Aku duduk di kursi depan, tepat di sebelah kursi pengemudi. Dari center mirror, ku perhatikan Ethan, dia mengenakan setelan kemeja hitam tampak beribawa. Kebetulan hari ini aku juga mengenakan dress hitam dengan berenda putih di ujung lengannya. Sekian lama aku menjadi istrinya, aku tak mengingat kapan terakhir kali kami berpergian bersama. Layaknya keluarga yang hangat.
Untuk pertama kalinya Evans bersikap manja, dia menolak duduk di bangku belakang, dia meminta agar dipangku olehku. Hanya kali ini aku mengizinkannya, mengingat dia begitu menantikan hal ini, sejujurnya ini berbahaya.
"Evans sudah besar, duduk di bangku belakang." Ethan tak sependapat denganku. Dia tak mengizinkan tindakan sembrono yang nanti bisa saja diulang oleh Evans.
Dengan berat hati, Evans menurut. Meski begitu dia tak bersedih, sepanjang perjalanan menuju sekolah dia sibuk berceloteh panjang. Aku senang dan sejenak melupakan segala kepahitan antar kami. Evans menceritakan aktivitas dan teman-teman disekolahnya, aku sudah sering mendengarnya. Ku rasa dia juga ingin Ayahnya mendengar. Meski tak menjawab dengan kata-kata, namun Ethan merespon dengan anggukan.
Tak terasa kami sampai di sekolah. Tampak gedung bertingkat dua dengan chat orange putih yang mendominasi. Aku sangat berhati-hati mengenai pendidikan anakku, pada akhirnya aku memilih sekolah dasar swasta yang menurut ku terbaik.
Terlihat banyak kendaraan yang keluar masuk di area sekolah membawa anak-anak mereka untuk menimba ilmu disini. Aku jarang mengantar Evans secara langsung ke sekolah, dia biasa diantar oleh sopir. Bagaimanapun aku harus mengurus rumah besar tanpa asisten rumah tangga.
Meski Evans sering bercerita, namun dia tak pernah membicarakan masalah dan perasaanya. Dia selalu berusaha tampak baik-baik saja. Disinilah letak kesalahanku yang kurang memperhatikan hal-hal kecil, hanya karena dia selalu menunjukan senyum cerah, aku mengira dia bisa melewati segalanya tanpa berpikir hatinya juga bisa terluka. Sekarang aku tahu mengapa dia meminta ditemani oleh Ayah dan Ibunya. Kebanyakan anak-anak disini diantar oleh orang tua mereka, sebelum masuk ke kelas anak akan bermanja pada orang tuannya. Wajar saja Evans menginginkan hal yang sama.
Tuk…tukk…
Aku tersentak, lantas menoleh. Rupanya Evans mengetuk kaca mobil, dengan di gendong oleh Ayahnya.
Huh?!
Apa? Bagaimana...?
Aku panik memastikan kembali keberadaan mereka didalam mobil, Ethan tak ada di sebelah juga Evans yang tak ada dikursi belakang.
Ku hela napas pelan, rupanya aku terlalu tengelam dalam rumitnya pikiran hingga tak menyadari bahwa mereka berdua keluar lebih dulu. Ini sedikit memalukan.
Namun aku lega, Evans ada bersama Ayahnya. Entah bagaimana aku merasa Ethan berusaha menunjukan keberadaanya sebagai Ayah sekarang. Ku susul mereka turun dari mobil, hanya saja tatapan Ethan membuat tak nyaman. Tak lagi palingan wajah yang ku berikan, tapi senyuman cerah. Aku tak ingin merusak momen yang dinantikan Evans sejak lama.
Jemariku mengusap lembut rambut putraku, dia bersikap malu-malu begitu mengemaskan. Rasanya begitu senang melihatnya bersikap layaknya anak kecil.
"Ayah turunkan aku, tidak perlu menggendong sampai ke dalam. Aku sudah besar." ucap Evans malu, namun dia masih memeluk erat Ayahnya bak prangko. Ucapan dan tindakannya berbeda.
Aku tertawa kecil, ini menggelitik. Dirumah dia begitu ingin dipeluk dan digendong oleh Ayahnya. Tetapi di keramaian dia tak ingin tampak seperti anak kecil yang dimanja.
Sejenak aku terlalu menikmati kebahagian singkat ini. Tawaku membuat Ethan dan putraku menatap ke arahku, sontak bibirku kembali mengerucut berusaha terlihat seperti biasanya.
"Ibu begitu cantik dengan tawanya." ucap Evans, matanya membulat bak melihat permata cantik didepannya.
