terkemas dengan rapi. "Aku ingin memastikan semua orang di sana baik-baik saja. Selain itu, aku juga rindu masakan ibu."
Louis tersenyum, merasakan kehangatan dari nostalgia yang dibawa oleh ucapan Sylphia. "Aku juga merindukan rumah," katanya, suara lembut namun tegas. "Kita harus memastikan desa kita aman dan siap menghadapi segala kemungkinan."
Setelah semuanya siap, mereka meninggalkan kota Eldoria dengan semangat yang tinggi. Perjalanan pulang mereka dipenuhi dengan obrolan tentang rencana masa depan dan bagaimana mereka akan melatih para pemuda di desa untuk lebih siap menghadapi serangan monster. Mereka juga membicarakan taktik dan strategi yang bisa digunakan untuk memperkuat pertahanan desa.
"Menurutmu, apa yang harus kita lakukan terlebih dahulu ketika sampai di Gatewood?" tanya Darius sambil berjalan di samping Louis.
"Pertama-tama, kita harus melaporkan situasi terkini kepada kepala desa dan Griselda," jawab Louis. "Setelah itu, kita bisa mulai merencanakan pelatihan dan mengatur penjagaan desa."
"Mungkin kita juga bisa meminta bantuan dari petualang lain," usul Sylphia. "Semakin banyak yang membantu, semakin baik."
"Itu ide yang bagus," kata Louis sambil mengangguk. "Kita bisa mengunjungi guild petualang terdekat dan mencari tahu siapa yang bisa kita ajak bekerja sama."
Perjalanan mereka melewati hutan yang menegangkan. Meskipun begitu, mereka tetap berjalan dengan hati-hati, memastikan tidak ada ancaman yang mengintai di sekitar. Setiap langkah mereka penuh dengan kewaspadaan, namun juga harapan.
Saat sore mulai menjelang, mereka akhirnya tiba di tepi hutan yang mengarah ke desa Gatewood. Pemandangan desa yang akrab membawa perasaan lega dan kebahagiaan. Louis bisa merasakan jantungnya berdebar dengan cepat saat mereka mendekati gerbang desa.
Griselda dan beberapa pemuda yang sore itu sedang berlatih menyambut kedatangan mereka dengan senyuman. "Louis! Darius! Sylphia! Selamat datang kembali!" seru Griselda sambil melambaikan tangan.
Louis dan yang lain menghampiri mereka. "Kami senang bisa kembali," kata Louis. "Bagaimana keadaan di sini?"
"Semua baik-baik saja, berkat latihan dan penjagaan yang kita lakukan, dan tak ada monster yang menyerang desa" jawab Griselda. "Tapi kita tahu. Masih banyak yang harus kita persiapkan."
Louis sempat terkejut sekaligus lega setelah mengetahui tak ada monster yang menyerang mereka.
"Kalian sudah yang terbaik," puji Louis. "Sekarang, mari kita harus membuat desa kita lebih kuat dan aman."
Mereka memasuki desa dengan langkah ringan, merasa seperti pulang ke tempat yang paling mereka rindukan. Louis dan regunya bertekad untuk melakukan yang terbaik untuk melindungi tempat yang mereka sebut rumah, menghadapi setiap tantangan dengan keberanian dan ketangguhan. Desa Gatewood mungkin kecil dan sederhana, tapi bagi mereka, itu adalah dunia yang harus mereka lindungi apapun yang terjadi.
Bagian 2
Sementara itu, di dalam istana megah Kerajaan Althar, Arlan dan Aria berdiri dengan hormat di hadapan Raja Oberon dan keluarganya. Cahaya matahari sore menyelinap melalui jendela besar, memandikan ruangan dengan cahaya keemasan. Raja Oberon, seorang pria dengan rambut kelabu dan aura kebijaksanaan yang kuat, memandang mereka dengan sorot mata tegas namun penuh kehangatan.
"Arlan, Aria," kata Raja Oberon dengan suara yang dalam dan berwibawa. "Kalian telah melakukan banyak hal untuk kerajaan ini. Sekarang, aku meminta tolong satu hal lagi."
Arlan dan Aria menundukkan kepala dengan hormat. "Kami siap melaksanakan perintah Anda, Yang Mulia," jawab Arlan dengan suara mantap.
Raja Oberon mengulurkan sebuah surat yang disegel dengan lambang kerajaan. "Bawa surat ini kepada Raja Frankus atau Pangeran Cedric di Calestia. Surat ini berisi pesan penting tentang aliansi dan bantuan yang bisa kita berikan dalam menghadapi ancaman yang semakin mendesak."
