Setelah berjalan cukup lama menyusuri jalanan Kekaisaran Ardenia, Rika dan yang lainnya akhirnya menemukan sebuah penginapan yang tampak nyaman dan cukup besar. Namun, begitu melihat daftar harga yang terpampang di depan meja resepsionis, mereka semua langsung membeku.
"Buset dah, mahalnya nggak kira-kira!"
Rika menghela napas panjang, sementara Nora melipat tangannya dengan wajah yang penuh ketidakpuasan. "Harga di sini benar-benar gila… Aku sudah menduga tempat ini lebih maju dari kerajaan lain, tapi nggak nyangka biaya hidupnya juga selangit."
Ayla menghitung jumlah uang yang mereka miliki dengan ekspresi muram. "Kalau kita menginap di sini tanpa pemasukan, dalam beberapa hari saja kita bisa bangkrut."
Myra mengangguk cepat. "Setuju! Kita harus cari cara buat dapat uang kalau nggak mau berakhir tidur di jalan."
Rika mendesah dan mengacak rambutnya frustasi. "Jadi, kita harus cari kerja sambilan, huh? Berhemat sebisa mungkin walaupun bakal nyiksa diri sendiri…"
Di tengah perdebatan mereka tentang uang dan tempat tinggal, tiba-tiba sesuatu muncul di telapak tangan Rika. Sebuah mulut kecil dengan gigi tajam menyembul dari bayangan di tangannya, bergerak-gerak seolah sedang menguap.
"Oi, oi, oi! Kenapa kalian ribut banget?" suara itu terdengar kecil namun jelas.
Semua mata langsung tertuju pada tangan Rika.
Myra menunjuk ke arah itu dengan ekspresi tidak percaya. "Itu… Rise?"
Rika menatap telapak tangannya dengan alis terangkat. "Huh? Sejak kapan kamu sering muncul begini?"
Mulut kecil itu, yang tidak lain adalah bagian dari kesadaran Rise, menyeringai lebar. "Aku selalu ada, cuma kamu aja yang nggak sadar. Tapi melihat situasi sekarang… kelihatannya menarik juga buat nimbrung!"
Nora menyipitkan mata dan berbisik ke Rika. "Jadi, dia bisa berbicara langsung sekarang?"
Rika mengangguk pelan. "Sepertinya begitu… Ini kesempatan bagus, kan? Selama ini dia cuma diam aja."
Ayla menatap mereka dengan bingung. "Lalu… ada ide gimana cara kita dapat uang?"
Rise terkekeh kecil. "Oh, aku punya beberapa ide… Tapi, tergantung kalian, mau dengerin atau nggak?"
Semuanya saling bertukar pandang sebelum akhirnya Rika menghela napas. "Baiklah, Rise. Katakan idemu. Tapi kalau idenya aneh-aneh, aku bakal pura-pura nggak denger!"
Dan dengan begitu, diskusi mereka tentang cara bertahan hidup di Kekaisaran Ardenia pun dimulai.
Rise terkekeh kecil di telapak tangan Rika sebelum akhirnya mengeluarkan saran yang langsung membuat semua orang membelalak.
"Kenapa nggak jual diri aja kalau mau uang cepat?"
Seketika ruangan terasa hening.
Plak!
Tanpa pikir panjang, Rika langsung menepukkan tangannya ke telapak tangannya sendiri, menghentikan Rise sebelum menyelesaikan kalimatnya. "Oke, cukup! Kita cari solusi lain saja!"
Nora dan Ayla menatap Rika dengan ekspresi kaget, sementara Myra menahan tawa di belakangnya.
"Astaga, Rise!" ujar Nora dengan wajah penuh kekecewaan. "Kau itu roh kutukan, tapi otakmu nggak jauh beda dari orang mesum!"
Rise tertawa kecil, tampak jelas menikmati respons mereka. "Hahaha! Santai, aku cuma bercanda. Mana mungkin aku menyarankan hal itu sungguhan? Tapi kalau kalian mau uang dengan cara yang lebih masuk akal, bagaimana kalau jadi petualang?"
Rika melipat tangannya, sedikit lebih tertarik. "Petualang?"
