Di pagi yang cerah, angin bertiup sepoi-sepoi di atas atap rumah warga, membawa kesejukan yang membuat suasana terasa begitu damai.
Di sanalah Rika, duduk santai dengan kaki terjulur, menikmati udara segar dari ketinggian. Tidak ada alasan yang jelas kenapa ia memilih tempat ini, mungkin hanya ingin mencari ketenangan atau sekadar menghindari kebisingan di bawah.
Ia memejamkan mata, membiarkan pikirannya melayang-layang tanpa beban. Sesekali, angin memainkan helai-helai rambutnya, menambah rasa nyaman yang sulit ia dapatkan di tempat lain.
Namun, kedamaian itu tidak bertahan lama.
"Riiiikaaaaa!"
Teriakan itu membuat Rika mendengus kesal. Ia tidak perlu menoleh untuk tahu siapa pemilik suara itu.
Dan benar saja, Sovie sudah muncul—lagi!
"Astaga... Kenapa setiap kali aku mau menikmati hidup, kau selalu muncul entah dari mana?" keluh Rika dalam hati.
Ia melirik ke samping dengan ekspresi datar, melihat Sovie dengan senyum lebarnya, berdiri di tepi atap seolah-olah memamerkan bahwa ia bisa naik ke sini dengan mudah.
"Kau ini terobsesi denganku atau bagaimana, sih?" gumam Rika dengan nada malas.
Sovie tidak menjawab. Sebaliknya, ia hanya mengayunkan tangannya dan menepuk selembar kertas ke kepala Rika.
Plak!
"Oi!" Rika refleks mengusap kepalanya dengan kesal. "Kertas apaan ini?!"
Sovie hanya terkekeh sebelum duduk di samping Rika. "Baca aja dulu. Aku capek naik ke sini cuma buat melihat wajah malasmu."
Rika mengerutkan keningnya. Ia mengambil kertas itu dengan malas, mengibaskannya sedikit sebelum akhirnya melihat isinya.
"Jangan-jangan ini surat cinta dari seorang pengagum rahasia?" ujar Rika sarkastis.
Sovie mendengus, "Percaya diri sekali. Baca dulu sebelum mulutmu berulah."
Rika menghela napas, lalu mulai memperhatikan tulisan di kertas itu. Tatapannya berubah serius seiring dengan setiap kata yang dibacanya.
"Jadi..." gumamnya, "ini tentang sesuatu yang penting, huh?"
Sovie menyeringai. "Nah, akhirnya kau sadar. Jadi, bagaimana? Apa kau siap untuk tantangan berikutnya?"
Rika menatapnya sejenak sebelum kembali melihat ke bawah, ke arah desa yang masih ramai dengan aktivitas pagi.
Ia mendesah, lalu tersenyum tipis. "Yah... sepertinya aku tidak punya pilihan, ya?"
Rika akhirnya mengambil keputusan. Jika benar bahwa perempuan itu adalah ibunya, maka ia tahu apa yang harus dilakukan saat bertemu dengannya.
Sambil menghela napas, ia menoleh ke arah Sovie yang masih duduk di sampingnya. Tatapan kesalnya yang tadi kini sedikit melunak.
Tanpa peringatan, Rika mengulurkan tangannya dan mengelus kepala Sovie.
"Sebagai hadiah," ucapnya ringan. "Dan juga permintaan maaf karena aku sering jengkel padamu."
Sovie yang tidak menyangka perlakuan itu hanya bisa membeku di tempat. Matanya membesar, wajahnya merah padam.
"Hah?! A-Apa maksudnya ini?!" Sovie tergagap, refleks menarik tubuhnya ke belakang, tetapi tidak benar-benar menghindar dari tangan Rika.
Rika hanya terkekeh, lalu tanpa banyak bicara, ia langsung melompat turun dari atap rumah. Angin berdesir saat tubuhnya melayang sebelum mendarat dengan ringan di tanah.
Tanpa membuang waktu, ia berlari menuju penginapan.
Saat sampai di sana, ia mendapati pemandangan yang membuatnya tersenyum lebar. Di ruang tamu penginapan, Nora dan si kembar, Ayla serta Myra, sedang duduk santai.
Sungguh kebetulan yang menyenangkan!
