Dalam perjalanan menuju pulang, keheningan menguasai. Baik aku atau dia tak ada yang berniat memulai perbincangan. Situasi ini bukan hal aneh bagi kami, sebaliknya ini hal biasa.
Harusnya tak perlu waktu lama kita sampai ke rumah, namun hingga satu jam berlalu tak kunjung sampai. Rute yang Ethan lewati tak seperti biasanya, aku meliriknya dengan penuh tanya 'kemana dia akan membawaku?'
Sampai mobil terhenti di rumah besar bak istana. Rumah keluarga Caius. Sebagai menantunya aku hanya sesekali mengunjungi atas permintaan mereka.
Penasaran dan keingin tahuan memenuhi, mulut yang semula rapat mulai bersuara. "Ibu meminta untuk berkunjung?"
Ethan menoleh, lantas mengangguk.
"…"
Aku ingin bertanya lebih lanjut alasan Ibu mertua meminta kami berkunjung. Namun, Ethan telah keluar dari mobil membuat pertanyaan itu tertahan dalam benak.
Pantas saja dia tiba-tiba bersikap berbeda, tiba-tiba meninggalkan kesibukannya dan repot-repot sampai mengantar putranya, rupanya dia memiliki maksud lain.
Entah mengapa aku merasa hal buruk akan menanti.
Tindakan anehnya sudah jelas dari awal, sayangnya aku sedikit lengah atas sikap hangatnya pada Evans. Tidak mungkin dalam waktu sehari pria yang acuh ini tiba-tiba berubah tanpa memiliki tujuan lain.
Ethan dan aku berjalan beriringan. Ku upayakan ekspresi wajah yang tampak baik, lantas kami masuk ke dalam rumah.
Ibu mertua telah menunggu, dia duduk di sofanya dengan raut wajah bosan.
Alesa Caius, Ibu mertuaku wanita sosialita yang lebih mementingkan kehormatan, sanjungan, dan membenci segala yang merusak pamornya. Hal yang paling disukai dari apapun adalah permata di penjuru dunia yang menghiasi tubuhnya. Meski umurnya terus bertambah dia tetap terlihat muda dan segar.
Yang terburuk adalah hubungan Suami dan mertuaku yang kurang harmonis. Mereka tak sepaham dan yang ku tangkap Ethan tak suka sikap Ibunya yang mengatur, termasuk pernikahan kami adalah usulan sang Ibu mertua. Sebagai wanita yang menyukai sanjungan dia menginginkan menantu yang sesuai ekspetasinya, wajah, tubuh, dan kejelasan asal usul keluarganya. Semata hanya digunakan untuk bahan banga'an kala bergunjing dengan komunitas sosialitanya.
"Ibu bagaimana kabarmu." sapaku berusaha ramah.
Ibu mertua mengangkat tangannya, memintaku berhenti basa-basi. Dia tak berniat mendengarkan sapaanku. Melihat tolakan Ibunya, Ethan langsung duduk di sofa, dan aku mengikutinya.
Ibu mertua mengamati kami seksama, matanya memancarkan kemarahan. Lalu dia berkata, "Kepalaku sakit akhir-akhir ini. Sesuatu yang menyengat telinga sangat menganggu." kali ini tatapan tajam tertuju pada Ethan. "Aku sangat membenci seorang yang mencoba mencoreng martabat keluarga!"
Ethan yang semula diam, mulai bersuara. Namun suaranya terdengar lebih dingin dari biasanya. "Jadi, apa yang membuat Ibu merasa martabat keluarga tercoreng?"
Ibu dan anak saling menatap, bak macan dan singa yang siap menerjang.
Ibu mertua tak lagi bersuara, dia hanya menatap anaknya dengan amarah yang kian membuncah. Diamnya bak mengatakan bahwa 'kau berpura tak tahu'.
Tapi Ethan seakan tak mengerti, dia acuh atas tuduhan yang jelas terarah padanya.
Ibu mertua mendesis, rupanya dia juga tak mampu menghadapi sikap anaknya. "Kau Ethan!! Rumor bahwa kau memiliki anak dari simpanan tersebar dan itu hal memalukan untuk didengar!!"
Aku sudah menduga rumor itu akan dengan cepat sampai di telinganya. Sempat aku berpikir bahwa Ibu mertua tak akan mengurusi hal semacam ini, rupanya dia juga peduli akan hal ini. Dia ingin memotong lebih awal hal yang nantinya akan menghancurkan reputasi sekaligus hubungan besan dengan keluargaku.
