Kembali ke Azuma, Prajurit A pun ketakutan. Pedang yang dipegangnya pun bergetar. Wajahnya juga bercucuran keringat. Prajurit A yang melihat rekannya mati, ia memberanikan diri untuk maju dan bertarung melawan anak laki-laki itu.
Anak laki-laki itu pun melirik ke arahnya. Ia kemudian berjalan mendekati Prajurit A. Matanya menatap tajam ke arah sang Prajurit. Anak laki-laki itu pun berlari ke arah sang Prajurit. Sang Prajurit lalu menyiapkan pedangnya. Mereka kemudian saling beradu pedang.
*Ting... Ting... Ting... (Keduanya orang itu saling beradu pedang)
*Ting.... Sriing.... (Anak Laki-laki itu berhasil memojokkan sang prajurit)
Ia kemudian melambungkan pedang sang prajurit ke udara. Dilanjutkan dengan menyayat zirah prajurit itu menggunakan pedangnya. Zirahnya pun meleleh dan tubuh sang prajurit pun terluka serta mengeluarkan darah.
Sang Prajurit pun terjatuh dan kemudian terkapar lemas di tanah. Darah mengalir dari luka tusukan itu. Pertempuran pun selesai dan api di mata pedang anak laki-laki itu pun padam. Azuma yang dari tadi melihat pertempurannya, ia kagum terhadap anak laki-laki itu. Dia juga merasa senang karena bisa selamat. Azuma kemudian berdiri dan menghampiri anak laki-laki itu.
"Hei, a-aku tidak tahu bagaimana membalasmu. Tapi, terimakasih karena sudah menyelamatkanku!!" ucap Azuma dengan lantang.
"Lemah...." gumam anak laki-laki itu.
"Eh, a-apa kau mengatakan sesuatu?" tanya Azuma kebingungan.
"Tidak, tidak ada" jawab singkat anak laki-laki itu.
"Maaf, mungkinkah kau salah satu dari para pemberontak?" tanya Azuma.
Anak laki-laki itu pun terkejut dan langsung berlari ke arah Azuma kemudian menjatuhkannya. Azuma kini terjatuh dan anak laki-laki itu langsung mengancamnya dengan menodongkan pedang di lehernya.
"Katakan, siapa... Kau?" tanya si anak laki-laki.
"A-Aku.... Azuma...." jawab Azuma ketakutan.
"Siapa?!!" bentak anak laki-laki itu.
"A-Aku Azuma!! A-Aku ingin bergabung dengan pasukan pemberontak!!" jawab Azuma dengan lantang.
"Ingin bergabung? Kenapa?" tanya si anak laki-laki.
"Karena aku ingin membalas dendam pada Zyro. Mereka membunuh ayah dan ibuku... Kehidupanku hancur lebur!! Aku dendam... Aku dendam dengan mereka... Zyro... Komandan itu... Aku akan menghancurkannya... Aku ingin membunuhnya!!!" teriak Azuma.
Mendengar jawaban dari Azuma, anak laki-laki itu lalu tersenyum dan menyarungkan pedangnya. Ia kemudian mengulurkan tangannya. Azuma langsung meraih uluran tangannya dan berdiri.
"Ayo, bantu aku mengumpulkan zirah serta pedang kedua Prajurit itu!" ucap anak laki-laki itu memberi perintah.
"Lalu.. mayatnya?" tanya Azuma.
"Tinggalkan saja. Jika terlalu lama di sini, seseorang pasti akan menemukan tempat ini dan kita pasti akan terkepung" jawab anak Laki-laki itu.
"Oh, begitu" gumam Azuma.
"Hei, cepatlah! Waktu kita tidak banyak" ucap anak laki-laki itu.
Azuma pun bergegas membantu sang anak laki-laki untuk mengumpulkan zirah dan pedang dari kedua mayat Prajurit itu. Anak laki-laki itu pun menaruh hasil jarahannya di sebuah karung.
Azuma pun disuruh mengangkat karung yang berisi hasil jarahan mengikuti anak laki-laki itu. Ia kini berjalan mengikuti sang anak laki-laki. Waktu pun berlalu, dan ribuan langkah terasa di kaki Azuma. Karena perjalanan yang sangat melelahkan, ia pun mengeluh.
"Aahhh!! Kemana kita akan pergiii?! Apa jaraknya memang sejauh ini?" Keluh Azuma kelelahan.
"Ayo, cepatlah berjalan! Kita hampir sampai" jawab anak laki-laki itu.
"Ka... Ka-Kapan?" tanya Azuma kelelahan.
Anak laki-laki itu pun hanya diam. Azuma dari tadi mengangkat karung jarahan, sedangkan anak laki-laki itu tidak membawa apa-apa selain barang-barangnya sendiri.
Dari kejauhan, Azuma melihat sebuah permukiman Desa. Terlihat pagar kayu yang mengelilingi Desa itu. Ia langsung bersemangat dan mempercepat langkahnya.
Azuma mencoba memanggil anak laki-laki itu "Hei, a--."
"Ada apa?" tanya anak laki-laki itu kebingungan.
"Bagaimana mengatakannya ya? Namamu... Siapa?" tanya Azuma.
"Hah, apa maksudmu?" bingung anak laki-laki itu.
"Aku tidak tahu harus memanggilmu apa..." ucap Azuma.
"Huh.. panggil saja Ozuza" jawab Ozuza.
