Dua hari penuh, Rika membenamkan dirinya dalam penyelidikan. Ia mencari semua informasi tentang ibunya, mulai dari garis keturunan hingga hubungan yang mungkin mengarah pada keluarga Arden. Namun, hasilnya membuatnya semakin bingung. Kedua orang tuanya, berdasarkan dokumen yang ia temukan, tidak memiliki Bunga Kutukan—kemampuan yang diwariskan secara genetik dalam keluarga penyihir.
"Pantas saja aku tidak punya kemampuan itu," gumam Rika sambil menatap buku Rage Essence di tangannya. Namun, ia menepis pemikiran itu. Itu bukan hal penting sekarang.
Hari ini, Rika berdiri di depan sebuah rumah tua megah yang terlihat seperti sudah berusia ratusan tahun. Rumah keluarga Arden. Pintu kayu besar dengan ukiran rumit berdiri kokoh di hadapannya, memberikan aura yang berat dan penuh misteri.
Rika menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya. "Baiklah, Rika. Ini hanya untuk menanyakan tentang ibu. Tidak perlu terlalu tegang," katanya kepada dirinya sendiri.
Ia mengetuk pintu tiga kali. Suara ketukan kayu bergema di sekitar halaman rumah yang sunyi. Tak lama kemudian, pintu terbuka dengan suara derit pelan.
Seorang wanita paruh baya dengan rambut perak yang tertata rapi muncul. Matanya yang tajam menatap Rika dengan ekspresi penuh kewaspadaan. "Ada yang bisa saya bantu?" tanyanya dengan nada sopan namun tegas.
Rika menelan ludah. "Nama saya Rika. Saya… ingin bertanya sesuatu tentang keluarga ini. Tentang ibu saya."
Wanita itu mengangkat alis, tapi tidak segera menjawab. Sebaliknya, ia memeriksa Rika dari ujung kepala hingga ujung kaki, seolah mencoba menilai apakah gadis ini adalah ancaman.
"Masuk," akhirnya wanita itu berkata, membuka pintu lebih lebar.
Rika mengikuti wanita itu masuk ke dalam rumah. Interiornya sama megahnya dengan eksteriornya, dihiasi dengan perabotan antik dan lukisan-lukisan besar yang menggambarkan anggota keluarga Arden dari berbagai generasi. Aura di dalam rumah ini terasa berat, seolah-olah setiap dindingnya menyimpan rahasia yang tak terucapkan.
Wanita itu membawa Rika ke sebuah ruang tamu kecil dengan kursi empuk dan meja bundar. "Silakan duduk," katanya singkat sebelum duduk di seberang Rika.
"Jadi, apa yang ingin kau tanyakan tentang ibumu?"
Rika mengambil buku Rage Essence dari tasnya dan meletakkannya di atas meja. "Saya menemukan buku ini di rumah saya. Buku ini menyebutkan bahwa kekuatan Rage Essence hanya dimiliki oleh keluarga Arden. Saya pikir, mungkin… ibu saya ada hubungannya dengan keluarga ini."
Wanita itu diam, tatapannya terfokus pada buku itu. Ekspresinya sulit dibaca, tapi ada kilatan emosi di matanya—entah itu keterkejutan, kewaspadaan, atau mungkin kesedihan.
"Apa nama ibumu?" tanya wanita itu dengan suara pelan, hampir berbisik.
"Namanya… Silphya," jawab Rika ragu-ragu.
Mata wanita itu melebar, dan tubuhnya menegang. "Silphya? Kau bilang Silphya?"
Rika mengangguk. "Iya. Apa Anda mengenalnya?"
Wanita itu menghela napas panjang, lalu berdiri dan berjalan menuju lemari tua di sudut ruangan. Ia membuka laci dan mengeluarkan sebuah foto yang tampak sudah usang. "Jika benar ibumu adalah Silphya… maka kau harus tahu sesuatu yang sangat penting."
Ia menyerahkan foto itu kepada Rika. Foto itu menunjukkan seorang wanita muda dengan rambut panjang hitam dan senyum lembut yang sangat familiar bagi Rika. Itu ibunya.
"Silphya adalah salah satu pewaris Rage Essence, tetapi dia meninggalkan keluarga ini bertahun-tahun lalu. Dia memutuskan semua hubungan dengan kami… tanpa memberi tahu alasannya. Kami tidak pernah mendengar kabar darinya lagi."
