Chereads / Bunga Kutukan / Chapter 17 - Rahasia Keluarga Part 2

Chapter 17 - Rahasia Keluarga Part 2

Pagi yang cerah menyelimuti kota, dan Rika terlihat berjalan dengan santai menuju sekolah. Tidak seperti biasanya, wajahnya tampak benar-benar rileks, dan langkahnya terasa ringan. Setelah semalam yang penuh perjuangan untuk tidur, pagi ini ia memutuskan untuk tidak terlalu memikirkan hal-hal berat, setidaknya sampai ia kembali ke rumah nanti.

Saking santainya, ia tidak menyadari suara langkah kaki yang semakin mendekat dari belakang. Sebuah suara yang sudah sangat ia kenal akhirnya memecah keheningan.

"Rika! Wah, pagi-pagi sudah terlihat santai sekali. Kamu mimpi dapat harta karun semalam, ya?"

Rika menoleh perlahan, mendapati Nora berdiri di belakangnya dengan senyuman yang jelas-jelas menjengkelkan. Gadis berambut perak itu berjalan mendekat sambil membawa roti panggang di tangannya, seperti biasa.

"Dan kau seperti biasa, muncul tiba-tiba tanpa aba-aba," balas Rika sambil mendesah, namun ada sedikit senyum tipis di wajahnya. "Apa kau tidak bosan selalu menggangguku setiap pagi, Nora?"

Nora mengangkat bahunya santai. "Tentu saja tidak! Bukankah itu tugasku sebagai sahabat terbaikmu? Lagipula, kalau aku tidak ada, siapa yang akan memastikan kau tidak datang terlambat karena terlalu sibuk merenung di tengah jalan?"

"Hei, aku tidak merenung!" Rika protes dengan nada kesal namun tak terlalu serius.

"Oh ya? Lalu apa yang kau lakukan dengan wajah datar itu? Kau seperti patung yang berjalan." Nora terkikik kecil, menggigit roti di tangannya.

Rika hanya memutar matanya. "Aku hanya ingin menikmati pagi ini tanpa gangguan, tapi sepertinya itu terlalu muluk jika kau ada di sekitarku."

"Jadi, kau bilang aku gangguan?" tanya Nora dengan nada pura-pura tersinggung, tapi senyumnya tetap lebar.

"Jika kau sudah tahu jawabannya, kenapa harus bertanya?" Rika membalas sambil melipat tangannya di depan dada.

Mereka berdua akhirnya berjalan berdampingan menuju sekolah, obrolan mereka tak pernah sepi.

"Aku dengar dari Althea, kau sedang sibuk dengan sesuatu di rumah. Apa itu? Jangan bilang kau menemukan sesuatu yang menarik dan menyembunyikannya dariku!" Nora mencoba menggoda.

"Rahasia," jawab Rika singkat sambil menatap lurus ke depan.

"Astaga, kau benar-benar misterius akhir-akhir ini. Apa ini ada hubungannya dengan hal-hal menyeramkan seperti kutukan? Atau jangan-jangan... kau menemukan surat cinta dari seseorang?" Nora tertawa kecil sambil mencuri pandang ke wajah Rika, berharap menemukan reaksi.

Rika hanya menatapnya datar. "Kau membaca terlalu banyak novel, Nora. Dan tidak, ini bukan surat cinta. Lagipula, siapa yang akan repot-repot menulis surat untukku?"

"Hei, jangan meremehkan pesonamu sendiri. Mungkin ada seseorang yang diam-diam memperhatikanmu, tapi kau terlalu cuek untuk menyadarinya."

"Kalau begitu, biarkan saja mereka diam-diam. Aku tidak butuh drama tambahan dalam hidupku."

Percakapan mereka terus berlanjut dengan gurauan dan sindiran khas mereka, hingga akhirnya sekolah terlihat di depan mata.

"Baiklah, kita sampai," kata Nora sambil merentangkan tangannya seolah sedang mempersembahkan sesuatu yang luar biasa.

"Terima kasih atas pemberitahuannya, Nora. Tanpamu, aku mungkin akan tersesat ke hutan," Rika membalas dengan nada datar namun sedikit sarkastis.

Nora hanya tertawa. "Apa kau tidak beruntung punya sahabat yang sehebat aku?"

Rika menatapnya sejenak sebelum berjalan lebih dulu. "Ya, ya. Hebat sekali," jawabnya tanpa emosi, tapi senyumnya sedikit mengembang.

Hari itu dimulai dengan tenang. Rika dan Nora menikmati perjalanan mereka ke sekolah tanpa gangguan apa pun. Percakapan ringan di antara mereka kadang diselingi oleh celotehan Nora tentang hal-hal acak, sementara Rika hanya menanggapinya dengan anggukan atau gumaman pendek.

