Chereads / I Want To Be Strong And Protect My Village Vol. 1 / Chapter 11 - Chapter 10 : Obstacle

Chapter 11 - Chapter 10 : Obstacle

Bagian 1

Di kerajaan Calestia, senja bergulir cepat, menciptakan bayangan panjang di sepanjang lorong-lorong istana. Pangeran Cedric baru saja tiba kembali dari perjalanannya yang panjang dan mengecewakan. Ia baru saja kembali dari kerajaan Luminia, di mana lamarannya kepada Putri Charlotte ditolak.

Cedric memasuki istana dengan langkah berat dan ekspresi penuh mengecewakan, ditemani oleh Demitri, pria paruh baya yang telah lama menjadi asisten pribadinya. Demitri, dengan rambut yang mulai memutih dan kerutan di wajahnya, selalu setia mendampingi Cedric, baik dalam suka maupun duka.

"Mari, Tuan Muda, kita ke ruang kerja Anda," ujar Demitri dengan lembut, mencoba menenangkan amarah yang terlihat jelas di wajah pangeran.

Cedric hanya mengangguk lemah, mengikuti Demitri menuju ruangannya. Ketika mereka sampai, Demitri menutup pintu dengan hati-hati dan memastikan tidak ada yang mendengarkan.

"Kenapa dia menolak, Demitri?" Cedric akhirnya berbicara, suaranya penuh dengan kekecewaan dan kemarahan yang tertahan. "Aku telah melakukan semua yang diperintahkan ayah. Aku bahkan membawa hadiah-hadiah terbaik dan memberikan pidato yang sempurna."

Demitri mendekati Cedric dan menampar bahunya dengan lembut. "Tuan Muda, terkadang hati manusia sulit diprediksi. Mungkin Putri Charlotte memiliki alasan sendiri yang tidak kita ketahui."

Cedric bersinar, berjalan mondar-mandir di ruangannya. "Aku merasa seperti seorang bodoh. Semua persiapan, semua usaha, dan dia menolakku di depan semua orang."

"Ini bukan akhir dari segalanya," kata Demitri dengan tenang. "Anda adalah pangeran pertama dari kerajaan Calestia. Masih banyak hal besar yang bisa Anda capai. Mungkin ini adalah kesempatan bagi Anda untuk fokus pada hal-hal lain yang lebih penting bagi kerajaan."

Cedric berhenti sejenak, merenung. "Apa yang harus aku lakukan sekarang, Demitri? Bagaimana aku bisa menghadapi ayahku setelah kegagalan ini?"

Demitri tersenyum tipis, mencoba memberi semangat. "Yang Mulia Raja selalu menginginkan yang terbaik untuk Anda, Tuan Muda. Dia mungkin kecewa, tapi dia juga akan memahami bahwa ini bukanlah akhir dari segalanya. Anda bisa membuktikan nilai Anda dengan cara lain. Misalnya, dengan mengatasi masalah yang sedang terjadi di perbatasan utara ."

Cedric mengangguk perlahan, mulai melihat cahaya di tengah kegelapan perasaannya. "Mungkin kau benar, Demitri. Aku harus melakukan sesuatu untuk membuktikan diriku, bukan hanya kepada ayah, tapi kepada diriku sendiri."

Demitri memberikan senyuman penuh arti. "Itu adalah sikap yang benar, Tuan Muda. Saya akan segera mengatur pertemuan dengan para penasihat kerajaan untuk membahas masalah perbatasan. Kita bisa mulai merencanakan langkah-langkah ke depan."

Cedric menghela nafas dalam-dalam, merasa sedikit lebih tenang. "Terima kasih, Demitri. Kau selalu tahu apa yang harus dikatakan."

"Sudah tugasku, Tuan Muda," jawab Demitri sambil membungkuk hormat. "Sekarang, sebaiknya Anda beristirahat. Besok akan menjadi hari yang panjang dan penuh dengan perencanaan."