Berusaha ku kendalikan perasaan yang ricuh, aku memantapkan hati dan bersiap mendengar apapun kenyataan yang akan keluar dari mulut Ethan.
"Dengan diam mu seakan rumor itu benar. Aku menyesali kau anakku." ucap Ibu mertua penuh kekecewaan.
Ibu mertua menyentuh dahinya, dia beberapa kali memijatnya. "Cucuku hanya Evans, jangan sekali-kali kau mencoba membawa anak dari tindakan hina dalam keluarga kita." Dia melirikku bak meminta agar aku tenang bahwa posisi ku tetap milikku dan berharap agar aku tak memiliki niatan untuk meninggalkan posisi sebagai istri dan menantu keluarga Caius.
Hatiku hancur atas apa yang terjadi. Air mata hendak keluar, aku mati-matian menekan perasaan sedih yang hendak menguasai. Aku sudah siap dengan ini dan tak ingin terlihat menyedihkan atas perbuatan yang dia lakukan. Dan aku tak pernah berharap Ibu mertua akan mendukungku.
"Aku tak akan pernah membawa anak lain, sebab aku tak memilikinya. tuduhan bahwa aku memiliki simpanan itu tidak benar." jawab Ethan tegas.
Aku spontan menoleh kearahya, kedua tangannya menyatu, dan bahkan urat-uratnya tampak jelas seakan menahan segala amukan amarah. Sekarang dia terlihat terganggu dengan rumor itu. Tapi sungguhkan dia terganggu atau hanya berusaha agar bisa lepas dari situasi ini? Aku meragukannya.
Wajah Ibu mertua menjadi tenang, amarahnya tampak mereda. "Aku akan berusaha percaya. Namun jika sampai kau merusaknya, Ibu akan menghancurkan apapun yang menganggu reputasi keluarga, termasuk jika itu anakku sendiri." suaraya lembut namun berisi ancaman.
"Pakaian kalian tampak serasi. Aku ingat hanya mengundangmu saja Ethan namun tak kusangka kau juga membawa serta istrimu kemari. Itu membuatku sedikit percaya bahwa hubungan mu dan istrimu tak memburuk karena rumor itu. " tukas Ibu mertua, dia terlihat lega.
"Kami dari sekolah mengantar Evans." jawab Ethan.
"Ho! Itu bagus. Ibu ingin kalian sering menunjukan ke publik bahwa hubungan kalian baik-baik saja dan tunjukan bahwa rumor itu tak benar. Kalian tahu keluarga kita menjadi perhatian sebagian orang yang berharap kehancuran kita."
Ini tujuan Ethan menunjukan pada Ibunya bahwa hubungan kami tidak begitu buruk. Rupanya dia cukup licik.
"Dan Amilie, Ibu harap kau selalu meneguhkan hati dan apapun yang terjadi, sebagai istri kau harus menggenggam apa yang menjadi milikmu."
Haruskah aku menurut, meski hati terus teriris? haruskah ku abaikan perasaan demi menjadi istri, menantu, dan anak yang baik? Bukankah semua itu tak berarti selama tak ada kepuasan dan kebahagiaan di dalamnya?
Ibu mertua tak menghawatirkan perasaanku, dia hanya takut aku meninggalkan Ethan dan merusak kehormatan keluarga.
"Aku tidak yakin bisa Ibu." jawabku sembari membuang muka. Bagaimanapun aku tak bisa terus terkekang dalam kehidupan hampa yang menyakitkan sepanjang hidup.
Aku merasa Ethan memperhatikan ku, dan tiba-tiba saja dia berdiri.
"Aku memiliki hal yang harus diurus, kami harus kembali Ibu." Ethan melirik ku dan tentu aku memberi anggukan, aku juga tak ingin berlama-lama disini.
Ibu mertua tak ada pilihan, dia membiarkan kami pergi. Yang terpenting dia telah mendengar apa yang ingin dia pastikan.
Aku mengikuti Ethan yang berjalan di depanku. Ku perhatikan punggung besar dan lebar Ethan, terkadang aku ingin menyentuh itu.
Duk...
Aku mendesis.
Ethan tiba-tiba menghentikan langkahnya membuatku yang termenung sambil berjalan menabrak punggungnya.