Aku pernah bermimpi menikahi pria yang ku cintai dan kisah kami berakhir indah. Seperti kisah-kisah Disney yang berakhir Happy Ending. Ya, mungkin karena aku sangat mendambakan kisah cinta romantis layaknya dongeng.
Namun, suatu ketika aku terbangun dari khayalan itu.
Semuanya berantakan, kisah manis nan indah tak pernah terjadi. Harusnya aku sudah tahu itu dengan jelas.
Di Zaman yang modern ini praktik perjodohan masih kerap terjadi.
Seperti keluarga Wijaya yang menikahkan putri bungsunya Amilie Olivia Wijaya tepat saat usia 23 tahun dengan seorang pria yang lebih tua 5 tahun, Ethan Caius.
Semua semata untuk keuntungan kedua belah pihak.
Keluarga Wijaya sangat disegani dan keturunannya dikenal memiliki paras tampan dan ayu itu menjadi nilai lebihnya. Wanita yang terlahir dari keluarga Wijaya sudah pasti dinikahkan untuk keuntungan. Berbeda dengan anak laki-laki yang hidupnya jelas akan meneruskan keluarga.
Sedangkan Caius adalah keluarga terkemuka, dikenal dengan kemampuan berbisnis dari turun temurun. Dan Ethan Caius anak satu-satunya keluarga itu.
Meski dalam benak aku menjerit namun pada akhirnya aku menurut.
Kesan pertama saat bertemu dengan Ethan di hari pernikahan. Aku bergetar ketakutan, tubuhnya yang tinggi dengan badan yang besar, tatapannya yang tajam rasanya mencekik ku. Dia tak berkata apapun namun berhasil membuat mati membeku.
Dengan ketakutan yang masih jelas, aku diboyong ke kediamannya sebagai istrinya.
Katanya malam pertama hal yang ditunggu-tunggu paska pernikahan, namun tidak untukku. Aku bahkan tak berani menatap wajahnya, dan malam itu terjadi begitu saja tanpa rasa cinta diantar kami.
Begitu saja aku melanjutkan hidup dengan pria dingin. Kehidupan yang terasa kosong dan hampa. Sialnya kami harus tetap melakukan kewajiban sebagai suami istri untuk memiliki penerus.
Aku sempat berharap meski telah menikah aku akan diberi kebebasan untuk menggunakan gelar ku di bidang pendidikan. Setidaknya agar aku tak bosan, itu saja.
Sayangnya Ethan tak memberi ku izin untuk bekerja. Dia hanya berkata, "Kau boleh melakukan apapun, tak perlu ikut sibuk mencari materi."
Bagiku kalimat itu pengekang yang harus dipatuhi.
Satu tahun menjalani biduk rumah tangga yang dingin. Aku dinyatakan hamil.
Aku sempat berpikir mungkin saja hubunganku dan Ethan akan lebih baik dengan hadirnya anak diantara kami. Sayangnya aku salah, saat Ethan mengetahui bahwa aku mengandung dia hanya berkata. "Bagus." dengan wajah datarnya.
Aku kecewa dengan responnya.
Sampai anak ku lahir, perasaan yang mencekik berangsur lenyap. Cahaya terang dari manisnya anakku perlahan mengobati goresan hitam di hatiku. Tangannya yang mungil dan wajahnya yang mengemaskan menggetarkan hati kaku ku. Semenjak itu aku berjanji mendedikasikan hidupku dan memberikan segala perhatian pada Evans Caius kecil ku.
Tidak lagi ku pedulikan takdirku, tak lagi aku bersedih untuk meratapi nasib dan mimpi untuk dicintai yang tak akan pernah jadi nyata itu.
Aku hanya fokus memberi perhatian pada anakku yang mulai memanggilku dengan "Ibu." dan rasanya aku melupakan sesuatu yang entah apa itu.
Di tengah tenangnya menjalani hari-hari, rumor tak mengenakkan mulai berdatangan. Suamiku yang jarang ada di rumah dan lebih sering pulang larut diterpa isu memiliki wanita lain. Saat itu kekhawatiran menyelimuti ku, mengingat setelah aku melahirkan Ethan tak pernah mendatangiku lagi untuk memenuhi kewajiban sebagai suami istri.
Namun, pada akhirnya aku tetap bungkam.
Demi hidup yang tenang dan masa depan anakku aku memilih untuk berpura-pura tak tahu. Lagipula, rumah tangga yang terlanjur tandus ini tidak bisa diupayakan lagi. Semuanya sudah kacau sejak awal dan kami tak memiliki niat mencoba memperbaiki itu. Yang terpenting dia tak membawa pulang wanita lain yang menggeser posisiku sebagai nyonya rumah.
Putraku tumbuh dengan baik, kini usianya genap 7 tahun. Meski usianya sangat muda, dia mulai tumbuh persis seperti Ayahnya. Dia sangat tampan, namun Evans ku lebih rupawan dalam segalanya. Setidaknya kepribadian putraku jauh lebih baik dari suamiku. Itu yang ku pikirkan.
Semuanya berjalan seperti biasa dan seringkali aku memenuhi undangan keluarga besar Caius tanpa di temani Ethan, semata untuk menjaga namanya. Dan sering kali mendengar banyak hal di sana.
