"Ibu, Ibu… apa Ayah sudah kembali?"
Aku menoleh, Evans berlarian menuruni anak tangga dengan terburu-buru. Bahkan seragam sekolahnya tidak terpakai dengan rapi. Evans selalu menggebu apapun itu mengenai Ayahnya. Bekal yang ku siapkan untuknya ku masukan dalam tasnya. Hatiku berdenyut.
Perhatianku kembali tertuju pada Evans, senyum merekah indah dibibir. "Semalam Ayah kembali."
Evans berdiri tepat di depanku, bola matanya membulat dengan wajah berseri. "Sungguh, sungguh? Apa Ayah mengatakan sesuatu? Apa Ayah membelikanku mainan?"
Sedikit ku rendahkan tubuh sembari membenahi dasi merahnya yang terpasang miring. "Hm, Ibu tidak yakin. Jika Ayah lupa, kita bisa membeli mainan yang kamu inginkan sepulang sekolah nanti." Ku sentuh dagunya berharap dengan sedikit kalimat ini dia tak akan kecewa.
Sesekali Ethan akan memperlihatkan kepeduliannya pada anaknya, namun terkadang dia juga tampak acuh. Dengan rumor yang terdengar belakangan, dan hubungan layu ini aku tak yakin Ethan akan mengingat hal kecil untuk anaknya.
Evans mendadak diam, sedetik kemudian senyum indah terukir dibibirnya. "Baiklah Ibu." Dia duduk dikursinya dengan tenang lantas menyantap sarapannya bak memperlihatkan dia tak masalah dengan itu.
Terkadang aku kagum dengan sikap putraku yang dewasa, namun aku juga memiliki ketakutan besar karena dia terus berpura-pura. Anak yang baru duduk di bangku sekolah dasar berusaha bersikap tenang semata agar ibunya tak khawatir.
Aku duduk dikursi sebelahnya, pikiranku kacau. Bagaimana jika segala yang ku takutkan benar, Evans akan sangat terluka. Aku tak ingin dia tumbuh tanpa Ayah, dan aku juga tak ingin dia tumbuh dengan melihat keretakan hubungan orang tuannya. Segalanya membingungkan.
"Ibu…"
"Ibu."
Sontak aku menoleh ke arahnya.
"Ibu melamun. Ibu bahkan belum menyentuh makanan."
"Ah! benar. Evans sudah selesai makan?"
Evans menatapku dalam, bak berusaha mencari tahu dengan mengali ke dalam mataku. Dia tahu betul hubungan Ibu dan Ayahnya yang buruk, namun seakan dia tak ingin mengakui hubungan buruk itu. Dia anak yang peka dan berusaha menggenggam kuat apa yang menjadi miliknya.
"Ini suapan terakhir Ibu." jawabnya sembari menyendok makanan ke dalam mulut nya.
"Ibu apa Ayah sudah pergi bekerja?"
Aku terkejut dengan pertanyaannya, Evans jelas tahu Ayahnya selalu melewati sarapan bersama dan pergi pagi-pagi buta dengan alasan bekerja.
"Ya, Ayah begitu sibuk bekerja untuk kita." Aku selalu berupaya menekankan kesan baik Ethan dihadapan anaknya, bagaimanapun aku tak ingin putraku tumbuh dengan memendam kebencian pada Ayahnya.
"Tapi Ayah baru saja keluar dari kamar." ucap Evans sembari menatap kearah anak tangga.
Sontak aku mengikuti arah mata Evans.
Berisi kebingungan sekaligus keterkejutan, Ethan belum pergi dan tengah berjalan mendekat. Aku selalu tidur di kamar putraku, pertengkaran dan kemarahan semalam membuatku berpikir bahwa Ethan juga akan kesal dan beberapa minggu kedepan tak akan menunjukan wajahnya di hadapanku atau mungkin berlari ke pelukan simpanannya.
Evans bergegas berlari menghampiri Ayahnya. Dia merentangkan kedua tangannya, kerinduannya yang besar membuatnya begitu ingin dipeluk.
Ethan sedikit menunduk, ekspresi wajahnya masih saja kaku dan datar meski melihat anaknya begitu antusias. Ujung matanya melirik ku sepintas, lantas kemudian dia mengendong Evans.
Dahi ku terkatup dengan jantung yang berdegup, aku sangat takut jika dia akan mengabaikan permintaan Evans dan berakhir melukai hatinya. Bersyukur dia tak melakukan hal itu. Aku lega.
"Apa hari ini Ayah libur?" tanya Evans, dia mengamati Ayahnya yang masih menggenakan piyama.
Ethan mengangguk.
Evans terkejut, juga terlihat senang. Kapan Ayahnya memiliki hari libur? Setiap detik Ayahnya selalu sibuk bahkan hampir tak pernah sekedar menghabiskan waktu dengannya.
"Jika begitu, bisakah Ayah mengantarku ke sekolah?! Seperti teman-teman lainnya. Ayah dan Ibu mereka saling mengandeng tangan anaknya." Evans menatap Ayahnya penuh harap.
"Itupun jika Ayah tak lelah."
Evans memainkan jemarinya, dia yang selalu bersikap tenang sekarang menunjukan perasaan nya. Di hadapan Ayahnya dia bersikap layaknya anak kecil. Begitu lucu.
Namun, mendengarnya meminta penuh harap membuat hatiku teriris. Rasa khawatir menyelimuti, dia tak akan setuju melakukan hal merepotkan seperti itu. Permintaan Evans hanya dianggap anggin lalu.
Aku berusaha menahan air mata yang hendak menguasai. "Evans Ayah sibuk, jadi…"
"Jika Ibu mu tidak menolak." Ucap Ethan sembari menatapku.
Kata-kata terhenti terucap, aku merasa aneh dengan jawaban setujunya yang tiba-tiba. Dia tak pernah meluangkan barang sekejap waktunya untukku. Sekarang dia tampak berupaya memiliki banyak waktu untuk anak dan istrinya.
"mengapa Ibu tak menjawab?" ucap Evans menatapku berbinar, rasanya hal yang telah lama dia nanti akan segera di dapatkan.
Aku tersenyum kecil dengan kepala yang sedikit miring. "Tentu saja, apa yang tidak untuk Evans." Sekarang tak perlu memirkirkan niat Ethan sebenarnya. Yang terpenting melihat Evans yang semangatnya kian terpancar. Penasaranku bisa kita bicarakan esok hari. Bagaimanapun sebagai orang tua aku tak boleh membiarkan ego menguasai.
"Yeay…" Evans bersorak girang.
Kala menyadari Ethan masih saja menatapku, aku membuang muka. Entah, apa yang tengah ada dalam pikiran pria itu.
Ethan menurunkan Evans dari gendongannya. "Katakan pada pak Garen dia tak perlu mengantar mu, hari ini Ayah yang akan mengantar."
Evans mengangguk, bergegas berlari menyampaikan pesan Ayahnya pada Garen sopir yang biasa mengantar ke sekolah.
"Kau ingin mengatakan sesuatu?" aku menatap Ethan, dia meminta Evans pergi tentu karena memiliki maksud dengan ku.
"Segeralah berganti pakaian jika tak ingin Evans terlambat." Setelah mengatakan itu dengan dingin, Ethan berbalik ke kamar.
Kepalaku berdenyut hebat, aku tak bisa mencerna niatan dan maksudnya. Hal yang tak biasa ini membuatku lebih takut.