Bagian 1
Di pinggiran Kerajaan Lumania, terdapat sebuah desa kecil bernama desa Gatewood yang tentram dan damai. Di desa ini, terdapat ratusan orang yang tinggal dengan beragam profesi, mulai dari pedagang, peternak, tabib, dan yang populer adalah petualang. Petualang memang menjadi profesi pilihan anak-anak muda karena di usia mereka dipenuhi rasa ingin tahu. Pekerjaan mereka meliputi mecari tanaman obat di hutan, berburu monster, dan mencari bahan-bahan menarik di hutan.
Pagi itu, Louis bangun pagi sekali. Sembari memasak air untuk menyeduh teh, ia membersihkan rumah dan memberi makan domba-dombanya di kandang. Remaja dengan rambut dan mata merah itu membantu ibunya dalam merawat rumah yang mereka tinggali. Louis adalah seorang remaja berusia lima belas tahun, ia tumbuh besar di bawah asuhan ibunya, setelah ayahnya gugur dalam pertempuran melawan monster di hutan beberapa tahun yang lalu. Kehilangan ayahnya membuat Louis semakin bertekad untuk menjadi kuat dan melindungi orang-orang yang dicintainya. Setiap pagi, setelah menyelesaikan tugas-tugas di ladang, ia berlatih dengan pedang kayu di lapangan terbuka dekat desanya. Terkadang ia juga berlatih di halaman rumahnya yang cukup luas. Meskipun tidak memiliki pelatihan formal, ketekunan dan keberaniannya membuat orang-orang terkesan dengan tekad dan usahanya.
Suatu hari, saat Louis sedang berlatih, ia mendengar suara lembut yang memanggil namanya. Ketika ia menoleh, ia melihat seorang gadis yang belum pernah ia temui sebelumnya. Seorang gadis seusianya dengan rambut pirang diikat, dan mata biru. Gadis itu berdiri di pinggir lapangan, memandanginya dengan senyum ramah. Rambutnya yang pirang panjang berkilau di bawah sinar matahari, dan mata birunya yang jernih memancarkan kehangatan.
"Louis, bukan?" tanyanya dengan suara lembut. "Namaku Alice, aku baru saja pindah ke desa ini bersama keluargaku."
Louis merasa sedikit gugup, namun ia berusaha untuk tetap tenang. "Benar, namaku Louis. Senang bertemu denganmu, Alice. Apa yang membawamu ke desa ini?"
Alice tersenyum lebih lebar. "Ayahku seorang pedagang, dan kami sering berpindah-pindah. Namun kali ini, kami memutuskan untuk tinggal di desa ini. Aku melihatmu berlatih tadi. Kau terlihat sangat berbakat."
Louis merasa wajahnya memerah mendengar pujian tersebut. "Terima kasih. Aku hanya mencoba yang terbaik. Aku ingin menjadi seorang ksatria suatu hari nanti."
Mata Alice berbinar. "Itu mimpi yang indah. Aku yakin kau bisa mencapainya. Aku juga ingin belajar lebih banyak tentang dunia di luar sana, dan mungkin kita bisa saling membantu."
Sejak pertemuan itu, Louis dan Alice menjadi teman dekat. Mereka sering menghabiskan waktu bersama, berbicara tentang mimpi dan harapan mereka. Alice, dengan kebaikan dan kepintarannya, menjadi sumber inspirasi bagi Louis. Di sisi lain, ketekunan dan keberanian Louis membuat Alice kagum.
Louis sering kali terpikirkan oleh Alice. Gadis itu bukan hanya cantik, tapi juga memiliki pendirian yang kuat dan konsekuen. Bersamanya, Louis merasa bahwa mimpinya untuk menjadi ksatria semakin besar. Ia merasa bahwa dengan dukungan Alice, ia bisa pasti menghadapi segala rintangan yang akan datang.
Malam itu, setelah seharian berlatih dan membantu ibunya di ladang, Louis duduk di depan rumahnya, memandang bintang-bintang yang bersinar terang di langit malam. Pikiran tentang pertemuannya dengan Alice terus berputar di kepalanya. Senyum gadis itu, semangatnya yang menular, dan kehangatan dalam suaranya telah meninggalkan kesan yang mendalam pada Louis.
"Louis, kau di luar?" panggil suara ibunya dari dalam rumah.