Cedric mengangguk dan membiarkan Demitri keluar dari ruangan. Ia duduk di kursinya, merenungkan semua yang telah terjadi. Meskipun lamarannya kepada Putri Charlotte telah ditolak, ia sadar bahwa ada banyak cara lain untuk membuktikan dirinya. Pangeran Cedric memutuskan untuk mengalihkan fokusnya ke masalah perbatasan, siap untuk menunjukkan bahwa ia adalah pemimpin yang layak untuk kerajaan Calestia.

Malam itu, Pangeran Cedric berjalan-jalan di koridor istana, berharap udara malam bisa menenangkan pikiran yang kalut. Kekecewaan masih menyimpan jantung, dan setiap sudut istana yang megah hanya mengingatkannya pada kegagalan lamarannya kepada Putri Charlotte. Ia keluar menuju taman kerajaan, tempat yang biasanya memberikan ketenangan baginya.

Langit malam yang cerah dipenuhi bintang-bintang, dan angin sepoi-sepoi bertiup lembut, membawa aroma bunga dari taman. Cedric berjalan perlahan, membiarkan pikirannya merenung. Namun, rasa tenang yang dicarinya seolah sulit untuk ditemukan. Setiap langkah yang diambilnya hanya memperdalam rasa kecewanya.

Tiba-tiba, dari balik bayang-bayang pepohonan, muncullah seorang kesatria, berlari kecil menuju pangeran. Kesatria itu, dengan napas yang terengah-engah, segera memberikan rasa hormat kepada Cedric. "Maafkan saya, Pangeran Cedric, tapi ada berita penting dari utara yang perlu Anda beri tahu segera."

Cedric menghentikan langkahnya dan menatap kesatria itu dengan tajam. "Berita apa yang kau bawa?"

Kesatria itu menelan ludah, berusaha mengatur napasnya. "Kerajaan Althar telah membangun sebuah benteng di dekat perbatasan dengan Calestia, dan mereka menumpuk prajurit dalam jumlah besar di sana."

Cedric terkejut mendengar kabar tersebut. "Apa? Bagaimana bisa mereka melakukan itu tanpa kita ketahui sebelumnya?" Cedric berusaha menahan amarahnya, meskipun rasa cemas mulai memenuhi hatinya.

"Kami baru saja menerima laporan dari mata-mata kami di perbatasan," jawab kesatria itu. "Mereka melaporkan bahwa benteng itu dibangun dengan cepat dan rahasia, dan sekarang dipenuhi oleh prajurit Althar."

Belum menyelesaikan masalah yang mengecewakannya karena ditolak putri Charlotte, kini ia menghadapi masalah yang lebih serius. Sudah jatuh tertimpa tangga, sebuah pepatah yang cocok untuk menggambarkan situasi yang menimpa Cedric. Cedric menarik napas dalam-dalam, mencoba mengendalikan pikiran yang berputar cepat. "Kita tidak bisa membiarkan hal ini terjadi begitu saja. Ini bisa berarti ancaman besar bagi kerajaan kita."

Kesatria itu mengangguk, "Apa perintahmu, Pangeran?"

Cedric berpikir sejenak, kemudian memberikan instruksi dengan tegas. "Segera persiapkan surat untuk kerajaan Althar. Kita harus meminta penjelasan atas tindakan mereka ini. Katakan bahwa kita menuntut jawaban segera atas keberadaan benteng dan konsentrasi prajurit di dekat perbatasan kita."

Kesatria itu membungkuk hormat. "Baik, Tuan. Saya akan segera menyiapkan surat tersebut."

"Juga," tambah Cedric, "perintahkan pasukan kita di perbatasan untuk meningkatkan kewaspadaan. Kita harus siap menghadapi kemungkinan terburuk."

Kesatria itu mengangguk lagi dan segera berlari meninggalkan taman, kembali ke istana untuk melaksanakan perintah pangeran. Cedric berdiri di tengah taman, memandang langit malam dengan pemandangan yang penuh kebimbangan. Masalah yang sedang dihadapinya kini jauh lebih serius daripada mengecewakan pribadinya. Ancaman dari Althar bisa menjadi awal dari konflik besar, sesuatu yang harus ia hadapi dengan penuh tanggung jawab.