Rika menatap foto itu dengan campuran emosi—keterkejutan, kebingungan, dan sedikit rasa sakit. "Jadi… ibu saya memang berasal dari keluarga Arden? Tapi kenapa dia tidak pernah menceritakan ini kepada saya?"
Wanita itu kembali duduk, ekspresinya melunak. "Mungkin dia ingin melindungimu. Rage Essence adalah kekuatan yang tidak hanya membawa tanggung jawab besar, tetapi juga bahaya besar. Banyak yang menginginkan kekuatan ini, bahkan jika itu berarti harus menghancurkan seluruh keluarga kami."
Rika terdiam, pikirannya berputar dengan berbagai kemungkinan. Apakah ini alasan ibunya menghilang? Apakah ini ada hubungannya dengan makhluk kutukan yang menyerang ayahnya bertahun-tahun lalu?
Wanita itu memandang Rika dengan penuh perhatian. "Jika kau benar-benar ingin tahu lebih banyak, ada satu tempat yang bisa kau kunjungi. Tetapi, ingatlah ini: semakin dalam kau mencari jawaban, semakin besar bahaya yang mungkin kau hadapi."
Rika mengepalkan tangannya, tekadnya semakin kuat. "Saya sudah memutuskan. Saya tidak peduli seberapa berbahayanya. Saya harus tahu kebenarannya."
Wanita itu mengangguk perlahan. "Baiklah. Aku akan membantumu… sejauh yang aku bisa."
Wanita itu menatap Rika dengan tajam, seolah sedang menimbang-nimbang sesuatu. Setelah beberapa saat, ia akhirnya berkata, "Baik, aku akan memberimu lokasi tempat yang mungkin bisa menjawab pertanyaanmu. Tapi sebelum itu, aku ingin kau berjanji untuk tidak menyalahgunakan apa pun yang kau temukan di sana."
Rika mengangkat alis. "Maksud Anda apa? Saya hanya ingin tahu kebenaran."
"Kebenaran itu bisa menjadi senjata yang berbahaya, Rika," jawab wanita itu sambil menatapnya lekat-lekat. "Banyak anggota keluarga kami yang terjebak dalam keinginan untuk memahami segala hal tentang Rage Essence. Akibatnya, mereka justru menghancurkan diri mereka sendiri atau keluarga mereka."
Rika mengepalkan tangannya di atas meja. "Saya tidak peduli soal itu. Saya hanya ingin tahu tentang ibu saya."
Wanita itu tersenyum kecil, meskipun ada rasa pahit dalam senyumnya. "Kau benar-benar keras kepala… sama seperti Silphya ." Ia menghela napas, lalu mengambil selembar kertas dari laci meja di sampingnya. Dengan tangan yang gemetar, ia menulis sebuah alamat.
"Ini adalah lokasi tempat keluarga kami menyimpan arsip dan dokumen penting tentang Rage Essence dan sejarah keluarga Arden," katanya sambil menyerahkan kertas itu kepada Rika.
Rika menatap kertas itu sebentar sebelum mengambilnya. "Terima kasih," katanya dengan nada penuh tekad.
Namun, sebelum ia pergi, ada sesuatu yang masih mengganjal di pikirannya. Ia menatap wanita itu dengan ragu-ragu. "Tunggu… saya punya beberapa pertanyaan lagi."
Wanita itu mengangguk pelan. "Tentu. Apa yang ingin kau ketahui?"
Rika menarik napas dalam-dalam. "Apakah Anda tahu sesuatu tentang kejadian ketika keluarga saya diserang makhluk kutukan? Kejadian itu yang membuat ayah saya meninggal."
Ekspresi wanita itu berubah serius. Ia menatap Rika sejenak, lalu berkata, "Aku tidak tahu detailnya, tetapi aku pernah mendengar desas-desus bahwa serangan itu bukan kebetulan. Banyak pihak yang menginginkan Rage Essence, dan jika Althea benar-benar membawa rahasia itu bersamanya, maka dia dan keluarganya pasti menjadi target."
Rika merasakan hawa dingin menjalar di tubuhnya. "Jadi… serangan itu mungkin ada hubungannya dengan keluarga Arden?"
"Bisa jadi," jawab wanita itu tanpa ragu. "Tapi aku tidak memiliki bukti yang pasti. Jika kau ingin tahu lebih banyak, mungkin arsip yang kuberikan lokasinya bisa memberikan jawaban."
