'Apakah sudah sampai?'
Rasanya aku dibawa oleh seseorang dengan tubuh yang bersentuhan sesuatu yang kaku namun terasa nyaman. Bukankah seharusnya aku duduk di kursi mobil?
Kala mata membuka, dada bidang menjulang tepat dihadapan. Aroma parfum dari tubuhnya menerpa wajahku. Mataku menjalar ke area leher yang tampak menawan, kemudian kepalaku perlahan mendongak, rahang yang tegas terlihat. Tubuh menelungkup, rasanya ingin menyembunyikan diri secepatnya. Bagaimana bisa aku berada dalam gendongan Ethan. Pipi yang bersandar di dada Ethan membuatku bisa mendengar dengan jelas jantung pria itu berdetak kuat seperti drum, wajahnya yang selalu tenang rupanya menyembunyikan jantung yang bergemuruh sehebat ini.
Aku jadi ikut berdebar dan wajah menjadi memerah. Setelah sekian lama berjarak, ini pertama kalinya aku berada begitu dekat dengannya lagi. Wajahku terasa panas. Meskipun aku telah bersama dengan Ethan selama bertahun-tahun dan sempat melakukan sentuhan sebagai suami istri, namun aku tak pernah merasakan debaran seperti ini.
Terlebih Ethan menggendongku hanya dengan setengah lengannya. Aku yang kecil begitu mudah digendong olehnya yang berbadan besar dan tinggi, rasanya ditelan olehnya. Aku bisa melihat wajah Ethan yang serius dan alisnya yang panjang juga halus bergerak-gerak.
Ethan menundukkan kepalanya, spontan aku kembali menutup mata. Aku merasa sengatan dari tatapan Ethan yang mencoba memeriksa apakah aku terbangun. Situasi akan menjadi canggung jika aku ketahuan membuka mata.
Lama dalam situasi ini akhirnya Ethan meletakan ku di atas sesuatu yang empuk, tentu saja diatas kasur. Setidaknya dia meletakkan ku dengan lembut dan tidak melempar dengan kasar. Ku pikir Ethan akan segera pergi setelahnya, namun gerakan kasur terasa, dan terlihat bayangannya yang duduk diatas kasur dekatku. Bayangannya semakin condong ke arahku, dan sesuatu yang lembut terasa dibibir. Mataku terbuka begitu saja membuat mata kami bertemu.
Ethan menatapku dalam, dia membeku dengan wajah terkejut. Seperti penjahat yang tertangkap basah. Sepintas tampak bibir Ethan melengkung, kemudian dia menarik wajahnya dariku. Dia masih duduk diatas kasur, jemarinya menyentuh bibir seksi merah mudanya.
Tidak bisa dipercaya dengan apa yang ku lihat, aku yakin dia tersenyum tadi. Ada apa dengannya? Setelah lama tak menyentuhku tiba-tiba sekarang…? Di tempat ini tak ada siapapun harusnya tak perlu berpura lagi.
"Aku membangunkan mu. Kembalilah tidur." Ethan hendak bangkit dari duduknya.
Namun, tangan ini bergerak lebih cepat menarik bajunya. Aku benar-benar tak percaya dengan apa yang kulakukan, aku berupaya menahannya.
Ethan menoleh dengan terkejut dalam waktu yang lama. Rasanya ia melihat mata ku yang penuh dengan kerumitan, tapi hanya untuk sesaat. "Jika kau tak nyaman di kamar ini, bangunlah dan tidur di kamar Evans seperti biasanya."
Perlahan aku melepaskan genggaman bajunya. Aku mendongak dan menatap nya dengan dingin, Aku kesal mendengar kalimat nya itu. Namun, tak bisa berbohong sentuhan bibirnya tadi masih terasa, dan dadaku tak henti bergemuruh hebat. Aku berusaha tenang, "Mengapa kau mengecup ku?"
"Jika kau tak menyukainya aku tak akan melakukannya lagi,"
"Bukan seperti itu. Kita telah lama tak berhubungan, mengapa sekarang…?"
"Kau menyukainya?! ku pikir kau membenci setiap sentuhanku."
Wajah yang sempat tampak membaik kini tampak kehilangan semangat, Ethan berkata dengan tak berdaya. "Kau menunjukan wajah ketakutan dan engan setiap kali aku menyentuhmu. Terlebih setelah kau melahirkan-"
Apa yang tengah dia katakan, aku tak mengerti. Aku bangun dari posisi tidur dan duduk menghadap kearahnya dengan wajah kebingungan. Dahi ku mengkerut, berusaha mencerna kalimatnya.
