Setelah pertempuran yang menegangkan di Menara Pengetahuan, suasana kembali tenang. Profesor Alistair, dengan jubah akademis merah marunnya yang sedikit kusut karena pertempuran, mengundang Kael dan Elara untuk duduk di meja kerjanya yang besar dan kuno. Meja itu, yang terbuat dari kayu ek gelap yang dipoles hingga berkilau, dipenuhi dengan buku-buku tebal bersampul kulit, gulungan perkamen kuno yang rapuh, dan berbagai artefak aneh yang dikumpulkan Profesor Alistair selama bertahun-tahun penelitiannya.Cahaya matahari sore yang hangat menyelinap melalui jendela-jendela tinggi, menciptakan berkas-berkas cahaya yang menerangi ruangan, menyinari debu yang beterbangan di udara. Aroma kertas tua, tinta, dan sedikit bau logam dari pertempuran sebelumnya memenuhi udara, menciptakan suasana yang khidmat dan misterius.Profesor Alistair, dengan mata birunya yang tajam dan cerdas di balik kacamata berbingkai emasnya, menatap Kael dan Elara dengan penuh rasa terima kasih. "Sekali lagi, terima kasih atas bantuan kalian," katanya dengan suara yang dalam dan tulus, setiap kata diucapkan dengan jelas dan penuh makna. "Kalian telah menyelamatkan nyawaku dan melindungi Mata Dewa dari tangan Malak."Kael dan Elara saling berpandangan, senyum hangat terpancar di wajah mereka. "Itu sudah menjadi tugas kami, Profesor," jawab Elara dengan sopan, suaranya lembut namun tegas. "Kami tidak bisa membiarkan artefak berharga seperti itu jatuh ke tangan orang jahat."Profesor Alistair mengangguk setuju. "Kalian berdua adalah pemuda yang luar biasa," katanya, nada suaranya dipenuhi kekaguman. "Kalian memiliki keberanian, kekuatan, dan kebaikan hati yang jarang kutemui di zaman sekarang ini." Ia menghela napas panjang, lalu melanjutkan, "Sekarang, mari kita bicara tentang Mata Dewa."Ia mengambil batu itu dari meja, dengan hati-hati mengangkatnya dengan kedua tangannya yang keriput. Batu itu memancarkan cahaya samar, berdenyut lembut seolah-olah memiliki kehidupan sendiri. Profesor Alistair menjelaskan bahwa Mata Dewa adalah artefak kuno yang sangat kuat, diciptakan oleh para dewa pada zaman keemasan Eterra, saat sihir masih mengalir deras di seluruh penjuru dunia. Batu itu dikatakan memiliki kemampuan untuk memberikan penglihatan yang luar biasa kepada pemiliknya, termasuk kemampuan untuk melihat status makhluk hidup, mengintip ke masa lalu dan masa depan, dan bahkan memahami rahasia alam semesta yang tersembunyi."Namun," lanjut Profesor Alistair, nadanya menjadi lebih serius, "kekuatan Mata Dewa juga bisa sangat berbahaya jika jatuh ke tangan yang salah. Bayangkan jika seorang tiran atau penyihir jahat memiliki kekuatan untuk melihat kelemahan semua makhluk hidup, atau memanipulasi waktu untuk keuntungan mereka sendiri. Itu bisa menyebabkan kekacauan dan kehancuran yang tak terbayangkan.""Itulah sebabnya para dewa menyembunyikan Mata Dewa di tempat yang tidak diketahui, berharap agar tidak ada yang bisa menemukannya," tambah Elara, matanya terpaku pada batu yang bercahaya itu."Tapi bagaimana batu ini bisa sampai ke tanganku?" tanya Kael, rasa ingin tahunya semakin besar.Profesor Alistair menggelengkan kepalanya perlahan, rambut putihnya yang panjang bergerak