Bagian 1
Seminggu kemudian, di kerajaan Althar, suasana semula yang tenang mulai berubah menjadi penuh persiapan militer. Vanessa, Franklin, beserta antek-anteknya memulai rencana jahat mereka dengan penuh ambisi. Di ruang strategi Althar, Franklin berdiri dengan sebuah peta besar terbentang di depan mereka, menandai wilayah-wilayah strategi yang akan menjadi sasaran serangan.
"Ini saatnya, Vanessa," kata Franklin dengan nada dingin. "Kita telah mempersiapkan pasukan kita. Puluhan ribu prajurit siap berangkat. Kami juga telah memobilisasi petualang kelas S hingga B, mereka telah setuju untuk bergabung dalam kampanye ini."
Vanessa mengangguk sambil tersenyum, "Baik. Kita harus memastikan bahwa serangan kita kali ini berhasil. Kerajaan Calestia tidak akan tahu apa yang akan menghantam mereka. Kuharap kau tidak melakukan kelalaian seperti ketika menyerang Lumania, Franklin."
Di luar istana, pasukan Althar telah berkumpul. Barisan panjang prajurit bersenjata lengkap bergerak di wilayah perbatasan Calestia, sementara menuju petualang yang direkrut untuk misi ini berbaur di antara mereka. Bendera Althar berkibar tinggi di angkasa, menambah semangat pasukan yang siap bertempur.
Sementara itu, di Calestia, pangeran Cedric tidak tinggal diam. Di ruang strateginya, peta besar terbentang di atas meja, mirip dengan yang ada di Althar. Cedric bersama Harris, kesatria kepercayaannya, serta beberapa pemimpin kesatria dan penasihat militer, merencanakan strategi pertahanan mereka.
"Kita harus siap menghadapi mereka dari segala sisi," kata Cedric dengan tegas. "Laporan dari mata-mata kita menunjukkan bahwa mereka sedang memobilisasi pasukan besar. Kita tidak bisa meremehkan mereka."
Harris, dengan ekspresi serius, menambahkan, "Prajurit kita telah siap, Yang Mulia. Kami juga telah mempersiapkan benteng pertahanan di titik-titik strategis. Namun, kita harus segera memanggil pasukan tambahan dari wilayah-wilayah sekitar."
Cedric mengangguk. "Benar. Kita akan mengerahkan semua kekuatan yang kita miliki. Selain itu, kita harus memastikan bahwa para petualang yang setia kepada Calestia juga ikut membantu. Mereka memiliki pengalaman dan keahlian yang sangat berguna."
Para senopati dan penasihat mengangguk setuju. Mereka segera mengirimkan pesan ke seluruh penjuru kerajaan, memanggil semua prajurit, kesatria, dan petualang untuk bersiap menghadapi serangan dari Althar.
Malam itu, di Calestia, suasana tegang terasa di udara. Prajurit-prajurit mengancam di sekitar benteng dan pos-pos perlindungan. Suara langkah kaki dan peralatan perang yang dipersiapkan menggema di seluruh penjuru kota. Pangeran Cedric berjalan di sepanjang koridor istana, memikirkan strategi dan kemungkinan yang akan terjadi.
"Yang Mulia," Harris menyapanya ketika mereka berada di taman istana. "Aku tahu ini bukan situasi yang mudah. ​​​​Tapi aku yakin, dengan persiapan yang matang dan semangat juang yang tinggi, kita bisa menghadapi mereka."
Cedric tersenyum tipis. "Terima kasih, Harris. Aku mengandalkanmu. Aku hanya berharap, kita bisa melindungi kerajaan ini dengan sebaik-baiknya."
Berita mengenai ketegangan antara Althar dan Calestia menyebar dengan cepat ke seluruh penjuru benua, seperti angin yang membawa kabar buruk. Di istana kerajaan Lumania, Raja Theodore mendengar berita ini dengan hati yang berat. Ketegangan di utara itu bisa berimbas ke seluruh benua, termasuk ke kerajaannya. Pagi itu, Raja Theodore memanggil dewan penasihat dan para pimpinan kesatrianya untuk mengadakan pertemuan darurat di aula istana.
Raja Theodore duduk di singgasananya, dengan wajah yang tegas namun penuh kecemasan. Di hadapannya berdiri panglima kesatria, Sir Reginald, serta beberapa penasihat kerajaan dan utusan dari berbagai wilayah. Setelah mendengar laporan lengkap mengenai situasi yang terjadi di Althar dan Calestia, Raja Theodore berdiri dan mulai berbicara.
"Kita tidak bisa mengabaikan berita ini," katanya dengan suara mantap. "Jika Althar benar-benar berniat menguasai Calestia, mereka mungkin tidak akan berhenti di sana. Kita harus meningkatkan kewaspadaan dan bersiap menghadapi kemungkinan terburuk."
