Rika dan Nora menikmati angin pagi yang dingin saat Salica membawa mereka mendekati kerajaan Celica. Perjalanan sembilan hari terasa lebih singkat dari yang mereka duga berkat kecepatan luar biasa Salica, meskipun beberapa kali mereka harus berhenti untuk beristirahat.
"Wow, lihat itu," Nora menunjuk pemandangan di kejauhan. "Menara Celica. Kita hampir sampai."
Rika mengangguk pelan, mencoba menyembunyikan rasa gugup yang menggelayuti hatinya. Namun, kegembiraan mereka langsung berubah menjadi keterkejutan saat Salica mulai mendekati kerajaan.
Dari atas langit, mereka melihat pemandangan yang mengerikan. Kota Celica yang seharusnya megah dan indah kini terlihat hancur lebur. Bangunan-bangunan besar yang dulunya kokoh runtuh menjadi puing-puing. Asap hitam mengepul dari beberapa titik, memenuhi udara dengan aroma hangus yang menyengat.
"Apa ini…?" Rika bergumam, matanya membelalak melihat kehancuran di bawahnya.
"Kelihatannya seperti… perang?" Nora menebak, meskipun suaranya terdengar ragu. Ia memiringkan tubuhnya ke depan untuk melihat lebih jelas. "Tapi siapa yang bisa menyerang kerajaan sebesar ini?"
Salica melayang-layang di udara, tampak gelisah oleh bau kehancuran yang menyelimuti tempat itu. Di bawah, mereka bisa melihat orang-orang yang berjalan lunglai, dengan wajah penuh kesedihan dan kelelahan.
Rika mencoba menganalisis situasi. "Ini tidak masuk akal. Kerajaan Celica adalah salah satu yang terkuat. Siapa yang cukup berani untuk menyerang tempat ini?"
"Makhluk kutukan, mungkin?" Nora berspekulasi, meski wajahnya tak kalah bingung.
Rika memejamkan mata sejenak, mencoba menenangkan pikirannya. "Kita harus turun dan mencari tahu apa yang terjadi. Tidak ada gunanya hanya mengamati dari atas."
Nora mengangguk setuju. "Tapi hati-hati. Kalau ini memang ulah makhluk kutukan atau penjajah, kita bisa berada dalam bahaya besar."
Salica perlahan mendarat di sebuah lapangan kosong yang terlihat aman dari reruntuhan. Begitu kaki mereka menyentuh tanah, suasana terasa lebih mencekam. Suara ratapan samar terdengar dari kejauhan, bercampur dengan derak kayu yang terbakar.
Rika dan Nora berjalan pelan, matanya terus mengamati sekitar. Setiap langkah membawa mereka lebih dekat pada kenyataan bahwa Celica yang dulunya megah kini hanya bayangan dari kejayaannya.
"Kita harus bertanya pada seseorang," kata Rika, menoleh ke arah Nora. "Mungkin ada yang bisa menjelaskan apa yang terjadi di sini."
Nora mengangguk, meski wajahnya menunjukkan kekhawatiran. "Tapi kita juga harus waspada. Siapa tahu pelakunya masih ada di sekitar sini."
Rika mengangguk tegas. "Aku tahu. Tapi ini penting. Aku harus menemukan jawaban, tidak peduli seberapa berbahayanya."
Mereka mulai berjalan lebih dalam ke arah pusat kota, bersiap menghadapi apa pun yang mungkin mereka temukan.
Rika berjalan dengan langkah penuh kehati-hatian, matanya terus menyapu setiap reruntuhan di sekitarnya. Pemandangan ini benar-benar tidak masuk akal baginya. Celica, sebuah kerajaan yang dikenal akan kekuatannya, kini tampak seperti bayangan dari masa kejayaannya.
"Tidak mungkin," gumam Rika, dengan nada tidak percaya. "Ini salah satu kerajaan terkuat. Bagaimana bisa setengah hancur seperti ini?"
Nora, yang berjalan di sampingnya, menghela napas. "Mungkin kekuatan mereka tidak sebesar yang kita kira. Atau... musuh yang menyerang mereka terlalu kuat."
Rika mendengus, masih mencoba mencerna situasinya. "Kalau musuhnya memang sekuat itu, kenapa hanya setengah yang hancur? Kenapa tidak menghancurkan semuanya sekaligus?"