Karena apa? Ya jelas! Ia tidak perlu repot mencari mereka satu per satu. Kalau sudah berkumpul begini, lebih mudah untuk menyampaikan rencana.
Rika menyeringai, melangkah masuk ke dalam ruangan dengan santai. "Oh, lihat siapa yang duduk malas-malasan di sini. Kebetulan sekali!" katanya dengan nada puas.
Nora menatapnya dengan satu alis terangkat. "Kebetulan apanya? Kau yang kelihatan lebih bersemangat dari biasanya."
Ayla dan Myra saling berpandangan sebelum menatap Rika dengan rasa penasaran. "Kau ada rencana lagi, ya?" tanya Myra, matanya menyipit curiga.
Rika menyeringai, lalu melemparkan diri ke sofa, meregangkan tubuhnya sejenak sebelum menjawab. "Benar sekali. Kali ini, kita akan pergi ke tempat yang jauh lebih menarik."
Nora menyandarkan kepalanya ke tangan, menatap Rika dengan ekspresi malas. "Jangan bilang kau akan menyeret kami ke dalam masalah lagi?"
Rika terkekeh. "Tentu saja tidak."
Lalu, dengan nada lebih serius, ia melanjutkan, "Kita akan pergi ke Kekaisaran Ardenia."
Ruangan itu mendadak sunyi.
Nora, Ayla, dan Myra menatap Rika dengan berbagai ekspresi—kaget, bingung, dan juga sedikit waspada.
"Kekaisaran Ardenia?" Ayla mengulang, memastikan ia tidak salah dengar.
Rika mengangguk mantap. "Benar. Ada seseorang yang harus kutemui di sana."
Nora menatapnya lebih dalam, mencoba mencari tahu seberapa serius Rika dengan ucapannya. "Dan siapa orang itu?"
Rika menghela napas, lalu berkata pelan, "Ibuku."
Nora terdiam sejenak, menatap Rika dengan sedikit keterkejutan. Bukan tanpa alasan—sejak di Kerajaan Celica, Rika memang sudah sibuk mencari tahu tentang silsilah dan keluarganya.
Dan sekarang… ini lagi?
Ayla dan Myra pun menunjukkan reaksi serupa. Mereka saling berpandangan, tatapan mereka dipenuhi kebingungan dan kecemasan.
Akhirnya, Ayla memberanikan diri untuk bertanya, suaranya sedikit ragu. "Rika… kau yakin ingin pergi ke sana? Maksudku… Kekaisaran Ardenia itu…"
Myra melanjutkan, "...Ada kemungkinan orang yang menghancurkan Kerajaan Celica berasal dari sana, kan?"
Mata Rika sedikit menyipit mendengar hal itu, tetapi ia tidak menunjukkan ekspresi terkejut.
"Bukan cuma kemungkinan," kata Nora dengan nada lebih serius. "Orang yang meratakan Kerajaan Celica… katanya mirip denganmu, Rika."
Ruangan mendadak terasa lebih berat.
Rika menatap mereka satu per satu sebelum akhirnya menghela napas pelan.
"Aku tahu," katanya akhirnya, nada suaranya tegas. "Itulah sebabnya aku harus pergi ke sana. Jika benar orang itu adalah ibuku, aku ingin mendengar sendiri alasannya. Aku ingin tahu siapa dia sebenarnya dan apa yang telah terjadi."
Ayla menggigit bibirnya, masih terlihat ragu. "Tapi… kalau ternyata benar ibumu yang menghancurkan Kerajaan Selica… apa yang akan kau lakukan?"
Pertanyaan itu membuat Rika terdiam.
Ia sudah memikirkan kemungkinan itu. Dan jawabannya?
Rika akhirnya menyandarkan tubuhnya ke sofa, menatap langit-langit dengan mata yang penuh pertimbangan.
"Aku tidak tahu," jawabnya jujur. "Tapi aku sudah siap menerima kenyataan."
Ia menunduk sedikit, menatap telapak tangannya sendiri.
"Yang pasti, kita tidak akan pergi ke sana hanya untuk jalan-jalan. Mungkin ada informasi yang bisa kita dapatkan… dan kalau melihat pola kejadian sejauh ini, aku yakin kita juga harus bersiap menghadapi kutukan," tambahnya dengan nada lebih santai.
