Chereads / Player: The Never-Ending Game / Chapter 3 - Bab 2 : Tutorial

Chapter 3 - Bab 2 : Tutorial

Tring!

[ Tutorial akan dimulai dalam 3 jam lagi! ]

Tutorial? Ini membuatku penasaran, apa yang mungkin akan diujikan pada tutorial? Mungkinkah kita disuruh membunuh satu sama lain? Itu ... sebenarnya, masuk akal, tetapi itu mustahil. Jumlah orang di sini hanya ada 6, itu terlalu sedikit, dan mengesampingkan hal itu aku juga tidak gila untuk bisa membunuh seseorang. Kalau begitu ... sepertinya monster? Yah, itu lebih memungkinkan. Pikir Kayzen.

Setelah itu, sebuah layar biru muncul di depanku.

[ Petunjuk

Kalahkan pasukan monster!

Jenis monster : Goblin

Jumlah : 600

Tingkat Kesulitan : Sedang

Hadiah : skill (acak) ]

"Apakah kalian mendapatkan pesan ini juga?" Kayzen spontan bertanya.

"Ya, ini gila," jawab Razeth.

Memang ... bahkan dari awal ... Kayzen diam-diam membalas ucapan Razeth dalam hati.

"A-"

Sebuah layar biru yang lain muncul, bersamaan dengan suara seorang laki-laki, sebelum Kayzen berhasil mengatakan apapun.

[ Halo, para Player! Perkenalkan, aku Sky, operator sistem gaia dibumi #3612 ini! ]

Sistem gaia adalah nama layar biru ini? Seperti aku pernah mendengarnya, tapi aku melupakannya ... Kayzen mengerutkan alisnya samar.

Tring!

[ Kalian bisa memilih salah satu dari senjata-senjata ini untuk menyelesaikan tutorial! ]

[ Pedang, katana, belati, busur, sabit, dan tongkat sihir ]

Tidak, aku bisa memikirkan hal itu nanti saja .... Sebaiknya aku fokus dengan masa kini. Kayzen memutuskan tujuannya ketika layar itu muncul lagi.

"Hei, senjata apa yang akan kalian pilih?" Venus tiba-tiba bertanya, memecah keheningan ini.

"Aku akan memilih Tongkat sihir!" Reina menjawabnya. Lalu dia bertanya, "Bagaimana denganmu?"

"Mungkin sabit? Itu seperti senjata digame yang kumainkan, dan kedengarannya sedikit bagus ..." jawab Venus.

"Busur, aku pernah menggunakannya dulu." Xander memberi tahu pilihannya.

"Hm, aku akan memilih belati," kata Elaine sambil melihat ke arah Venus.

"Pedang," singkat Razeth.

"Dingin sekali, aku akan mengambil katana."

Semua memilih senjata yang berbeda, jadi, tidak ada perselisihan tentang senjatanya.

[ Baiklah! Aku akan memberikan senjatanya beberapa menit lagi! ]

Kemudian, layar ini menghilang lagi.

"Kalian berasal dari mana?" Kayzen bertanya.

"Tentu saja, bumi" Razeth menjawab.

"Aku serius!" Kayzen sedikit meninggikan nada bicaranya.

"Oke, oke. Aku dari ###"

"Apa? Suaramu tak terdengar jelas, Zeth." Kayzen masih belum bisa mendengarnya.

"###"

"Hah?"

Sudah dua kali dia mengatakannya, tetapi tetap saja tidak terdengar jelas.

"Astaga, ###, di###!"

"Apakah kalian bisa mendengar itu?" Mulai frustasi, Kayzen mencoba menanyakan yang lainnya.

"Tidak, aku juga tidak bisa mendengar itu!" Reina menjawabku.

"Menurutku, itu mungkin dirahasiakan. Aku juga tidak tahu alasannya, tapi, mungkin kita tidak boleh menyebutkan asal kita?" Elaine menyuarakan pendapatnya.

"Mungkin begitu? Membuatku semakin penasaran, apa alasannya?" sambung Venus.

"Permisi? Maaf mengganggu, namun, bisakah kita berdiskusi tentang monster yang akan datang saja? Kita bisa saling bertanya lagi setelah menyelesaikan 'tutorial' ini, kan?" Xander memberikan usulnya.

Reina langsung setuju, "Ide bagus!"

"Kalian tidak lelah berdiri?" Venus tiba-tiba sudah duduk di atas sebuah batu raksasa yang berada di depan pohon terbesar.

Reina kemudian sedikit berlari menghampirinya, lalu duduk di dekatnya. Aku dan yang lainnya juga langsung mengikuti Reina.

"Jadi?" tanya Kayzen.

"..."

Hening, tidak ada satupun yang menyuarakan pendapatnya. Hingga sebuah layar biru muncul.

[ Silahkan, ini senjata anda! ]

Sesuai dengan pilihan, masing-masing senjata melayang di depan mereka. Kayzen langsung mengambil senjatanya.

Tak lama kemudian, beberapa layar muncul kembali dengan pesan yang berbeda.

[ Perhatian, player, tenang saja! Para goblin tidak akan menyerang kalian bersama-sama! Sebagai gantinya, mereka akan muncul selama 6 kali berturut-turut dengan jumlah 100 goblin. ]

[ Kelompok pertama akan muncul dari jalan di sebelah kiri pohon paling besar, ingat itu! Goblin-goblin lainnya akan muncul setiap 120 menit sekali! ]

[ Aku akan memberi kalian informasi darimana para goblin itu muncul setiap 30 menit sebelum mereka menyerang! ]

[ Ada yang ingin ditanyakan? ]

Satu detik, dua detik, tiga detik, tidak ada yang menanyakan apapun, hingga sebuah pesan muncul.