Aria mengambil surat itu dengan hati-hati. "Kami akan mengantarkan surat ini dengan segera, Yang Mulia," katanya.
Ratu Isabella, yang duduk di samping Raja Oberon, memandang mereka dengan mata penuh rasa syukur. "Hati-hati di perjalanan kalian. Calestia sedang dalam masa sulit, dan mereka membutuhkan dukungan kita."
"Kami akan berhati-hati," janji Arlan.
Setelah berpamitan dengan keluarga kerajaan, Arlan dan Aria keluar dari istana. Di halaman istana, mereka menaiki kuda mereka yang sudah dipersiapkan oleh para pelayan. Arlan menarik napas dalam-dalam, merasakan campuran antisipasi dan tanggung jawab yang besar. "Kita harus bergerak cepat," katanya kepada Aria. "Waktu adalah hal yang sangat berharga sekarang."
Saat Arlan dan Aria baru saja keluar dari gerbang istana Calestia, mereka dihentikan oleh sekelompok orang. Arlan memberi isyarat kepada Aria untuk tetap waspada, karena mereka tidak tahu siapa orang-orang ini dan apa yang mereka inginkan. Kelompok tersebut terdiri dari beberapa pria dan wanita, semuanya tampak tangguh dan berpengalaman.
Salah satu dari mereka, seorang pria dengan rambut kelabu dan mata tajam, melangkah maju. Wajahnya yang awalnya serius berubah menjadi senyuman halus. "Selamat siang," katanya dengan suara tenang namun kuat. "Namaku Marcus, dan mereka adalah adalah Lucida, Darwis, dan Hamvler. Kami adalah petualang kelas S di kerajaan ini."
Arlan mengangguk dengan sopan. "Senang bertemu dengan kalian. Nama saya Arlan, dan ini adalah Aria. Kami datang dari Lumania. Kami berada di sini untuk mencari sebuah artefak. Dan sekarang kami sedang dimintai tolong Yang Mulia Raja Oberon untuk mengantarkan pesan Calestia."
Marcus tersenyum lebih lebar. "Kami sudah mendengar tentang itu. Kami hanya ingin berterima kasih kepada kalian karena telah menyelamatkan keluarga kerajaan."
Lucida yang berdiri di samping Marcus, angkat bicara. "Kami mendengar kabar dari beberapa orang di dalam istana. Kalian telah melakukan hal yang luar biasa."
Marcus melanjutkan, "Kalian pasti tidak tahu betapa pentingnya tindakan kalian. Sebelum invasi ke Calestia, ada banyak ketidakpastian di kerajaan kami. Kami menerima kabar bahwa keluarga kerajaan menghilang dan digantikan oleh seorang wanita yang mengaku sebagai keluarga kerajaan yang tersisa."
Arlan mengernyitkan alisnya. "Seorang wanita? Siapa dia?"
"Wanita itu bernama Vanessa," jawab Marcus. "Dia menyebarkan propaganda bahwa orang Calestia adalah dalang di balik menghilangnya keluarga kerajaan, dan akhirnya berhasil meyakinkan banyak orang untuk mendukung pernyataan perang terhadap Calestia."
Aria tertegun. "Jadi, semua ini dimulai dari kebohongan?"
Marcus mengangguk. "Benar. Vanessa memiliki cara berbicara yang sangat meyakinkan, dan dia menggunakan ketakutan dan kemarahan rakyat untuk melawan Calestia. Namun, dengan kembalinya keluarga kerajaan yang sah, kebenaran akhirnya terungkap."
Hamvler, seorang pria berotot dengan janggut tebal, yang berdiri di belakang Marcus, menambahkan, "Kami tahu bahwa perang ini tidak adil, tetapi kami tidak memiliki bukti untuk melawan Vanessa. Sekarang, dengan kebenaran yang terungkap, kami bisa mulai membalikkan keadaan."
Arlan merasa lega mendengar hal ini. "Kami senang bisa membantu. Namun, ini hanya awal. Masih banyak yang harus dilakukan untuk menghentikan perang ini."
Lucida menyela. "Kami tahu. Itulah sebabnya kami ingin bekerja sama dengan kalian. Kami memiliki sumber daya dan informasi yang bisa berguna.
Aria tersenyum. "Terima kasih atas dukungan kalian. Kami akan sangat menghargai bantuan kalian."
