Malam itu, keempatnya masih duduk di dalam gudang tua. Suasana sunyi di luar bercampur dengan suara lembut percakapan mereka yang semakin dalam.
"Jadi, apa yang sebenarnya kalian cari di sini?" tanya Myra, mengarahkan pandangannya pada Rika.
Rika terdiam sejenak, lalu menarik napas panjang. "Aku mencari jejak keluargaku... lebih tepatnya keluarga Arden. Aku punya alasan kuat untuk percaya bahwa mereka pernah tinggal di sini, di Kerajaan Celica."
Ayla mengerutkan dahi. "Keluarga Arden?" gumamnya, mencoba mengingat. "Setahuku, tidak ada keluarga dengan nama itu yang tinggal di sini. Kami sudah memeriksa arsip istana bertahun-tahun, dan tidak ada catatan tentang mereka. Bahkan, nama itu pun terasa asing bagiku."
Rika menatap Ayla dengan ekspresi kaget dan kecewa. "Tidak mungkin," katanya, suaranya penuh keraguan. "Keluarga Arden seharusnya memiliki hubungan dengan kerajaan ini. Setidaknya, itulah yang aku yakini..."
Myra, yang lebih tenang, mencoba menenangkan Rika. "Mungkin ada sesuatu yang lebih tersembunyi. Jika keluargamu memang terkait dengan Celica, bisa jadi mereka tidak pernah dicatat secara resmi. Bisa jadi, mereka adalah bagian dari sejarah yang sengaja dihapus."
Nora, yang awalnya hanya mendengarkan, tiba-tiba teringat sesuatu. Ia menatap Rika dengan alis terangkat. "Tunggu... Jadi itu alasanmu selama ini?"
Rika mengerutkan dahi. "Alasan apa?"
"Alasan kamu sibuk mencari buku usang di perpustakaan, alasan kamu begitu tergesa-gesa ingin datang ke kerajaan ini..." Nora menyipitkan matanya, sambil menatap tajam Rika. "Kamu mencari petunjuk tentang keluargamu, kan? Itu semua tentang keluarga Arden ini."
Ekspresi Rika berubah gugup, tapi ia akhirnya mengangguk. "Ya... Aku tidak tahu bagaimana cara menjelaskannya padamu, Nora. Aku hanya merasa bahwa aku harus mencari tahu lebih banyak tentang keluargaku. Mereka bukan keluarga biasa. Ada sesuatu yang penting yang aku lewatkan."
Nora menghela napas panjang, lalu menyandarkan tubuhnya ke kursi tua yang sudah rapuh. "Baiklah, aku mengerti sekarang. Tapi serius, Rika, kamu bisa bilang dari awal. Aku ini sahabatmu, tahu?" katanya sambil tersenyum kecil, meskipun di balik senyum itu ada sedikit kebingungan.
Rika tersenyum masam. "Maaf, aku hanya tidak ingin membebanimu dengan urusanku."
Ayla dan Myra saling melirik, lalu Ayla menyela. "Sepertinya kita harus mencari lebih dalam lagi. Jika ada sesuatu yang tersembunyi tentang keluarga Arden, mungkin ada tempat lain yang bisa kita periksa. Tapi ini tidak akan mudah."
Myra mengangguk setuju. "Kami bisa membantu semampu kami. Kalau kalian menemukan sesuatu yang terasa janggal atau tidak pada tempatnya, beri tahu kami."
Rika, dengan semangat baru, mengangguk. "Terima kasih. Aku benar-benar menghargai bantuan kalian."
Nora memutar matanya, tapi dengan senyum nakal. "Baiklah, aku ikut juga. Lagipula, siapa lagi yang akan menyelamatkanmu kalau kamu mulai membuat masalah?"
Pagi berikutnya, suasana istana yang hening menjadi latar perjalanan mereka menuju arsip kerajaan. Matahari pagi menyusup melalui jendela-jendela istana yang sudah usang, menciptakan bayangan panjang di sepanjang lorong. Rika tampak lebih tenang meski tatapannya menunjukkan kegelisahan yang dalam.
Namun, langkahnya tiba-tiba terhenti. "Tunggu!" seru Rika, membuat Nora dan kedua putri menoleh kebingungan.