lembut seiring gerakannya. "Aku tidak tahu pasti, Kael," jawabnya dengan jujur. "Tapi aku punya teori." Ia membuka sebuah buku tebal dengan sampul kulit yang dihiasi ukiran rumit, menunjukkan sebuah halaman yang berisi gambar seorang pemuda dengan rambut hitam legam dan mata cokelat yang tajam, sangat mirip dengan Kael. Di bawah gambar itu, terdapat tulisan dalam bahasa kuno yang sama dengan yang ada di batu itu."Menurut legenda," jelas Profesor Alistair, suaranya bergema di ruangan yang sunyi, "pemuda ini adalah seorang pahlawan yang dipilih oleh para dewa untuk menjadi Penjaga Mata Dewa. Ia dikatakan memiliki kekuatan yang luar biasa, keberanian yang tak tertandingi, dan hati yang murni. Ia menggunakan Mata Dewa untuk melindungi Eterra dari kekuatan jahat yang mengancam untuk menghancurkannya. Namun, ia menghilang secara misterius berabad-abad yang lalu, dan Mata Dewa pun hilang bersamanya."Kael menatap gambar itu dengan takjub, merasa ada hubungan yang kuat antara dirinya dan pemuda dalam gambar itu. Ia merasakan getaran aneh di dadanya, seolah-olah batu itu memanggilnya. Apakah mungkin ia adalah reinkarnasi dari pahlawan itu? Apakah ia ditakdirkan untuk memenuhi takdir yang sama?Profesor Alistair, seolah membaca pikiran Kael, melanjutkan, "Aku percaya bahwa kamu, Kael, adalah reinkarnasi dari Penjaga Mata Dewa. Kamu memiliki kemampuan yang sama dengannya, dan kamu telah menunjukkan keberanian dan kekuatan yang sama dalam melindungi Mata Dewa dari Malak. Aku percaya bahwa kamu ditakdirkan untuk menggunakan Mata Dewa untuk kebaikan, untuk melindungi Eterra dari ancaman kegelapan yang masih mengintai."Kata-kata Profesor Alistair menggema di telinga Kael, memenuhi hatinya dengan campuran rasa takut, kegembiraan, dan tekad. Ia merasa terbebani oleh tanggung jawab yang tiba-tiba diletakkan di pundaknya, tetapi ia juga merasa terhormat dan bangga. Ia tahu bahwa ia tidak bisa menolak takdirnya. Ia harus menggunakan Mata Dewa untuk melindungi Eterra dan orang-orang yang ia sayangi."Aku akan melakukan yang terbaik, Profesor," kata Kael dengan suara yang mantap, matanya bersinar dengan tekad yang membara. "Aku akan menggunakan Mata Dewa untuk kebaikan, apapun yang terjadi."Elara menggenggam tangan Kael, memberikan dukungan dan kekuatan. Ia tahu bahwa Kael akan menjadi pahlawan yang hebat, seperti Penjaga Mata Dewa dalam legenda.Profesor Alistair tersenyum, kerutan di wajahnya tampak semakin dalam. "Aku percaya padamu, Kael," katanya dengan hangat. "Kamu memiliki potensi yang besar. Tapi ingat, kekuatan Mata Dewa juga bisa menjadi kutukan. Kamu harus menggunakannya dengan bijak dan tidak pernah membiarkannya menguasai dirimu."Kael mengangguk, memahami beratnya tanggung jawab yang ia emban. Ia tahu bahwa perjalanan yang akan ia hadapi tidak akan mudah. Ia akan menghadapi banyak tantangan dan bahaya, musuh yang kuat dan godaan yang menggoda. Tapi ia tidak takut. Ia memiliki Elara di sisinya, teman setia yang selalu mendukungnya. Ia memiliki Profesor Alistair sebagai mentor dan pembimbingnya. Dan yang paling penting, ia memiliki Mata Dewa, artefak kuno yang akan membimbingnya dalam perjalanan epiknya untuk menjadi pahlawan sejati Eterra.