Pangeran Cedric kembali berjalan perlahan, mencoba menyusun strategi dalam pikirannya. Langkah-langkah yang diambilnya harus hati-hati namun tegas. Ia tahu bahwa setiap keputusan yang diambil sekarang akan berdampak besar pada masa depan kerajaannya.

Ketika ia melangkah lebih jauh ke dalam taman, pikirannya mulai jernih. Ia menyadari bahwa diangkat sebagai pangeran pertama adalah melindungi rakyat dan kerajaan Calestia. Meskipun ditolak oleh Putri Charlotte adalah pukulan besar bagi harga dirinya, Cedric memahami bahwa tanggung jawabnya sebenarnya jauh lebih besar daripada sekadar urusan pribadi.

Dengan tekad yang baru, Cedric berjalan kembali ke istana. Ia tahu bahwa malam ini akan panjang, penuh dengan perencanaan dan persiapan. Namun, di balik setiap langkahnya, terdapat keyakinan bahwa ia mampu menghadapi semua tantangan ini.

Langit malam semakin gelap, namun hati Cedric kini dipenuhi dengan cahaya keberanian. Ia siap menghadapi ancaman dari Althar, siap membuktikan dirinya sebagai pemimpin yang pantas bagi kerajaan Calestia. Ancaman dari Utara hanya akan memperkuat tekadnya untuk melindungi kerajaannya dan rakyatnya.

Bagian 2

Di kerajaan Althar, sebuah kerajaan terkuat di benua itu, kekuatan menjadi hal yang sangat diutamakan. Kerajaan ini terkenal karena wilayahnya yang sangat luas dan populasinya besar, menghasilkan sumber daya yang melimpah. Althar tidak hanya memiliki banyak kesatria berbakat, tetapi juga mengembangkan senjata yang belum pernah dimiliki kerajaan lain di benua itu, seperti arquebus dan meriam, senjata yang mengubah wajah perang. Setiap kesatria dan penyihir kerajaan juga dibekali sebuah pistol kayu dengan mekanisme sederhana, yang dapat digunakan untuk membela diri ketika kehabisan tenaga atau mana. Di kerajaan Althar, terdapat puluhan petualang peringkat S, ratusan petualang peringkat A hingga B, dan ribuan petualang dengan peringkat di bawah, menambah komponen kekuatan kerajaan itu.

Di sebuah istana cabang dekat perbatasannya dengan Calestia, Vanessa, seorang yang tampak seperti anggota keluarga kerajaan Althar, berdiri dengan angkuh. Di sebelahnya, Franklin, seorang lelaki berambut putih dengan jubah hitam, membawa sebuah artefak kuno yang memancarkan aura kekuatan. Artefak ini diyakini memiliki kemampuan untuk mengendalikan monster-monster yang kuat, senjata pamungkas yang bisa menentukan nasib perang.

Vanessa memandang ke arah kerajaan Calestia dari balkon istana, senyum jahat terpancar di wajahnya. "Dengan ini, kita bisa menguasai seluruh kerajaan di benua ini," katanya dengan nada penuh keyakinan.

Franklin, dengan dingin dan misterius, ia mengangguk, "Artefak ini adalah kunci kemenangan kita. Tidak ada yang bisa menandingi kekuatan kita sekarang."

Vanessa merasakan kekuatan artefak itu mengalir melalui dirinya, memberi sensasi superioritas. "Pangeran Cedric dan kerajaannya akan menyesal pernah menolak perjanjian aliansi kita. Mereka tidak akan tahu apa yang menimpa mereka sampai semuanya terlambat."

Franklin menatap Vanessa, matanya penuh dengan kepuasan. "Rencana kita akan segera dimulai. Benteng dan pasukan di perbatasan sudah siap. Ini hanya masalah waktu sebelum kita melancarkan serangan pertama kita."

Vanessa melirik Franklin dengan penuh kepercayaan diri. "Aku harap kau tidak mengecewakan, Franklin. Keberhasilan kita bergantung pada penggunaan artefak ini."

Franklin tersenyum tipis. "Jangan khawatir, Putri Vanessa. Aku telah mempelajari artefak ini dengan seksama. Dengan kekuatannya, kita bisa memanggil dan mengendalikan monster-monster yang bahkan para penyihir terkuat pun takutkan."