Rise mengangguk. "Ya. Di sini, sistem petualang cukup terorganisir. Kalian bisa mengambil misi sesuai tier masing-masing, dan semakin tinggi tiernya, semakin besar bayarannya. Kalau mau uang cepat, ini pilihan terbaik."
Ayla tampak berpikir. "Hmm… Itu kedengarannya masuk akal. Lagipula, kita juga sudah terbiasa bertarung dan menghadapi kutukan."
Myra menambahkan, "Dan kalau kita ambil misi yang tepat, mungkin kita bisa sekalian mengumpulkan informasi tentang kekaisaran ini."
Nora akhirnya mengangguk setuju. "Baiklah, kalau begitu besok kita langsung ke guild petualang dan mendaftar."
Rika tersenyum puas. "Sip! Kalau begitu, kita ambil penginapan ini dulu, lalu besok kita mulai bekerja."
Namun, sebelum semuanya beranjak pergi, Rika melirik ke telapak tangannya, menatap Rise dengan mata menyipit curiga.
"Ngomong-ngomong… Kok kamu tahu banyak tentang tempat ini?"
Rise terdiam sejenak, lalu terkekeh pelan. "Oh? Kupikir kau sudah menyadarinya sejak tadi, Rika."
Rika mengernyit. "Maksudmu?"
Rise menghela napas, seolah merasa sedikit bosan. "Ini bukan sekadar Kekaisaran Ardenia biasa, Rika. Dulu, ini adalah Aetharium."
Sekali lagi, suasana mendadak hening.
Rika membelalakkan mata. "Tunggu, apa?! Jadi tempat ini—"
"Ya," potong Rise sebelum Rika bisa menyelesaikan kalimatnya. "Itulah kenapa bendera mereka memiliki lambang mawar hitam. Itu milikku."
Nora, Ayla, dan Myra saling berpandangan, mencoba memahami arti dari kata-kata Rise.
Seketika, rasa penasaran dan kegelisahan menyelimuti mereka. Mereka mungkin baru saja melangkah ke dalam tempat yang jauh lebih berbahaya dari yang mereka kira.
"Sial!" Rika mengumpat dalam hati, duduk di tepi tempat tidurnya dengan wajah masam.
Awalnya, niat Rika datang ke sini adalah untuk mencari informasi tentang ibunya, tapi siapa sangka mereka malah menginjakkan kaki di tempat yang dulunya adalah wilayah kekuasaan Rise. Tidak heran kalau roh kutukan itu tiba-tiba jadi lebih aktif dari biasanya.
"Astaga... ini semakin rumit," gumamnya sambil menatap langit-langit kamar.
Sementara itu, yang lain mulai mengemas barang-barang mereka dan bersiap untuk beristirahat. Mereka memutuskan untuk menyewa satu kamar dengan empat tempat tidur, agar lebih hemat dan bisa saling menjaga satu sama lain.
"Satu kamar berempat? Semoga nggak ada yang ngorok," batin Rika, melirik sekilas ke arah Ayla dan Myra yang tampak santai, sedangkan Nora terlihat sedikit gelisah.
"Nggak nyangka kita malah sampai di tempat yang dulu dikuasai Rise," ujar Ayla sambil meregangkan tubuhnya di kasur.
"Ya... ini agak bikin merinding," tambah Myra, menaruh tasnya di sudut ruangan. "Tapi, kalau dipikir-pikir, ini bisa jadi kesempatan buat tahu lebih banyak soal masa lalu Rise juga."
Nora, yang sejak tadi diam, akhirnya bersuara. "Besok kita langsung cari pekerjaan, kan?"
Rika mengangguk. "Ya, tapi selain itu, aku juga mau mencari informasi lain..."
Nora menatapnya curiga. "Informasi apa?"
Rika terdiam sejenak sebelum akhirnya berkata dengan suara pelan, "Orang yang mirip denganku."
Mendengar itu, ruangan mendadak sunyi.
Myra menatap Rika dengan ekspresi bingung. "Maksudmu...?"
"Siapa tahu aku bisa menemukan sesuatu tentang ibuku di sini," lanjut Rika dengan nada serius. "Kalau memang ada orang yang mirip denganku di tempat ini, mungkin aku bisa mendapatkan petunjuk."