Sesampainya di sekolah, mereka berjalan menuju kelas mereka, kelas 2E, yang sudah mulai dipenuhi oleh murid-murid yang sibuk dengan aktivitas masing-masing. Beberapa sedang mengobrol di dekat jendela, sementara yang lain sibuk menyalin PR atau menyiapkan buku untuk pelajaran pertama.

Rika menghela napas panjang saat mengambil tempat duduknya di pojok dekat jendela. Ia meletakkan tasnya dengan perlahan, kemudian bersandar di kursi. Matanya menatap ke luar, menatap dedaunan yang bergoyang lembut tertiup angin pagi.

Namun, ketenangannya tidak bertahan lama. Dari telapak tangannya yang bersandar di meja, suara familiar muncul.

"Hei, Rika. Kau terlihat bosan sekali," suara Rise menggema pelan, bibir kecil yang muncul di telapak tangannya melengkung dalam senyuman usil.

Rika langsung menggenggam telapak tangannya, berusaha menyembunyikan Rise dari pandangan orang lain. "Tutup mulutmu. Kau ingin membuatku terlihat aneh di depan semua orang, ya?" bisiknya kesal.

"Tapi kau sudah terlihat aneh, bahkan tanpa bantuanku," balas Rise dengan nada santai, suaranya menggelitik telinga Rika.

Rika memijat pelipisnya dengan tangan bebasnya. "Aku tidak punya waktu untuk leluconmu, Rise. Aku sedang mencoba berpikir."

"Oh, berpikir? Tentang apa? Buku misterius itu? Atau mungkin… kau sedang memikirkan cara agar aku tidak mengganggumu lagi? Percuma, kau tahu itu mustahil."

Rika mendengus pelan, mencoba mengabaikan Rise, meskipun suara kecil itu terus berbicara.

Nora, yang duduk di dekatnya, menoleh dan memiringkan kepalanya. "Kau ngomong apa barusan, Rika?" tanyanya curiga.

"Ah, tidak apa-apa. Hanya bicara sendiri," jawab Rika cepat, mencoba terdengar santai.

Nora mengangkat alis, tapi kemudian hanya mengangkat bahu. "Oke. Tapi jangan terlalu dalam melamun, nanti kau tiba-tiba jatuh dari kursi atau sesuatu."

Rika memutar matanya dan kembali menatap keluar jendela, sementara Rise masih terkikik di telapak tangannya, menikmati bagaimana ia berhasil membuat gadis itu kesal di pagi yang seharusnya damai.

Rika menjalani harinya dengan rutinitas biasa. Pelajaran demi pelajaran ia ikuti dengan fokus, mencatat setiap poin penting yang diberikan oleh para guru. Tidak ada yang terlalu mencolok dari hari ini, hingga tiba-tiba suasana kelas berubah.

Pengumuman mendadak membuat semua siswa terkejut. Seluruh guru dipanggil untuk menghadiri rapat darurat, dan sekolah dipulangkan lebih awal.

"Kita pulang lebih cepat?" gumam Rika, menyandarkan dagunya di tangan. Ia melirik ke arah Nora yang duduk di seberang meja, terlihat lebih bersemangat dari biasanya.

Nora mengangkat kedua tangannya ke udara, penuh semangat. "Asyik! Hari bebas lebih cepat dari jadwal! Rika, ayo kita makan sesuatu atau jalan-jalan!"

Namun, Rika punya rencana lain. Ia meraih tasnya dan berdiri dari tempat duduknya. "Kau saja yang jalan-jalan. Aku mau ke perpustakaan," ucapnya datar, berjalan keluar kelas dengan langkah santai.

"Tunggu, tunggu!" Nora bergegas menyusulnya, dengan senyuman jahil yang sudah biasa. "Ke perpustakaan? Wah, itu bukan Rika yang biasanya! Apa yang kau cari? Buku-buku tua lagi? Atau ada sesuatu yang kau sembunyikan dariku, hmm?"

Rika hanya melirik Nora sekilas, lalu menghela napas. "Aku hanya ingin mencari tahu lebih banyak tentang sesuatu. Tidak ada yang perlu kau khawatirkan."

"Rika, Rika... Aku tahu ada yang kau sembunyikan. Tapi jangan khawatir, aku adalah teman yang setia! Aku akan menemanimu." Nora menepuk dadanya, seolah menyatakan kesiapannya.

"Setan kecil memang tidak tahu kapan harus menyerah, ya?" Rika bergumam, cukup pelan untuk hanya dirinya yang mendengar.