Vanessa mengangguk, merasa puas. "Bagus. Pastikan kita memanfaatkan setiap kekuatan. Tidak ada tempat bagi kesalahan. Karena di samping kehebatannya, benda ini juga memiliki kekurangan. Benda itu hanya dapat digunakan selama 3 malam dua hari dimana malam kedua adalah ketika gerhana bulan. Selain di waktu tersebut, hanya menjadi barang tak berguna." Mereka sangat percaya diri dengan artefak itu.

Malam itu, di bawah sinar bulan yang terang, Vanessa dan Franklin berdiskusi panjang lebar mengenai strategi mereka. Mereka merencanakan setiap detail dengan cermat, memastikan tidak ada celah yang bisa dimanfaatkan oleh musuh mereka. Setiap langkah dihitung dengan cermat, setiap kemungkinan dipertimbangkan.

"Aku ingin pasukan kita siap dalam waktu seminggu," perintah Vanessa. "Kita akan memulai dengan serangan mendadak di perbatasan. Biarkan mereka merasakan kekuatan kita."

Franklin mengangguk. "Aku akan mengatur semuanya. Pasukan kita akan siap, dan artefak ini akan menjadi senjata utama kita."

Vanessa menatap ke arah Cakrawala, membayangkan kerajaan Calestia terbakar di bawah serangan mereka. "Kita akan membuat sejarah, Franklin. Althar akan menjadi kekuatan yang tak tergoyahkan di benua ini."

Franklin tersenyum merasakan antusiasme Vanessa. "Dan semua kerajaan akan tunduk di bawah kekuasaan Althar. Masa depan kita cerah, Putri Vanessa."

16 tahun yang lalu, di saat langit malam diterangi oleh kilatan petir, kerajaan Althar menggelar rencana jahat mereka. Mereka menggunakan artefak kuno untuk mengendalikan monster-monster dari jarak jauh, membuat makhluk-makhluk itu menjadi lebih agresif dan menyerang desa-desa serta kota-kota di sekitar kerajaan Lumania. Serangan itu dimulai dari desa Gatewood, sebuah desa kecil yang terletak di wilayah selatan kerajaan Lumania.

Di tengah kegelapan malam, desa Gatewood berubah menjadi medan perang yang penuh dengan suara jatuh dan gemuruh langkah monster. Warga desa berlarian mencari tempat berlindung, sementara api membakar rumah-rumah mereka. Para monster, dikendalikan oleh kekuatan artefak, mengamuk tanpa henti, menghancurkan segala sesuatu yang mereka temui.

Namun, di tengah kekacauan itu, muncullah seorang kesatria hebat dari kerajaan Lumania. Kesatria itu dikenal dengan nama Rosvelt Bronze, seorang kesatria legendaris yang telah melalui banyak pertempuran. Dengan pedang di tangan dan keberanian di hatinya, Rosvelt berdiri di tengah desa yang hancur, siap melindungi warganya.

Rosvelt tidak gentar menghadapi para monster. Ia mencengkeram dengan kekuatan luar biasa, menutup dan menutup setiap monster yang mendekat. Serangan demi serangan ia lepaskan, melawan gelombang makhluk-makhluk buas yang datang tanpa henti. Warga desa yang menyaksikan keberaniannya merasa harapan kembali menyala di hati mereka.

Pertarungan itu berlangsung lama. Malam bergeser dan fajar siap menggantikannya, namun Rosvelt tidak menunjukkan tanda-tanda kelelahan. Ia terus melawan, membunuh monster demi monster, meskipun luka-luka mulai memenuhi tubuhnya. Setiap kali ia terjatuh, ia bangkit kembali dengan semangat yang tak tergoyahkan.

Dalam perbincangan, seorang mata-mata sekaligus penyihir dari kerajaan Althar, yang tidak lain adalah Franklin, mengendalikan artefak kuno mengamati dengan rasa frustrasi. Ia tidak menyangka ada seorang kesatria yang mampu menghadapi dan mengalahkan para monster yang mereka kendalikan. Namun, mereka terus mengirim lebih banyak makhluk buas, berharap bisa menghancurkan desa Gatewood dan menaklukkan kerajaan Lumania.

