Chereads / Bunga Kutukan / Chapter 23 - Ketakutan Yang Tak Berujung

Chapter 23 - Ketakutan Yang Tak Berujung

Rika melangkah pelan, melewati reruntuhan yang dulunya adalah bagian dari kejayaan Kerajaan Selica. Puing-puing berserakan, bangunan runtuh, dan aroma darah bercampur debu memenuhi udara. Namun, tak ada yang lebih menyakitkan daripada kehampaan yang ia rasakan di dalam dirinya sendiri.

Ia sendirian.

Ayla dan Myra tidak ada di sini. Nora pun entah di mana. Mereka menghilang begitu saja, atau mungkin... mereka sengaja menjauh darinya?

Rika menggertakkan giginya.

Bibirnya bergetar saat mengingat percakapan terakhir mereka. Kata-kata tentang Tujuh yang Terlarang, tentang bagaimana dirinya bisa saja termasuk di dalamnya. Tentang bagaimana sahabatnya sendiri, Nora, meskipun tidak terang-terangan menolaknya, tetap menunjukkan sikap waspada.

"Mereka ragu padaku..."

Tangan Rika mengepal, matanya meredup.

Sebuah Makhluk Kutukan merayap dari bayangan di balik reruntuhan, tubuhnya bengkok dengan mata merah yang menatap lapar ke arahnya. Makhluk itu melompat dengan raungan, namun—

ZRAKK!

Dalam sekejap, sabit merah Rika menebasnya hingga terbelah dua. Darah kutukan menggenang di tanah, tubuhnya menguap menjadi ketiadaan. Namun, tak ada kepuasan dalam tatapan Rika.

Satu lagi muncul.

SWOOSH!

Lalu satu lagi.

SLASH!

Lalu satu lagi... dan satu lagi... dan satu lagi...

Mereka terus berdatangan, dan Rika menghabisi mereka semua tanpa ampun. Pedangnya menari dalam kegelapan, sabitnya mencabik tubuh mereka satu per satu, seolah-olah ia sedang menumpahkan segala kemarahan yang mendidih di dalam dirinya.

Namun, tak peduli berapa banyak yang ia tebas, kekosongan di hatinya tak kunjung menghilang.

Ia menatap telapak tangannya, yang kini berlumuran darah hitam Makhluk Kutukan.

"Aku..."

Suaranya bergetar.

"Aku bukan monster, kan?"

Tak ada yang menjawab.

Rika tersenyum getir. Itu pertanyaan bodoh. Tak ada yang peduli apakah ia monster atau bukan. Mereka hanya akan menilainya berdasarkan ketakutan mereka sendiri.

Angin dingin berhembus, membawa suara bisikan samar dari kegelapan.

—Apa kau yakin?

Rika menoleh, jantungnya berdetak kencang.

Suara itu… bukan suaranya sendiri. Bukan Rise. Tapi sesuatu yang lain.

—Bukankah kau menikmati perasaan ini?

Sebuah bayangan muncul di hadapannya.

Bentuknya kabur, namun matanya berkilat dengan cahaya merah yang familiar.

Wajahnya... wajahnya menyerupai dirinya sendiri.

Rika menahan napas.

Bayangan itu menyeringai, langkahnya ringan seperti sedang menari di antara mayat-mayat Makhluk Kutukan yang telah Rika habisi.

—Kau merasa dihianati, bukan?

—Mereka meragukanmu.

—Bahkan Nora.

Rika terdiam, tubuhnya membeku di tempat.

Bayangan itu semakin mendekat, lalu berbisik tepat di telinganya.

—"Menyerahlah... dan aku akan membuat rasa sakit ini menghilang."

Untuk pertama kalinya, Rika merasa takut.

Bukan pada bayangan itu.

Tapi pada dirinya sendiri.

Rika menatap kedua tangannya yang gemetar, merasakan dinginnya baja Sabit Merah yang kini ada dalam genggamannya. Napasnya tersengal, tubuhnya lemas, seolah-olah kekuatannya terkuras hanya karena menyadari apa yang terjadi.

"Kenapa... sabit ini ada di tanganku?"

Matanya membelalak saat menangkap pantulan dirinya di genangan darah kutukan di bawahnya. Mata birunya yang biasa... kini diselimuti warna merah samar.

"Bukan... ini bukan aku."

Bayangan yang tadi ada di hadapannya telah menghilang, namun suara bisikannya masih menggema di telinganya.

—Kau takut, bukan?

—Kau takut menjadi seperti mereka... atau lebih buruk lagi, kau takut menjadi dirimu sendiri.

Tenggorokan Rika tercekat.

Seketika, ingatan-ingatan buruk menyerbu pikirannya seperti ombak yang menghantam karang.

Saat ia dirundung di Sekolah Penyihir Falleyan.

Cemoohan, tatapan merendahkan, bisikan jahat di sekelilingnya. Ia tidak pernah cukup kuat. Tidak pernah cukup baik. Selalu berbeda.

Saat ayahnya mati di depan matanya. 

Tangan penuh darah, suara jeritan yang membekas di benaknya. Tangannya tidak cukup cepat untuk menyelamatkan.