Mereka akhirnya sampai di perpustakaan sekolah, tempat yang selalu tenang dan dipenuhi oleh aroma khas buku tua. Rika langsung menuju ke deretan rak yang ia cari, meninggalkan Nora yang terlihat lebih tertarik pada suasana perpustakaan daripada buku-bukunya.

"Kau yakin tidak ada sesuatu yang seru di sini?" bisik Nora, sambil menjelajahi rak-rak buku dengan mata penuh rasa ingin tahu.

"Aku yakin," jawab Rika sambil menarik sebuah buku tebal dari rak. Ia duduk di salah satu meja di sudut perpustakaan, membuka halaman pertama dengan serius.

Namun, ketenangan itu hanya bertahan beberapa menit.

"Rika," bisik Nora sambil menyodorkan sebuah buku yang sampulnya penuh ilustrasi. "Lihat ini! Ada buku cerita anak-anak yang lucu. Mungkin ini lebih cocok untukmu daripada buku membosankan itu."

Rika menatapnya datar. "Nora, kalau kau tidak punya hal penting untuk dilakukan, tolong jangan menggangguku."

"Aduh, jangan terlalu serius, dong. Hidup itu butuh keseimbangan!" Nora tertawa kecil, tapi ia akhirnya duduk di dekat Rika, membiarkan temannya tenggelam dalam buku yang sedang ia baca.

Hari itu di perpustakaan menjadi awal bagi Rika untuk mencari jawaban atas rasa penasarannya—meski ia harus melakukannya dengan Nora yang terus saja menggodanya di sela-sela keseriusannya.

Rika berjalan perlahan di antara rak-rak perpustakaan yang tinggi, matanya tajam mengamati setiap buku di rak demi rak. Ia terus bergerak, tak peduli dengan debu yang beterbangan setiap kali ia menyentuh buku yang sudah lama tidak tersentuh oleh siapa pun. Di belakangnya, Nora mengikuti dengan langkah santai, meskipun raut wajahnya sudah mulai menunjukkan kebosanan.

"Rika, aku tahu kau serius tentang ini," ujar Nora sambil mengelap debu dari salah satu rak dengan jarinya. "Tapi kau yakin buku yang kau cari ada di tempat seperti ini? Maksudku, ini lebih mirip ruang penyimpanan barang lama daripada perpustakaan sekolah."

Rika berhenti di depan sebuah rak yang hampir kosong, hanya ada beberapa buku tua yang tersisa. "Seharusnya ada di sini," gumamnya, matanya memeriksa buku-buku yang tersusun tak teratur.

Ia mengulurkan tangannya ke salah satu buku yang terlihat lebih tua dari yang lain, sampulnya hampir tertutup sepenuhnya oleh lapisan debu. Ketika ia menariknya keluar, debu itu mengepul, membuat Nora terbatuk-batuk.

"Astaga! Apa kau mencoba membuatku mati karena debu?" protes Nora sambil melambai-lambaikan tangan di depan wajahnya.

Rika hanya menatapnya sebentar sebelum meniup debu dari buku itu, memperlihatkan judul di sampulnya. "Ini dia," katanya dengan suara rendah tapi penuh keyakinan.

Nora melirik buku itu dengan alis terangkat. "Jadi, ini yang kau cari? Tidak ada judul yang menarik di sana, hanya coretan aneh."

"Ini bukan urusanmu, Nora," jawab Rika sambil tersenyum tipis. "Tapi, ya, ini buku yang aku cari."

Tanpa membuang waktu, Rika membawa buku itu menuju meja terdekat. Nora mengikuti di belakangnya, namun bukan karena tertarik dengan buku yang ditemukan Rika, melainkan karena ia melihat rak lain yang menarik perhatiannya.

"Oh, lihat ini!" Nora berkata sambil menarik sebuah buku dengan sampul berwarna merah muda mencolok. "Sebuah novel romantis! Aku tahu aku akan menemukan sesuatu yang lebih menarik daripada apa pun yang kau baca."

Rika mendesah pelan saat Nora duduk di sebelahnya, langsung membuka halaman pertama novel itu. "Setidaknya kau tidak menggangguku kalau kau sibuk dengan bukumu sendiri," katanya sambil membuka halaman pertama buku temuannya.

"Jangan khawatir, aku akan tetap memastikan kau tidak tenggelam terlalu dalam dengan buku anehmu itu," jawab Nora sambil terkikik, matanya tetap fokus pada novel di tangannya.