Ayla menyilangkan tangannya, berpikir sejenak. "Hmm... masuk akal sih. Dengan teknologi sekeren ini, pasti ada catatan atau dokumen lama yang bisa kita akses."
Nora mendesah, lalu mengangguk pelan. "Baiklah, kalau begitu besok kita bagi tugas. Kita cari kerja sambil mengumpulkan informasi tentang ibumu dan... tentang Rise juga."
Rise yang sejak tadi diam dalam telapak tangan Rika tiba-tiba terkekeh kecil. "Hoo~ jadi kau tertarik juga dengan masa laluku, ya?"
Rika hanya menatapnya malas. "Aku cuma nggak mau ada kejutan aneh yang bikin kita dalam bahaya."
Rise tertawa kecil. "Oh, percaya deh... kejutan di tempat ini pasti lebih besar dari yang kau kira."
Ucapan itu membuat suasana kamar sedikit menegang. Tapi untuk saat ini, mereka semua terlalu lelah untuk memikirkannya lebih lanjut.
Rika akhirnya berbaring di kasurnya, menarik selimut, dan menutup matanya.
"Besok akan jadi hari yang panjang..." pikirnya, sebelum akhirnya terlelap.
Keesokan harinya, seperti yang telah direncanakan, mereka berempat benar-benar berpisah untuk mencari pekerjaan masing-masing.
Nora tetap pada tujuannya untuk menjadi petualang dan segera mendaftarkan diri di guild petualang. Rika, yang juga tertarik dengan pekerjaan itu, akhirnya ikut serta. Namun, karena sistem guild di Kekaisaran Ardenia cukup ketat, mereka harus ditempatkan di party yang berbeda.
Sementara itu, Ayla berhasil mendapatkan pekerjaan sebagai pelayan di sebuah bar terdekat. Tempat itu cukup ramai dan penuh dengan orang-orang dari berbagai latar belakang, sehingga ia harus cepat beradaptasi.
Di sisi lain, Myra mendapat pekerjaan di sebuah toko roti sebagai kasir. Meski terdengar lebih tenang dibanding pekerjaan lainnya, menghadapi antrean pelanggan yang terus berdatangan ternyata juga cukup melelahkan.
Hari pertama berjalan lebih berat dari yang mereka duga.
Di arena latihan guild petualang, Rika menghela napas panjang sambil mengusap dahinya yang berkeringat. "Sial... ini lebih sulit dari yang kukira."
Di sebelahnya, seorang rekan party-nya—seorang pria berambut pendek dengan armor ringan—tertawa kecil. "Baru juga pemanasan, jangan bilang kau sudah menyerah?"
Rika meliriknya tajam. "Siapa bilang aku menyerah?"
Di tempat lain, Nora tampak berusaha keras menyesuaikan diri dengan party barunya. Namun, ada satu hal yang cukup mengganggunya.
"Rasanya aneh kalau nggak ada Rika di sini," gumamnya sambil menebas boneka latihan dengan pedangnya.
Seorang anggota party-nya, seorang gadis pemanah, menatapnya heran. "Siapa Rika?"
Nora tersentak, lalu hanya menggeleng. "Bukan apa-apa."
Sementara itu, di bar tempat Ayla bekerja, suasana jauh lebih riuh.
"Oi, pelayan baru! Ke sini, tambah satu gelas lagi!" seru seorang pelanggan.
Ayla menghela napas sambil buru-buru membawa nampan minuman ke meja pelanggan. "Iya, iya! Tunggu sebentar!"
Di toko roti, Myra juga menghadapi tantangan tersendiri.
"Ada diskon nggak, Nona?" tanya seorang pelanggan tua sambil menatapnya dengan mata penuh harap.
Myra tersenyum kaku. "Maaf, Pak, tapi harga sudah pas. Kalau mau diskon, tunggu sampai akhir bulan."
Pelanggannya mendesah kecewa. "Yah, baiklah..."
Di tengah kesibukan mereka masing-masing, hanya satu hal yang tetap sama—Rika masih tidak bisa lepas dari Rise.
"Hahaha! Kau payah sekali hari ini, Rika. Bahkan bocah itu bisa menahan serangan lebih baik darimu!" ejek Rise, suaranya menggema di dalam kepala Rika.
Rika mendesis kesal. "Diam, Rise. Aku butuh fokus."