Saat ibunya menghilang. 

Meninggalkannya dalam kehampaan, tanpa jawaban, tanpa kepastian.

Saat ia kehilangan teman-temannya. 

Satu per satu, menghilang dari kehidupannya. Meninggalkannya sendirian.

Luka demi luka yang ia dapatkan selama ini, baik secara fisik maupun mental, seakan mengikatnya dalam bayang-bayang tanpa akhir.

Rika menggeleng kuat-kuat, mencoba mengusir semua suara itu.

Namun bayangan itu muncul kembali. Kali ini lebih dekat.

Dan kali ini... ia bergerak.

Sosok itu melangkah perlahan ke arahnya, samar dan kabur, namun matanya bersinar merah menyala.

Senyuman menyeramkan terukir di wajahnya.

Bayangan itu mendekat ke telinganya, lalu berbisik dengan suara lembut yang mengerikan.

—"Semua itu... akan berakhir jika kau membiarkan aku mengambil alih."

Rika tidak bisa bergerak. Tidak bisa bernapas.

Untuk pertama kalinya... ia benar-benar takut.

Ketakutan itu mencengkeram Rika begitu erat hingga ia bahkan tidak bisa bernapas. Tangannya yang gemetar masih menggenggam Sabit Merah, dan pikirannya dipenuhi suara-suara yang bergema, berusaha menelan dirinya ke dalam kegelapan.

Namun, tiba-tiba ada sesuatu yang hangat.

Sebuah pelukan lembut dari belakang.

"Aku di sini, Rika…"

Suara itu... suara yang familiar. Hangat, lembut, dan menenangkan.

Nora.

"Aku nggak tahu apa yang barusan terjadi sama kamu, tapi... kamu nggak sendirian," bisik Nora pelan di telinga Rika. "Jadi jangan biarkan ketakutanmu mengendalikanmu."

Pelukan itu semakin erat, seolah mencoba menarik Rika kembali ke dunia nyata, menjauh dari jurang kegelapan yang hampir menelannya.

"Kita sudah melewati banyak hal, Rika. Kamu kuat... dan kalaupun kamu merasa nggak kuat, aku akan tetap ada di sini. Aku nggak akan ninggalin kamu."

Ketakutan yang luar biasa itu mulai menghilang. Bayangan yang tadi berusaha menelannya kini semakin pudar, tersapu oleh kenyataan bahwa ia tidak sendiri.

Sialan… apa itu tadi?! Rage Essence? Rise? Atau sesuatu yang lain?

Rika terus bergumam, masih berusaha memahami apa yang baru saja terjadi. Namun sebelum ia bisa berpikir lebih jauh—

PLAK!

Tamparan mendarat di kepalanya.

"AUW! APAAN SIH?!?!" Rika memekik kesakitan.

"Rika! KAMU NGAPAIN KELUYURAN SENDIRIAN DI TEMPAT BEGINI, HAH?!?!" Nora mulai mengomel.

"AKU—Tunggu, biarkan aku menjelaskan dulu—"

"TIDAK ADA PENJELASAN! KENAPA KAMU SELALU BUAT AKU KHAWATIR, DASAR IDIOT! APA KAMU TAHU SEBERAPA PANIKNYA AKU CARIIN KAMU?!?!"

"Aku nggak sengaja! Aku cuma—"

"DIAM! Aku nggak mau denger alasan! APA KAMU NGGAK SADAR KAMU SENDIRIAN DI TEMPAT BERBAHAYA?!?!"

Rika hanya bisa mengeluh dalam hati sambil mengusap kepalanya yang sekarang cenat-cenut akibat omelan dan tamparan bertubi-tubi dari sahabatnya.

Tapi meskipun begitu...

Ia merasa lebih baik.

Ketakutan yang tadi begitu mencekam, kini benar-benar hilang.

Nora membawa Rika pergi dari tempat itu, mencari tempat yang lebih layak untuk didatangi atau sekadar menyendiri. Mereka berjalan bergandengan tangan menuju menara jam, satu-satunya bangunan yang masih berdiri cukup kokoh di tengah kehancuran.

Di atas menara jam yang masih berdiri kokoh di tengah kehancuran kerajaan, angin sepoi-sepoi berhembus lembut, membawa ketenangan setelah kekacauan yang baru saja mereka lalui. Langit mulai gelap, dan bintang-bintang perlahan muncul, menyinari tempat mereka berempat duduk bersama.

Ayla dan Myra menatap Rika dengan penuh rasa ingin tahu setelah melihat bekas telapak tangan merah di pipinya.

"Kenapa di pipimu ada bekas telapak tangan, Rika?" Myra bertanya dengan ekspresi kebingungan.

Tanpa berpikir panjang, Rika menunjuk Nora dengan wajah datar. "Ditampar sama makhluk ini."

Ayla menahan tawa, sementara Myra masih terlihat ragu. "Serius?"

"Serius," sahut Rika dengan nada datar. "Dan dia nggak berhenti ngomel sepanjang perjalanan ke sini."