Nora mengangkat bahu, nada suaranya santai seperti biasa. "Mungkin mereka hanya ingin memberikan peringatan. Atau, mereka sedang menunggu sesuatu."
"Menunggu apa?" Rika berhenti, menoleh ke arah Nora dengan ekspresi serius. "Ini bukan hanya tentang kehancuran. Ada yang lebih besar di balik ini."
"Dan itu sebabnya kita di sini, kan?" Nora menepuk bahu Rika sambil tersenyum lebar. "Kita akan cari tahu."
Namun, percakapan mereka terhenti ketika suara gemerisik terdengar dari arah reruntuhan. Mereka langsung memasang sikap siaga.
"Apa itu?" bisik Nora, matanya memperhatikan arah suara dengan waspada.
Dari balik bangunan yang rusak, muncul lima sosok besar dengan tubuh yang menyeramkan. Mereka berjalan dengan gerakan kaku, namun aura gelap yang mereka pancarkan terasa menekan.
"Makhluk Kutukan," kata Rika pelan, matanya menyipit.
Nora mengamati dengan seksama. "Tingkat rendah... tapi lihat itu." Ia menunjuk simbol yang terpampang jelas di tubuh para makhluk itu. "Itu simbol bunga."
"Bunga Kutukan," Rika menggumam, suaranya terdengar lebih tajam. "Ini bukan kebetulan. Mereka tidak ada di sini secara alami. Seseorang telah membawa mereka ke tempat ini."
"Atau memerintahkan mereka untuk menjajah tempat ini," tambah Nora, ekspresi santainya mulai memudar digantikan oleh kewaspadaan.
Kelima makhluk itu bergerak mendekat, mata mereka bersinar dengan cahaya merah yang menyeramkan. Rika merasakan darahnya berdesir, namun ia tetap tenang.
"Siap, Nora?"
Nora tersenyum miring, tangannya mulai mengeluarkan energi kutukan yang berkilauan. "Selalu siap."
Rika menggerakkan tangannya ke belakang, meraih gagang claymore besar yang menggantung di punggungnya. Dengan satu tarikan tegas, senjata itu berkilauan di bawah cahaya matahari yang redup. Matanya menyala penuh tekad.
"Jaga jarakmu, Nora," ucap Rika sambil berlari ke arah makhluk-makhluk kutukan itu.
Nora hanya tersenyum kecil. "Sepertinya aku yang harus bilang itu padamu," jawabnya, tangan kanannya mulai memancarkan aura hitam-ungu yang membentuk kelopak bunga berputar. Energi kutukan itu berkumpul, membentuk tombak panjang yang menjulang di atasnya.
Sementara Rika menerjang makhluk pertama, claymore-nya memancarkan energi yang berdesir di udara. Dengan satu tebasan, makhluk itu terbelah menjadi dua, pecahan tubuhnya menghilang dalam kabut gelap.
Di belakangnya, Nora berdiri dengan santai. "Giliranku," katanya sambil melemparkan tombak kutukan ke arah makhluk yang mencoba menyerang dari sisi kiri. Tombak itu menembus tubuh makhluk tersebut dengan mudah, menyebabkan ledakan energi yang memusnahkannya seketika.
Sisa tiga makhluk lainnya mencoba menyerang bersamaan, namun Rika dengan lincah memutar claymore-nya, menciptakan perisai energi untuk menahan serangan mereka. Nora, di sisi lain, menciptakan lebih banyak tombak kutukan dan melemparkannya satu per satu, dengan akurasi yang mematikan.
Tak butuh waktu lama sebelum kelima makhluk itu hancur, meninggalkan debu kutukan yang melayang di udara.
Rika mengayunkan claymore-nya untuk membersihkan sisa-sisa energi gelap dari bilahnya sebelum memasukkan kembali senjata itu ke sarung di punggungnya. "Aku kira bakal susah," gumamnya, lalu melirik Nora dengan ekspresi masam. "Tapi ternyata gampang banget."
Nora tertawa kecil. "Iyalah, tingkat rendah begitu."
Rika mendengus, enggan mengakui kebenaran kata-kata Nora, meskipun dalam hati ia setuju. "Pahit rasanya mengakuinya, tapi ya... benar."