Pada puncak pertempuran, Rosvelt berdiri di tengah desa, dikelilingi oleh monster mayat-mayat. Tubuhnya penuh dengan luka, darah mengalir dari setiap goresan. Namun, mata kesatria itu tetap berkilat dengan tekad yang kuat. Ia tahu bahwa hidupnya mungkin berakhir di sini, tapi ia tidak akan menyerah.

Dalam serangan terakhirnya, Rosvelt mengeluarkan semua kekuatan yang tersisa. Dengan teriakan perang yang menggema, ia melompat ke arah monster terbesar, seekor naga hitam besar yang memimpin serangan. Pertarungan itu begitu sengit, namun pada akhirnya, Rosvelt berhasil menangkap monster itu dengan sebuah jurus terlarang, dan akhirnya menghentikan serangan para monster lainnya.

Dengan kematian naga hitam, makhluk-makhluk lainnya mundur dan melarikan diri. Rosvelt berdiri dengan napas terengah-engah dengan luka di kedalaman, tubuhnya goyah. Warga desa yang selamat keluar dari tempat persembunyian mereka, mengerumuni kesatria mereka dengan rasa syukur dan kagum. Namun, Rosvelt tahu bahwa waktunya telah habis.

Ia jatuh ke tanah, darah mengalir dari luka-lukanya. Dengan suara lemah, ia memberikan pesan terakhirnya kepada warga desa. "Jaga kerajaan ini... melindungi tanah ini... dari semua ancaman," katanya sebelum akhirnya menghembuskan napas terakhirnya.

Kematian Rosvelt membawa kesedihan yang mendalam bagi seluruh kerajaan Lumania terutama warga desa Gatewood, membuat mereka kehilangan sosok yang selama ini menjadi pelindung bagi mereka. Namun keberaniannya menginspirasi banyak orang. Berkat pengorbanannya, serangan monster dapat dihentikan sehingga rencana Althar untuk menaklukkan Lumania gagal. Sejak saat itu, nama Rosvelt Bronze dikenang sebagai pahlawan legendaris oleh warga desa Gatewood.

Bagian 3

Pagi itu, Louis, Darius, dan Sylphia berjalan di jalanan kota Eldoria, membawa perbekalan baru mereka beli dari pasar. Matahari pagi menyinari kota dengan lembut, menciptakan suasana sejuk dan nyaman. Jalanan dipenuhi berbagai aktivitas, mulai dari pedagang yang menawarkan dagangannya, hingga anak-anak yang bermain di tepi jalan. Suasana hidup ini memberikan semangat tersendiri bagi mereka bertiga, yang siap menghadapi petualangan berikutnya.

"Aku rasa kita sudah memiliki cukup perlengkapan untuk beberapa hari," kata Louis sambil memeriksa tas ranselnya yang penuh dengan makanan dan perlengkapan lainnya. "Sekarang kita hanya perlu memastikan senjata kita siap."

Darius mengangguk, "Ya, dan mungkin kita juga perlu mencari informasi tambahan tentang misi kita selanjutnya. Kita tidak bisa terlalu berhati-hati."

Sylphia, yang berjalan di sebelah mereka, tersenyum. "Saya setuju. Informasi adalah kunci. Semakin banyak kita tahu, semakin baik kita bisa mempersiapkan diri."

Saat mereka berjalan menuju guild petualang untuk mencari informasi lebih lanjut, mereka melihat dua sosok yang familiar keluar dari markas guild. Arlan dan Aria, yang tampak sedang berbicara dengan serius, berhenti sejenak ketika melihat Louis dan regunya mendekat.

"Arlan! Aria!" Louis memanggil mereka sambil mengganti tangan.

Arlan menoleh dan tersenyum ketika mengenali mereka. "Ah, Louis, Darius, Sylphia. Senang melihat kalian lagi."

Aria juga tersenyum dan melambaikan tangan. "Bagaimana kabar kalian? Apa kalian baru saja kembali dari misi?"

"Kami baru saja membeli perbekalan untuk misi berikutnya," jawab Sylphia. "Bagaimana dengan kalian? Kalian terlihat sedang sibuk."

