Ayla dan Myra berdiri membeku di tempatnya, tubuh mereka menegang seketika. Mata mereka terpaku pada sosok di depan mereka—bukan lagi Rika, melainkan Rise. Aura yang dipancarkan jauh berbeda, tekanan yang begitu berat seolah mencekik mereka, membuat setiap helaan napas terasa sulit.
"Senang bisa melihatmu lagi, Nora," sapa Rise dengan nada santai, senyuman tipis terbentuk di wajahnya.
Nora hanya menatap balik dengan ekspresi datar. "Halo, Rise."
Sementara itu, Ayla dan Myra merasakan bulu kuduk mereka berdiri. Napas mereka tercekat saat mata Rise kini tertuju pada mereka. Tatapan tajam itu seakan bisa menembus ke dalam jiwa mereka.
"Wah, siapa kedua gadis ini?" gumam Rise, menyipitkan mata seakan menilai sesuatu. "Mereka tampak cantik." Ia tersenyum kecil, lalu bergumam lebih pelan, tetapi cukup jelas untuk didengar, "Stargazer Lily dan Tiger Lily… Bunga Kutukan yang lumayan."
Ayla dan Myra langsung merasakan hawa dingin merayap di tulang belakang mereka.
"U-uh… Aku Ayla," suara Ayla terdengar goyah, tubuhnya sedikit bergetar saat ia mencoba menjaga posturnya tetap tegak.
"M-Myra," Myra menambahkan dengan suara hampir berbisik, mencoba menghindari tatapan Rise.
Rise hanya mengangguk santai, masih dengan senyum tipisnya. "Ayla dan Myra, ya? Hmm… menarik."
Ayla menelan ludah, tangannya mengepal erat untuk menahan ketegangan yang menggigit. Sementara Myra hanya bisa menundukkan sedikit wajahnya, tak berani menatap langsung ke mata Rise.
Di sisi lain, Nora tetap berdiri dengan ekspresi datar, seolah ini bukan hal baru baginya. Sudah jelas, ini bukan pertama kalinya ia berhadapan dengan Rise. Baginya, ini hanyalah pertemuan biasa—berbeda dari Ayla dan Myra yang kini harus berusaha keras mengendalikan ketakutan mereka.
Rise memperhatikan reaksi mereka sejenak, lalu terkekeh pelan. "Santai saja, aku tidak akan menggigit," katanya dengan nada main-main.
Tapi itu justru membuat Ayla dan Myra semakin tegang.
Nora melangkah mendekati Rise dengan wajah kesal. Tanpa ragu, ia mengetuk kepala Rise dengan kepalan tangannya.
PLAK!
"Jangan buat mereka takut!" tegurnya dengan nada tegas.
Rise hanya tertawa kecil, seolah tak terganggu oleh teguran itu. "Tenanglah, gadis-gadis," ujarnya dengan senyum santai. "Aku tidak sejahat adikku. Tapi kalau bicara tentang diriku di masa lalu... yah, itu cerita lain."
Ayla dan Myra masih terlihat waspada, rasa takut belum sepenuhnya hilang dari wajah mereka. Namun, setidaknya sekarang mereka memiliki sedikit keberanian untuk tetap berdiri tegak dan menghadapi situasi ini sebelum beralih ke topik utama.
Rise hanya tertawa kecil melihat ekspresi Ayla dan Myra yang masih dipenuhi ketegangan. Ia menatap mereka dengan tatapan geli sebelum mengangkat bahunya dengan santai.
"Wah, kalian serius sekali, ya?" Rise menyeringai, lalu mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, mendekati Ayla dan Myra. "Aku janji, aku tidak akan menggigit... mungkin."
Ayla langsung mundur selangkah dengan refleks, sementara Myra menegang di tempatnya, ekspresinya masih kaku.
"Rise…" suara Nora terdengar peringatan.
Namun, Rise tampaknya belum puas bermain-main. Ia menyilangkan tangan di dadanya dan memasang ekspresi berpikir. "Hmm… bagaimana kalau aku menguji keberanian kalian?" katanya dengan nada jahil.
Ayla dan Myra langsung menegang lagi. "M-menguji?" tanya Ayla dengan suara sedikit gemetar.
"Iya," Rise terkekeh. "Misalnya, aku bisa—"
PLAK!
Nora tanpa ragu memukul kepala Rise lagi. "Jangan buat mereka makin takut!" tegurnya dengan nada datar, tapi tegas.