Sir Reginald mengangguk. "Yang Mulia, kita sudah mulai memperkuat benteng pertahanan di perbatasan Calestia. Namun, kita memerlukan lebih banyak prajurit untuk memastikan keamanan seluruh kerajaan. Perekrutan harus segera dimulai."
Raja Theodore setuju. "Benar, Reginald. Aku ingin agar prajurit yang dilakukan di seluruh kerajaan. Kita membutuhkan semua kekuatan yang kita miliki untuk melindungi kerajaan kita."
Salah satu penasihat mengajukan saran. "Yang Mulia, kita juga bisa meminta bantuan dari guild petualang. Mereka memiliki para petualang yang berpengalaman dan bisa menjadi tambahan kekuatan yang berharga dalam situasi seperti ini."
Raja Theodore berpikir sejenak, lalu mengangguk. "Ide yang bagus, Elara. Segera kirimkan surat kepada seluruh guild petualang di kerajaan ini. Katakan bahwa kerajaan membutuhkan bantuan mereka. Siapapun yang bersedia membantu akan diberi keseimbangan yang pantas dan diberikan penghargaan dari kerajaan."
Para penasihat dan utusan segera bergerak untuk menyampaikan perintah raja. Dalam waktu singkat, surat-surat resmi dari istana mulai dikirimkan ke berbagai guild petualang di seluruh Lumania. Di setiap kota dan desa, ada seruan untuk membantu kerajaan dalam menangani ancaman dari utara yang disebarluaskan.
Di seluruh Lumania, guild petualang menanggapi panggilan dari raja. Para petualang, dari yang muda hingga yang berpengalaman, berkolaborasi untuk berkolaborasi dalam kerajaan. Mereka menyadari bahwa ini bukan hanya tentang melindungi kerajaan mereka sendiri, tetapi juga menjaga keseimbangan di seluruh benua.
Raja Theodore merasa lega melihat respon positif dari para petualang. Ia tahu bahwa melalui persatuan dan kerja sama, mereka dapat menangani ancaman ini dengan lebih baik. Di malam harinya, setelah semua persiapan mulai berjalan, Raja Theodore berdiri di balkon istananya, memandang bintang-bintang di langit.
Semoga dewa-dewa melindungi kita, bisiknya dalam hati. "Kita akan menghadapi cobaan berat, namun aku yakin dengan kekuatan dan semangat rakyat kita, kita bisa melewati ini."
Bagian 2
Pagi itu di desa Gatewood, sinar matahari yang lembut menembus kabut tipis yang menyelamatkan desa. Louis berdiri di tengah lapangan desa, berlatih dengan penuh semangat menggunakan sepeda. Keringat mengalir di dahi, namun matanya tetap fokus. Di sebelahnya, Griselda, seorang kesatria yang bertugas menjaga desa itu menemaninya Latihan.
"Lebih cepat, Louis! Jangan biarkan serangan musuh menembus pertahananmu!" seru Griselda, sambil menunjukkan gerakan pedang yang cepat dan tepat. Louis mengikuti Arahnya dengan seksama, mencoba meniru gerakan Griselda dengan sebaik mungkin.
Saat mereka berlatih, seorang pengantar surat datang mendekati mereka. Orang itu mengenakan seragam khas pengantar surat kerajaan, dengan lambang kerajaan yang tersemat di dada. Dengan nafas yang sedikit terengah-engah, pengantar surat itu memberikan sepucuk surat kepada Griselda. Setelah mengucapkan salam singkat, ia pun segera melanjutkannya.
Griselda melihat surat itu dengan alis yang sedikit terangkat. Stempel kerajaan yang tertera di amplopnya menunjukkan bahwa surat itu berasal dari raja atau salah satu pejabat tinggi kerajaan. Dengan hati-hati, ia membuka amplop tersebut dan mulai membaca isinya. Wajahnya yang biasanya tenang kini berubah menjadi serius.
Louis yang memperhatikan perubahan ekspresi Griselda merasa penasaran. "Ada apa, Griselda? Apakah terjadi sesuatu?"
Griselda mengangguk, matanya tetap berdetak pada surat di tangannya. "Ini dari kerajaan. Raja Theodore telah mengirimkan peringatan tentang ketegangan yang meningkat antara kerajaan Althar dan Calestia. Ada kemungkinan perang besar yang akan terjadi."
Louis seketika teringat dengan ekspresi kekhawatirannya. "Perang? Apakah itu juga akan melibatkan Lumania?"