Arlan mengangguk. "Kami baru saja keluar dari pertemuan di guild. Ada banyak hal yang perlu dibicarakan, terutama dengan meningkatnya aktivitas monster di hutan sekitar."

Darius tampak tertarik. "Kami juga mendengar tentang itu. Kemarin kami bertemu dengan beberapa monster yang tidak biasanya ada di hutan tersebut. Apakah kalian tahu apa yang sedang terjadi?"

Aria menghela napas. "Sepertinya ada sesuatu yang memicu para monster untuk menjadi lebih agresif. Kami sedang mencari tahu apa penyebabnya. Selain itu, kami juga mendapatkan informasi bahwa ada kemungkinan campur tangan dari pihak luar yang mencoba memanipulasi monster-monster itu."

Louis mengernyitkan dahi. "Pihak luar? Maksud kalian ada seseorang atau sesuatu yang sengaja memancing para monster?"

Arlan mengangguk serius. "Itu yang kami curigai. Mungkin ada pihak yang menggunakan artefak atau sihir untuk mengendalikan para monster. Kami sedang mencoba mengumpulkan lebih banyak bukti untuk memastikan dugaan ini."

Percakapan mereka semakin dalam ketika mereka mulai berbagi pengalaman dan informasi yang mereka miliki. Louis dan regunya menceritakan pertemuan mereka dengan troll dan ogre, serta bagaimana mereka hampir celaka sebelum berhasil melarikan diri. Arlan dan Aria mendengarkan dengan seksama, mencoba mengaitkan setiap petunjuk yang mereka dapatkan.

"Apa rencana kalian sekarang?" tanya Sylphia, setelah mereka selesai berbagi cerita.

Arlan menatap ke arah guild dan kemudian kembali melihat mereka. "Kami akan melanjutkan penyelidikan kami. Ada beberapa tempat yang kami curigai sebagai sumber masalah ini. Kami juga akan mencari tahu lebih banyak tentang artefak kuno yang mungkin terlibat."

Louis mengangguk. "Kalau begitu, kami juga akan tetap waspada. Jika ada yang bisa kami lakukan untuk membantu, kami siap."

Aria tersenyum hangat. "Terima kasih, Louis. Bantuan kalian akan sangat berarti. Mari kita tetap berhubungan dan berbagi informasi. Bersama-sama, kita pasti bisa mengatasi ancaman ini."

Setelah percakapan mereka selesai, Louis, Darius, dan Sylphia melanjutkan perjalanan mereka ke guild petualang, sementara Arlan dan Aria pergi untuk melanjutkan penyelidikan mereka. Keputusan mereka untuk tetap berhubungan dan bekerja sama memberikan harapan baru di tengah ancaman yang mereka hadapi.

Setelah berpisah dengan Arlan dan Aria, Louis, dan regunya mempersiapkan diri untuk berburu monster dan mencari tanaman obat di hutan dekat Eldoria. Mereka memasuki hutan dengan hati-hati, mengandalkan pengalaman mereka untuk mendeteksi bahaya dan menemukan jalur yang aman. Suasana hutan yang rindang dan tenang mengingatkan mereka pada petualangan sebelumnya, namun kali ini mereka lebih waspada mengingat meningkatnya aktivitas monster.

"Ini tempat yang bagus untuk mulai mencari," kata Darius sambil menunjuk ke arah sebuah area yang dipenuhi tumbuhan lebat. "Tanaman obat biasanya tumbuh subur di sekitar sini."

Sylphia mengangguk sambil meneliti sekitarnya. "Baiklah, kita bagi tugas. Aku akan mencari tanaman obat, sementara kalian berjaga-jaga. Jangan sampai kita lengah."

Mereka melanjutkan perjalanan dengan lebih waspada, langkah mereka semakin hati-hati. Setelah beberapa waktu, mereka menemukan tanaman obat yang mereka cari. Sylphia dengan cekatan mengumpulkan tanaman-tanaman tersebut, sementara Louis dan Darius menjaga sekitar.