"Ya, Bu. Aku hanya ingin menikmati malam ini sejenak," jawab Louis, suaranya tenang.
Ibunya keluar dan duduk di sampingnya. Wanita itu, meskipun usianya sudah menunjukkan garis-garis halus di wajahnya, masih memancarkan kecantikan dan kelembutan yang sama seperti yang diingat Louis dari masa kecilnya.
"Apa yang kau pikirkan?" tanya ibunya sambil menatap langit yang sama.
"Aku bertemu dengan seorang gadis baru di desa, namanya Alice. Dia sangat baik dan penuh semangat. Kami banyak berbicara tentang mimpi dan harapan," kata Louis dengan nada yang sedikit mengkhayal.
Ibunya tersenyum lembut. "Alice, ya? Kau sepertinya menyukainya."
Louis tersipu. "Mungkin. Dia berbeda dari orang lain. Dia membuatku merasa bahwa mimpiku untuk menjadi ksatria bukanlah sesuatu yang mustahil."
Ibunya menepuk punggungnya dengan lembut. "Aku selalu percaya padamu, Louis. Ayahmu juga akan bangga padamu. Jangan pernah berhenti bermimpi dan bekerja keras. Siapa tahu, mungkin Alice akan menjadi teman yang sangat berharga dalam perjalananmu."
Mereka berdua duduk dalam keheningan, menikmati momen kebersamaan yang hangat.
Pagi berikutnya, Louis terbangun dengan perasaan segar dan semangat baru. Ia segera bergegas ke ladang untuk menyelesaikan tugas-tugasnya sebelum melanjutkan latihannya. Di tengah kesibukannya, ia melihat Alice berjalan ke arahnya dengan langkah ringan.
"Selamat pagi, Louis!" sapanya ceria. "Aku ingin melihat latihannya lagi, kalau kau tidak keberatan."
Louis tersenyum dan mengangguk. "Tentu, Alice. Aku senang kau datang."
Mereka berdua menuju lapangan terbuka, di mana Louis mulai berlatih dengan pedangnya. Alice duduk di atas batu besar, mengamati setiap gerakan Louis dengan penuh perhatian. Sesekali, ia memberikan saran dan dorongan, membuat Louis merasa lebih percaya diri.
"Tanganmu harus lebih stabil saat mengayunkan pedang," kata Alice, matanya berbinar dengan antusiasme. "Coba lagi."
Louis mengikuti sarannya dan merasakan peningkatan dalam gerakannya. "Terima kasih, Alice. Kau benar-benar membantuku."
Alice tersenyum lebar. "Sama-sama, Louis. Aku senang bisa membantu. Dan aku juga belajar banyak darimu."
Latihan berlanjut hingga sore hari, dan ketika matahari mulai terbenam, Louis dan Alice duduk di bawah pohon besar, mengobrol tentang masa depan dan mimpi-mimpi mereka.
"Aku ingin menjadi ksatria yang melindungi Lumania dari segala ancaman," kata Louis dengan mata yang penuh determinasi. "Aku ingin membuat ayahku bangga."
Alice menatapnya dengan kagum. "Kau pasti bisa, Louis. Aku percaya padamu. Dan aku akan selalu mendukungmu."
Di saat itu, Louis merasakan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar persahabatan. Alice telah menjadi bagian penting dalam hidupnya, seseorang yang membuatnya merasa lebih kuat dan lebih berani. Bersama-sama, mereka berdua akan menghadapi apa pun yang datang, dan Louis tahu bahwa dengan Alice di sisinya, ia bisa mencapai apa pun yang ia impikan.
Sementara itu, di sudut desa yang lain, seorang pemuda dengan rambut jingga dengan kulit sawo matang dan tubuh atletis sedang berlatih dengan busur dan panah. Darius, sahabat Louis sejak kecil, adalah seorang pemanah berbakat yang bercita-cita menjadi pemburu monster. Ia sering kali ikut berlatih dengan Louis, dan mereka berbagi impian yang sama untuk melindungi Lumania.
"Hei, Louis!" panggil Darius ketika melihat temannya. "Sedang berlatih lagi, ya? Kau benar-benar tidak pernah lelah."
Louis tertawa kecil. "Kau tahu, aku harus terus berlatih jika ingin menjadi ksatria sejati."