"Benar," jawab Griselda dengan tegas. Surat ini juga meminta para kesatria di setiap wilayah untuk meningkatkan kewaspadaan dan mulai melatih para pemuda di sekitar untuk bersiap menghadapi kemungkinan terburuk. Kita harus melindungi tempat ini dan siap menghadapi segala ancaman.
Saat Louis dan Griselda masih membicarakan isi surat itu, suara langkah kaki yang mendekat membuat mereka menoleh. Darius dan Sylphia, datang dengan wajah yang tampak serius. Darius memegang sebuah kertas. Sylphia, dengan ekspresi khawatir, mengikuti di belakangnya.
"Louis, Griselda, kalian harus melihat ini," kata Darius dengan nada mendesak. Ia menyerahkan kertas itu kepada Griselda.
Griselda mengambil kertas itu dan membacanya dengan seksama. Wajahnya yang sudah serius kini semakin bermanfaat. "Ini adalah berita terbaru dari papan pengumuman desa," kata Darius. "Kerajaan Althar kemungkinan besar akan melakukan ekspansi ke seluruh penjuru benua setelah menaklukkan Calestia."
Louis merasakan jantungnya berdegup lebih cepat. "Apa maksudnya? Apakah mereka benar-benar berencana menguasai seluruh benua?"
Sylphia mengangguk. "Itulah yang dikatakan dalam pengumuman itu. Mereka telah mempersiapkan pasukan besar dan senjata yang belum pernah kita lihat sebelumnya. Jika mereka berhasil menaklukkan Calestia, mereka akan menjadi ancaman besar bagi kita semua."
Louis merasakan kecemasannya. "Apa maksudnya? Apakah mereka benar-benar berencana menguasai seluruh benua?"
Sylphia mengangguk. "Itulah yang dikatakan dalam pengumuman itu. Mereka telah mempersiapkan pasukan besar dan senjata yang belum pernah kita lihat sebelumnya. Jika mereka berhasil menaklukkan Calestia, mereka akan menjadi ancaman besar bagi kita semua."
Griselda menghela napas panjang. "Ini berarti kita harus lebih waspada lagi. Kerajaan Althar tidak hanya mengancam Calestia, tetapi seluruh benua. Kita harus bersiap untuk kemungkinan terburuk."
Louis mengulurkan tangannya. "Kita tidak bisa membiarkan mereka melakukan hal itu. Kita harus melawan. Kita harus melindungi desa kita."
Sylphia menambahkan, "Kita bisa meminta bantuan dari guild petualang. Mereka pasti memiliki informasi lebih lanjut dan mungkin bisa membantu kita dalam melawan Althar."
Griselda berdiri tegak. "Baiklah, kita akan melakukannya. Louis, Darius, Sylphia, kalian bertiga memiliki peran penting dalam melindungi desa ini. Kita harus bekerja sama dan memastikan bahwa kita siap untuk menangani segala ancaman."
Mereka bertiga mengangguk dengan tekad yang sama. Hari itu menjadi awal dari persiapan yang intensif di desa Gatewood. Louis, Darius, dan Sylphia bekerja bersama Griselda untuk melatih para pemuda desa, memperkuat pertahanan, dan mencari informasi lebih lanjut tentang rencana Althar.
Sore itu, saat matahari mulai tenggelam di ufuk barat, Arlan dan Aria tiba di perbatasan Althar. Perjalanan panjang dari kota Eldoria di Lumania membawa mereka ke ujung kerajaan Althar, dan kini mereka harus melewati pos perbatasan yang dijaga ketat. Arlan, dengan wajah penuh tekad, memimpin jalan, sementara Aria, yang memiliki mata hijau tajam dan aura magis yang kuat, mengikuti di belakangnya.
Setibanya di pos perbatasan, mereka melihat barisan prajurit Althar yang berjaga dengan ketat. Dua prajurit, dengan tombak di tangan, bergerak maju untuk menghentikan mereka. Mata mereka waspada dan penuh dengan kerusakan. Beberapa perajurit di menara juga terlihat menodongkan sebuah Arquebus, bersiap untuk menembak jika mereka melakukan macam-macam.
"Berhenti! Siapa kalian dan apa tujuan kalian?" salah satu prajurit berteriak, suaranya menggema di udara sore yang tenang.
Arlan menghentikan langkahnya dan mengangkat tangannya, menunjukkan bahwa mereka tidak ingin melawan. "Kami adalah petualang dari guild Eldoria. Kami memiliki kepentingan di Althar."
Prajurit itu mengerutkan kening, menatap Arlan dan Aria dengan tajam. "Tidak ada yang bisa melewati perbatasan ini tanpa izin resmi. Kembalilah dari mana kalian datang atau kami akan mengambil tindakan."