"Ada apa?" tanya Nora sambil mengangkat alis.
Rika menggeledah tasnya dengan tergesa-gesa, lalu mengeluarkan sebuah peta tua yang sudah mulai lusuh di tepiannya. "Ini..." gumamnya, matanya terpaku pada sudut bawah peta itu. "Saat wanita tua itu memberiku peta ini, aku tidak terlalu memperhatikan. Tapi lihat di sini."
Dia menunjuk pada sebuah tulisan kecil di bagian bawah peta, hampir tersembunyi di antara garis-garis yang menggambarkan wilayah Celica. Tulisan itu berupa koordinat sederhana, dengan catatan singkat di sampingnya: "Rumah yang terlupakan."
Ayla mengambil peta itu dari tangan Rika dan memeriksanya dengan cermat. "Rumah yang terlupakan?" ulangnya dengan nada penasaran. "Ini bukan bagian dari wilayah resmi kerajaan yang pernah aku lihat di arsip kami. Tapi lokasinya... sepertinya berada di pinggiran selatan Celica."
"Pinggiran selatan?" Myra bergumam sambil mengerutkan dahi. "Itu area yang sudah lama tidak dihuni. Tapi ada desas-desus tentang reruntuhan di sana. Apakah ini terkait dengan keluarga Arden?"
Rika mengangguk pelan, matanya berbinar penuh harapan. "Aku tidak tahu, tapi ini adalah satu-satunya petunjuk yang aku punya. Kita harus pergi ke sana."
Nora menghela napas dramatis, lalu tersenyum kecil. "Tentu saja kita harus pergi. Bagaimana pun, aku sudah ikut terjebak dalam misteri keluargamu ini. Lagi pula, aku ingin tahu apa yang membuatmu begitu tergila-gila dengan peta usang itu."
Ayla menyerahkan peta itu kembali kepada Rika. "Baiklah. Kalau begitu, mari kita ubah rencana kita. Kita akan menuju lokasi ini dulu sebelum memeriksa arsip istana. Tapi ingat, area selatan bisa berbahaya. Banyak makhluk kutukan yang dilaporkan berkeliaran di sana."
Rika tersenyum tipis, menggenggam erat peta itu. "Tidak apa-apa. Aku siap menghadapi apa pun."
Myra mengangguk setuju, lalu menambahkan, "Kalau begitu, kita harus bersiap. Ini mungkin perjalanan yang sulit."
Dengan peta sebagai panduan dan tekad yang semakin kuat, mereka berempat bersiap menuju pinggiran selatan Celica—tempat yang mungkin menyimpan jawaban atas misteri keluarga Arden.
Rika mengatur napasnya sambil menyeka keringat di dahi. Sementara itu, Nora, Ayla, dan Myra sudah berdiri menunggunya di dekat pintu masuk kawasan reruntuhan pinggiran selatan Celica.
"Cepat juga, ya, kalian sampai di sini," ujar Rika dengan nada sarkastik sambil menatap ketiganya.
Nora tersenyum nakal. "Apa boleh buat, keunggulan punya Bunga Kutukan. Kamu mau kugendong tadi?"
Rika mendengus, lalu melirik sekeliling dengan hati-hati. Udara di tempat itu terasa lebih berat, dipenuhi energi kutukan yang membuat bulu kuduk meremang. Bangunan-bangunan tua dan runtuh berdiri seperti bayangan dari masa lalu, dikelilingi tanaman liar yang tumbuh tanpa aturan.
"Ini tempat yang menyenangkan untuk mati," gumam Rika sambil mengamati suasana.
Ayla mengangguk kecil. "Makhluk Kutukan di sini bukan yang sembarangan. Aku bisa merasakan mereka mengawasi kita."
Myra melangkah maju, matanya menyisir area dengan waspada. "Kalau begitu, kita harus bergerak hati-hati. Jangan memancing keributan yang tidak perlu."
Mereka mulai melangkah lebih dalam ke kawasan itu, dengan Rika mengikuti dari belakang sambil menggenggam erat gagang claymorenya. Ayla dan Myra berada di depan, menggunakan energi Bunga Kutukan mereka untuk merasakan kehadiran makhluk kutukan di sekitar.