Darius tersenyum dan mengangguk. "Tentu, dan aku akan ada di sisimu, menjadi pemburu terbaik di kerajaan ini. Kita akan melindungi Lumania bersama."
Di balik mereka, seorang gadis dengan rambut hitam panjang dan tatapan penuh rasa ingin tahu melihat mereka dari kejauhan. Sylphia, saudara perempuan Alice, adalah seorang penyihir muda yang memiliki kemampuan sihir yang luar biasa. Ia baru saja kembali dari desa elf setelah mempelajari seni sihir dari Elenora. Ia adalah anak yang jenius dan mampu mempelajari sesuatu dengan sangat cepat dan baik.
Bagian 2
Siang itu, terik matahari menyindari desa Gatewood. Alice mengusap keringatnya sembari memanen sayuran di ladang belakang rumahnya. Ia tersenyum saat melihat kupu-kupu yang terbang di depan wajahnya, membuatnya memberikan jarinya supaya kupu-kupu itu hinggap. "Indahnya.." katanya sambil memandangi kupu-kupu.
"Alice, ayah pergi dulu ya..." Alice dikejutkan dengan ayahnya yang hendak pergi dan melangkah keluar.
"Oh, ayah... iya yah, hati-hari di jalan.." kata Alice sambil melambaikan tangannya.
Sementara itu, di dalam rumah, Sylphia sedang membaca sebuah buku kentang sihir. Ia membaca lembar demi lembar, seraya memahami materi-materi dari buku tersebut. Sylphia berusaha memahami apa yang ia baca. Sebuah halaman menunjukkan sebuah pola sihir yang sangat rumit.
Alice masuk ke dalam rumah dengan keranjang penuh sayuran di tangannya. "Sylphia, lihat apa yang aku dapatkan hari ini!" katanya dengan penuh semangat.
Sylphia menoleh dengan ekspresi senang. "Wah, hari ini kau panen banyak sekali, Alice!"
Alice meletakkan keranjang di atas meja dan melihat buku yang dibaca Sylphia. "Apa yang sedang kau baca Sylphia?"
"Ini adalah buku tentang kentang sihir," jawab Sylphia. "Buku ini sangat menarik. Ada banyak jenis sihir yang bisa digunakan untuk tanaman, dan aku baru saja menemukan pola sihir yang sangat rumit ini."
Alice melihat pola tersebut dengan rasa ingin tahu. "Apa yang bisa dilakukan pola itu?"
"Sepertinya ini adalah pola untuk mempercepat pertumbuhan tanaman," kata Sylphia. "Tapi aku belum sepenuhnya memahaminya."
Alice tersenyum. "Kau memang selalu tertarik pada hal-hal yang berhubungan dengan sihir ya, Sylphia."
"Benar, sihir sangatlah hebat. Ada banyak yang bisa kita lakukan dengan sihir," jawab Sylphia dengan semangat.
Mereka berdua kemudian duduk bersama di ruang makan, menikmati waktu luang mereka dengan bercakap-cakap tentang hari mereka. Alice menceritakan kegiatannya di ladang, serta pertemuannya dengan Louis, sementara Sylphia berbagi pengetahuannya tentang sihir. Suasana desa Gatewood yang tenang dan damai memberikan kedamaian bagi kedua saudara itu.
Saat sore mulai menjelang, Alice dan Sylphia memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar desa. Mereka melihat anak-anak bermain, para petani yang pulang dari ladang, dan hewan-hewan ternak yang berkeliaran. Kehidupan di Gatewood terasa begitu sederhana dan bahagia.
"Alice, aku merasa sangat beruntung setelah tinggal di sini," kata Sylphia sambil memandangi langit yang mulai berubah warna menjadi jingga.
"Aku juga, Sylphia. Mulai sekarang desa ini adalah rumah kita, dan aku tidak bisa membayangkan hidup di tempat lain," jawab Alice dengan senyum hangat.
Sementara itu, Louis mengasah kemampuan berpedangnya di halaman rumahnya. Dengan setiap ayunan pedang, ia membayangkan dirinya melindungi desa Gatewood dari ancaman apa pun yang mungkin datang. Peluh bercucuran dari keningnya, namun semangatnya tidak pernah surut. Louis bertekad menjadi seorang kesatria hebat seperti ayahnya, yang pernah menjadi salah satu kesatria terbaik di kerajaan Lumania.