Marcus mengangguk. "Bagus. Kita perlu merencanakan langkah selanjutnya dengan hati-hati. Vanessa bukanlah lawan yang mudah, dan dia masih memiliki banyak pendukung."
Di Calestia, pangeran Cedric sedang berjalan menuju sebuah ruangan rahasia yang dijaga ketat. Sesampainya di sana, penjaga membukakan pintu untuknya, dan ia memasuki ruangan itu. Ia membuka sebuah peti kecil yang diyakini berisi artefak yang digunakan penyihir Althar untuk mengendalikan pasukan monster mereka. Benda itu ia dapatkan ketika ia dan pasukan Calestia memeriksa bekas kamp-kamp pasukan Althar yang telah mundur setelah mereka diserang sesuatu yang misterius.
Dengan hati-hati, Cedric membuka peti kecil tersebut. Ketika penutupnya terbuka, ia memandang ke dalam dengan hati-hati. Sebaliknya dari apa yang ia harapkan, di dalamnya bukanlah sebuah artefak megah berhias permata atau relief rumit yang sering kali ia lihat dalam kisah legenda. Yang terdapat di dalam peti adalah sebuah benda yang terlihat sederhana namun membingungkan.
Benda itu terdiri dari sebuah cermin hitam kecil yang dikelilingi oleh beberapa kotak kecil berwarna putih di bawahnya. Bentuknya yang kompleks dan tidak familiar membuat Cedric merenung sejenak. Ia mendekati meja di dekatnya dan meletakkan artefak tersebut dengan lembut, membiarkan pandangan terfokus sepenuhnya pada benda itu.
"Dalam cermin ini, mereka ada sesuatu yang misterius," gumam Cedric kepada dirinya sendiri. Ia tahu bahwa ini bukan hanya benda biasa; ia merasakan aura magis yang samar, memberi kesan bahwa ada lebih banyak dari yang terlihat oleh mata.
"Pertanyaannya adalah, apa fungsinya?" Cedric berbisik, memperhatikan dengan seksama setiap detail benda itu. Dia merasa seakan-akan ada sesuatu yang tersembunyi di dalamnya, sesuatu yang mungkin bisa membuka rahasia besar tentang kekuatan Althar yang selama ini tidak diketahui oleh Calestia.
Setelah beberapa saat mengamati, Cedric memutuskan untuk memanggil ahli magis istana untuk membantu menganalisis artefak ini. "Kami perlu memahami lebih dalam tentang kekuatan yang mungkin dimiliki oleh benda ini," pikirnya.
Sementara menunggu kedatangan ahli, Cedric melanjutkan untuk meneliti lebih jauh tentang catatan sejarah di dinding-dinding ruang rahasia ini. Ia mencari petunjuk apa pun yang bisa membantunya menghubungkan artefak ini dengan peristiwa-peristiwa bersejarah yang mungkin terkait dengan Althar.
Suara langkah kaki mendekat membuat Cedric menoleh. Seorang ahli magis yang terkenal di kerajaan itu, bernama Elias, telah tiba.
Elias duduk di meja yang berdekatan dengan peti kecil yang berisi artefak misterius itu. Ia mengamati dengan seksama, meletakkan tangannya di atas permukaan cermin hitam kecil dan merasakan dengan teliti setiap detail yang terdapat di dalam peti.
Namun, aneh, ia sama sekali tidak merasakan adanya energi sihir pada benda tersebut. Hal ini tak biasa bagi seorang ahli magis seperti dirinya yang telah berpengalaman bertahun-tahun dalam memahami dan mengendalikan energi magis.
"Ini sangat aneh," gumam Elias, matanya terus fokus pada artefak di depannya. "Biasanya, artefak magis seperti ini akan memberikan aura atau energi magis yang khas. Namun, dalam kasus ini, saya sama sekali tidak merasakannya."
Cedric mendengarkan dengan seksama, menunjukkan keheranannya yang sama. "Apakah mungkin artefak ini tidak memiliki koneksi langsung dengan energi magis?" tanya pangeran Cedric, mencoba memahami lebih dalam tentang karakteristik benda itu.
Elias mengangguk perlahan, mengangkat tangan dari permukaan artefak. "Sepertinya begitu," jawabnya sambil merapatkan kacamatanya. "Tetapi ini juga bisa berarti bahwa sifat dan fungsi sebenarnya dari artefak ini mungkin lebih kompleks dari yang kita duga."