Sesekali terdengar suara gemerisik atau raungan rendah di kejauhan, membuat suasana semakin mencekam. Nora berbisik pelan, "Kalau aku bilang, tempat ini seperti jebakan besar."
"Kita hanya perlu menemukan 'Rumah yang Terlupakan' itu, lalu pergi dari sini," balas Rika dengan nada tegas.
Ketika mereka terus melangkah, Ayla tiba-tiba mengangkat tangannya, memberi isyarat untuk berhenti. "Ada sesuatu di depan," bisiknya.
Mereka semua mematung, memperhatikan dengan saksama. Dari balik reruntuhan, muncul beberapa Makhluk Kutukan dengan ukuran besar dan bentuk yang menakutkan. Lima di antaranya tampak memiliki aura menengah, sementara satu lainnya memancarkan kekuatan khas Makhluk Kutukan tingkat Istimewa.
"Sempurna," kata Rika, menghela napas panjang. "Kita baru saja masuk, dan sudah disambut seperti ini."
"Jangan serang kecuali terpaksa," Ayla memperingatkan, matanya tak lepas dari makhluk-makhluk itu. "Kita tidak tahu berapa banyak lagi yang mengintai di sekitar."
Dengan penuh kehati-hatian, mereka bergerak lebih jauh ke dalam, menghindari pertempuran langsung sambil tetap mencari tanda-tanda lokasi "Rumah yang Terlupakan." Aura kutukan yang kuat dan keheningan yang menyeramkan terus menghantui langkah mereka, tetapi semangat Rika tidak surut.
"Ayo," bisik Myra, "tempat ini mungkin penuh bahaya, tapi aku yakin jawaban yang kita cari ada di sini."
Dan dengan tekad yang semakin kuat, mereka melangkah lebih dalam ke kawasan yang penuh misteri itu.
Dengan langkah hati-hati, mereka terus menyusuri jalan setapak yang semakin dipenuhi reruntuhan dan tanaman liar. Energi kutukan yang menyelimuti tempat itu semakin terasa menekan, membuat mereka harus ekstra waspada terhadap Makhluk Kutukan yang terus mengintai di bayangan.
Ayla memejamkan mata sejenak, mengaktifkan kekuatan Stargazer Lily-nya. Cahaya lembut berpendar di sekitar tubuhnya, menciptakan perisai samar yang mampu menyembunyikan keberadaan mereka dari pandangan makhluk-makhluk itu. "Jangan terlalu jauh dari aku," bisiknya.
Nora mengangguk dengan wajah serius, meskipun ia tidak bisa menahan untuk bergumam, "Ini seperti bermain petak umpet, tapi kalau kalah, kita mati."
"Bisa diam, Nora?" desis Rika, matanya terus mengamati sekeliling sambil menggenggam claymorenya.
Setelah beberapa waktu, mereka akhirnya mencapai sebuah area yang tampak berbeda dari reruntuhan lainnya. Di sana, berdiri sebuah bangunan tua yang sebagian besar masih utuh, dikelilingi oleh pagar yang sudah berkarat. Ornamen-ornamen di fasadnya menunjukkan keindahan arsitektur yang pernah dimiliki tempat itu.
Ayla dan Myra menatap bangunan itu dengan kekaguman bercampur keheranan. "Jadi, ini… Rumah yang Terlupakan?" gumam Ayla.
Nora mengangkat alis. "Kok kesannya megah banget, ya? Aku kira bakal lebih suram."
"Jelas ini bukan rumah biasa," kata Rika, mencoba menyembunyikan keterkejutannya. Tapi matanya tidak bisa lepas dari simbol yang terukir di atas pintu masuk—simbol aneh yang tampak familier.
Mereka mendorong pintu besar yang berat itu dengan sedikit kesulitan, dan suara berdecit keras menggema di dalam. Begitu masuk, mereka disambut oleh ruangan besar yang dipenuhi debu dan furnitur tua, tetapi yang paling mencuri perhatian adalah rak-rak penuh dokumen dan buku di sepanjang dinding.
"Ini…" Rika menatap sekeliling, hatinya mulai berdegup lebih kencang. "Ini tempat penyimpanan arsip keluarga."