Arlan menoleh ke Aria dengan pandangan penuh pemahaman. Mereka tahu bahwa tidak ada waktu untuk berdebat atau mencari izin resmi. Misi mereka terlalu mendesak. Aria melangkah maju, matanya mulai bersinar dengan cahaya biru yang aneh.
"Aku mohon maaf, tapi kita tidak punya pilihan lain," kata Aria dengan suara lembut namun tegas.
Dengan gerakan tangan yang halus, Aria mengeluarkan sihir hipnotisnya. Cahaya biru menyilaukan dari matanya, membuat para penjaga di depan mereka bingung. Para prajurit mulai kehilangan fokus, mata mereka menjadi kosong dan wajah mereka melembut. Dalam beberapa saat, mereka semua terhipnotis, berdiri diam tanpa bergerak.
Arlan mengulurkan bahu salah satu prajurit yang kini terhipnotis, memastikan mereka benar-benar tidak sadar. "Kita harus cepat," bisiknya pada Aria.
Setelah memastikan semua penjaga berada di bawah pengaruh sihirnya, Arlan dan Aria melanjutkan perjalanan mereka, bergerak lebih jauh ke wilayah Althar. Jalanan berbatu dan pepohonan gelap di sekitarnya, menciptakan suasana tegang dan penuh misteri.
Mereka berjalan dengan hati-hati, menjaga ketenangan dan waspada terhadap kemungkinan adanya patroli lain. Arlan memimpin jalan, sementara Aria menjaga sihirnya agar tetap aktif, siap digunakan kapan saja.
"Kita harus menemukan tempat untuk bersembunyi dan menyusun rencana," kata Arlan dengan suara pelan, menoleh ke Aria. "Kita tidak bisa terus berjalan tanpa mengetahui apa yang akan kita hadapi."
Aria mengangguk, "Ada sebuah gua yang pernah kudengar dari petualang lain. Tidak jauh dari sini. Kita bisa bersembunyi di sana untuk sementara waktu."
Dengan hati-hati, mereka mencari gua yang dimaksud, melintasi hutan lebat dan jalanan yang jarang dilalui. Setelah beberapa saat, mereka menemukan gua tersebut, tersembunyi di antara pepohonan besar dan batuan yang menonjol.
Mereka masuk ke dalam gua, merasakan hawa dingin yang menyambut. Gua itu cukup luas untuk mereka berdua dan menyediakan tempat berlindung yang sempurna dari patroli musuh. Arlan menyalakan obor kecil, cahayanya memantul di dinding batu yang kasar.
"Kita akan bermalam di sini," kata Arlan, meletakkan obor di tanah. "Besok kita akan melanjutkan perjalanan dan mencari tahu lebih banyak tentang rencana Althar."
Bagian 3
Di desa Gatewood, Louis, Darius, dan Griselda sedang melatih para pemuda yang ada di desa itu. Griselda, dibantu Louis mengajarkan pertarungan dengan pedang, Darius mengajarkan cara menusuk dengan panah, sedangkan Sylphia mengajarkan sihir kepada pemuda lainnya yang tak bisa bertarung di garis depan.
Griselda, yang duduk di bawah pohon besar di tepi lapangan, memandang dengan bangga para pemuda yang ia latih. Dia merasa puas melihat kemajuan mereka dalam waktu singkat. Louis sambil menyeka keringat di dahinya, tersenyum melihat semangat dan antusiasme para pemuda yang ingin belajar dan melindungi desa mereka.
"Darius, kamu mengajarkan mereka dengan sangat baik," puji Griselda sambil menoleh ke arah Darius yang sedang berdiri di taman. "Mereka akan jauh lebih siap jika ancaman dari Althar benar-benar mendekat."
Darius mengangguk, ekspresinya serius namun penuh semangat. "Kami harus mempersiapkan mereka sebaik mungkin. Kita tidak tahu kapan pasukan Althar akan menyerang."
Sylphia yang selesai memberikan penjelasan tentang sihir dasar, tersenyum lembut kepada para pemuda. "Kalian semua telah menunjukkan kemajuan yang luar biasa hari ini. Ingatlah, sihir bukan hanya tentang kekuatan, tetapi juga tentang pengendalian dan kesadaran diri. Praktikkan dengan baik."
Para pemuda mengangguk penuh antusiasme, merasa terhormat bisa belajar langsung dari mereka yang dianggap sebagai pahlawan di desa Gatewood. Beberapa dari mereka masih memegang pedang atau busur mereka, berlatih gerakan yang baru mereka pelajari.
Louis bangkit dari tempat duduknya dan melangkah ke tengah lapangan. Dia mengangkat pedangnya dan berdiri di depan para pemuda. "Kalian semua sudah menunjukkan tekad dan semangat yang luar biasa hari ini. Tetaplah belajar dan berlatih. Ini adalah kewajiban kita untuk melindungi desa kita dan orang-orang yang kita cintai."
