Sejenak kesadaran dan pikiran di penuhi kekalutan. Sampai-sampai emosi yang selama ini tertahan berhasil meluap begitu saja.
Mata ini menatap kosong keluar jendela. Dingin dan kuat? dulu senyum ceria selalu merekah lebar di bibir meski di hadapkan dengan ketidak adilan. Namun, saat ini berpura-pura bahagia hal yang tidak mungkin.
Perhatian ku teralih sebab dering ponsel yang mengusik. Aku penasaran ponsel siapa yang mengganggu, sayangnya dering ponsel itu berasal dari tas hitam milikku yang ada di atas meja. Aku tak ingin penasaran atau ingin berbincang dengan siapapun sekarang. Namun, suara dering ponsel tak kunjung berhenti.
Dengan berat hati aku meraih ponsel dan tertera di layar 'Cherly' aku terkesiap. Keinginan untuk lepas dari jerat pernikahan ini kian memuncak. Aku ingat masih memiliki teman yang hingga kini berhubungan dengan baik. Cherly teman di Sekolah Menengah Atas dan hingga detik ini menjadi satu-satunya teman yang masih berhubungan baik denganku. Dan Cherly adalah seorang Advokat. Seseorang yang mungkin bisa membantu.
Bergegas aku menekan tombol hijau, dan rentetan kalimat nya mulai terdengar. Meski dia mengomel, namun suara nya masih terdengar sopan.
"Mengapa begitu lama Amilie?"
"5 panggilan dariku dan panggilan ke 6 kamu baru mengangkatnya. Aku tahu kamu seorang istri dan Ibu, tapi berikan waktumu juga pada teman mu ini."
"Setengah tahun kita belum berjumpa karena kesibukan, tidakkah kamu merindu?!"
Aku menjawab dan berusaha agar suara terdengar seperti biasa, "Kamu begitu drama Cherly. Tapi, tentu saja aku rindu. Banyak hal yang terjadi akhir-akhir ini begitu menguras tenaga juga pikiran."
"Hidup tak pernah lepas dari masalah Amilie, jadi mari kita rencanakan pertemuan teman yang hangat sembari menghilangkan penat. Dan apa kau tahu aku memiliki berita yang begitu bagus."
"Dan ingat Amilie aku melarang mu menebaknya sekarang. Kita bicarakan nanti ketika bertemu. Ini akan seru..."
Senyum tipis terukir di bibir. Cherly begitu menggebu dan sangat asyik. Aku menghela napas berusaha menghilangkan kesan sedih, kemudian mulut ini mulai ikut berisik, "Mm, sepertinya aku tau berita apa yang akan kamu sampaikan. Tapi, tebakan itu belum tentu benar dan aku memilih mengunci mulut hingga nanti kita berjumpa."
"Baiklah, jika tebakan mu salah kamu harus menuruti permintaanku. Bagaimana Amilie?!" suara tawa Cherly penuh meremehkan dan keyakinan bahwa aku tak mungkin bisa menebaknya.
Aku membalasnya dengan suara rendah namun penuh ledekan, "Jika aku benar maka kamu yang harus memenuhi permintaanku. Kau tau Cherly, aku jarang meleset."
"Belum tau jika belum bertemu, dan mari kita lihat nanti. Deal?!" suara Cherly meninggi, dia begitu bersemangat.
"Tentu saja. Bagaimana jika kita bertemu di resort biasanya? kita berjumpa 5 hari lagi, di hari sabtu."
"Bukankah itu terlalu lama, tapi... baiklah aku setuju. Kau pasti sulit mencari waktu senggang sebab kau Ibu rumah tangga."
"Kau tahu itu dengan baik." jawab ku.
Perbincangan berakhir dengan persetujuan dan janji temu. Aku yakin Cherly akan sangat terkejut saat mendengar permintaanku nanti. Tapi memikirkan reaksinya bukan prioritasku saat ini.
Aku menoleh tepat ke arah pintu yang tak jauh dari tangga. Suara langkah kaki kecil yang buru-buru terdengar. Aku bangkit dari kasur, dan bergegas keluar dari Kamar.
Evans berlarian menaiki anak tangga, dia tampak bersemangat dan tak sabaran. Tampak selembaran kertas yang dia genggam.
Aku berpura-pura tak melihatnya yang tengah terengah-engah. Sembari berpura tak tahu bahwa dia telah kembali dari sekolahnya. Evans tak suka menunjukan sisinya yang seperti ini padaku, dia ingin aku melihat sosoknya yang dewasa.