Nora menyilangkan tangan dan mendengus. "Ya wajar lah! Kamu keluyuran sendirian di tempat berbahaya! Harusnya aku tabok dua kali biar kapok!"

Rika mendecak, tapi ia tidak membalas lagi. Bukan karena takut ditampar lagi, tapi karena ia tahu Nora benar.

Ayla tertawa kecil, mencoba mencairkan suasana. "Kurasa itu cara khas Nora menunjukkan rasa sayangnya."

Nora memutar matanya, tapi tak menyangkal.

Mereka berempat akhirnya duduk bersandar di tepi menara jam, menikmati pemandangan reruntuhan yang terasa anehnya damai di bawah cahaya bulan.

"Jadi… apa rencanamu sekarang?" Ayla bertanya, menatap Rika dengan serius. "Aku dan Myra sudah memutuskan untuk ikut petualangan kalian. Kami tidak punya alasan untuk tetap di kerajaan ini lagi."

Myra mengangguk setuju. "Ayah kami sudah tiada… dan kerajaan ini sudah hancur. Kami ingin mencari tujuan baru."

Rika menatap keduanya dalam diam. Sejujurnya, ia masih belum yakin dengan apa yang harus ia lakukan. Semua yang terjadi terlalu cepat, dan terlalu banyak misteri yang belum terjawab.

Nora menepuk bahu Rika pelan. "Apapun yang kamu pilih, kita akan tetap bersama. Jangan lupa itu."

Rika menghela napas dan tersenyum kecil. "Kalau begitu… ayo kita cari kebenaran yang sebenarnya."

Di atas menara jam yang kokoh di tengah kehancuran kerajaan, suasana terasa begitu sunyi meski keempatnya duduk berdekatan. Angin malam berhembus pelan, membawa kesejukan yang tidak mampu menghapus ketegangan yang menggantung di antara mereka.

Rika menatap ketiga temannya dengan hati-hati. Dalam dirinya, ia tahu bahwa mereka masih menyimpan kewaspadaan—dan sejujurnya, ia tidak bisa menyalahkan mereka. Setelah semua yang terjadi, setelah semua kekuatan yang ia tunjukkan, siapa yang bisa benar-benar mempercayainya sepenuhnya?

"Aku tahu kalian masih waspada kepadaku, iya kan?" Rika akhirnya mengisi kekosongan suasana. Suaranya tenang, tapi ada sedikit keraguan yang tersirat.

Ayla dan Myra saling bertukar pandang sebelum Myra akhirnya angkat bicara. "Aku tidak akan berbohong, Rika. Apa yang kau miliki... Rage Essence dan keberadaan Rise dalam tubuhmu... itu semua terasa terlalu besar untuk dibiarkan begitu saja."

Rika menunduk sedikit, mengerti maksud ucapan itu.

Ayla menambahkan dengan nada hati-hati, "Kami ingin mempercayaimu, sungguh. Tapi... bagaimana jika suatu saat kau kehilangan kendali?"

Nora yang sejak tadi diam, akhirnya menyandarkan punggungnya ke dinding menara dan menatap Rika dengan mata tajam. Tidak seperti Myra dan Ayla yang berbicara dengan hati-hati, Nora bersikap lebih tegas.

"Aku bahkan sudah siap membunuhmu kalau kau lepas kendali," kata Nora, tanpa basa-basi.

Rika mendongak, terkejut, meski dalam hati ia sudah menduga jawaban itu.

"Bukan karena aku tidak percaya padamu," lanjut Nora, nadanya tetap tajam. "Tapi karena aku tidak akan membiarkanmu berubah menjadi sesuatu yang tidak bisa dikendalikan. Jika saat itu tiba, aku yang akan mengakhirinya."

Sunyi.

Rika menatap Nora dengan ekspresi sulit diartikan. Ia tahu bahwa itu bukan ancaman kosong. Jika ada seseorang yang benar-benar berani menepati kata-kata seperti itu, maka orang itu adalah Nora.

"Begitu ya..." Rika akhirnya bersuara, tapi tidak ada amarah dalam suaranya. Hanya kelelahan. "Aku mengerti."

"Kau tidak marah?" tanya Myra, sedikit terkejut.

Rika menggeleng pelan. "Tidak. Lagipula, kalian punya alasan untuk berpikir begitu."

Mereka kembali terdiam.

Namun, perlahan, Rika menarik napas dalam dan tersenyum kecil—senyum yang dipenuhi rasa pasrah tapi juga tekad. "Aku tidak akan membiarkan diriku kehilangan kendali. Aku akan mencari tahu lebih banyak tentang kekuatanku, dan jika aku mulai berubah... kalian boleh melakukan apa yang perlu kalian lakukan."

Nora mendecak, tapi ada sedikit kelembutan dalam sorot matanya. "Bagus. Jangan buat aku harus benar-benar membunuhmu."

Ayla dan Myra akhirnya menghela napas lega. Sedikit ketegangan memang masih ada, tapi setidaknya... mereka masih bisa berbicara dengan jujur satu sama lain.

Untuk saat ini, itu sudah cukup.