Para pemuda menyampaikan dan memberikan tepuk tangan kepada Louis dan para instruktur mereka. Mereka merasa semakin siap menghadapi masa depan yang penuh tantangan, terinspirasi oleh keberanian dan dedikasi mereka yang lebih berpengalaman.
Sementara itu, di balik pohon di tepi lapangan, Griselda dan Darius melanjutkan diskusi tentang strategi pertahanan mereka. Mereka berdiskusi bagaimana cara terbaik untuk mempersiapkan desa Gatewood menghadapi serangan yang tak terelakkan dari Althar, sambil berharap bahwa persiapan mereka akan cukup untuk menjaga perdamaian di tanah mereka.
Setelah pelatihan itu selesai, para pemuda berterima kasih dan memberi hormat kepada Griselda dan lainnya sebagai penutup latihan, kemudian pulang ke rumah mereka masing-masing.
Setelah para pemuda pulang ke rumah masing-masing, Louis, Darius, Sylphia, dan Griselda berkumpul di bawah pohon besar di tengah lapangan latihan. Matahari hampir tenggelam di ufuk barat, mewarnai langit dengan nuansa jingga dan merah keemasan, menciptakan suasana yang tenang namun penuh pertimbangan di antara keduanya.
Louis mengusap peluh dari keningnya dan memandang ke arah desa yang terletak di balik pepohonan. "Para pemuda kita nampaknya semakin siap," katanya dengan suara penuh keyakinan. "Saya yakin sekarang mereka bisa menjaga desa ini dengan baik."
Griselda mengangguk. "Mereka telah menunjukkan kemajuan luar biasa dalam waktu singkat. Saya yakin mereka akan melakukan yang terbaik untuk melindungi desa Gatewood."
Darius menatap ke arah lapangan latihan yang mulai terasa sepi setelah kepergian para pemuda. "Kami berencana akan berangkat ke Eldoria dan mengajukan kerjasama dengan guild petualang lainnya. Aktivitas monster di wilayah ini semakin meyakinkan. Kita perlu bekerja sama untuk menekan jumlah monster yang berkeliaran di sekitar desa."
Sylphia mengangguk setuju, sambil menambahkan, "Kerjasama dengan para petualang juga akan memperluas jaringan informasi kita. Mungkin kita bisa mendapatkan petunjuk lebih lanjut tentang apa yang sedang terjadi di luar sana."
Louis mengangguk. "Kita harus membuat rencana dengan baik. Aku akan mengurus persiapan perjalanan ke Eldoria besok pagi. Griselda, apakah kamu bisa memastikan bahwa penjagaan di desa ini tetap kuat?"
Griselda mengangguk tegas. "Tentu saja. Aku akan bekerja sama dengan para pemuda yang berlatih untuk melakukan patroli rutin dan memperkuat pertahanan kami. Saya juga akan memeriksa perlengkapan dan senjata mereka."
Sementara di sudut desa lain, Alice berjalan melewati jalan berbatu desa Gatewood yang sepi. Cahaya senja mulai menerangi langit, menciptakan bayangan panjang dari rumah-rumah kayu dan beberapa gerai kecil yang menjajakan berbagai keperluan sehari-hari. Dia mengenakan gaun berwarna biru tua yang melambai lembut di angin senja, langkahnya mantap menuju rumah besar di ujung jalan, Rumah Sir Hansel yang terlihat berbeda dari rumah-rumah lainnya. Bangunan yang terbuat dari batu bata yang diamlas dan terlihat kokoh, dengan atap tegak yang menonjol ke langit biru. Pintu masuknya dihiasi dengan ukiran rumit, menunjukkan kemegahan dan kelas sosial yang tinggi. Sir Hansel, yang dihormati sebagai tabib terbaik di seluruh wilayah. Ia tinggal sendirian, sementara latar belakang di belakangnya juga tidak begitu jelas.
Alice mengetuk pintu dengan lembut. Beberapa saat kemudian, pintu terbuka perlahan. Seorang pria seusia ayahnya, mengenakan jubah putih yang bersih, muncul di balik pintu. Wajahnya ramah, dengan mata yang tajam menatap Alice dengan penuh perhatian.
"Selamat sakit, Alice" sapanya dengan suara hangat. "Ada yang bisa kubantu?"
Alice tersenyum, merasa lega melihat wajah tabib yang terkenal itu. "Selamat sore, Sir Hansel. Begini, ayah saya terjatuh dari tangga hari ini, dia membutuhkan ramuan untuk membantu penyembuhannya."
Sir Hansel mengangguk, mempersilahkan Alice masuk ke dalam. Ruang tamu di dalam rumahnya terasa sejuk dan tenang.