"Arsip?" tanya Nora sambil mengamati sekeliling dengan rasa ingin tahu. "Apa kamu pikir kita bisa menemukan sesuatu di sini?"
Tanpa menjawab, Rika langsung menuju salah satu rak yang terlihat paling besar dan tua. Ia mulai membuka beberapa dokumen dengan hati-hati, matanya menyapu setiap halaman. Ayla dan Myra juga ikut mencari, sementara Nora lebih memilih mengamati ruangan, memastikan tidak ada ancaman yang tiba-tiba muncul.
Setelah beberapa waktu, Rika akhirnya menemukan apa yang dicarinya. Sebuah buku besar dengan sampul kulit tua yang bertuliskan "Silsilah Keluarga Arden." Ia membuka halaman-halamannya dengan tangan yang sedikit gemetar, dan di sana, ia melihat nama-nama yang membuatnya tercengang.
"Jadi, memang benar…" bisiknya.
Nora mendekat, penasaran. "Apa yang kamu temukan?"
Rika menunjukkan sebuah halaman yang berisi nama ibunya, disertai foto kecil seorang wanita yang tersenyum lembut. "Ibuku… Dia memang bagian dari keluarga Arden. Dan lihat ini…" Rika menunjuk sebuah foto lain yang membuatnya tertegun.
Itu adalah foto dirinya saat masih kecil, bersama ibunya.
Nora terdiam sejenak sebelum berkata, "Ya ampun, ini berarti kamu… benar-benar bagian dari mereka."
Rika menggenggam buku itu erat-erat, perasaan campur aduk memenuhi pikirannya. Antara kebahagiaan karena menemukan jawaban, dan kekhawatiran akan apa arti semua ini bagi dirinya ke depan.
"Keluarga Arden…" gumam Ayla, mendekat untuk melihat lebih jelas. "Sepertinya tempat ini menyimpan lebih banyak rahasia daripada yang kita kira."
Rika mengangguk pelan, matanya masih terpaku pada foto itu. "Aku harus tahu lebih banyak. Tentang keluarga ini, tentang ibuku, dan tentang alasan tempat ini ditinggalkan."
Dengan rasa penasaran yang semakin dalam, mereka memutuskan untuk terus menjelajahi tempat itu, menyadari bahwa setiap jawaban yang mereka temukan hanya akan membawa mereka lebih dekat pada kebenaran yang jauh lebih besar—dan mungkin lebih gelap—daripada yang bisa mereka bayangkan.
Dengan rasa puas bercampur penat, Rika akhirnya meletakkan buku silsilah keluarga Arden itu dengan hati-hati di meja berdebu. Meskipun ada banyak pertanyaan yang belum terjawab, ia merasa setidaknya telah menemukan secercah cahaya dari masa lalunya. Namun, tak ada waktu untuk bersantai.
"Baiklah," ucap Ayla sambil meregangkan tangannya, suaranya terdengar sedikit lesu. "Kita harus pergi ke tujuan berikutnya."
Rika mendesah panjang. "Tunggu dulu. Aku baru saja duduk!"
Nora menyeringai jahil sambil menepuk bahu Rika. "Santai saja, Rika. Lagi pula, kamu kan suka berlari. Olahraga gratis, bukan?"
"Apa? Aku tidak pernah bilang aku suka berlari!" seru Rika, tetapi ketiga temannya sudah mulai berjalan keluar dari ruangan itu.
Dan sekali lagi, Rika harus berlari mengejar mereka. Napasnya mulai terengah-engah, tetapi ia tetap mengejar dengan tekad kuat, meskipun sesekali ia bergumam kesal kepada dirinya sendiri.
Dengan napas terengah-engah, Rika akhirnya tiba di arsip istana, menyusul Ayla, Myra, dan Nora yang sudah menunggunya di depan pintu besar yang megah. Wajah Rika jelas menunjukkan rasa lelah, tetapi matanya masih menyiratkan tekad yang kuat.
"Kenapa sih, kalian nggak pernah pelan-pelan sedikit? Aku bukan pelari maraton, tahu!" keluh Rika sambil meletakkan tangannya di pinggang.