Mereka berdua kembali melanjutkan perjalanan, berjalan melewati puing-puing kota Celica yang penuh kehancuran. Semakin mereka mendekati pusat kota, suasana menjadi semakin sunyi.
Setelah beberapa saat berjalan, mereka akhirnya sampai di depan gerbang besar istana kerajaan Celica. Gerbang itu, yang dulunya megah, kini hanya bayangan dari masa lalunya. Besi-besi besar yang membentuknya sudah bengkok, dan sebagian besar dinding di sekitarnya telah runtuh.
Rika mendongak, menatap bangunan yang menjulang di hadapannya dengan rasa kagum dan ngeri yang bercampur aduk. "Istana kerajaan Celica," bisiknya.
Nora menyilangkan tangan di dadanya, matanya menyapu area sekitarnya. "Kalau istana sekuat ini bisa rusak parah, aku tak bisa membayangkan siapa atau apa yang mampu melakukannya."
"Aku tidak tahu kenapa," tambah Rika. "Kita harus cari tahu."
Tanpa banyak bicara lagi, mereka melangkah masuk ke area istana, siap menghadapi apa pun yang menunggu di dalam.
Di dalam istana, suasana lebih sunyi daripada yang mereka bayangkan—dan jauh lebih menyeramkan. Bau anyir darah bercampur debu memenuhi udara, membuat setiap langkah terasa berat. Mayat-mayat prajurit kerajaan yang berseragam lengkap tergeletak di berbagai sudut, beberapa dalam posisi bertahan, yang lain terlihat seperti mencoba melarikan diri.
"Kalau aku sendirian, mungkin aku sudah kabur," gumam Rika pelan, tatapannya terpaku pada salah satu prajurit yang masih memegang pedangnya meskipun tubuhnya sudah tak bernyawa.
"Kalau aku sendirian, aku mungkin sudah jadi salah satu dari mereka," jawab Nora sambil mengalihkan pandangannya dari mayat itu. Namun nada suaranya menunjukkan bahwa ia mencoba meredakan ketegangan mereka berdua.
Mereka melanjutkan perjalanan menuju aula besar, tempat singgasana raja berada. Langkah-langkah mereka menggema di lorong panjang yang dipenuhi pilar-pilar tinggi yang kini penuh dengan retakan. Lampu-lampu kristal besar di atasnya sudah padam, membuat ruangan semakin gelap.
Ketika mereka tiba di aula singgasana, pemandangan di sana jauh lebih menyedihkan. Sang raja, dengan mahkotanya yang masih melingkar di kepalanya, duduk di atas singgasana—namun ia tidak bergerak. Tubuhnya diam, dengan luka besar di dadanya, darah kering menyelimuti pakaian kebesarannya.
Rika tertegun. "Raja Celica..." katanya pelan, hampir tak percaya. "Mereka bahkan membunuhnya di singgasananya sendiri."
Nora maju beberapa langkah, memperhatikan tubuh raja itu dengan seksama. "Siapa pun yang melakukan ini, mereka ingin menunjukkan kekuatan mereka. Ini bukan sekadar penyerangan... ini peringatan."
Namun, sebelum mereka bisa mencerna lebih jauh, perhatian Rika tertuju ke bagian atas pagar besar di aula tersebut. Sebuah cahaya samar terpancar dari sana, menciptakan kilauan merah muda dan oranye yang menyilaukan. Bentuk cahaya itu mulai lebih jelas, memproyeksikan simbol bunga—Lily.
Rika mengangkat tangannya untuk melindungi matanya dari pancaran cahaya itu. "Apa itu?"
Nora, yang menyadari sesuatu, langsung berlari ke sisi Rika, matanya membelalak saat ia menatap cahaya tersebut. "Itu..." ia berhenti, seperti tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. "Itu adalah Bunga Kutukan."
"Yang mana?" tanya Rika, suaranya penuh kewaspadaan.
Nora menunjuk ke arah kilauan merah muda. "Stargazer Lily," katanya pelan, lalu mengarahkan jarinya ke cahaya oranye. "Dan itu... Tiger Lily."
Rika mengernyit. "Dua sekaligus? Di tempat ini?"
Nora mengangguk, ekspresi wajahnya menjadi semakin serius. "Ini buruk, Rika. Bunga Kutukan tidak muncul begitu saja kecuali ada yang memanggilnya... atau ada sesuatu yang sangat besar sedang terjadi."