Ayahnya, Rosvelt, adalah seorang pahlawan yang dihormati oleh seluruh desa. Rosvelt gugur saat berjuang melawan gelombang serangan monster yang menyerang desa Gatewood seorang diri, ketika Louis masih di dalam kandungan ibunya. Kisah keberanian Rosvelt selalu diceritakan oleh ibunya para penduduk desa, dan menjadi inspirasi bagi Louis untuk melanjutkan warisan ayahnya.
Louis teringat masa kecilnya ketika ibunya, Elara yang bercerita tentang keberanian ayahnya. Ia sering mengatakan bahwa menjadi seorang kesatria bukan hanya tentang keberanian dan kekuatan, tetapi juga tentang kehormatan dan rasa tanggung jawab. Kata-kata ini selalu terpatri dalam hati Louis, menjadi bahan bakar bagi tekadnya yang membara.
Ayunan demi ayunan, Louis mengulang latihan yang ia pelajari dari catatan miliki mendiang ayahnya. Ia mempraktikkan gerakan dasar seperti tusukan, tebasan, dan parry, berusaha menguasai setiap teknik dengan sempurna. Suara dentingan pedang saat bertemu dengan pedang latihan lainnya menggema di sekitar halaman, menciptakan irama yang menjadi bagian dari rutinitas harian Louis.
"Fokus, Louis. Jangan biarkan dirimu terganggu," gumamnya pada diri sendiri. Ia tahu bahwa untuk menjadi seorang kesatria sejati, ia harus memiliki konsentrasi yang tinggi dan disiplin yang kuat.
Saat ia tengah berlatih, pandangannya tertuju pada sebatang pohon besar di ujung halaman. Pohon itu adalah saksi bisu dari banyak latihan yang ia lakukan selama bertahun-tahun. Louis menghampiri pohon itu dan mulai mengayunkan pedangnya dengan lebih intens, seolah-olah pohon itu adalah musuh yang harus ia kalahkan. Setiap tebasan dan tusukan diiringi dengan suara desahan napasnya yang berat.
Di sela-sela latihan, Louis berhenti sejenak untuk mengambil napas dan mengelap keringat dari wajahnya. Ia memandang pedangnya dengan penuh kebanggaan. Pedang itu adalah pedang yang sering digunakan oleh mendiang ayahnya saat masih bertugas di ibukota. Pedang itu bukan hanya senjata, tetapi juga simbol harapan dan kepercayaan dirinya.
Louis mengambil sikap siaga kembali dan melanjutkan latihannya. Kali ini, ia mencoba memadukan gerakan-gerakan yang telah ia pelajari menjadi satu rangkaian serangan yang efektif. Ia membayangkan dirinya berada di tengah pertempuran, melawan musuh-musuh yang kuat dan tangguh. Dengan setiap langkah dan ayunan pedang, Louis merasa semakin dekat dengan impiannya.
Tiba-tiba, suara lembut menyapanya dari belakang. "Louis, kau benar-benar berlatih keras hari ini. Istirahatlah dulu. Ibu membuat kue manis kesukaanmu!"
Louis menoleh dan melihat ibunya yang berdiri di ambang pintu rumah. Ia tersenyum dan menyeka keringat dari dahinya. "Ibu, aku ingin menjadi kesatria hebat seperti ayah."
Ibunya mendekat dan mengelus rambut anaknya dengan penuh kasih sayang. "Ayahmu sangat bangga padamu, Louis. Tapi ingatlah, menjadi kesatria bukan hanya tentang kemampuan bertarung. Kau harus memiliki hati yang tulus dan jiwa yang penuh dengan keberanian."
Louis mengangguk dengan serius. "Aku akan ingat itu, Ibu. Aku ingin melindungi desa ini dan membuat ayah bangga."
Ibunya pun tersenyum lembut. "Aku tahu kau akan menjadi kesatria yang hebat, Louis. Tapi sekarang, mari kita masuk ke dalam dan beristirahat sejenak. Kau pasti lelah setelah latihan keras ini."