Saat Alice memasuki ruang tamu, dia merasa seperti masuk ke dalam dunia yang berbeda. Ruangan itu benar-benar berbeda dari kebanyakan rumah di desa Gatewood. Dinding-dindingnya dilapisi dengan cat putih yang halus, menciptakan suasana yang bersih dan terang. Lemari kaca yang berisi berbagai macam obat-obatan terletak di salah satu sudut ruangan. Alice melihat bola cahaya terang yang menempel di langit-langit ruangan. "Selain tabib yang disegani, sepertinya Sir Hansel juga seorang penyihir yang baik dan suka menolong. Tak heran ia sangat dihormati banyak orang." Gumam Alice sambil tersenyum mengagumi sosok yang ia temui hari ini.
Alice menunggu Sir Hansel kembali, sembari merasakan udara yang sedikit dingin dan wangi di dalam ruangan itu. Bau obat-obatan bercampur dengan pewangi ruangan, menciptakan suasana yang tenang dan nyaman. Seketika pandangannya tertuju pada sebuah meja di samping kursi tempat ia duduk. Di atasnya terdapat beberapa kertas berwarna putih bersih yang dipenuhi dengan tulisan. Di kertas itu, terdapat banyak aksara yang tidak ia ketahui. Tulisan itu sangat rapi dan presisi, yang sepertinya tidak ditulis dengan tangan manusia.
Sir Hansel kemudian kembali ke ruangan itu, ia menuju lemari kaca dengan hati-hati, mengambil beberapa botol ramuan yang dibutuhkan Alice. Setelah menyelesaikan peracikan ramuan, dia menata kembali botol-botol ramuan dengan teliti, sebelum akhirnya menyuguhkan ramuan-ramuan itu kepada Alice.
"Terima kasih banyak, Sir Hansel," ucap Alice dengan suara lembut sambil menerima ramuan-ramuan itu. "Saya harap ramuan ini bisa membantu ayah saya pulih dengan cepat."
Sir Hansel tersenyum hangat. "Saya yakin akan membantu, Alice. Setiap ramuan ini dipilih dengan hati-hati untuk memastikan khasiatnya sebaik mungkin."
Alice membayar ramuan-ramuan tersebut dengan uang yang telah disiapkannya sebelumnya. Sebenarnya ia masih penasaran dengan benda-benda yang tadi sempat membuatnya penasaran, namun dia tidak ingin bertanya pada Sir Hansel karena merasa tak pantas untuk bertanya tentang hal pribadi seseorang yang telah menolongnya.
Setelah selesai, Alice meninggalkan rumah Sir Hansel dengan ekspresi menyimpan rasa penasaran. Dia merasa lega karena telah mendapatkan ramuan untuk ayahnya, namun rasa penasaran masih mengganjal di pikirannya. Sesekali, dia menengok ke belakang saat melangkah menjauh dari rumah Sir Hansel, memandangi bangunan yang terlihat begitu megah dan misterius di antara rumah-rumah sederhana desa Gatewood.
Setelah kepergian Alice, Sir Hansel kembali menutup pintu rumahnya dan menuju ruang belakang. Ia kemudian mendekati sebuah benda kecil di meja di belakang lemari kaca. Benda itu memancarkan cahaya hijau berkedip-kedip. Ia kemudian mengatakan beberapa kalimat di depan benda itu dengan bahasa asing.
"Report sir. I found that activities on the continent are currently increasingly unconducive. However, this could be our newest object and experiment."
Setelah selesai berbicara dengan benda itu, Sir Hansel mengembalikan perhatiannya ke ruang belakangnya yang penuh dengan alat-alat dan buku-buku. Dia menyimak peta besar yang tergantung di salah satu dinding. Peta itu tidak hanya menampilkan benua tempat mereka tinggal, tetapi juga menunjukkan seluruh dunia dengan detail yang luar biasa, sehingga memperlihatkan benua mereka terlihat kecil di antara wilayah-wilayah lain yang jauh lebih luas dan kompleks.
Sore hari itu di perbatasan Althar dan Calestia, Pangeran Cedric dengan baju zirahnya berdiri tegak di atas bukit, menatap dengan serius ke arah pasukan Althar yang berkumpul di dataran rendah di depannya. Matahari terbenam memancarkan cahaya keemasan yang memancar di atas senjata-senjata prajurit, mencerminkan kesiapan perang yang mengancam di cakrawala.
Di sebelahnya, Harris, kesatria kepercayaannya, juga menatap dengan ekspresi serius. Mereka berdua mengevaluasi situasi dengan cermat. Pasukan Althar yang mereka hadapi tidak hanya lebih besar dalam jumlah, tetapi juga dipersenjatai dengan persenjataan yang lebih maju seperti arquebus dan meriam, yang belum pernah dimiliki oleh kerajaan lain di benua ini.