Rika mengepalkan tangannya, pandangannya terpaku pada cahaya tersebut. "Jadi, ini bukan sekadar kehancuran biasa. Ini sesuatu yang lebih besar."
Nora menatap Rika, suaranya lebih lembut kali ini. "Kita harus berhati-hati. Dua bunga seperti ini... berarti ada dua makhluk kutukan besar yang mungkin terkait."
Rika menarik napas panjang, mengatur keberaniannya. "Kalau begitu, kita cari tahu apa yang sebenarnya terjadi di sini."
Mereka saling menatap sejenak, kemudian melangkah maju ke arah cahaya, hati mereka penuh dengan pertanyaan dan ketegangan atas misteri yang sedang mereka hadapi.
Saat Rika dan Nora mendekat ke arah cahaya itu, tiba-tiba pancaran terang tersebut meredup dan menghilang sepenuhnya. Rika menghentikan langkahnya, matanya menyapu sekeliling aula yang kini kembali gelap. "Kemana cahaya itu pergi?" gumamnya dengan nada waspada.
Nora, yang sedikit melangkah mundur, tiba-tiba berhenti. Matanya melebar saat ia melihat ke arah pintu aula. "Rika..." katanya pelan, suaranya bergetar. "Ada dua gadis..."
Sambil menarik baju Rika, ia berteriak, "Tolong! Ih, serem!"
Rika langsung memutar tubuhnya dan dengan reflek menarik claymore dari punggungnya. Dengan penuh kewaspadaan, ia menatap dua sosok yang berdiri di dekat pintu. Kedua gadis itu tampak mengenakan pakaian mewah yang sedikit lusuh, dengan ekspresi campuran antara ketakutan dan kebingungan.
Sebelum Rika bisa menebaskan claymorenya, salah satu dari mereka berteriak keras. "Woy, woy! Kalem, tenang! Kami tidak jahat!"
Gadis lainnya mengangkat tangannya ke udara, menunjukkan gestur menyerah. "Kami cuma di sini untuk bicara, bukan berkelahi!"
Rika menghentikan gerakannya, meskipun matanya masih penuh kecurigaan. Ia memelototi kedua gadis itu. "Siapa kalian?" tanyanya dingin.
Gadis pertama, yang tampak lebih energik, melipat tangannya dengan kesal. "Namaku Ayla, dan ini adikku, Myra," ujarnya tajam. "Kami adalah putri kembar dari Raja Celica, yang kalian lihat tadi."
Myra mengangguk pelan, mencoba meredakan suasana. "Kami tidak ada niat jahat. Kami hanya ingin menjelaskan apa yang terjadi di sini."
Rika menurunkan claymorenya sedikit, tetapi ekspresinya masih penuh kewaspadaan. Sebelum ia sempat membalas, ia merasa lengannya ditarik.
"Kenapa kau malah percaya mereka?!" protes Nora dengan wajah panik, masih berdiri sedikit di belakang Rika.
Rika menghela napas, lalu tanpa peringatan langsung menjewer telinga Nora. "Kau ini bikin panik saja! Lihat, mereka bukan kutukan!" omelnya.
"Aduh! Sakit! Lepasin, lepasin!" rengek Nora, mencoba melepaskan diri dari cengkeraman Rika.
Rika hanya mendengus kesal, tetapi akhirnya melepaskan jewerannya setelah beberapa detik. Nora langsung memegangi telinganya, mencoba terlihat tersinggung. "Kau benar-benar kejam, tahu!"
"Diam kau," kata Rika, memutar matanya. Namun, ia akhirnya menghela napas panjang dan menatap kembali ke arah Ayla dan Myra. "Baiklah, kita dengar penjelasan kalian. Tapi kalau kalian berbohong, aku tidak akan segan-segan menggunakan pedang ini."
Myra tersenyum tipis, mengangguk dengan penuh kesungguhan. "Kami mengerti. Kami hanya ingin kalian tahu kebenarannya."
Ayla, yang sebelumnya tampak kesal, kini meluruskan punggungnya. "Ikuti kami. Ada banyak hal yang perlu kalian ketahui... tentang bunga itu dan tentang apa yang terjadi di Celica."
Rika dan Nora saling melirik, lalu mengangguk bersamaan. Dengan penuh kehati-hatian, mereka mengikuti kedua putri kembar itu lebih dalam ke dalam istana.