Nora mendesah pelan. "Jadi kau bahkan sudah memperhitungkan kemungkinan bertarung?"
Rika menyeringai. "Yah, kita sudah terbiasa, bukan?"
Myra menatap Rika dengan ekspresi tidak percaya. "Kau ini benar-benar… masalah berjalan."
Rika hanya tertawa kecil. "Tapi tetap saja, kalian akan ikut denganku, kan?"
Ayla dan Myra saling berpandangan. Mereka tahu, sejak awal mereka bertemu Rika, perjalanan mereka tidak pernah normal. Namun, di balik semua kekacauan itu, mereka percaya pada Rika.
Nora akhirnya bangkit dari duduknya. "Aku ikut. Tidak peduli seberapa berbahayanya, aku tidak akan membiarkanmu menghadapi ini sendirian."
Ayla dan Myra mengangguk mantap. "Kami juga."
Rika tersenyum kecil. Apa pun yang menunggu mereka di Kekaisaran Ardenia, ia tahu satu hal pasti—ia tidak akan menghadapinya sendirian.
Rika meregangkan tubuhnya dengan malas di atas sofa, sebelum akhirnya menjatuhkan diri ke bantal dengan ekspresi puas. "Yaudah kalau begitu, kita berangkat besok aja. Hari ini… aku malas."
Ayla menghela napas, sementara Myra hanya tertawa kecil. "Kau selalu malas, Rika," komentar Myra sambil menyilangkan tangannya.
Nora, yang sudah berdiri, hanya mendengus. "Keadaan memang sulit, ya? Bukan karena ada musuh atau ancaman… tapi karena rasa malas."
Rika hanya melambaikan tangannya dengan santai. "Apa boleh buat? Istirahat itu penting, kau tahu. Jadi… aku tidur dulu."
Tanpa menunggu komentar lain, Rika langsung membenamkan wajahnya ke bantal.
Nora hanya bisa menggelengkan kepala sebelum akhirnya berjalan keluar. "Aku keluar sebentar," katanya.
Ayla dan Myra saling berpandangan sebelum Myra mengangkat bahu. "Kalau begitu, kami akan jalan-jalan," ujarnya.
"Jangan terlalu lama," sahut Rika dengan suara mengantuk. "Kita harus berangkat besok."
Dan begitulah, hari itu mereka habiskan dengan bersantai dan malas-malasan.
Pagi hari, suasana penginapan lebih sibuk dari biasanya. Rika dan yang lainnya sudah bersiap untuk berangkat ke Kekaisaran Suci Ardenia.
Rika memasang pelana di punggung burung besar itu sambil berbicara, "Jauh lebih cepat kalau pakai Selica. Lagian, kita nggak punya banyak waktu buat jalan kaki. Lagipula orang bodoh mana yang pergi kesana pakai kaki..."
Ayla menepuk leher Selica dengan lembut. "Setidaknya, dia nggak keberatan, kan?"
Selica mengeluarkan suara rendah yang terdengar seperti dengusan malas.
Mereka memeriksa perlengkapan masing-masing sebelum akhirnya bersiap menaiki Selica, kendaraan terbaik mereka untuk perjalanan jauh.
Namun, sebelum mereka pergi, Sovie datang menghampiri.
"Kalian jadi pergi, huh?" katanya dengan ekspresi yang sulit ditebak.
Rika menoleh sebentar ke arah Sovie sebelum kembali sibuk dengan perlengkapannya. "Ya, perjalanan jauh. Aku juga nggak tahu kapan bakal balik ke sini."
Sovie terdiam sesaat, lalu menyilangkan tangan di dadanya. "Tch... Paling juga balik lagi nanti," gumamnya dengan nada ketus, meskipun matanya menunjukkan hal lain.
Rika menghela napas panjang, lalu berjalan mendekat. "Yah, karena kau sudah datang ke sini... setidaknya aku akan menganggap ini salam perpisahan sementara."
Sovie tidak mengatakan apa-apa untuk sesaat. Ia hanya menatap Rika dan yang lainnya, sebelum akhirnya mendekat. Dengan ekspresi datar, ia menyerahkan sesuatu ke tangan Rika—sebuah kantong kecil.
"Bekal perjalanan," katanya singkat.