[ Baiklah, jika tidak ada yang ingin ditanyakan, aku akan pergi. ]

[ Aku akan kembali lagi setelah kalian menyelesaikan serangan pasukan goblin yang pertama. ]

[ Semoga berhasil, Player! ]

Dalam sekejap layar-layar itu hilang. Kayzen mengalihkan pandangannya. Lalu melihat kearah pohon seberang, pohon yang paling besar diantara pohon yang ada di sekitar.

"Apakah itu pohon besar yang dimaksud?" Elaine bertanya.

"Sepertinya iya," Xander menjawabnya.

"Kita harus bagaimana? Kita harus bekerja sama menggabungkan kekuatan kita untuk melawan para goblin itu, kan?" Xander menyarankan sebuah ide.

Entahlah, jangan tanya aku. Aku sudah pusing memikirkan apa tujuan sistem membawa kita kesini. Lebih jauh lagi, kita tidak tahu apakah Sky memiliki niat jahat atau tidak .... Gumam Kayzen dalam hati.

"Bagaimana pendapat kalian?" Xander bertanya lagi.

"Terserah, yang penting kita berhasil mengalahkan para goblin." Kayzen memberi pendapat sambil membuka katana yang dipilihnya.

Razeth setuju, mengacungkan ibu jari tangan kanannya tanpa berbicara sepatah kata.

"Tapi, bagaimana cara menggunakan tongkat sihir ini? Apa mungkin aku harus membayangkan sesuatu ... seperti angin?" Reina bertanya, kekhawatiran terlukis diwajahnya dengan jelas.

"Kita tidak akan tahu jika belum mencoba. Selama itu memungkinkan, coba saja dulu." Elaine menjawabnya lalu berdiri, sambil membawa kedua belati dikedua tangannya.

"Benar sekali! Aku juga ingin mencoba sabit ini." Venus ikut berdiri.

Beberapa saat kemudian, suasana menjadi senyap, tanpa suara, Xander memutuskan untuk memecah keheningan itu, "Baiklah, mari kita berpencar! Kita harus mencoba senjata ini dulu. "

Saat ini, Reina sedang mencoba membayangkan gumpalan angin yang berbentuk seperti lingkaran. Dia membawa tongkat sihir dengan batang yang berwarna cokelat dan kristal oval di bagian atas nya berwarna hijau emerald, di tangan kanannya.

Wush

Sebuah gumpalan angin berwarna abu-abu muda muncul, seperti yang dibayangkan Reina. Secara reflek, dia langsung mengarahkan gumpalan angin itu ke arah pohon terbesar dengan tongkat sihirnya.

"Wah, berhasil!" Dia ingin melompat kegirangan saat itu juga, namun mengingat ini bukanlah tempat yang dikenalnya langsung dia urungkan. Sepatu hak pendeknya warna abu-abu dan gaun yang di pakainya sepanjang lutut juga berwarna abu-abu, dengan beberapa garis berwarna hitam dan hijau yang dikenakannya. Pakaiannya serasi dengan kekuatannya, angin, yang identik dengan warna abu-abu.

Dia lalu mencoba membuatnya secara terus-menerus, agar dia bisa membuatnya tanpa memikirkan gumpalan angin itu.

Beberapa menit kemudian, dia berhasil.

"Angin!"

Wush!

"Akhirnya!"

Sekarang, dia mulai mencoba membuat dua sekaligus, setelah berhasil, dia membuat tiga. Reina terus melakukan itu, sampai dia bisa membuat lima gumpalan angin oval pada saat yang bersamaan.

-

Sementara itu, Elaine sedang menebas sebuah pohon dengan kedua belatinya.

"Huh."

Dia berhenti sejenak, menghela napas. Lalu setelah beberapa detik, dia mencoba mengayunkan belatinya ke pohon di didepan.

Sebuah api berwarna jingga muncul sekilas, Elaine memandangi belatinya dengan perasaan terkejut, "Apa itu tadi?"

Dia mencobanya lagi. Kali ini, dia tidak menebas pohonnya berkali-kali melainkan menebas udara, agar itu terlihat. Setelah beberapa kali mencoba, itu benar-benar muncul, dia sangat yakin, itu adalah api.

Pakaian yang dipakainya adalah celana kain berwarna hitam, kemeja berwarna putih, rompi merah tua yang kancingnya terkancing semua, dan sepatu boots yang berwarna hitam.

Pada saat yang sama, Venus juga sedang mencoba senjatanya; sabit berwarna hitam. Dia mengayunkan sabit itu menggunakan kedua telapak tangannya.

Posisinya berada di belakang Elaine, di tengah-tengah area itu.

"Hah, ini sangat susah!" Venus mulai kesal.

Dia tidak menyerah, dan terus mengayunkan sabitnya beberapa kali.

Dalam sekejap, langit berawan yang sedikit mendung seketika menjadi gelap. Gemuruh petir terdengar seperti akan menyambar. Awan-awan menjadi kelabu, rintik-rintik air mulai berjatuhan.

Petir emas tiba-tiba menyambar tanah, saat Venus mengayunkan sabit ke sekian kalinya. Rambut hitam lurusnya menari-nari di udara. Gaun panjang hitamnya dengan garis-garis emas sepanjang mata kaki itu menjadi berkilau, terkena cahaya petir. Sepatu hak tingginya berwarna hitam, membuat Venus terkesan anggun dan elegan. Pada saat itu, Venus mengetahui elemen yang dikuasainya, petir.

Elaine, Reina, Kayzen, Razeth, dan Xander sontak menengok ke belakang. Langit menjadi sangat gelap saat petir emas itu menyambar.