Cedric mengangguk, mengambil kursi di sebelah Elias. "Apa pendapatmu, Professor? Apakah ini bisa saja bukan artefak magis melainkan sesuatu yang lain?"
Elias memikirkan kata-katanya dengan hati-hati sebelum menjawab, "Mungkin. Ada kemungkinan bahwa ini bukanlah artefak yang berfungsi dalam arti tradisional. Namun, ada sesuatu yang menarik perhatian saya." Elias mengarahkan pandangannya kembali ke artefak. "Lihat di sini, ada simbol-simbol yang tidak biasa di sekitar cermin hitam ini. Saya harus melakukan analisis lebih lanjut untuk memahami apa yang mereka maksudkan."
Cedric mengangguk, memahami bahwa perjalanan untuk mengungkap misteri artefak ini masih jauh dari selesai. "Aku akan memberi izinmu untuk melakukan apa yang perlu, Elias. Kita perlu memahami setiap aspek dari artefak ini, terutama jika itu terkait dengan Althar dan serangan monster."
Elias tersenyum ringan, mengangguk sebagai tanda terima kasih. "Aku akan melaporkan hasil analisisku segera setelah mungkin," katanya.
Bagian 3
Louis melanjutkan latihannya di bawah pohon yang rindang di tepi Desa Gatewood. Suara angin berbisik lembut di antara dedaunan, menciptakan suasana tenang yang mendamaikan. Dia memegang pedangnya dengan penuh konsentrasi, berlatih gerakan-gerakan dasar yang telah dia pelajari dari Griselda. Langkahnya mantap dan penuh dengan kehati-hatian, setiap gerakan dipertimbangkan dengan seksama untuk meningkatkan keterampilannya.
Sementara itu, di jalan setapak yang menuju ke desa, seorang gadis berlari dengan cepat, yang tak lain adalah Alice. Matanya memancarkan kegelisahan yang jelas saat dia mengejar sesuatu yang tak terlihat dari pandangan orang lain. Hatinya berdegup kencang, mengharapkan bahwa Louis baik-baik saja. Sejak mendapatkan kabar bahwa Louis dan regunya telah kembali setelah ingin segera menemuinya untuk memastikan keadaannya.
Ketika dia mendekati tepi desa, Alice melihat bayangan Louis di bawah pohon besar. Hatinya merasa lega melihatnya dengan selamat. Tanpa ragu lagi, dia melaju ke arahnya dengan langkah-langkah yang terburu-buru, tak peduli dengan keadaan sekitar yang tenang.
Louis, yang tengah fokus pada latihannya, merasa adanya kehadiran yang mendekatinya. Dia memutar tubuhnya perlahan, dan senyumnya merekah saat dia melihat Alice berlari ke arahnya dengan penuh kekhawatiran. Dia meletakkan pedangnya di sampingnya dan menyambut Alice dengan senyuman hangat.
"Alice! Lama tak berjumpa…?" tanya Louis, wajahnya penuh dengan kegembiraan melihat temannya.
Alice hampir tidak bisa bicara karena napasnya terengah-engah. Dia berhenti di depan Louis, dan kemudian memeluknya dengan erat. "Louis! Aku... aku khawatir padamu," ucapnya dengan suara terbata-bata.
Louis tersenyum dengan wajah tersipu dan agak grogi. "Aku baik-baik saja, Alice. Tidak perlu khawatir," jawabnya dengan lembut, merasa hangat dengan kepedulian Alice.
Alice melepaskan pelukannya, tetapi tetap menatap Louis dengan intensitas yang tidak bisa disembunyikan. "Aku hanya... tidak bisa tidak khawatir. Kau tahu betapa pentingnya kau bagi kami semua," ujarnya, matanya memancarkan rasa syukur dan kelegaan.
Louis mengangguk, memahami perasaan Alice. "Terima kasih, Alice. Aku juga sangat bersyukur bahwa semuanya berakhir dengan baik," katanya sambil memandang langit yang senja mulai meredup.
Mereka berdua berdiri di bawah pohon itu, menikmati kehadiran satu sama lain dalam diam. Sunyi senja dan deru angin memberikan kesempatan bagi mereka untuk merasakan ketenangan setelah kekacauan yang baru saja mereka alami. Louis melihat ekspresi wajah Alice, dan dia merasa beruntung memiliki sahabat seperti dia di sampingnya.