Aku termangu mendengarnya. Putraku banyak bicara namun dia bukan anak yang suka memuji atau mengatakan terang-terangan hal yang indah dari mulutnya. Aku selalu berpikir karena dia juga mirip dengan Ayahnya tentu saja perangai mereka akan sedikit memiliki kesamaan. Rupanya banyak hal yang tak ku ketahui meski aku telah lama bersama dengan putraku.
Angin menerpa menggerakkan rambut terurai ku, nyatanya kalimat itu membuatku senang sekaligus malu. Hatiku menggebu-gebu hanya dengan pujian kecilnya. "Evans rupanya pandai memuji."
Evans meminta diturunkan oleh Ayahnya, lantas tangannya yang mungil menggenggam tanganku dia juga menggenggam tangan Ayahnya sembari dia menoleh ke arahku dengan tersenyum manis.
Dia begitu bersemangat berjalan sembari menarik kami, tentu saja kami mengikutinya.
Aku menjadi penasaran bagaimana perasaan Ethan dalam situasi ini, mungkinkah dia juga menantikan ini atau sebaliknya?
Ku lirik dia, ekspresi wajahnya masih tak berubah datar nan dingin. Aku bertanya-tanya apakah dalam pikiran Ethan dia menyesali segalanya?
Pandanganku teralih pada punggung kecil Evans yang tampak rapuh, hatiku kembali berdenyut. Kebahagian sesaat ini, aku takut membuatnya lebih berharap dan lebih menginginkan lagi. Aku tak yakin mampu memenuhi harapannya.
Mengapa Ethan melakukan hal yang hampir tak pernah dia lakukan, jika pada akhirnya melukai. Ini hanya akan membuat dua hati yang patah kian tak mampu menyembuhkan luka itu.
Langkah kami terhenti di sebuah ruangan kelas 2A. Evans melepas genggaman tangannya pada kami. Lalu dia tiba-tiba memeluk ku. Rasanya dia tahu bahwa aku tengah gelisah.
"Aku akan belajar dengan baik Ibu." Dia menatapku begitu dalam.
Sedikit ku tundukan kepala dengan membalas pelukannya tak lupa memberinya senyuman menyakinkan bahwa hatiku dalam kondisi gembira. "Evans anak baik. Jangan lupa makan bekal mu."
Ku lirik Ethan, lalu tangannya tergerak mengusap lembut pucuk kepala Evans.
"Jangan menjadi anak nakal." ucapnya.
Evans mengangguk-angguk malu, dia berusaha menyembunyikan senyumnya.
Setelahnya, dia masuk ke dalam kelas. Terdengar suara teman-teman sekelas Evans yang penasaran.
"Hei Evans siapa pasangan yang mengantarmu sampai didepan kelas?"
"Pria di sebelah wanita itu sangat mirip denganmu."
"Orang tua ku." suara Evans terdengar dingin.
"Jadi itu orang tuamu? kau punya Ayah dan Ibu? Ku pikir kau tak memilikinya karena hampir tak pernah terlihat. Aku pikir kau anak yatim piatu haha..."
Aku marah mendengarnya, mereka merundung Evans dengan kalimat ejekan. Tanpa sadar kaki ku melangkah hendak masuk ke dalam kelas, aku ingin memberi pelajaran pada anak yang berani mengatakan hal menyakitkan seperti itu.
Namun, Ethan menarik tanganku. Dia menatapku lekat sembari menggeleng, tak mengizinkan ku ikut campur. Tapi aku tak bisa membiarkan hal ini. "Mereka perlu di beritahu untuk menjaga lisan!!" aku marah sangat marah.
Ethan tak melepaskan tangan ku, sebaliknya dia menggenggamnya erat.
"Itu bukan urusanmu. Kelengkapan keluargaku bukanlah hal yang harus kau pusingkan!" suara Evans terdengar menekan, namun berhasil membuat anak-anak itu bungkam.
Aku membeku sekaligus terkejut, dia mampu menjaga dirinya dengan baik. Rasanya tak berdaya, situasi kamilah yang membuatnya ada dalam situasi itu, dia mengalami banyak hal sendirian tanpa berniat membaginya. Dan dari nada bicaranya dia persis seperti Ayahnya.
Ethan melepas genggamannya dari tanganku, rasanya dia sengaja ingin membuat anaknya menyelesaikan masalahnya sendiri atau dia sudah tahu Evans mampu menghadapi hal-hal semacam ini.
"Dia bukan anak yang akan berdiam jika diinjak." ucap Ethan begitu yakin.
Aku menoleh kearahnya, mengapa rasanya dia lebih mengenal Evans dari pada aku yang lebih banyak menghabiskan waktu dengan putraku.
Ethan balik menatapku, "Biarkan dia menyelesaikannya."
Pada akhirnya aku memilih tak ikut campur dan membiarkan Evans menyelesaikannya seperti apa yang Ethan katakan. Meski sejujurnya aku khawatir.