Mereka duduk bersebelahan, masing-masing tenggelam dalam dunia mereka sendiri—Rika dengan buku tua penuh misteri, dan Nora dengan kisah cinta yang penuh drama. Waktu berlalu dengan tenang, suara lembaran kertas yang dibalik menjadi satu-satunya bunyi yang terdengar di sudut perpustakaan itu.

Namun, dalam hati Rika, ia tahu bahwa buku yang ada di tangannya mungkin akan membawa lebih banyak pertanyaan daripada jawaban. Dan di sisi lain, Nora diam-diam menikmati keberadaannya di dekat Rika, meskipun ia terus berpura-pura bahwa novel romantisnya jauh lebih menarik.

Rika membaca halaman demi halaman dengan penuh perhatian. Meskipun beberapa bagian menggunakan bahasa kuno yang agak sulit dipahami, sebagian besar isinya cukup jelas untuk dimengerti. Buku itu memuat informasi tentang sesuatu yang disebut Rage Essence—sebuah kekuatan kuno yang sangat langka dan hanya diwariskan kepada individu tertentu.

Rage Essence bukanlah kekuatan biasa. Buku itu menjelaskan bahwa kekuatan ini lahir dari amarah yang murni dan tidak terkendali, namun mampu diarahkan oleh pemiliknya untuk menciptakan kekuatan luar biasa. Hanya orang dengan kehendak yang kuat dan ketahanan mental tinggi yang mampu mengendalikannya, karena jika gagal, pemilik Rage Essence dapat kehilangan dirinya sendiri dan menjadi ancaman bagi siapa pun di sekitarnya.

Lebih lanjut, buku itu menjelaskan asal-usul Rage Essence: kekuatan ini pertama kali muncul dalam garis keturunan Keluarga Arden, sebuah keluarga yang dulu dikenal sebagai pelindung dunia dari makhluk-makhluk kutukan tingkat tertinggi. Setiap anggota keluarga Arden yang mewarisi Rage Essence dianggap sebagai penjaga sekaligus senjata terakhir, seseorang yang mampu menahan bahkan kutukan paling berbahaya.

Rika mengerutkan alisnya saat membaca halaman yang menyebutkan ciri-ciri pemilik Rage Essence. Mereka sering memiliki tanda-tanda fisik tertentu, seperti bekas luka berbentuk aneh atau perubahan warna mata saat emosi mereka memuncak. Tapi satu bagian yang benar-benar menarik perhatiannya adalah ini:

"Rage Essence tidak diwariskan melalui darah biasa, tetapi melalui kehendak jiwa. Pemiliknya tidak selalu lahir dari keluarga Arden, tetapi selalu memiliki hubungan yang tak terputus dengan garis keturunan itu. Dalam sejarah, mereka yang menemukan Rage Essence sering kali tidak menyadari hubungannya dengan keluarga ini hingga mereka dipanggil oleh kekuatan tersebut."

Rika berhenti membaca sejenak, pikirannya penuh dengan pertanyaan. Keluarga Arden? Nama itu terdengar asing, tetapi ada sesuatu yang terasa akrab saat ia membacanya. Ibu Rika adalah misteri besar dalam hidupnya—menghilang tanpa jejak sejak hari yang mengubah segalanya. Apakah mungkin ibunya berasal dari keluarga Arden?

Ia menggigit bibir bawahnya, mencoba menenangkan rasa gelisah yang perlahan muncul. "Kalau memang benar begitu… kenapa dia tidak pernah memberitahuku?" gumam Rika pelan.

Di sisi lain meja, Nora mengangkat kepala dari novel romantisnya. "Kau bilang apa, Rika?"

Rika cepat-cepat menggeleng. "Bukan apa-apa. Hanya membaca sesuatu yang menarik."

Nora menyipitkan mata, tapi memilih untuk tidak mengganggu lebih jauh. "Baiklah, asalkan kau tidak merencanakan sesuatu yang bodoh."

Rika kembali fokus pada buku itu, tangannya secara refleks meremas tepi halaman. Pertanyaan-pertanyaan baru bermunculan di kepalanya: Jika Rage Essence benar-benar milik ibunya, kenapa buku ini ada di sini? Apakah ibunya tahu sesuatu yang tidak pernah ia ceritakan? Dan yang paling penting, apakah ini berarti Rika sendiri memiliki hubungan dengan keluarga Arden?

Tanpa sadar, sebuah percikan harapan dan ketakutan mulai menyelimuti hatinya. Rika tahu, rahasia yang baru saja ia temukan ini mungkin akan mengubah segalanya. Namun, ia juga tahu satu hal pasti: ia harus mencari lebih banyak jawaban, tidak peduli seberapa berbahayanya jalan yang harus ia tempuh.