Nora terkekeh. "Kamu harus mulai membiasakan diri, Rika. Kalau tidak, kami akan meninggalkanmu lagi di misi berikutnya."
Rika mendelik kesal, tetapi tidak membalas. Ayla dan Myra sudah memimpin mereka masuk ke dalam arsip yang dipenuhi rak-rak tinggi berisi dokumen berusia ratusan tahun. Cahaya remang-remang dari lentera yang tergantung di dinding memberikan suasana misterius pada tempat itu.
"Myra, kamu tahu di mana harus mencarinya?" tanya Ayla sambil melihat-lihat rak.
"Ya," jawab Myra sambil menyisir rak dengan jemarinya, "dokumen keluarga biasanya ada di bagian khusus. Jika dokumen keluarga Arden memang pernah dicatat di istana, itu akan ada di sini."
Rika berdiri di belakang Myra, matanya tak lepas dari gerakan gadis itu. Ketegangan terasa di udara saat mereka menunggu. Myra berhenti sejenak, menarik sebuah gulungan besar dari rak, dan membukanya di atas meja kayu tua di tengah ruangan.
"Ini dia," ucap Myra, suaranya penuh kehati-hatian. Ia mulai membaca dokumen tersebut, suaranya menggema lembut di ruangan itu.
"Keluarga Arden adalah salah satu keluarga tertua di kerajaan Celica, dikenal karena hubungan mereka dengan kekuatan fisik dan mengandalkan sebuah emosi. Namun, terdapat satu anggota keluarga yang keluar dari garis keturunan utama. Namanya… Elara Arden."
Myra berhenti sejenak, mengangkat pandangannya untuk melihat reaksi Rika, tetapi Rika tetap diam, menunggu dengan napas tertahan.
"Elara memutuskan meninggalkan keluarga Arden untuk menikah dengan seorang pria dari luar keluarga bernama Haver. Setelah meninggalkan keluarga, Elara mengganti namanya menjadi Sylphia dan menjalani kehidupan sederhana. Bersama Haver, mereka memiliki seorang anak perempuan…"
Myra berhenti lagi, suaranya sedikit bergetar. "Rika."
Ruangan itu menjadi hening seketika. Rika terpaku di tempatnya, matanya membulat dengan campuran keterkejutan dan kepahaman.
"Jadi…" suara Rika hampir berbisik, "ibuku memang bagian dari keluarga Arden. Tapi dia memilih pergi?"
Myra menggulung dokumen itu dengan hati-hati, lalu menatap Rika. "Sepertinya begitu. Keputusan yang tidak biasa, terutama di keluarga seperti ini. Tapi itu menjelaskan kenapa kamu tidak tahu apa-apa sebelumnya."
Ayla melipat tangannya, memiringkan kepalanya sambil berpikir. "Itu juga menjelaskan kenapa nama Sylphia tidak ada di catatan utama keluarga. Dia memutuskan untuk memulai hidup baru dengan identitas yang berbeda."
Nora, yang selama ini hanya mendengarkan, akhirnya berseru, "Tunggu, tunggu. Jadi Rika itu bagian dari keluarga yang terkemuka? Wah, aku nggak pernah nyangka!"
Rika mendesah, mengusap wajahnya seolah mencoba mencerna semuanya. "Jadi itulah kenapa aku merasa terhubung dengan tempat itu. Tapi kenapa ibu tidak pernah mengatakan apa-apa?"
"Itu mungkin salah satu rahasia yang hanya dia tahu," jawab Myra lembut. "Tapi kita sudah punya bukti. Sekarang, apa yang ingin kamu lakukan, Rika?"
Rika menatap mereka semua dengan tekad yang baru muncul di matanya. "Aku harus tahu lebih banyak. Ini bukan hanya tentang ibuku. Ini tentang semuanya. Dan aku tidak akan berhenti sampai aku menemukan jawabannya."
Nora tersenyum lebar. "Itu semangat yang aku suka. Oke, mari kita lanjutkan petualangan ini!"
Mereka semua saling bertukar pandang, menyadari bahwa perjalanan mereka baru saja dimulai. Dengan misteri yang semakin terbuka, mereka bersiap menghadapi apa pun yang mungkin menunggu di depan.