Louis mengikuti ibunya masuk ke dalam rumah. Mereka duduk di meja makan, menikmati teh hangat dan kue buatan ibunya. Sambil menikmati waktu bersama, Louis menceritakan latihan-latihannya dan rencananya untuk meningkatkan kemampuannya lebih jauh lagi. Ibunya mendengarkan dengan penuh perhatian, memberikan nasihat dan dorongan yang sangat dibutuhkan Louis.
Setelah beristirahat sejenak, Louis merasa segar kembali dan siap untuk melanjutkan latihannya. Ia berdiri dan melihat ke arah ibunya. "Terima kasih, Ibu. Aku akan terus berlatih dan menjadi kesatria yang kau dan ayah banggakan."
Ibunya mengangguk dengan bangga. "Ibu yakin kau akan mencapainya, Louis. Teruslah berusaha dan jangan pernah menyerah."
Louis kembali ke halaman, dengan tekad yang semakin kuat. Ia mengambil pedangnya dan melanjutkan latihannya, mengasah setiap gerakan dengan lebih intens dan fokus. Bayangan ayahnya selalu ada di benaknya, memberikan semangat dan inspirasi yang tak pernah pudar. Louis tahu bahwa perjalanan menjadi kesatria sejati masih panjang, tetapi dengan setiap latihan, ia semakin mendekati impiannya.
Bagian 3
Sore itu, matahari mulai meredup di ufuk barat, memancarkan warna jingga yang hangat di langit senja desa Gatewood. Louis berjalan santai melewati jalan-jalan yang dikenalnya sejak kecil, menuju gerai pedagang di sudut pasar desa. Ia merasa bersemangat karena hari ini dia diminta ibunya untuk membeli bahan makanan di warung Pak Jasper.
Gerai pedagang yang dijaga oleh Pak Jasper sudah buka sejak pagi. Louis melihat berbagai macam sayuran segar, buah-buahan, dan aneka barang dagangan lainnya tersusun rapi di atas meja kayu. Pak Jasper, seorang pedagang tua dengan janggut putih, menyambut Louis dengan senyum ramah.
"Sore, Louis! Ada yang bisa dibelikan hari ini?" tanya Pak Jasper sambil mengelap keringat di dahinya dengan sapu tangan kain, setelah ia baru saja menata beberapa kotak kayu yang berisi dagangannya.
Louis mengangguk. "Sore, Pak Jasper. Ibu minta membeli beberapa sayuran dan telur hari ini."
Pak Jasper memberikan senyuman hangat. "Baik, Louis. Silakan pilih sendiri yang kamu mau, semuanya segar loh!"
Louis melihat-lihat sayuran yang tersedia. Ia memilih beberapa ikat bayam dan wortel, serta mengambil beberapa butir telur dari keranjang berisi telur ayam segar. Sambil menunggu Pak Jasper menghitung harga belanjaannya, Louis melihat-lihat sekeliling pasar yang ramai. Beberapa warga desa yang ia kenal melambai-lambai padanya sambil menyapa.
Setelah selesai berbelanja, Louis membayar barang belanjaannya dan mengucapkan terima kasih kepada Pak Jasper. Dengan keranjang berisi sayuran dan telur, ia melanjutkan perjalanannya berkeliling desa. Louis menyukai momen seperti ini, saat dia bisa menikmati suasana damai dan kehangatan desa Gatewood.
Saat Louis melangkah perlahan-lahan pulang dari pasar, menggendong keranjang berisi sayuran dan telur, ia tiba-tiba melihat Darius di kejauhan. Darius, sahabatnya sejak kecil, tengah menggendong beberapa barang yang tampak berat, berjalan pelan menuju rumahnya yang tidak jauh dari situ. Louis tersenyum lebar dan menghampiri Darius dengan cepat.
"Darius! Hai, apa kabar?" seru Louis sambil mendekati temannya.
Darius, seorang pemuda yang selalu enerjik dan penuh semangat, berbalik dengan senyum cerah di wajahnya. "Louis! Hai juga.. Bagaimana denganmu? Kamu sepertinya baru saja berbelanja ya?" tanya Darius sambil melihat keranjang sayuran dan telur yang Louis gendong.
Louis mengangguk. "Benar. Ibu mintaku membeli beberapa sayuran dan telur di pasar. Bagaimana dengan barang-barang yang kamu bawa? Nampak berat."