Rika menggigit bibirnya, pikirannya semakin kacau. Namun, ada satu pertanyaan lagi yang harus ia tanyakan. "Satu hal lagi… apakah saya juga termasuk bagian dari keluarga Arden?"
Wanita itu terdiam lama sebelum menjawab. "Secara teknis, iya. Jika Althea adalah ibumu, maka kau adalah keturunannya. Tetapi, kau juga keturunan dari ayahmu, yang berarti kau membawa darah dari luar keluarga ini. Itu membuatmu… berbeda."
"Berbeda?" tanya Rika, bingung.
"Ya," jawab wanita itu dengan lembut. "Kau mungkin tidak memiliki Rage Essence murni, tetapi kau bisa memiliki sesuatu yang lain. Sesuatu yang unik hanya untukmu."
Rika memandang wanita itu dengan tatapan tak percaya. "Keluarga ini ribet sekali, ya?" gumamnya pelan, setengah bercanda.
Wanita itu tertawa kecil, kali ini dengan kehangatan yang lebih nyata. "Keluarga besar memang selalu begitu. Tapi percayalah, meskipun rumit, kau tetap memiliki tempatmu di sini. Kau hanya perlu menemukan jalanmu sendiri."
Rika mengangguk, meskipun pikirannya masih dipenuhi pertanyaan. Ia menggenggam kertas alamat itu dengan erat, seolah itu adalah satu-satunya petunjuk yang bisa membawanya lebih dekat pada kebenaran.
"Terima kasih," katanya akhirnya, sebelum berbalik dan berjalan keluar dari rumah besar itu, meninggalkan lebih banyak misteri yang harus ia pecahkan.
Rika berdiri di depan gerbang besar rumah keluarga Arden, menggenggam erat kertas dengan lokasi yang baru saja ia dapatkan. Ia membaca kembali tulisan di atasnya, memastikan ia tidak salah melihat.
"Kerajaan Celica?" gumamnya sambil menatap peta kecil yang terlampir. Matanya membesar. "Hah?! Ngawur! Jauh sekali!"
Ia menatap jalur perjalanan yang digambarkan di peta. "Kalau naik kereta kuda… butuh waktu lebih dari dua bulan!" Rika menekan pelipisnya, mencoba menenangkan dirinya. "Ini gila. Dua bulan cuma buat perjalanan? Aku bisa jadi fosil sebelum sampai!"
Ia mendesah berat, merasa stres dengan situasi ini. Sambil berjalan menjauh dari rumah itu, Rika bergumam sendiri. "Kenapa sih semuanya harus selalu sulit? Kenapa nggak ada satu pun yang gampang? Apa nggak bisa ibuku ninggalin buku harian di bawah kasur aja kayak orang normal?"
Ia berhenti sejenak, menatap peta itu lagi. Pikirannya mulai dipenuhi pertanyaan. "Apa ini benar-benar sepadan? Aku bahkan nggak tahu apa yang bakal kutemukan di sana. Dan kenapa, dari semua tempat, harus Celica?!"
Setelah beberapa saat, Rika merasakan angin sepoi-sepoi menerpa wajahnya. Ia menatap langit dan melihat seekor burung besar melintasi awan. Itu adalah Salica, burung perjalanan yang sering digunakan para bangsawan dan petualang untuk perjalanan jauh.
Sebuah ide tiba-tiba melintas di pikirannya. Ia tersenyum kecil, meskipun senyum itu lebih mirip ekspresi seseorang yang sedang putus asa mencoba mencari solusi.
"Salica…" gumamnya. "Ya! Itu bisa jadi jawabannya!"
Ia mulai membayangkan burung besar itu membawa dirinya ke Celica dalam waktu jauh lebih singkat. "Kalau aku bisa menyewa atau… siapa tahu, membeli satu, aku bisa sampai ke sana dalam beberapa hari, bukan bulan. Gila sih, tapi setidaknya lebih cepat."
Namun, senyumnya memudar saat ia mengingat satu hal penting. "Tapi… Salica itu mahal. Banget." Rika menghela napas panjang. "Ya ampun, kenapa aku nggak dilahirkan jadi bangsawan aja, sih?!"
Ia mulai berjalan dengan semangat baru, meskipun diiringi kekhawatiran soal bagaimana ia akan mendapatkan Salica. "Oke, Rika, pikirkan satu langkah pada satu waktu. Pertama, cari Salica. Kedua… eh, cari cara biar nggak bangkrut."