"Sudahlah, anggap saja kau tak pernah mendengar nya." ucap Ethan hendak berdiri.
Mataku berkilat-kilat dengan amarah tersulut. Tanganku menarik kerah kemejanya kuat-kuat hingga membuat kami bertatap. Sudah cukup aku menahan diri.
Suaraku bergemuruh dengan dingin, menunjukan tekad yang tidak bisa lagi di tolerin. "Jangan melarikan diri... Jangan membuatku kebingungan dengan sikapmu yang tiba-tiba perhatian ini!!"
Wajahku menunjukan ekspresi tajam yang sangat sempurna. Padahal, saat ini hatiku terasa sakit seperti diiris pisau dengan sikap nya yang aneh.
Ethan melihat ku seperti ini, raut wajahnya tampak muram terselip rasa bersalah. Tangannya menggapai ku dan mencoba menenangkan disaat ini. Tapi tak ada sepatah kata yang terucap.
Aku tertunduk, semakin mencengkeram kuat kerahnya. Ku hardik Ethan dengan geram sambil menepis tangannya. Aku perlahan-lahan mengangkat kepala dan menampakan mata dingin yang tidak ingin lagi penasaran dengan perlakuannya. Kemudian bibir menipis hingga menjadi segaris tipis tanpa tersenyum. Selain ketidak pedulian dan ironi, aku benar-benar putus asa.
Ethan hanya memandangku sekilas, seolah-olah jantungnya bergetar karena sesuatu yang menggulung di dadanya. "Amilie..." dia memanggil tapi tak tahu harus berkata apa.
Aku menatap Ethan dengan dingin dan berkata lebih dingin. "Kau tak ingin menjelaskan, maka lebih baik kau bersikap seperti awal."
Dekapan lembut aku dapatkan, suara yang biasa dingin dan angkuh kini terdengar rendah, "maaf, Aku tak bermaksud membuatmu gelisah."
Aku mendorong dada Ethan yang bahkan tak bergerak sekalipun, dan sebaliknya dekapan nya semakin erat.
Suara bisikan lembut mulai terdengar, "Kau kesakitan saat melahirkan, saat mengingat itu aku menjadi berhati-hati, hingga akhirnya tak menyentuh mu. Aku terlihat acuh tak acuh, namun sungguh bukan itu yang aku maksud." jelasnya.
"Ah! sial, aku tak pandai dalam hal ini Amilie. Aku begitu buruk sangat buruk,"
Mendengar penjelasan dan penyesalan nya tak membuat ku terhibur, hatiku terasa hampa. Kalimat itu hanya pembenaran, bagaimana dengan perlakuannya yang dingin padaku selama ini? Alasan itu tidak bisa di terima, itu tak mendasar.
"Aku tak ingin mendengar apapun lagi, Ethan lepaskan aku."
Di luar dugaan Ethan menurut, dia tak keras kepala berusaha menahan ku.
"Tetap lah disini aku yang keluar." Ethan berbalik keluar dari kamar, sebelum itu dia menoleh ke arahku ku dengan raut penuh kepedihan di ekspresi nya.
Aku membuang muka, dia berkali-kali sulit di pahami.
Jantungku berdetak lebih cepat, aku berusaha menahannya. Aku tidak boleh menerima mentah-mentah perkataanya yang nanti membuatku sulit untuk berpikir meninggalkannya. Aku sangat yakin ini hanya tindakan sementara untuk menahan ku.
Mataku mengamati sekeliling. Ah, benar ini kamar Ethan dan kamarku dulu sebelum akhirnya aku lebih banyak tidur di kamar Evans.
Kamar yang di dominasi warna gelap kini tampak asing, terasa hawa dingin yang menyelimuti seperti pemiliknya.
Mata ku memejam, selingan hal-hal selama menghabiskan waktu di rumah ini terlintas. Tidak ku ingat kebahagiaan selama menjadi istrinya, kecuali saat hadirnya Evans. Kekecewaan, rasa tak berdaya, dan gagal sebagai istri selalu menghantuiku. Setiap waktu hanya menyalahkan diri kala suami tak kembali pulang dan sibuk di luar dengan alasan bekerja. Sendirian melalui hari-hari dengan ketakutan, hanya menguatkan diri bahwa aku baik-baik saja.
Rasa sakit membuncah, mengingat masa lalu hanya kian menyakitkan. Rasanya tak nyaman.