Darius menggelengkan kepala sambil mengatur ulang barang-barang yang ia gendong. "Ini hanya beberapa perkakas dan bahan bangunan yang ayah minta aku beli di pasar. Kami membangun ulang bagian belakang rumah karena ada beberapa kerusakan."
Louis mengangguk paham. "Ah, kamu selalu sibuk dengan proyek-proyek rumahmu. Bagaimana, apakah sudah hampir selesai?"
Darius tersenyum puas. "Lumayan, sudah hampir selesai. Tapi kamu tahu sendiri, pekerjaan rumah tidak pernah habis."
Mereka berjalan melewati rumah-rumah di sekitar, suara riuh rendah warga desa yang sedang beraktivitas terdengar di sekelilingnya. Beberapa anak-anak sedang bermain di halaman rumah mereka, sementara beberapa ibu-ibu saling berbincang di depan pintu rumah mereka. Semuanya terasa begitu harmonis dan akrab bagi Louis. "Suasana desa yang damai ini, aku akan menjaganya!" Gumam Louis.
Tiba-tiba, suara panggilan manis menghentikan langkah Mereka. "Louis! Louis!"
Louis menoleh dan melihat Alice, gadis desa yang selalu membuat hatinya berdebar. Alice berdiri di depan rumahnya, mengenakan baju ala rumahan dengan rambut terikat rapi.
"Ehem! Aku duluan ya… Ayah sudah menungguku di rumah." Kata Darius yang tak ingin jadi obat nyamuk.
"Oh, baik, sampai jumpa, Darius." Sahut Louis. Kemudian ia pun berjalan mendekati Alice dengan hati berdebar. "Sore, Alice! Ada apa?"
Alice tersenyum manis. "Hai, Louis! Aku hanya ingin melihat kamu lewat. Bagaimana kabarmu hari ini?"
Louis merasa tersipu bahagia sekaligus grogi, karena gadis yang selalu membuat hatinya berdebar menunggu di depan rumah hanya untuk melihatnya lewat. Ia sangat senang bisa berbincang dengan Alice. "Baik-baik saja, Alice. Aku baru saja selesai berbelanja."
"Mau mampir sebentar?" tawar Alice sambil mengundang Louis masuk.
Louis setuju dengan senyum. "Tentu, aku bisa mampir sebentar."
Mereka masuk ke dalam rumah Alice yang sederhana namun nyaman. Ruang tamu terasa hangat dengan perabotan kayu dan karpet rajut di lantai. Alice mengajak Louis duduk di meja kecil di sudut ruang tamu, tempat mereka biasa duduk berbincang.
"Jadi kamu masih rajin mengasah ilmu pedangmu?" tanya Alice sambil tersenyum.
Louis mengangguk. "Tentu, aku ingin mewujudkan impianku, menjadi seorang kesatria hebat seperti ayahku yang bisa melindungi desa ini."
Alice mengangguk paham. "Wah, luar biasa, semangat ya! Aku yakin, usahamu pasti akan membuatmu bisa meraihnya!"
Louis salting setelah disemangati Alice. "Bagaimana dengan kegiatanmu di ladang belakangan ini?" Louis melanjutkan percakapan untuk menghilangkan saltingnya.
Alice pun menceritakan tentang pekerjaannya di ladang belakang rumahnya, bagaimana ia sibuk menanam dan merawat tanaman sayuran. Louis mendengarkan dengan penuh perhatian, sesekali memberikan komentar atau tanya-tanya untuk memperdalam pembicaraan mereka.
Waktu berlalu begitu cepat tanpa mereka sadari. Cahaya senja yang merah jingga mulai memudar, digantikan oleh langit yang semakin gelap. Louis menyadari bahwa sudah waktunya untuk pulang.
"Sepertinya aku harus pulang sekarang, Alice. Ibu pasti sudah menungguku." kata Louis sambil berdiri dari kursi kecilnya.
Alice juga berdiri dan tersenyum. "Baiklah, Louis. Terima kasih sudah mampir."
Louis mengangguk. "Terima kasih juga untuk sambutannya. Sampai jumpa, Alice."
Saat melangkah pergi, Louis masih bisa merasakan senyum Alice yang menghangatkan hatinya. Ia berjalan pulang ke rumahnya dengan hati yang penuh kebahagiaan, mengingat momen indah di hari senja di desa Gatewood bersama Alice, gadis desa yang ia sukai.