Rise mengusap kepalanya, masih tertawa kecil. "Aduh, Nora! Kenapa sih selalu kepalaku yang jadi sasaran?"
"Karena itu satu-satunya cara agar kau berhenti," balas Nora tanpa ekspresi.
Rise mendesah pura-pura kecewa, lalu menatap Ayla dan Myra yang masih tegang. "Baiklah, baiklah, aku berhenti. Santai saja, aku cuma bercanda. Lagipula, kalian berdua cukup menarik untuk dikerjai sedikit."
Ayla dan Myra saling bertukar pandang, masih agak waspada, tetapi setidaknya ketegangan mereka sedikit mereda.
Nora mendesah, lalu melipat tangannya. "Sudah cukup main-mainnya, Rise. Kita punya hal yang lebih penting untuk dibahas."
Rise tersenyum miring. "Baiklah, ayo kita mulai pembicaraan seriusnya."
Mereka berempat mulai serius dan mencari tempat duduk di antara ruangan yang berantakan itu. Setelah menemukan posisi yang nyaman, Nora menatap Rise dengan penuh rasa ingin tahu.
"Rise, aku mau bertanya," ucapnya, mengawali percakapan. "Sebelumnya, Rika sempat menanyakan tentang 'Bunga Kutukan'."
Nora berhenti sejenak, memastikan semua orang memperhatikan. "Apakah kamu tahu asal usul seseorang bisa mendapatkan Bunga Kutukan? Rika bilang kekuatan itu lahir dari emosi manusia yang paling kuat."
Rise menyeringai, menyandarkan tubuhnya ke dinding dengan santai sebelum mulai berbicara.
"Kalian ingin tahu asal usul Bunga Kutukan?" katanya, matanya berkilat penuh misteri. "Baiklah, dengarkan baik-baik. Karena ini bukan sesuatu yang bisa dipahami dengan mudah."
Ia menatap mereka satu per satu, memastikan bahwa semua perhatian tertuju padanya sebelum melanjutkan.
"Bunga Kutukan memang lahir dari emosi manusia, tetapi itu hanya sebagian kecil dari kebenaran. Emosi hanyalah pemicu, bukan sumber utama." Rise menjentikkan jarinya, seolah-olah sedang menyusun pikirannya. "Sejatinya, Bunga Kutukan adalah entitas yang sudah ada jauh sebelum kita lahir. Mereka adalah hasil dari distorsi energi dunia—ketidakseimbangan yang muncul akibat konflik dan kekacauan dalam jiwa manusia."
Ayla dan Myra mulai terlihat kebingungan, tetapi mereka tetap mendengarkan dengan serius. Nora juga mengernyit, mencoba mencerna informasi yang diberikan Rise.
"Ketika seseorang memiliki emosi yang cukup kuat—baik itu kebencian, kesedihan, dendam, atau bahkan cinta yang terlalu mendalam—emosi itu akan menarik perhatian entitas ini. Namun, bukan berarti seseorang bisa begitu saja mendapatkan Bunga Kutukan." Rise menunjuk kepalanya sendiri. "Ada faktor lain yang lebih penting: keselarasan."
"Keselarasan?" ulang Ayla bingung.
Rise mengangguk. "Ya. Tidak semua orang bisa menjadi pemilik Bunga Kutukan hanya karena mereka memiliki emosi yang kuat. Seseorang harus memiliki frekuensi jiwa yang cocok dengan salah satu entitas ini. Jika tidak, maka Bunga Kutukan tidak akan menerima mereka. Itulah sebabnya hanya sedikit orang yang bisa menggunakannya."
"Lalu... bagaimana dengan orang yang dipilih?" tanya Myra.
Rise tersenyum tipis. "Mereka tidak sekadar 'dipilih'. Mereka diserap, dikonsumsi, dan diubah. Jiwa mereka akan mengalami pergeseran yang drastis, menjadi lebih dekat dengan entitas itu. Itulah kenapa semakin lama seseorang menggunakan Bunga Kutukan, semakin besar risiko kehilangan kendali atas dirinya sendiri."
Nora menatap Rise tajam. "Jadi, kau mengatakan bahwa Bunga Kutukan bukan hanya sekadar kekuatan? Mereka adalah makhluk?"