"Alice," panggil Louis setelah beberapa saat. "Terima kasih telah peduli padaku. Aku berjanji, aku akan terus melindungi desa ini, bersama-sama dengan kalian semua," ucapnya dengan tekad dalam suaranya.
Alice tersenyum, hatinya dipenuhi dengan kehangatan. "Aku tahu, Louis. Kita akan selalu saling melindungi," jawabnya dengan mantap.
Saat sinar senja merona memerah di ufuk barat, Louis dan Alice duduk bersama di tepi perbukitan dekat Desa Gatewood. Mereka menikmati keindahan alam yang terbentang di hadapan mereka, sementara udara sejuk dan sepi menambah romantisisme momen itu. Louis merasa tegang dalam hati, tapi dia tahu ini adalah saat yang tepat untuk mengungkapkan perasaannya.
Dengan hati yang berdebar kencang, Louis menatap Alice dengan penuh keyakinan. Dia mengambil nafas dalam-dalam, lalu akhirnya mengucapkan kata-kata yang telah dia simpan lama dalam hatinya, "Alice, sejak pertama kali kita bertemu, aku merasa ada yang istimewa di antara kita. Aku tidak ingin hanya menjadi sahabat bagimu, aku ingin lebih dari itu. Aku... menyukaimu, Alice."
Alice tersenyum lembut, matanya memancarkan kebahagiaan. Dia merasa hangat dengan kata-kata Louis, yang telah menguatkan perasaan yang sama lama terpendam di dalam dirinya. Dia menjawab dengan penuh kelembutan, "Louis, aku juga merasakan hal yang sama. Aku tidak pernah berani mengatakannya sebelumnya, tapi... aku juga menyukaimu."
Louis merasa seolah dunia di sekelilingnya berhenti sejenak. Kecemasannya lenyap begitu saja, digantikan oleh perasaan bahagia yang tak terlukiskan. Dia tersenyum lebar, mengangguk-anggukkan kepala sebagai tanggapan atas perasaan yang mereka saling ungkapkan.
Mereka berdua saling memandang, dipenuhi dengan kehangatan dan kebahagiaan. Tak ada kata-kata yang bisa cukup untuk menggambarkan betapa berharga momen ini bagi mereka. Mereka merasa seperti segalanya berada di tempat yang tepat pada saat yang tepat, di bawah cahaya senja yang memancar indah di langit.
Alice mendekatkan dua tangannya dan menyentuh pipi Louis, menarik perlahan kepalanya mendekati wajahnya, kemudian mengecup bibirnya. Seketika waktu berhenti. Jantungnya mulai berdebar lebih cepat. Pikiran Louis melayang melintasi jagad, bercampur aduk antara bahagia, haru, dan malu. Dua tangannya spontan memegang kepala Alice, mengencangkan tekanan di antara mulut mereka. Setelah cukup lama, mereka melepas ikatan di bibir mereka, dan saling menatap dengan senyuman manis mereka.
Dua remaja itu duduk di tepi lapangan yang dihiasi rerumputan yang halus, menikmati kehadiran satu sama lain dalam keheningan yang nyaman. Matahari semakin tenggelam di ufuk barat, mewarnai langit dengan gradasi merah dan jigga yang memukau. Mereka merasa seperti mereka adalah bagian dari alam ini, saksi dari keajaiban yang indah di dunia mereka.
Setelah beberapa saat, Louis mengusap lembut punggung tangan Alice dengan ibu jariya. "Kita akan menjaga momen ini, Alice."
Warna biru tua malam perlahan mengambil alih langit, bintang-bintang berkilauan di atas kepala mereka. Louis dan Alice masih duduk bersama di tepi perbukitan, merasakan kehangatan dan kedamaian yang melingkupi mereka. Angin malam yang sejuk membelai wajah mereka, seolah ikut merayakan cinta yang baru saja terungkap.
Louis memandang Alice dengan penuh kasih. "Aku merasa sangat beruntung memiliki kamu, Alice," katanya dengan suara rendah yang penuh keharuan. "Kamu membuat hidupku lebih berarti."
Alice tersenyum lembut, matanya bersinar dengan air mata kebahagiaan. "Aku juga merasa beruntung, Louis. Kamu adalah orang yang selalu membuatku merasa aman dan dicintai."
Mereka berdua berpelukan erat, merasakan detak jantung masing-masing yang berdetak selaras. Dalam keheningan malam, mereka tahu bahwa cinta mereka adalah sesuatu yang sangat istimewa, sesuatu yang akan mereka jaga selamanya.