Rika tersenyum kecil dan menerima kantong itu. "Oh? Kau tidak ikut?"
Sovie mendecakkan lidahnya. "Tidak perlu bertanya hal bodoh. Aku punya urusan lain di sini."
Rika menatapnya sebentar, lalu tersenyum. "Kalau begitu… sampai ketemu lagi?"
Sovie diam, sebelum akhirnya mengangguk kecil. "Ya."
Sovie menghela napas kecil. "Aku cuma… mau bilang sampai ketemu lagi," katanya sambil menggaruk kepalanya sendiri. "Soalnya… kau berniat tinggal di sini setelah perjalanan ini selesai, kan?"
Rika tersenyum kecil, lalu menepuk kepala Sovie dengan santai. "Iya. Jadi jangan sampai kangen, ya."
Sovie mendecak kesal dan menepis tangan Rika. "Siapa juga yang bakal kangen?"
Namun, sebelum percakapan itu berlanjut, ada suara lain yang tiba-tiba menyela.
"Rika."
Rika menoleh, mendapati Nora yang menatapnya dengan ekspresi tajam.
"Kau tadi nepuk kepala Sovie, ya?" tanyanya dengan nada yang… aneh.
Rika menaikkan sebelah alis. "Iya, terus kenapa?"
"Kenapa juga kau suka nepuk-nepuk orang begitu?"
Sovie tersenyum penuh kemenangan, sementara Rika malah terlihat bingung. "Kenapa kau tiba-tiba jadi marah?"
Nora menyilangkan tangan di dadanya. "Bukan marah, cuma…"
"Cuma cemburu," sahut Ayla tiba-tiba, yang langsung diikuti oleh tawa kecil dari Myra.
Nora melotot ke arah mereka. "Bukan!"
Rika menyeringai. "Cemburu atau bukan, aku nggak tahu. Jangan tanya aku, geli."
Ayla dan Myra tertawa lebih keras, sementara Nora menghela napas panjang, jelas-jelas menahan diri untuk tidak melempar sesuatu ke arah Rika.
"Sudahlah, ayo berangkat," katanya akhirnya, berusaha mengalihkan pembicaraan.
Dengan itu, perjalanan mereka ke Kekaisaran Suci Ardenia pun dimulai.
Perjalanan mereka akhirnya dimulai. Dengan menaiki Salica, burung raksasa milik Rika, mereka bisa bergerak jauh lebih cepat daripada berjalan kaki atau menaiki kuda.
Namun, saat Salica mengepakkan sayapnya dan mulai terbang, Rika bisa merasakan getaran halus dari tubuh burung itu. Ia menghela napas pelan, lalu menepuk leher Salica.
"Jangan ngambek, ya," katanya dengan nada santai. "Aku tahu kau pasti merasa keberatan karena harus membawa banyak beban, tapi hanya kau yang bisa kita andalkan untuk perjalanan ini."
Salica mengeluarkan suara rendah yang terdengar seperti keluhan.
Myra yang duduk di belakang Rika tertawa kecil. "Sepertinya dia benar-benar ngambek."
Ayla ikut tersenyum. "Ya, wajar sih. Kita berempat ditambah barang bawaan… pasti cukup berat."
"Tapi kita nggak punya pilihan lain," kata Rika dengan santai. "Kalau nggak, kita bakal butuh waktu berminggu-minggu buat sampai ke sana."
Perjalanan berlangsung dengan cukup tenang. Tidak ada gangguan dari makhluk kutukan, tidak ada penyergapan mendadak, dan tidak ada masalah besar yang menghambat mereka. Semuanya berjalan lancar, sesuatu yang cukup langka dalam perjalanan mereka sebelumnya.
Namun, di tengah perjalanan, ada satu hal yang terasa sedikit… mengganjal.
Rika melirik ke samping, memperhatikan Nora yang duduk dengan wajah yang lebih dingin dari biasanya.
Ah, benar.
Nora masih ngambek.
Rika menghela napas pelan. Mungkin ini ada hubungannya dengan kejadian tadi pagi, saat ia dengan santainya menepuk kepala Sovie. Meskipun Nora tidak mengatakannya secara langsung, jelas sekali kalau ia kesal.