"Fokus? Dengan kecepatanmu yang seperti siput ini? Aku bisa melihat kau akan dipecat sebelum hari pertama selesai."
Rika mengerang frustasi. "Astaga, kenapa kau jadi makin cerewet?!"
Salah satu anggota party-nya menatapnya bingung. "Eh, kau ngomong sama siapa?"
Rika terdiam sejenak. "Uh... nggak, nggak ada."
Hari pertama bekerja benar-benar melelahkan. Namun, mereka semua tahu bahwa ini baru permulaan. Ada banyak hal yang menunggu mereka di Kekaisaran Ardenia—pekerjaan, tantangan, dan mungkin... kebenaran yang selama ini Rika cari.
Hari kedua pun tiba, dan meskipun masih terasa melelahkan, mereka mulai terbiasa dengan ritme pekerjaan masing-masing. Berkat kemampuan mereka yang cukup baik dalam beradaptasi, segala sesuatu mulai terasa lebih lancar dibanding hari pertama.
Di guild petualang, Nora semakin berkembang sebagai seorang petualang. Jika sebelumnya ia hanya bertarung seadanya, kini ia mulai mengambil peran sebagai support sekaligus penyerang tambahan. Dengan kemampuannya, ia bisa memperkuat timnya dan membantu menyelesaikan misi dengan lebih efisien.
Rika, di sisi lain, malah menjadi pilar utama dalam party-nya. Hampir setiap misi yang mereka jalani terasa seperti pertarungan satu lawan banyak bagi Rika, karena rekan-rekannya sering kali bergantung padanya untuk menyelesaikan pertempuran.
Saat mereka bertemu kembali di malam hari, Nora melipat tangan di dadanya dan menatap Rika dengan tatapan tajam. "Hei, kau tidak merasa kesal? Setiap kali kita kembali ke penginapan, orang-orang selalu membandingkan kita berdua."
Rika menyesap teh hangatnya dan mengangkat bahu. "Kesal? Tidak juga. Lagipula, kau juga cukup kuat, bukan?"
Nora menyeringai. "Jadi, mau adu siapa yang lebih banyak menyelesaikan misi besok?"
Rika tersenyum tipis. "Terserah, asal kau siap menerima kekalahan."
Dengan begitu, keduanya tanpa sadar mulai menjadi rival satu sama lain—saling berlomba untuk membuktikan siapa yang lebih hebat.
Sementara itu, di tempat lain, Ayla mulai menunjukkan perkembangan dalam pekerjaannya di bar. Jika sebelumnya ia merasa tidak nyaman menghadapi pelanggan yang sering kali mabuk dan menggoda, kini ia mulai lebih sabar dan mampu mengatasinya dengan cara yang lebih halus.
Seorang pelanggan yang sudah sedikit teler tersenyum lebar padanya. "Nona manis, bagaimana kalau kau duduk di sini sebentar?"
Ayla hanya tersenyum tipis sambil menuangkan minuman ke gelas pelanggan itu. "Maaf, Pak, saya di sini untuk bekerja, bukan menemani minum."
Pelanggan itu terkekeh. "Ah, sayang sekali..."
Di toko roti, Myra juga sudah terbiasa dengan pelanggan yang menyebalkan. Sebelumnya, ia masih agak kesal saat ada orang-orang yang meminta diskon, tetapi kini ia sudah bisa menghadapi mereka dengan tenang.
Seorang pria kaya dengan pakaian mewah berdiri di depan meja kasir, menatap roti dengan penuh harap. "Bisa diskon sedikit? Aku tidak membawa cukup uang."
Myra meliriknya sebentar, lalu menatap kantong uang pria itu yang terlihat penuh. Ia tersenyum ramah, tetapi nada suaranya terdengar sedikit tajam. "Pak, uang yang Anda bawa bisa membeli sepuluh roti sekaligus. Tidak perlu diskon, kan?"
Pria itu terbatuk kecil, lalu akhirnya menyerah. "Baiklah, baiklah... aku bayar penuh."
Myra tersenyum puas. "Terima kasih atas pembeliannya."
Malam itu, mereka akhirnya bisa duduk santai di dalam kamar penginapan setelah seharian bekerja. Tubuh mereka terasa lelah, tetapi setidaknya kantong mereka tidak kosong.