Saat mereka sedang sibuk dengan tugas mereka, mereka mendengar suara langkah kaki mendekat. Louis memberi isyarat kepada yang lain untuk berhenti dan menunggu. Dari balik pepohonan, muncul seorang pemuda yang familiar.

"Alan?" kata Louis dengan nada terkejut.

Alan tersenyum lebar ketika melihat mereka. "Louis, Darius, Sylphia! Senang sekali bisa bertemu kalian lagi."

Louis tersenyum. "Kami juga, Alan. Apa yang kamu lakukan di sini?"

Alan mengangguk ke arah kelompok kecil yang muncul di belakangnya. "Aku sedang dalam perjalanan kembali ke Eldoria dengan regu petualang baruku. Kami baru saja menyelesaikan misi kami."

Louis memperhatikan anggota regu Alan dengan cermat. Ada empat orang lainnya, masing-masing tampak tangguh dan siap tempur. Alan mulai memperkenalkan mereka satu per satu.

"Ini adalah Faris," katanya sambil menunjuk seorang pria bertubuh besar dengan kapak besar di punggungnya. "Dia ahli dalam pertarungan jarak dekat dan sangat kuat."

Faris mengangguk ramah. "Senang bertemu kalian."

"Dan ini adalah Frufy," lanjut Alan, menunjuk seorang wanita muda dengan busur di punggungnya. "Dia pemanah ulung dan penjelajah hutan."

Frufy tersenyum. "Aku senang saat bertemu dengan sesama petualang ketika menjalankan misi."

Alan kemudian memperkenalkan dua anggota lainnya, seorang penyihir bernama Elda yang mahir dalam sihir penyembuhan, dan seorang pendekar bernama Torin yang dikenal karena kecepatannya.

"Regu yang hebat, Alan," kata Louis dengan kagum. "Kalian pasti telah melalui banyak hal bersama."

Alan mengangguk. "Ya, kami sudah menjalani beberapa misi bersama. Aku masih ingat saat kalian menolongku dari serangan serigala raksasa. Itu adalah salah satu alasan aku membentuk regu ini. Aku ingin bisa menolong orang lain seperti kalian menolongku."

Darius tersenyum. "Senang mendengarnya, Alan. Kami juga sedang berburu monster dan mencari tanaman obat di hutan ini. Mungkin kita bisa saling membantu."

Alan setuju. "Itu ide bagus. Hutan ini semakin berbahaya dengan meningkatnya aktivitas monster. Lebih baik kita tetap bersama."

Mereka memutuskan untuk melanjutkan perjalanan bersama, berbagi informasi tentang tanda-tanda monster yang mereka temui dan tempat-tempat di mana tanaman obat langka dapat ditemukan. Kebersamaan mereka memberikan rasa aman dan kekuatan tambahan untuk menghadapi bahaya yang mungkin muncul.

Bagian 4

Sore itu, setelah sampai di kota Eldoria, Louis dan regunya berpisah dengan regu Alan. Mereka berharap dapat bekerja sama lagi di lainwaktu. Setelah melambaikan tangan untuk terakhir kalinya, Louis, Darius, dan Sylphia mulai berjalan di jalanan kota yang ramai. Suasana kota Eldoria selalu menyenangkan bagi mereka, dengan deretan toko yang menjual berbagai barang, dari senjata hingga makanan lezat.

Setelah beberapa lama berjalan, mereka memutuskan untuk mampir sebentar di sebuah kedai yang terletak tidak jauh dari guild petualang tempat mereka sering berkumpul.

Ketika mereka tiba di kedai, suasana hangat dan ramah langsung menyambut mereka. Mereka duduk di salah satu sudut kedai yang nyaman, memesan beberapa hidangan untuk mengisi perut mereka setelah seharian petualangan. Tak lama setelah itu, mereka dibuat terkejut ketika melihat Arlan dan Aria duduk di meja sebelah.

"Arlan, Aria!" sapa Louis dengan antusias. "Ternyata kalian masih di sini."

Arlan tersenyum. "Kami baru saja kembali dari misi kecil. Bagaimana dengan kalian?"

Darius mengangguk. "Berjalan dengan lancar. Kami berhasil menemukan tanaman obat yang kita butuhkan dan bertemu dengan Alan serta regunya di sana."