Rise mengangkat bahunya. "Sebagian besar orang menganggapnya sebagai 'kutukan' atau 'anugerah', tapi pada dasarnya mereka adalah entitas yang memiliki kemauan sendiri. Itu sebabnya setiap pemilik Bunga Kutukan merasakan sesuatu yang berbeda. Ada yang merasa seolah-olah selalu diawasi, ada yang mendengar bisikan di dalam kepalanya, dan ada juga yang—"
Rise berhenti sejenak, lalu tersenyum masam. "—merasakan kehadiran lain di dalam tubuh mereka."
Semua mata tertuju pada Rise. Mereka tahu maksudnya.
"Seperti yang terjadi padamu dan Rika," gumam Nora pelan.
Rise tersenyum miring, lalu menyilangkan tangannya. "Kalian terlalu cepat menyimpulkan. Aku dan Rika berbeda dari kasus biasa, karena aku ini adalah jiwa kedua dalam tubuhnya. Jiwa kami terpisah, dan selama aku berada di tubuhnya, aku memiliki tempatku sendiri—Alam Bawah Sadar."
Ayla dan Myra saling berpandangan, mencoba mencerna kata-kata Rise. Sementara itu, Nora tetap fokus menatapnya, menunggu penjelasan lebih lanjut.
"Tapi, aku tadi menyebutkan 'entitas' yang lebih besar, bukan?" Rise melanjutkan dengan nada misterius. "Aku tidak sedang membicarakan Bunga Kutukan sebagai entitas mandiri. Mereka hanyalah pecahan dari sesuatu yang jauh lebih tua dan lebih kuat."
Rise berdiri, menatap mereka bertiga dengan intens. "Kekuatan yang kalian sebut sebagai 'Bunga Kutukan' sebenarnya berasal dari satu sumber yang sama. Sebuah entitas kuno yang dikenal sebagai Pohon Sovereign."
"Pohon Sovereign?" Ayla mengulang dengan bingung.
Rise mengangguk. "Bayangkan sebuah pohon raksasa yang akarnya menjalar ke seluruh dunia. Pohon ini bukan sembarang pohon. Ia bukan sekadar makhluk hidup biasa, tetapi sebuah eksistensi yang berada di luar pemahaman manusia. Pohon Sovereign adalah pusat dari seluruh energi kutukan yang ada di dunia ini. Dari sanalah semua Bunga Kutukan berasal."
Myra menelan ludah. "Jadi... Bunga Kutukan bukan hanya muncul karena emosi manusia?"
"Benar," jawab Rise dengan nada serius. "Pohon Sovereign menyerap dan menyimpan emosi manusia yang paling kuat—kemarahan, kebencian, kesedihan, dendam, bahkan cinta yang terdistorsi. Semua itu berubah menjadi energi yang kemudian mengalir melalui akarnya ke berbagai tempat di dunia. Dari energi itulah, lahir Bunga Kutukan yang kita kenal."
Nora menyipitkan matanya, menganalisis informasi yang diberikan. "Kalau begitu, Pohon Sovereign ini adalah semacam 'sumber' dari semua fenomena kutukan?"
Rise mengangguk. "Bisa dibilang begitu. Setiap kali seseorang memperoleh Bunga Kutukan, itu berarti mereka telah menarik perhatian Pohon Sovereign, dan sebagai gantinya, mereka diberi kekuatan. Tapi ingat, kekuatan itu bukanlah hadiah... melainkan ujian."
"Ujian?" tanya Ayla dengan suara bergetar.
"Ya." Rise tersenyum tipis. "Semakin lama seseorang menggunakan Bunga Kutukan, semakin dalam mereka terhubung dengan Pohon Sovereign. Dan semakin kuat koneksi itu, semakin besar risikonya. Pohon Sovereign bukan hanya memberikan kekuatan—ia juga mengawasi. Ia menilai apakah seseorang layak mempertahankan kekuatannya atau tidak."
Myra mulai menggigil. "Dan jika tidak layak...?"
Rise menatapnya dengan dingin. "Maka mereka akan dikonsumsi. Jiwa mereka akan ditarik kembali ke akar Pohon Sovereign, menjadi bagian dari siklus energi kutukan selamanya."
Suasana tiba-tiba menjadi berat. Semua orang merasakan hawa dingin menyelimuti ruangan. Kini mereka tahu bahwa kekuatan yang mereka miliki bukan hanya sebuah anugerah, tetapi juga sebuah ancaman.
Nora menarik napas dalam. "Jadi, apa langkah kita selanjutnya?"
Rise menyeringai. "Itu tergantung pada seberapa jauh kalian ingin menggali kebenaran."