Bersikap tenang dan tak ingin tahu apapun tak menjamin semuanya akan baik-baik saja.
Aku kembali terganggu dengan desas-desus mengenai suamiku.
"Dia memiliki anak lain."
Saat mendengar isu itu rasanya petir menyambar disiang bolong. Dada terasa sesak, aku tak bisa dan tak mampu lagi menahan diri. Amarah, kebencian, dan perasaan muak yang berusaha ku tekan, perlahan tak mampu ku kendalikan lagi. Posisi dan hak anakku terancam jika dia benar memiliki anak lain.
Mati-matian aku bertahan, mati-matian aku menerima segala perlakuannya, dan sekarang dia mencoba meminta ku untuk menerima perbuatannya. Hatiku terasa perih dengan kebimbangan dalam pilihan, tetap bertahan atas segala sikapnya atau memilih pergi bersama anakku.
Apa yang ku tunggu sampai sejauh ini? Dia yang dingin dan bersikap acuh namun aku memilih tetap berada disisinya. Apa semata hanya karena dia Ayah dari anakku atau karena terlanjur terjerat?
Ethan suami yang buruk namun terkadang dia terlihat peduli. Perhatian kecilnya untuk Evans terkadang membuatku berpikir Ethan akan bersikap penuh kasih sebagai suami dan Ayah suatu saat nanti.
Rupanya aku masih harap berharap. Sebagai wanita yang menambakan cinta penuh kasih sayang. Aku hanya ingin menikah satu kali meski dia dan aku tak saling mencintai. Dulu aku berpikir meski kisah ku tak beruntung dengan cintanya aku akan berusaha menjaga pernikahan ini.
Hubungan yang kian hancur bak tanaman tanpa disirami, akan layu dan perlahan mati. Hubungan ini tak bisa di pertahankan lagi, dia yang kelewat batas tak bisa di tolerin lagi.
Aku menunggu dan menunggu kepulangannya setiap waktu. Hingga satu minggu lamanya, dia akhirnya kembali pulang setelah menyelesaikan urusan bisnisnya di luar negeri. Ethan sering bolak-balik Indonesia-London. Aku tak tau bisnis apa yang sebenarnya dia lakukan di sana.
Ethan terlihat sangat terkejut mendapati aku yang menunggunya di ruang tamu tengah malam.
Berdiri tepat dihadapannya dengan hubungan yang canggung rasanya buruk.
Tatapan tajam nan dingin terarah padaku. "Kau belum tidur?!"
Mata hitam pekat dan sikap acuh nya selalu membuatku tercekik setiap berada didekatnya.
Aku menghela napas, menekan emosi yang hendak menggebu-gebu. "Bagaimana dengan pekerjaanmu?"
Ethan hanya menaiki alisnya, tampak terkejut dengan sambutan tak biasa ku. Rasanya aku bisa mendengar kebingungan dalam pikirannya 'mengapa tiba-tiba bertanya?'
Suara beratnya terdengar menekan, "Apa yang mengganggumu hingga terjaga sampai larut malam?!"
Hatiku terasa panas, jantungku berdebar lebih cepat dari biasanya. Dia seakan tak tau apapun, dia menganggap ku sepele.
"Kau tak memiliki sesuatu untuk disampaikan padaku?" jemariku mengepal kuat, sembari mempertahankan tatapanku padanya. Ku harap dia akan jujur.
"Tidak ada." jawabnya.
"Kau bohong, selalu berbohong padaku. Kau memiliki anak dengan wanita lain. Kau terus membodohiku Ethan!!" aku ingin menerjangnya dengan kalimat itu, namun sekali lagi aku memilih menahannya.
 "Sudah larut tidurlah." suruhnya sembari melirik arlojinya.
"Sungguh tak ada yang ingin kau sampaikan padaku?!" suaraku meninggi, aku tak mampu menahan agar suaraku tetap stabil.
Ethan hanya menatapku dengan wajah datar.
Sikapnya yang tenang membuat amarahku kian memuncak. Namun, kali ini aku mampu mengendalikan nada suaraku. Aku berbicara dengan lirih. "Kau memiliki simpanan dan sekarang kau memiliki anak. Selama itu aku diam, aku bersikap tenang. Aku tetap dirumah menjaga anak kita, menemui pertemuan keluargamu tanpa hadirnya dirimu. Setidaknya sedikit saja perhatikan perasaan istrimu ini. Tapi, apa yang ku harapkan ini hanya perjodohan." jemari mengusap air mata yang menetes tanpa aba.
Sungguh aku tak ingin terlihat lemah didepan Ethan yang bersikap acuh padaku ini.
"Aku bisa lelah Ethan, aku tak selamanya kuat atas pengabaian dan perlakuanmu. Sebelum kita semakin terluka…"
"ceraikan aku." pintaku padanya.
Dahi Ethan mengkerut, rahangnya mengeras. "Isu yang kebenarannya tak jelas dan kau mempercayainya?!"
"Tidak ada perceraian dan kembali lah ke kamarmu." Selepas berkata dengan tegas, dia melenggang masuk melewati ku. Seakan-akan hatiku ini tak penting.