Sambil bergumam sendiri, Rika melanjutkan perjalanan, dengan kepala penuh rencana dan hati yang dipenuhi tekad—meski diselingi keluhan. Hari ini ia tahu satu hal pasti: perjalanan ke Celica akan menjadi petualangan yang tak akan pernah ia lupakan.
Rika berjalan sambil terus bergumam, otaknya sibuk memutar ide gila berikutnya. "Salica liar, ya?" Ia menggaruk dagunya, berpikir keras. "Kalau beli mahal, nyewa juga nggak mungkin. Tapi kalau bisa menangkap yang liar… Hmm, kenapa tidak?"
Matanya menyala dengan semangat baru. "Aku pernah dengar dari kakek kalau Salica liar sering terlihat di hutan utara. Kalau aku bisa menjinakkan satu, aku nggak perlu bayar apa-apa!"
Tanpa berpikir panjang, Rika segera mengubah arah langkahnya menuju hutan utara. Ia tak peduli dengan risiko yang menanti—meskipun di dalam hatinya, ia tahu bahwa menjinakkan Salica bukanlah tugas yang mudah.
Di Hutan Utara
Hutan itu lebat dan gelap, dengan ranting-ranting yang menjuntai seperti tangan-tangan yang mencoba meraih siapa saja yang lewat. Angin berdesir, membawa suara burung-burung kecil bercampur dengan gemerisik dedaunan.
Rika berdiri di tengah hutan, tangan bertolak pinggang, memandang sekeliling. "Oke, Salica. Di mana kau? Jangan bikin aku kerja dua kali."
Tiba-tiba, dari kejauhan, ia melihat bayangan besar yang bergerak di antara pepohonan. Seekor burung raksasa, dengan bulu keperakan yang berkilauan di bawah sinar matahari yang menembus celah-celah daun.
"Ketemu!" seru Rika dengan semangat. Ia mulai bergerak perlahan, mendekati burung itu dengan hati-hati.
Namun, Salica itu jelas tidak akan membuatnya mudah. Saat Rika hampir mendekatinya, burung itu mengepakkan sayapnya dengan kuat, menciptakan angin yang cukup untuk membuat Rika hampir terjatuh.
"Whoa! Hei, hei, tunggu dulu!" Rika berteriak sambil mencoba menyeimbangkan diri.
Burung itu melompat ke cabang yang lebih tinggi, memandang Rika dengan tatapan penuh kewaspadaan.
"Jadi begini caranya, ya?" Rika bergumam. "Oke, baiklah. Aku nggak akan menyerah."
Rika mencoba mendekat lagi, kali ini lebih pelan. Ia mengulurkan tangannya sambil berbicara dengan nada lembut. "Hei, Salica. Aku nggak mau menyakitimu. Aku cuma butuh bantuanmu. Kita bisa jadi teman, kan?"
Namun, saat Rika mendekat terlalu cepat, Salica itu dengan cepat mengepakkan sayapnya dan terbang rendah, menyambar Rika dengan kakinya yang kuat.
"AAAAH!" Rika berteriak saat burung itu mencengkeram lengannya, lalu menariknya sejauh beberapa meter sebelum akhirnya melepaskannya begitu saja.
Rika terjatuh ke tanah, mengaduh sambil memegangi lengannya yang terkilir. "Aduh! Sakit sekali! Ini pasti karma karena aku sok tahu."
Namun, saat ia melihat Salica itu berdiri tak jauh darinya, memiringkan kepalanya dengan rasa ingin tahu, Rika tersenyum kecil meski rasa sakitnya belum hilang. "Setidaknya kau nggak pergi jauh. Mungkin kau tertarik denganku, huh?"
Dengan satu tangan memegangi lengan yang terkilir, Rika bangkit perlahan. Ia mengambil segenggam biji-bijian dari tas kecilnya, sesuatu yang ia bawa untuk berjaga-jaga. "Lihat ini. Makanan. Kau suka, kan?"
Burung itu tampak ragu, tapi akhirnya melangkah mendekat, satu langkah, dua langkah.
"Ayo, jangan malu-malu. Aku nggak akan menyakitimu," kata Rika pelan.
Setelah beberapa saat, burung itu akhirnya mematuk biji-bijian dari tangan Rika. Ia merasa napasnya hampir berhenti karena tegang, tapi ia tahu ini adalah langkah pertama.