"Kalau begitu, Makhluk Kutukan itu berasal dari mana?" tanya Nora lagi, masih mencari jawaban yang lebih jelas.
Rise tersenyum dengan ekspresi menjengkelkan. "Tetap dari energi negatif, dasar. Hanya segitu aja nggak tahu?" balasnya santai.
Nora mendengus kesal. "Idih, mau berantem, yuk?" tantangnya.
Rise tertawa kecil, lalu menatapnya penuh percaya diri. "Ayo gas! Lagipula, aku pasti menang telak," jawabnya tanpa ragu.
Nora hanya bisa bergumam dalam hati, menahan kekesalannya. Sialan! Dia ada benarnya juga.
Namun, ia segera kembali fokus dan bertanya lagi, "Tapi, bagaimana dengan orang yang tidak memiliki Bunga Kutukan?"
Rise tertawa kecil melihat ekspresi kesal Nora. "Santai, santai. Aku akan jawab, kok," katanya sambil mengangkat kedua tangannya seolah menyerah.
Nora masih menatapnya dengan tajam. "Jadi, bagaimana dengan orang yang tidak memiliki Bunga Kutukan?"
Rise menyeringai dan tanpa banyak bicara, ia menunjuk ke tumpukan kertas yang sebelumnya diletakkan Rika di atas meja. "Jawabannya ada di situ," katanya dengan nada misterius.
Ayla dan Myra menoleh ke arah kertas itu dengan ekspresi bingung, sementara Rika yang masih berada di dalam Alam Bawah Sadar hanya bisa mendengarkan.
Rise mengambil salah satu kertas itu dan mengangkatnya. "Tujuh yang Terlarang… kalian masih ingat, kan?"
Nora menyipitkan matanya. "Kekuatan yang berhubungan dengan tujuh dosa besar."
Rise mengangguk. "Benar. Dan di sinilah letak perbedaannya. Orang yang tidak memiliki Bunga Kutukan tidak berarti mereka tidak bisa menggunakan energi kutukan. Mereka hanya tidak memiliki medium alami seperti kita. Tapi…"
Rise mengangkat jarinya dan tersenyum miring. "Ada cara lain bagi mereka untuk mendapatkan kekuatan."
Ayla menelan ludah. "Maksudmu…?"
Rise menepuk kertas itu dan melanjutkan, "Tujuh yang Terlarang bukan hanya sebuah legenda. Ini adalah bukti bahwa ada manusia yang berhasil menggunakan energi kutukan tanpa Bunga Kutukan. Mereka mengandalkan sesuatu yang lebih primal… lebih berbahaya."
Myra bergidik. "Apa itu?"
Rise menatap mereka satu per satu sebelum akhirnya berkata, "Dosa."
Ruangan mendadak sunyi.
"Dosa?" ulang Nora, mencoba memastikan.
Rise mengangguk perlahan. "Orang yang tidak memiliki Bunga Kutukan bisa mengakses energi kutukan dengan cara yang berbeda. Mereka harus menyerahkan diri mereka sepenuhnya kepada satu emosi negatif yang paling kuat dalam diri mereka. Bukan sekadar menggunakannya seperti kita, tetapi menjadi bagian dari emosi itu sendiri."
Ayla menggigit bibirnya. "Jadi mereka… mengorbankan diri mereka?"
Rise tersenyum miring. "Tepat. Mereka yang masuk dalam Tujuh yang Terlarang telah membiarkan diri mereka dikuasai oleh dosa mereka masing-masing, dan sebagai gantinya, mereka mendapatkan kekuatan yang setara—atau bahkan lebih besar—dari pemilik Bunga Kutukan."
Nora melipat tangannya. "Kalau begitu… mereka jauh lebih berbahaya daripada yang kita kira."
Rise menghela napas. "Ya. Karena berbeda dengan kita, mereka tidak memiliki batasan. Kita masih bisa mengendalikan diri karena ada keseimbangan dalam Bunga Kutukan kita. Tapi mereka?" Rise menggeleng. "Mereka telah kehilangan batasan itu. Mereka sudah bukan manusia biasa lagi."
Ayla dan Myra saling berpandangan dengan wajah khawatir.
Nora mendesah berat. "Jadi… apa langkah kita selanjutnya?"
Rise menyeringai. "Sederhana saja. Jika mereka kehilangan kendali atas diri mereka sendiri... mau tidak mau, suka atau tidak suka. Bunuh mereka."