Rika, Nora, Ayla, dan Myra melangkah lebih dalam ke dalam istana. Suasana semakin mencekam, dengan dinding-dinding berdebu dan sisa-sisa kehancuran yang tampak di mana-mana. "Kita butuh tempat untuk bicara," gumam Rika, sambil memeriksa setiap ruangan yang mereka lewati.
Setelah beberapa menit mencari, mereka menemukan sebuah gudang tua yang cukup besar, dengan beberapa kursi kayu yang sudah lapuk dan meja usang di tengahnya. "Ini sepertinya cukup," kata Myra sambil mendorong pintu yang berderit keras.
Mereka berempat duduk, Ayla dan Myra saling melirik sejenak sebelum Ayla memulai percakapan. "Pertama-tama, kami ingin menjelaskan tentang cahaya yang kalian lihat tadi. Itu adalah milik kami berdua," katanya dengan nada tegas.
Myra mengangguk, menambahkan, "Aku adalah pengguna Bunga Kutukan Tiger Lily, dan Ayla adalah pengguna Stargazer Lily. Ketika kami menggunakan energi kami bersama, cahaya itu tercipta."
Nora bersandar di kursi, melipat tangannya sambil tersenyum miring. "Hebat sekali, jadi kalian ini putri kerajaan sekaligus pengguna Bunga Kutukan? Luar biasa..."
Namun, ekspresi Ayla menjadi serius. "Kehebatan kami tidak berarti apa-apa sekarang, melihat kondisi kerajaan ini," katanya pelan.
Myra menarik napas dalam-dalam, mulai menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. "Kerajaan Celica diserang beberapa minggu yang lalu oleh sekelompok Makhluk Kutukan yang sangat terorganisir. Mereka bukan seperti yang kalian lawan tadi, ini lebih besar, lebih terstruktur."
Ia melanjutkan, "Mereka dipimpin oleh seseorang yang sangat kuat—kami tidak tahu namanya, tapi ia dikenal sebagai The Crimson Puppeteer. Dia memiliki kemampuan untuk mengendalikan Makhluk Kutukan, bahkan memperkuat mereka menggunakan sesuatu yang kami sebut Rage Essence. Orang ini benar-benar kejam."
Rika tersentak mendengar istilah itu. "Rage Essence?" ulangnya pelan, seolah kata-kata itu memiliki makna yang dalam baginya.
Myra mengangguk. "Ya, kekuatan ini memungkinkan penggunanya untuk memperkuat emosi destruktif, baik di manusia maupun Makhluk Kutukan. Dari apa yang kami lihat, dia menggunakan kekuatan itu untuk menghancurkan semuanya di sini. Ayah kami mencoba melawannya, tetapi..." Myra menghentikan ceritanya, suaranya pecah.
Ayla melanjutkan dengan nada penuh kebencian, "Tapi kami tidak menyerah. Kami yakin ada cara untuk menghentikan The Crimson Puppeteer. Hanya saja, kami tidak bisa melakukannya sendiri."
Nora, yang selama ini mendengarkan dengan santai, tiba-tiba terkekeh. "Maaf, tapi julukan itu... The Crimson Puppeteer? Serius? Bukannya itu terdengar seperti nama sirkus?"
Rika tidak bisa menahan tawa kecilnya. "Benar juga. Kedengarannya lebih seperti dalang teater murahan."
Ayla memutar matanya dengan kesal, sementara Myra tersenyum tipis, lega suasana menjadi sedikit lebih ringan.
Namun, di balik senyuman itu, Rika termenung. Rage Essence—istilah itu membuat pikirannya melayang. Ia mengingat fragmen cerita masa lalu yang tak utuh, tentang ibunya yang hilang, dan keluarga Arden yang penuh misteri. Apakah ini mungkin terkait?
Dengan kepala penuh pertanyaan dan tekad baru, Rika menatap Myra dan Ayla. "Kami di sini untuk membantu. Tapi kami juga punya pertanyaan yang butuh jawaban."
Ayla mengangguk. "Dan kami akan membantu menjawabnya, sebisa mungkin."
Perbincangan mereka masih panjang, tetapi satu hal jelas—mereka baru saja memulai perjalanan yang jauh lebih besar dari yang mereka bayangkan.