Rika berpikir sejenak. Haruskah ia mengurus ini sekarang? Atau nanti saja setelah mereka sampai?
"Kenapa melirik-lirik aku begitu?" tanya Nora tiba-tiba, tanpa menoleh ke arah Rika.
Rika mengangkat bahu. "Nggak ada. Aku cuma mikir… kau masih ngambek, ya?"
Nora diam sebentar, lalu menoleh dengan ekspresi datar. "Enggak."
Rika tersenyum miring. "Bohong."
Nora mendecak pelan dan menatap ke arah langit. "Terserah kau mau mikir apa."
Ayla dan Myra yang melihat interaksi ini saling bertukar pandang, lalu tersenyum kecil.
"Rika, kalau orang bilang 'nggak', biasanya artinya 'iya'," kata Ayla dengan nada menggoda.
Myra mengangguk setuju. "Benar. Mungkin sebaiknya kau bujuk dia, sebelum suasana makin aneh."
Rika mendesah dan menatap Nora lagi. "Oke, oke, kalau begitu… gimana kalau aku traktir kau makan sesuatu yang enak pas kita sampai nanti?"
Nora meliriknya sekilas. "Kau yakin?"
"Tentu. Apa pun yang kau mau."
Ayla menyeringai. "Rika, hati-hati, kalau kau bilang 'apa pun', bisa-bisa dia minta sesuatu yang gila."
Nora akhirnya tersenyum tipis. "Aku ingat itu, ya," katanya dengan nada yang sedikit lebih ringan.
Rika tersenyum puas. Yah, setidaknya suasana mulai mencair.
Perjalanan masih panjang, dan mereka punya banyak hal yang harus dilakukan di Kekaisaran Suci Ardenia. Tapi untuk sekarang, menikmati perjalanan dengan damai mungkin bukan ide yang buruk.
Myra duduk di atas punggung Salica, menatap hamparan pegunungan yang jauh di depan mereka. Perjalanan ini pasti akan memakan waktu cukup lama. Kekaisaran Suci Ardenia terletak di balik gunung yang tinggi, tersembunyi di antara awan dan tebing curam.
Ia melirik ke arah Salica yang tetap terbang stabil, meskipun beban yang dibawanya cukup berat. Dalam hati, ia bertanya-tanya: di mana mereka akan berhenti untuk beristirahat? Tidak mungkin mereka terbang terus-menerus tanpa henti. Jika mereka memaksa perjalanan tanpa istirahat, Salica pasti akan kelelahan.
Tanpa sadar, Myra menghela napas. "Hei, kita nggak mungkin terbang terus, kan? Kita butuh tempat untuk beristirahat," katanya, memecah keheningan.
Ayla, yang duduk di sampingnya, mengangguk setuju. "Ya, kalau tetap memaksa, nanti Salica benar-benar kelelahan. Kita harus cari tempat istirahat."
Rika, yang duduk di bagian depan sambil mengendalikan arah terbang Salica, menoleh ke belakang. "Aku juga kepikiran itu. Jadi, kita mau berhenti di desa terdekat atau berkemah saja?"
Nora, yang sejak tadi diam, akhirnya buka suara. "Kalau kita mampir ke desa, ada kemungkinan kita menarik perhatian yang tidak diinginkan."
"Benar juga," kata Myra sambil menyilangkan tangan. "Belum lagi kita nggak tahu apakah desa-desa di sekitar sini aman atau justru berbahaya. Kalau desa itu ada di bawah pengaruh kutukan atau dikuasai oleh orang-orang yang tidak bersahabat, itu malah jadi masalah baru."
"Berarti berkemah saja, ya?" Ayla memastikan.
Rika mengangkat bahu santai. "Yah, aku juga lebih suka berkemah daripada harus berurusan dengan orang-orang yang mencurigakan di desa asing."
Nora menghela napas pelan. "Baiklah, kalau begitu kita cari tempat pendaratan yang aman."
Setelah beberapa saat mencari, mereka menemukan dataran lapang di dekat sebuah sungai kecil, terlindung oleh pepohonan rindang. Tempat itu cukup luas untuk berkemah dan cukup aman dari ancaman makhluk kutukan yang berkeliaran di malam hari.