Saat matahari tenggelam lebih dalam, langit mulai memerah di ufuk barat. Pangeran Cedric menghela napas dalam-dalam, mengumpulkan semua keberanian dan tekadnya untuk menghadapi pertempuran yang tak terelakkan.
Di bawah, pasukan Althar bergerak maju dalam formasi yang rapi, menunjukkan kepercayaan diri yang memancar dari setiap langkah mereka. Mereka tidak ragu-ragu dalam menghadapi tantangan dari kerajaan Calestia, siap untuk merebut wilayah baru sebagaimana yang direncanakan oleh Vanessa dan Franklin.
Dalam gelapnya malam yang semakin mendekat, suasana di medan perang menjadi tegang. Cedric dan Harris, bersama pasukan Calestia yang loyal, siap menghadapi ujian besar yang menanti mereka. Pertempuran yang akan datang tidak hanya akan menentukan nasib Calestia, tetapi juga mungkin akan mengubah dinamika kekuatan di seluruh benua ini.
Bagian 4
Di ibukota kerajaan Althar, Arlan dan Aria berhasil menyusup ke tempat itu dengan penuh kewaspadaan. Mereka menggunakan jubah bertudung yang menutupi penampilan dan kepala mereka agar tidak mudah dikenali. Mereka bergerak dengan hati-hati di tengah keheningan yang mencurigakan di ibukota Althar. Mengenakan jubah dan tudung hitam untuk menyamar, mereka berusaha untuk tidak menarik perhatian siapa pun di sekitar mereka.
Saat berjalan-jalan, perhatian mereka tertuju pada bangunan istana kerajaan. Mereka kemudian mendekati istana itu. Namun aneh, sebuah istana yang seharusnya dipenuhi penjaga dan pelayan dengan kesibukan masing-masing, istana itu tampak sepi. Seolah tak ada tanda kehidupan di tempat itu.
"Ada yang tidak beres," bisik Aria dengan suara rendah kepada Arlan. "Istana ini seharusnya tidak sepi seperti ini. Apa yang terjadi di sini?"
Arlan berfikir, ada sesuatu di istana itu dan mungkin berkaitan dengan artefak yang sedang ia cari. Ia menarik nafas dalam-dalam, mencoba untuk merasakan energi atau kehadiran siapa pun di sekitar mereka dengan indra penglihatan dan pendengarannya yang terlatih. Namun, heningnya tetap menyelimuti istana tanpa ada jawaban yang jelas. Mereka berdua memutuskan untuk memasuki istana dengan lebih berhati-hati.
Mereka memasuki gerbang istana dengan hati-hati, memastikan bahwa mereka tidak terlihat oleh siapa pun yang mungkin bersembunyi di balik sudut-sudut gelap atau di atas tembok tinggi istana. Aria terus memantau setiap gerakan di sekitar mereka, sementara Arlan tetap fokus pada tujuan mereka mencari keberadaan artefak kuno yang mereka yakini memiliki kekuatan untuk mengendalikan monster.
Saat mereka melangkah lebih dalam ke dalam istana, suasana semakin mencekam. Koridor-koridor yang seharusnya dipenuhi oleh penjaga dan orang-orang yang bekerja di istana, kini terasa sangat sepi dan sunyi. Tidak ada satu pun orang yang terlihat di tempat itu, hanya sesekali tikus yang melintas atau cicak yang berjalan di dinding. Lampu-lampu yang biasanya memberikan cahaya hangat, sekarang redup dan bergoyang-goyang dengan kelemahan energi yang mengganggu, menciptakan bayangan-bayangan aneh di sepanjang lorong yang kosong.
Arlan dan Aria saling bertanya-tanya, mencoba mencari jawaban atas keadaan aneh yang mereka temui di istana ini. Mereka berdiskusi dalam bisikan yang rendah, menjaga kehati-hatian mereka agar tidak menarik perhatian siapa pun yang mungkin sedang bersembunyi di balik dinding-dinding gelap.
"Apa yang bisa menyebabkan seluruh istana ini terlihat seperti tempat terbengkalai? Seperti inikah kondisi istana kerajaan terkuat di seluruh daratan?" bisik Aria dengan cemas.
"Aku tidak yakin," jawab Arlan dengan serius. "Ini jauh lebih dari sekadar kekurangan orang. Terlalu sunyi dan kosong."
Mereka melanjutkan langkah mereka, melewati koridor-koridor yang semakin gelap dan mencekam. Setiap sudut istana yang biasanya hidup dan bersemangat, kini hanya menawarkan kesepian dan ketidakpastian. Pikiran mereka terus berputar, mencoba memahami apa yang sebenarnya terjadi di dalam dinding-dinding besar istana Althar yang megah ini.