Rise menepuk dadanya dengan penuh percaya diri, menampilkan seringai di wajahnya. "Dan teman kalian, Rika, adalah salah satu dari mereka. Jadi, tetap waspada, gadis-gadis~," ucapnya dengan nada menggoda.
Perlahan, wujud Rise mulai memudar, digantikan oleh sosok Rika yang kembali mengambil alih tubuhnya.
Saat wujud Rise mulai memudar, tubuh Rika tampak kehilangan keseimbangannya. Ia tersentak ke belakang, nyaris jatuh sebelum akhirnya berhasil menopang tubuhnya sendiri dengan satu tangan di lantai.
"Hah… hah…" Rika mengatur napasnya yang tersengal. Kepalanya terasa berat, seolah pikirannya baru saja digempur oleh sesuatu yang tidak bisa sepenuhnya ia pahami. Ia mengangkat pandangannya ke arah mereka bertiga yang menatapnya dengan ekspresi berbeda—Nora dengan wajah datar, sementara Ayla dan Myra masih tampak tegang dan sedikit ketakutan.
Rika mengerutkan kening. "Apa yang kalian tanyakan padanya?" tanyanya dengan suara serak, matanya masih sedikit buram setelah kendali tubuhnya diambil alih oleh Rise.
Nora melipat tangannya. "Tentang asal muasal Bunga Kutukan, Pohon Sovereign, Makhluk Kutukan, dan... tentang Tujuh yang Terlarang."
Mendengar itu, Rika terdiam sejenak, lalu menghela napas panjang. "Dan… apa yang dia katakan?"
Ayla menelan ludah sebelum menjawab dengan ragu, "Dia bilang... seseorang yang tidak memiliki Bunga Kutukan masih bisa menggunakan energi kutukan… dengan cara menyerahkan diri mereka sepenuhnya kepada satu emosi negatif."
Rika merasakan jantungnya berdetak lebih cepat. Ia menggigit bibirnya sebelum menatap mereka dengan penuh kebingungan. "Dan… kenapa aku merasa kalian menatapku seperti itu?"
Nora mengangkat bahu. "Karena Rise bilang kau adalah salah satu dari mereka."
Dunia Rika seolah berhenti sejenak. "Apa…?"
Myra mengangguk pelan. "Ya… dia bilang begitu."
Rika membeku di tempat. Kepalanya berputar, mencoba memahami kata-kata yang barusan ia dengar. Aku… salah satu dari mereka?
"Tunggu… itu tidak masuk akal!" seru Rika, suaranya meninggi. "Aku tidak pernah… aku tidak pernah menyerahkan diriku kepada emosi negatif! Aku bahkan tidak punya Bunga Kutukan!"
"Tapi kau punya Rise," balas Nora cepat.
Rika terdiam. Ia menggenggam dadanya, di mana ia bisa merasakan keberadaan Rise yang masih bersemayam di dalam dirinya.
"Itu beda!" Rika membantah. "Rise bukan hasil dari emosi negatifku! Dia—dia adalah sesuatu yang berbeda! Jiwa kedua, bukan kekuatan yang lahir dari dosa seperti yang kalian bicarakan!"
Ayla dan Myra saling bertukar pandang, ragu-ragu. "Tapi… bagaimana kau bisa yakin?" tanya Ayla pelan.
Rika mengepalkan tinjunya. "Karena aku tahu siapa diriku!" katanya dengan penuh keyakinan. "Aku bukan bagian dari mereka. Aku bukan bagian dari Tujuh yang Terlarang!"
"Tapi kebenaran tidak selalu seperti yang kita yakini," sela Nora dengan nada tenang tapi tajam.
Rika menatapnya tajam. "Jadi kau juga meragukanku, Nora?"
Nora mendesah. "Bukan itu maksudku. Aku hanya ingin kita mempertimbangkan semua kemungkinan. Karena sejauh ini… tidak ada yang pasti."
"Kebenaran yang tidak pasti," gumam Myra pelan.
Rika menggeram. "Jadi, apa yang harus kulakukan? Membuktikan bahwa aku tidak termasuk dalam mereka?"
Nora menatapnya lekat-lekat. "Bukan membuktikan pada kami… tapi pada dirimu sendiri."
Rika terdiam. Kata-kata itu seolah menusuk jauh ke dalam pikirannya.
Mereka semua kini terjebak dalam perdebatan tentang kebenaran yang tidak pasti—kebenaran yang mungkin, atau mungkin tidak, ada dalam diri Rika sendiri.