Mereka pun memutuskan untuk beristirahat di sana. Dengan cekatan, mereka mulai menyiapkan perkemahan—mendirikan tenda, menyalakan api unggun, dan mempersiapkan makanan.
Begitulah rutinitas mereka selama tiga kali berkemah di perjalanan ini. Setiap malam, mereka berbagi cerita, berjaga bergantian untuk memastikan keamanan, dan menikmati langit malam yang dipenuhi bintang-bintang.
Sampai akhirnya…
Di kejauhan, di balik puncak gunung yang tertutup awan tebal, siluet Kekaisaran Suci Ardenia mulai terlihat. Perjalanan panjang mereka hampir mencapai tujuannya.
Saat mereka melewati batas wilayah Kekaisaran Suci Ardenia, pemandangan yang terbentang di depan mereka membuat mereka terdiam sejenak.
Di hadapan mereka, kota besar dengan arsitektur megah berdiri menjulang, dipenuhi dengan menara-menara tinggi yang memancarkan cahaya biru kehijauan. Jalanan utama tampak dilapisi material yang halus dan bercahaya, sementara kendaraan melayang dengan tenang di udara, bergerak tanpa suara. Sistem mekanik yang canggih dan golem-golem logam berkilauan berpatroli di sekitar kota, membantu para penjaga menjaga keamanan.
Mata Ayla membelalak. "Astaga… Ini jauh lebih maju daripada yang kubayangkan!"
Myra mengangguk setuju. "Aku kira Kerajaan Varka dan Veltorin sudah cukup maju… Tapi tempat ini? Ini empat kali lipat lebih canggih!"
Nora masih terpaku, mengamati bangunan yang tampaknya bukan hanya dihiasi ornamen mewah, tetapi juga dilengkapi dengan teknologi yang belum pernah mereka lihat sebelumnya. "Aku mengerti kenapa Kekaisaran ini sangat tertutup… Dengan kemajuan seperti ini, mereka pasti ingin melindungi teknologi mereka dari dunia luar."
Rika yang sejak tadi mengamati keadaan, akhirnya menepuk pundak Salica, memberi isyarat untuk turun. "Baiklah, kita mendarat di area yang aman dulu. Kita tidak bisa masuk begitu saja tanpa izin."
Mereka akhirnya mendarat di sebuah area terbuka di luar gerbang kota utama, tempat yang tampaknya disediakan untuk para pendatang. Setelah memastikan kondisi sekitar, Rika segera melapisi claymore-nya dengan kain hitam tebal agar tidak menarik perhatian yang tidak diinginkan.
"Aku sudah pernah ke banyak kota," kata Rika sambil mengikat kain dengan erat, "tapi aku tahu satu hal: kalau kamu baru pertama kali ke tempat asing, jaga sikapmu. Kita nggak tahu aturan di sini seperti apa."
Nora mengangguk setuju. "Benar. Kekaisaran ini dikenal tertutup, mereka pasti punya protokol ketat untuk orang luar."
Salah satu penjaga yang mengenakan baju zirah berwarna putih dengan ukiran emas mulai mendekati mereka. Ia membawa selembar dokumen dan berbicara dengan suara tegas. "Para pendatang diwajibkan melapor ke Balai Pendaftaran sebelum memasuki wilayah dalam Kekaisaran. Harap tunjukkan identitas dan alasan kunjungan kalian."
Mereka bertukar pandang sejenak sebelum akhirnya mengikuti prosedur yang ditetapkan.
Namun, di saat mereka sibuk mengurus izin masuk, sesuatu yang aneh terjadi dalam alam bawah sadar Rika.
Di dalam pikirannya, Rise—jiwa yang berbagi tubuh dengannya—merasa ada sesuatu yang mengganggunya. Lambang Bunga Kutukan Mawar Hitam yang selama ini terukir di punggungnya perlahan mulai bersinar. Simbol yang biasanya dalam kondisi tertutup, kini tampak mulai mekar… seolah merespons sesuatu di tempat ini.
Rika tidak menyadarinya. Tapi Rise, di dalam kesadarannya, merasakan ada sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang menunggunya di Kekaisaran ini.
Petualangan mereka di Kekaisaran Suci Ardenia akhirnya dimulai. Dan bersamaan dengan itu, sebuah insiden besar perlahan mulai terungkap.