"Arlan, mungkin kita harus lebih berhati-hati," usul Aria, memperhatikan perubahan energi di sekitar mereka. "Ada sesuatu yang tidak alami di sini."
Arlan mengangguk setuju, memahami bahwa mereka harus tetap waspada meskipun tidak ada yang terlihat. Mereka terus maju dengan hati-hati, mencoba untuk tidak menimbulkan kebisingan yang tidak perlu. Di setiap tikungan dan setiap pintu yang mereka lewati, mereka memperkirakan akan bertemu dengan sesuatu atau seseorang yang mungkin bisa memberi mereka petunjuk tentang apa yang sedang terjadi.
Mereka menelusuri seluruh denah istana yang bisa mereka lewati. Ketika mereka melewati salah satu koridor yang ada di ujung, mereka mendapati sebuah pintu misterius, yang membuat mereka penasaran akan apa yang ada di baliknya. Setelah berfikir beberapa saat, Arlan memutuskan untuk memasuki ruangan tersebut. Dengan sihirnya, Aria membuka kunci pintu itu yang dilapisi sihir penghalang, membuat pintu itu terbuka. Mereka saling menatap satu sama lain sambil mengangguk, kemudian memasuki pintu itu yang membawa mereka ke sebuah tangga yang mengarah ke ruangan bawah tanah.
Sesampainya mereka di ruangan bawah tanah, suasana semakin gelap dan mencekam. Aria dan Arlan menelusuri setiap sudut ruangan itu dengan hati-hati, merasakan aura yang kuat dan misterius di sekeliling mereka. Mereka berjalan melewati rak-rak yang berisi dokumen rahasia dan buku-buku yang tampak usang namun penuh dengan pengetahuan kuno yang berharga. Mereka terus menelusuri tempat itu dan berakhir di sebuah penjara.
Tiba-tiba, Aria mendengar suara lemah dari salah satu sel di ujung ruangan. Suara itu terdengar seperti desahan yang terhenti, mungkin dari seseorang yang terkurung di dalamnya. Aria segera menarik perhatian Arlan dan mengarahkan mereka menuju sumber suara tersebut dengan langkah yang cepat namun hati-hati.
Mereka mendekati sel itu dengan penuh kewaspadaan. Arlan memperhatikan pintu besi yang berkarat dan terkunci dengan kuat. "Ada seseorang di dalam," bisik Aria dengan suara rendah.
"Aku bisa merasakan nafas seseorang dari dalam, kira-kira empat orang," tambah Arlan, mencoba mengidentifikasi seseorang yang ada di dalam sel.
Ketika Arlan dan Aria membuka pintu sel, mereka menemukan sepasang suami istri paruh baya dan dua remaja di dalamnya, kondisi mereka tampak lemah dan lelah. Mereka terlihat seperti telah lama terkurung di dalam sel yang gelap dan lembab itu. Wajah mereka pucat dan mata mereka memancarkan rasa lega saat melihat seseorang membukakan pintu sel itu.
Arlan dan Aria saling menatap dan mengangguk, menandakan mereka akan mengeluarkan orang-orang itu dari sel. "Ayo, mari kita bawa mereka keluar dari sini," kata Arlan dengan lembut, mengarahkan keluar dari sel yang gelap itu.
Aria mengulurkan tangannya kepada mereka satu demi satu, membantu mereka berdiri dan keluar dari sel yang sempit dan mencekam. "Apakah kalian baik-baik saja?" tanya Aria dengan suara lembut, memastikan mereka dapat berjalan dengan stabil.
Suami istri itu mengangguk lemah, terlihat masih memancarkan dan terkejut dengan keadaan sekitar. Terima kasih.terima kasih banyak, ucapkan suami itu dengan suara yang serak. "Kami sudah hampir putus asa di sini."
"Mari kita bawa mereka ke tempat yang aman di dalam istana," usul Arlan, memimpin mereka menuju koridor yang lebih terang dan lebih nyaman di dalam istana Althar. Mereka membawa keluarga itu ke ruang istirahat yang disediakan untuk tamu atau pejabat istana.
Setelah sampai di ruang tamu, pria paruh baya itu memperkenalkan keluarganya. Ia bernama Oberon dan istrinya bernama Isabella, anak bernama Oliever, dan putri bernama Aurora. Mereka pun melanjutkan perbincangan dan saling bertukar informasi yang mungkin bermanfaat. Sementara itu, Aria akan keluar sebentar untuk membeli beberapa makanan dan obat-obatan untuk memulihkan keluarganya, sedangkan Arlan akan tetap menemani mereka di istana.