Kemudian suara manisnya terdengar, "Ibu aku pulang."
Evans berusaha mengendalikan napasnya yang terengah-engah. Aku tertawa kecil sembari berusaha menyembunyikan tawa. Anakku begitu manis.
Aku menoleh, menatap ke arahnya. "Siapa yang menjemput?"
"Pak Garen."
"Lalu Ibu lihat,"
Evans menunjukan kertas yang ada di genggamannya padaku. Tampak goresan tinta berwarna merah dengan huru A+ juga paraf gurunya. Meski Evans bersikap dewasa terkadang dia juga ingin mendapat pujian layak nya anak kecil pada umumnya.
Aku jelas tahu Evans anak yang pintar. Dia dengan mudah mempelajari sesuatu yang baru. Putraku juga pandai menempatkan diri pada suatu kondisi. Meski yang terakhir aku baru mengetahuinya.
"Ibu tahu, Miss Laudia memuji. Dia berkata aku cukup pandai. Dan matematika mendapat nilai memuaskan." dia menatap ku berbinar.
Aku sedikit jongkok menyamai tinggi Evans. Tangan ini mengusap lembut rambutnya, "Ibu tahu, Evans mendapatkannya dengan usaha yang tidak mudah. Evans hebat dan luar biasa."
Ku tarik dia dalam dekapan sembari memberinya beberapa kecupan. Evans menggeliat geli, sembari tangan kecilnya berusaha mendorongku karena malu. Senyum tak henti merekah dibibir melihat sikapnya ini.
"Ibu berlebih, aku bukan anak kecil."
"Bersikap layak nya anak kecil bukan hal buruk sayang." terus saja aku memberinya beberapa kecupan. Wajah senangnya berusaha dia sembunyikan dengan sangat baik.
Aku ingin dia menunjukan dirinya yang sebenarnya padaku, ekspresif, tanpa malu-malu, dan sedikit nakal. Evans tak harus memusingkan perasaan ku yang kesepian karena Ayahnya. Evans harus lebih mendahului dirinya melebihi diriku. Dia tak perlu menjadi dewasa untukku. Dia anak kecil yang harus lebih menikmati masanya tanpa risau aku akan kian terluka jika dia bersikap layak nya anak kecil yang merengek, marah, atau bahkan menangis karena sesuatu yang dia inginkan.
Evans menyentuh pipiku lembut, kilatan matanya menyelidik. "Ibu termenung lagi."
Aku menggeleng pelan, dengan senyum kecil. "Orang dewasa memiliki sesuatu yang perlu di pikirkan."
Evans menatap ku cukup lama, kemudian dia berkata. "Baiklah Ibu."
Perhatian Evans tertuju pada kamar Ayahnya. "Apa Ibu tidur bersama dengan Ayah lagi?"
Alisku terkatup sekaligus terkejut mendengar pertanyaannya. "Mm... Ibu dan Ayah memang selalu begitu. Hanya saja Ibu lebih banyak tidur dengan Evans karena tidak mau kamu sendirian... " aku berusaha beralasan, ku harap Evans mengerti. Aku tak ingin Evans kian ikut merisaukan hubungan ku dengan Ayahnya yang kian kusut.
Mata Evans membulat, dia mengangguk mengerti, dan senyum cerah terukir indah. "Jadi apa aku akan punya adik?"
Aku membeku mendengarnya. Itu benar-benar di luar dugaan.
"Adik?" sekarang aku berharap memiliki masalah pendengaran.
"Temanku Dion bercerita jika Ibunya baru saja melahirkan dan seorang adik perempuan yang lucu muncul. Dion berkata jika ingin memiliki adik maka Ayah dan Ibu harus tidur bersama. Jadi, Ibu tak perlu lagi tidur denganku. Bisakah Ibu memunculkan adik kecil yang cantik seperti Ibu?"
Bola mata Evans bergerak, ke arah sampingku. Lalu dia berkata dengan begitu eksaited. "Ayah apakah bisa memunculkan adik jika tidur bersama Ibu?!"
Aku menoleh, tepat di sampingku Ethan berdiri. Dua kancing bajunya terbuka memperlihatkan dada bidang yang menawan. Wajahnya sedikit menunduk, matanya yang gelap menatap erat ke arah ku dan bergiliran menatap Evans. Aku tak berharap dia disini sekarang, padahal aku tak ingin melihat wajahnya, atau bahkan berbicara dengannya.