"Bagus," bisiknya sambil mengelus perlahan bulu Salica. "Kita bakal jadi tim hebat, kau dan aku."
Meski lengannya berdenyut kesakitan, Rika tersenyum lebar. Ia tahu, tantangan pertama ini baru awal dari perjalanan panjang menuju Celica.
Setelah berhasil membawa Salica ke rumahnya, Rika dengan hati-hati mengikat burung besar itu di halaman belakang. Ia memastikan Salica memiliki cukup makanan dan ruang untuk bergerak. Halaman belakang yang biasanya ia gunakan untuk berlatih kini berubah menjadi kandang sementara.
Rika menghela napas panjang, lengannya masih terasa nyeri. "Baiklah, Salica. Kau istirahat, aku juga perlu tidur cepat malam ini. Besok kita mulai perjalanan panjang kita."
Namun, saat ia membuka pintu rumahnya, Rika langsung mendapati Nora yang santai duduk di ruang tamu sambil memakan camilan yang entah dari mana ia dapatkan.
"Nora?" Rika mengerutkan dahi. "Kau ngapain di sini?"
Nora menoleh dengan senyum lebar, seolah-olah kedatangannya sangat wajar. "Hah? Aku? Cuma mampir. Kan rumahmu nyaman sekali. Lagipula, aku butuh tempat untuk membaca novelku."
Rika mengusap wajahnya dengan pasrah. "Tolong jangan bilang kau sudah merebut kamarku."
"Tentu saja," jawab Nora tanpa rasa bersalah sedikit pun. "Tempat tidurmu empuk, kau tahu itu?"
Rika hanya bisa mendesah berat. "Ya ampun, Nora…." Dengan tubuh lelah dan rasa kesal yang mulai memuncak, ia memutuskan untuk tidur di sofa.
Pada Pagi Hari
Saat matahari mulai menyinari rumah kecil itu, Rika bangun lebih awal. Ia menguap panjang sambil merapikan dirinya. Pikirannya sudah terfokus pada perjalanan panjang ke Celica, dan ia berniat pergi sebelum Nora sempat mengganggunya.
"Aku harus berangkat sekarang. Kalau aku cepat, aku bisa mencapai perbatasan sebelum malam," gumamnya sambil menyiapkan tasnya.
Namun, saat ia membuka pintu ke halaman belakang, Rika tertegun. Di sana, Nora sudah duduk di atas Salica sambil bermain-main dengan bulu-bulunya.
"Pagi, Rika!" sapa Nora ceria, dengan senyuman lebar yang jelas menunjukkan bahwa ia sudah siap pergi.
Rika mengerutkan dahi. "Nora?! Apa yang kau lakukan di sana?!"
"Aku? Menunggumu, tentu saja. Aku tahu kau berencana meninggalkanku, tapi maaf ya, aku nggak akan membiarkanmu pergi sendirian."
"Nora!" Rika memegangi dahinya yang kini mulai berdenyut. "Ini perjalananku! Kau bahkan nggak tahu aku mau ke mana!"
"Tentu saja tahu. Kau mau ke Celica, kan?" Nora melompat turun dari Salica, masih dengan senyum jailnya. "Aku dengar semuanya tadi malam. Kau pikir aku akan membiarkan sahabatku pergi ke tempat sejauh itu sendirian?"
Rika mendengus frustrasi. "Nora, ini bukan liburan. Ini perjalanan yang berbahaya. Kau nggak perlu ikut."
"Terlambat," kata Nora sambil mengangkat tasnya yang sudah penuh barang bawaan. "Aku sudah siap. Lagi pula, siapa yang akan memastikan kau nggak menyusahkan dirimu sendiri kalau bukan aku?"
Rika memandang Nora dengan tatapan lelah. "Kenapa hidupku jadi begini, sih?"
Nora tertawa kecil sambil menaiki Salica. "Ayo, Rika. Petualangan menunggu. Kita tak akan sampai ke Celica kalau kau terus mengeluh seperti itu."
Rika menggelengkan kepala sambil menggumam, "Punya sahabat satu ini rasanya seperti punya kutukan lain." Namun, ia akhirnya ikut naik ke atas Salica, dan mereka pun memulai perjalanan mereka ke Celica—dengan Rika masih setengah ragu dan Nora yang penuh semangat.