Sebagai seorang petualang, pekerjaan ini memang menguntungkan. Namun, hal itu juga berarti mereka harus menghadapi risiko besar setiap harinya. Rika, yang duduk bersandar di dinding dengan segelas air di tangannya, tampak paling parah. Luka jahitan di lehernya masih terasa perih, hasil dari pertempuran sengit tadi siang. Jika ia sedikit saja melambat, mungkin kepalanya sudah terpenggal.
Nora melirik Rika dengan cemas. "Kau yakin baik-baik saja? Luka itu terlihat cukup dalam."
Rika mengangkat bahu. "Bukan pertama kali. Aku sudah terbiasa."
Ayla, yang sedang meregangkan tubuh di tempat tidurnya, mendesah pelan. "Seharusnya kau tidak bekerja terlalu keras. Aku tahu kau kuat, tapi kau bukan pengguna Bunga Kutukan. Kau harus lebih hati-hati."
"Apa boleh buat?" Rika terkekeh pahit. "Party-ku kebanyakan pengguna Bunga Kutukan, tapi anehnya, aku yang harus menggendong mereka."
Nora menatapnya dengan ekspresi tak percaya. "Serius? Jadi mereka tidak bisa diandalkan?"
Rika menghela napas panjang. "Mereka bisa diandalkan, tapi terkadang terlalu bergantung pada kekuatan kutukan mereka. Kalau aku pakai Rage Essence, risikonya aku malah mengamuk dan membunuh mereka. Kalau aku membiarkan Rise mengambil alih tubuhku, siapa yang tahu hal aneh apa yang bisa terjadi?"
Tiba-tiba, suara kecil terdengar dari telapak tangan Rika. "Hei, kenapa kau bicara seolah-olah aku ini monster yang tak bisa dikendalikan?" Rise muncul dalam bentuk kecilnya, mengambang dengan wajah cemberut.
"Karena kau memang tak bisa dikendalikan," balas Rika sambil menekan kepala kecil Rise dengan satu jari.
"Aww! Dasar kasar!" Rise merajuk, tetapi ia tidak membantah lebih jauh.
Sementara itu, Myra membuka kantong uang yang mereka kumpulkan selama dua hari terakhir. "Ngomong-ngomong soal uang, jumlahnya lumayan banyak. Kita bisa bertahan untuk beberapa minggu ke depan."
Ayla melirik koin-koin yang berserakan di atas meja. "Sebagian besar dari Rika, kan?"
"Yah, sekitar lima puluh persen memang darinya." Myra mengangguk.
Rika melambaikan tangannya dengan acuh. "Ambil saja. Aku tidak terlalu peduli soal uang. Fokus utamaku tetap mencari ibuku."
Nora menopang dagunya dengan satu tangan. "Kalau begitu, bagaimana kalau kita buat perencanaan keuangan? Kita harus memastikan uang ini digunakan dengan baik."
Mereka semua saling berpandangan, lalu mengangguk setuju.
"Baiklah," Ayla mulai berbicara, "setidaknya kita harus membagi uang ini untuk beberapa hal penting: biaya penginapan, makanan, dan keperluan darurat. Sisanya bisa kita simpan atau gunakan untuk hal lain yang mendesak."
"Setuju," Myra menambahkan. "Dan kalau memungkinkan, kita juga harus menyisihkan sedikit untuk biaya perjalanan. Kita tidak akan selamanya tinggal di kota ini, kan?"
Rika memejamkan mata sejenak, berpikir. "Kalau begitu, aku akan tetap fokus mencari pekerjaan yang bisa memberi kita uang paling banyak. Tapi kalau kalian punya ide lain, aku tidak masalah."
Nora tersenyum. "Tentu saja! Dan aku akan memastikan kita bisa bertahan hidup tanpa harus babak belur setiap hari seperti kau."
Rika tertawa kecil. "Semoga saja."
Dengan perencanaan yang lebih matang, mereka pun mengatur keuangan mereka dengan lebih baik. Malam itu berakhir dengan lebih banyak obrolan santai, dan meskipun tubuh mereka lelah, setidaknya pikiran mereka terasa lebih tenang. Besok adalah hari baru, dan mereka harus siap menghadapi tantangan berikutnya.