"Apa kabar dengan kalian?" tanya Sylphia sambil menatap Aria.

Aria mengangguk gembira. "Kami juga memiliki hari yang sibuk. Kami menyelesaikan beberapa misi kecil dan mempersiapkan diri untuk misi besar berikutnya. Tapi cukup melelahkan, jadi kita memutuskan untuk istirahat sebentar di sini."

Mereka duduk bersama di meja, bertukar cerita tentang pengalaman masing-masing. Arlan menceritakan beberapa petualangan terbarunya dengan Aria, sementara Louis dan Darius berbagi cerita tentang pertemuan mereka dengan Alan dan regunya.

"Apa rencana kalian selanjutnya?" tanya Arlan sambil memesan minuman untuk mereka.

Louis memikirkan sejenak. "Kami mungkin perlu melaporkan hasil misi ini ke guild petualang dan meninjau rencana selanjutnya."

Mereka pun berdiskusi tentang meningkatnya aktivitas para monster di sekitar hutan di kawasan itu. Dalam percakapan itu, Arlan dan Aria membagikan rencana mereka untuk melakukan penyelidikan di wilayah kerajaan Althar setelah mndapat beberapa petunjuk dari seorang pengembara, yang mengatakan bahwa artefak yang sedang ia cari tidaklah berada di bawah istana kerajaan Lumania ataupun di kawasan sekitar, melainkan berada di sebuah tempat di luar kerajaan lumania. Mereka juga mengatakan kalau hal ini juga berkaitan dengan peristiwa 16 tahun lalu, saat monster gelombang menyerang desa Gatewood.

Arlan terdiam sesaat kemudian menjelaskan permasalahan, "Saya mendengar bahwa kerajaan Althar terlibat dalam penggunaan artefak kuno yang memanipulasi monster untuk menyerang kerajaan Lumina pada waktu itu. Namun, mereka gagal ketika seorang kesatria terbaik kerajaan, Rosvelt Bronze mengalahkan semua monster ketika mencapai desa Gatewood. "

Ia berpikir sejenak kemudian melanjutkan, "Kami ingin mencari tahu apakah Althar sedang merencanakan sesuatu yang melibatkan monster lagi. Mungkin mereka mencoba kembali seperti apa yang mereka lakukan 16 tahun lalu, atau bahkan lebih dari itu."

"Mengendalikan monster dengan artefak kuno seperti itu bisa mengubah permainan," kata Aria, menambahkan pemikirannya. "Kami harus waspada."

Louis yang mendengar bahwa hal itu berkaitan dengan serangan monster ke desa Gatewood 16 tahun lalu pun memutuskan untuk ikut. Ia ingin mencari tahu lebih banyak mengenai hal yang telah menyebabkan kehilangan ayahnya.

"Aku harus ikut, Arlan," kata Louis dengan tegas, mencoba meyakinkan mereka. "Ini adalah bagian dari masa laluku yang selama ini ingin kukutahui. Aku harus tahu apa yang sebenarnya terjadi pada ayahku."

Arlan kepala, wajahnya penuh pertimbangan. "Louis, ini bukan hanya masalah pribadi lagi. Kita sedang menghadapi kekuatan yang jauh lebih besar dari yang kita bayangkan. Aku tidak ingin membahayakan nyawa kalian semua."

Aria menambahkan dengan lembut, "Kamu memiliki tanggung jawab besar terhadap desa Gatewood, Louis. Kamu harus menjaga yang kamu cintai."

Louis mendengarkan dengan hati berat ketika Arlan dan Aria melarangnya untuk ikut dalam misi penyelidikan ke Althar. Meskipun keinginannya untuk memahami lebih dalam tentang serangan monster yang menyebabkan kehilangan ayahnya begitu besar, dia mengerti bahwa keputusan itu diambil atas pertimbangan yang bijaksana.

"Aku mengerti," kata Louis akhirnya dengan suara rendah, mengangguk kepada Arlan dan Aria. "Aku akan mempercayakan misi ini pada kalian. Baiklah," ucapnya. "Kami akan kembali ke Desa Gatewood besok sore setelah menjalankan misi dari guild."