"Baik, senior Ozuza!!" jawab Azuma bersemangat.
"Panggil saja Ozuza, tak perlu pakai senior-senioran!" ucap Ozuza dengan tegas.
"Ba-Baik" jawab Azuma sedikit gugup.
***
Akhirnya setelah berjalan jauh, mereka pun sampai di depan gerbang desa. Ozuza pun menghampiri salah satu orang yang berjaga di gerbang desa. Setelah berbicara cukup lama, Azuma dan Ozuza pun masuk ke dalam desa itu.
"Desa apa ini? Semuanya terlihat begitu sibuk" tanya penasaran Azuma.
"Ini adalah desa pemberontak. Kebanyakan penduduknya adalah orang-orang yang ingin membalas dendam kepada Kerajaan Zyro" jawab Ozuza.
"Kita mau kemana?" tanya Azuma sambil berjalan mengikuti Ozuza.
"Aku akan melapor ke tuan Magma. Kau juga ingin bergabung, 'kan? Akan kupertemukan kau dengan Tuan Magma" ucap Ozuza.
"T-Tuan Magma? Siapa dia?" tanya Azuma.
"Nanti kau juga akan tahu" jawab Ozuza.
Mereka pun berjalan melalui jalan setapak di Desa itu. Ozuza kini berjalan mengantar Azuma pada Magma untuk melaporkan sesuatu.
***
Di sisi lain, di dalam salah satu Rumah, Seorang Pria kekar sedang memimpin rapat dengan orang-orang kepercayaannya. Pria kekar itu bernama Magma. Ia menggendong sebuah pedang panjang (Longsword) di punggungnya.
Tiba-tiba, Ozuza masuk ke dalam rumah itu. Ia terlihat mengajak seorang anak laki-laki bersamanya yang sedang membawa sebuah karung. Anak laki-laki itu adalah Azuma. Magma pun terkejut dengan anak laki-laki yang dibawa Ozuza.
"Hei, hei, siapa dia, Ozuza?" tanya Magma.
"Dia anak baru yang akan berjuang bersama kita" jawab Ozuza. Ia lalu menengok ke Azuma, "Hei, ayo perkenalkan siapa dirimu!"
"A-Aku Azuma. Aku ingin bergabung dengan para pemberontak" jawab Azuma sedikit gugup.
Magma yang melihat Azuma yang berkeringat sambil membawa sebuah karung. Ia pun memintanya untuk menaruh karung itu di pojok ruangan. Azuma pun menurutinya dan kemudian kembali ke tempatnya berdiri tadi.
***
Di sisi lain, di Kastil Betro, Kota Bros, Jenderal Arqi berjalan melalui lorong Kastil. Ia kemudian berhenti di pintu yang terkunci rantai. Itu adalah pintu kamar Putri Yuki. Jenderal Arqi terlihat membawa sebuah Pedang dibagian kiri pinggangnya.
Ia lalu membuka gembok itu menggunakan sebuah kunci. Dilanjutkan dengan melepas rantai yang melilit gagang pintu itu. Jenderal Arqi kemudian memasuki ruangan itu. Putri Yuki yang melihat Jenderal Arqi datang, ia pun langsung ketakutan. Matanya menatap tajam ke arah Jenderal Arqi.
"Untuk apa kau kemari?" ketus Putri Yuki.
Jenderal Arqi kemudian tersenyum dan menjawab "Aku kesepian. Tak ada satu pun gadis di kamarku."
"Pergilah!! Tinggalkan aku sendiri!! Apa kau tak cukup puas dengan ibuku?!!" bentak Putri Yuki.
"Ayolah Yuki, kau harus menurut pada ayahmu ini!" bujuk Jenderal Arqi.
"Ayah, hah? Jangan mimpi!! Kau bukan ayahku!!! Kau hanya seorang pria cabul yang haus kekuasaan!!!" bentak Putri Yuki lagi.
Jenderal Arqi pun menunduk dan menarik pedangnya "Baiklah, kalau itu pilihanmu..."
Ia kemudian berlari ke arah Putri Yuki dan berniat menyerangnya. Putri Yuki langsung memunculkan sebuah tongkat sihir dilanjutkan dnegan mengarahkannya ke Jenderal Arqi.
"Pembekuan..." ucap Putri Yuki sembari mengarahkan tongkat sihir ke Jenderal Arqi.
Muncul lingkaran sihir di ujung tongkat sihirnya. Dilanjutkan dengan sebuah hembusan angin beku ke arah Jenderal Arqi. Jenderal Arqi pun terkejut dan menghentikan langkahnya. Ia kemudian berlari keluar dan dengan tergesa-gesa mengunci kembali pintu kamar itu menggunakan rantai lalu menggemboknya.
"Sial, gagal lagi. Aaaah!! Kenapa sih, dia susah banget kubujuk?" Gumam kesal Jenderal Arqi.
Ia lalu membersihkan wajahnya yang sedikit membeku. Setelah itu, dia berjalan meninggalkan kamar Putri Yuki dan kembali ke ruang tahta.
***
Sedangkan, di dalam kamar itu, Putri Yuki masih terduduk diam di atas tempat tidur. Terlihat suhu di ruangan menjadi semakin dingin dan beberapa sudut dinding pun mulai membeku.
"Arqi, aku benci kau... Suatu saat, aku pasti akan membunuhmu..." gumam Putri Yuki.
.....Bersambung.....