Sore yang tenang di halaman belakang rumah Rika dipenuhi suara berat dari ayunan claymorenya. Pedang besar itu menebas udara dengan presisi, menghantam boneka kayu yang sudah tampak lelah menahan serangan demi serangan. Serpihan kayu mulai terkelupas, menandakan usianya yang telah mencapai batas.
Rika menghapus keringat di dahinya, matanya memperhatikan setiap goresan pada boneka pedang itu. "Kau masih berdiri. Hebat juga," gumamnya sambil mengambil posisi lagi. Ia mengatur napasnya, lalu dengan satu ayunan terakhir yang penuh tenaga, claymore itu menghantam boneka tersebut.
KRAK!!
Boneka kayu itu pecah berkeping-keping, serpihannya terlempar ke segala arah. Rika menatap reruntuhan itu sejenak sebelum menyandarkan claymore ke tanah. "Akhirnya hancur juga," katanya dengan nada puas. "Sepertinya aku perlu menggantimu secepatnya. Tapi, mungkin nanti. Kalau sudah ada waktu."
Ia mengangkat claymore-nya dan berjalan kembali ke dalam rumah. Pikirannya melayang pada evaluasi latihan hari itu. "Ayunan sudah cukup kuat, tapi kontrol tenaga saat tebasan cepat masih perlu diperbaiki," gumamnya sambil membuka pintu menuju ruang bawah tanah.
Pintu kayu itu berderit pelan saat ia membukanya, memperlihatkan tangga batu yang curam menuju ruang remang-remang di bawah. Dingin menyelimuti tempat itu, dinding batu tua dipenuhi debu dan beberapa rak penuh barang lama yang tertata tak rapi.
Di sudut ruangan, berdiri sebuah pedang besar dengan ukiran rumit di sarungnya. Pedang itu memancarkan aura gelap yang sulit diabaikan. Rika menatap pedang itu sejenak, ekspresinya datar.
"Shiko, kau masih di situ, kan?" gumam Rika. Ia mendekati pedang itu, tangannya menyentuh sarungnya dengan hati-hati. "Seharusnya kau tetap di sini. Lagipula, siapa orang bodoh yang cukup gila untuk mencuri pedang ini dari rumahku?"
Setelah memastikan segel jiwa Shiko di pedang itu tetap utuh, Rika menarik napas lega dan mulai mencari boneka pedang pengganti. Ia membuka beberapa peti dan memeriksa rak-rak kayu di sudut ruangan. Namun, langkahnya terhenti ketika matanya tertuju pada sesuatu yang tidak pernah ia lihat sebelumnya.
Di salah satu rak, tergeletak sebuah buku tua dengan sampul hitam yang tampak lusuh. Judulnya terukir dengan tinta merah menyala: "Rage Essence."
Rika mengernyit, mendekati buku itu dengan rasa ingin tahu bercampur waspada. Ia mengambil buku tersebut dan membersihkan debu yang menutupi sampulnya. "Buku ini… Aku tidak pernah melihatnya sebelumnya," gumamnya pelan.
Saat membalik halaman pertama, Rika merasa hawa di ruangan itu berubah. Tulisan dalam buku itu bukan bahasa biasa, melainkan simbol-simbol aneh yang memancarkan energi yang samar namun mengancam.
"Apa ini?" Rika bergumam sambil mengerutkan alis. Ia tidak pernah ingat keluarganya memiliki buku seperti ini.
Pikiran Rika melayang pada keluarganya, rahasia yang selama ini ia hindari untuk diungkap. Namun, buku ini tampaknya menyimpan sesuatu yang tidak bisa ia abaikan begitu saja. Ia menutup buku itu perlahan, ekspresinya menjadi serius.
"Sepertinya aku harus mencari tahu apa ini… dan kenapa ada di sini." Dengan hati-hati, Rika membawa buku itu bersamanya, menyadari bahwa rahasia keluarganya mungkin lebih besar daripada yang ia duga.
Rika membawa buku itu ke atas dengan hati-hati, rasa penasaran dan kehati-hatian bercampur menjadi satu di pikirannya. Tangga kayu yang mengarah ke lantai atas berderit pelan di setiap langkahnya. Setibanya di kamarnya, ia mendorong pintu dan masuk, ruangan itu tampak sederhana dengan sedikit perabotan namun terasa nyaman.
Ia meletakkan claymorenya di sudut ruangan dengan bunyi dentingan ringan sebelum menghempaskan tubuhnya ke kasur yang empuk. Buku itu tetap erat di tangannya. Matanya tertuju pada sampulnya yang gelap dengan ukiran merah mencolok bertuliskan "Rage Essence."
"Kenapa buku ini ada di rumah ini?" gumam Rika, mencoba mengingat apakah ia pernah mendengar apa pun tentang buku itu dari keluarganya. Namun, pikirannya kosong.
Ia membelai sampul buku itu dengan jari-jarinya, merasakan permukaannya yang kasar. Buku itu memancarkan aura aneh, seolah menyimpan lebih dari sekadar tulisan biasa. Perlahan, Rika membuka halaman pertama, namun simbol-simbol asing yang muncul hanya membuat alisnya berkerut.
"Ini bukan bahasa yang kukenal…" desahnya, lalu menutup buku itu lagi. Ia membaringkan kepalanya ke bantal, memandangi langit-langit sambil memegang buku itu di dadanya.
Pikirannya melayang pada keluarganya. Ayahnya, seorang pria kuat yang selalu melindunginya, terlintas di benaknya. Ia masih ingat dengan jelas saat ayahnya tewas di hadapannya, melindunginya dari makhluk kutukan yang menyerang mereka. Air matanya hampir menggenang, tetapi ia segera menggelengkan kepala, menolak untuk larut dalam kesedihan lama.
Lalu ibunya… yang hilang tanpa jejak sejak hari itu. Ia tidak pernah tahu apa yang terjadi pada ibunya. Apakah ibunya melarikan diri? Diculik? Atau sesuatu yang lebih buruk? Pikirannya dipenuhi dengan pertanyaan yang tidak pernah terjawab.
"Jika ini ada hubungannya dengan mereka…" Rika bergumam pelan, matanya kembali tertuju pada buku itu. "Mungkin aku bisa menemukan sesuatu di sini. Mungkin… jawaban tentang apa yang terjadi pada keluargaku."
Hawa di kamar itu terasa sunyi, hanya suara napasnya yang terdengar. Ia tahu bahwa menggali rahasia ini berisiko, tetapi ia tidak bisa membiarkan rasa penasarannya berlalu begitu saja. Buku itu tampak memanggilnya, seolah memintanya untuk membuka tabir masa lalu yang telah lama terkubur.
"Baiklah, kita mulai dari sini," katanya sambil meraih buku itu lagi, berusaha memahami rahasia yang mungkin akan mengubah segalanya.
Rika membuka buku itu lagi, menatap simbol-simbol aneh yang tergores di halaman pertama. Mata birunya bergerak cepat, berusaha mengartikan setiap tanda, tetapi itu semua terasa asing baginya.
"Bahasa apa ini, sih?" gumamnya dengan frustrasi. "Sepertinya bukan bahasa manusia biasa. Tapi… kenapa Ibu punya buku seperti ini?"
Halaman demi halaman ia selesaikan, meskipun sebagian besar hanya menambah kebingungannya. Hingga pada satu halaman, ia menemukan catatan kecil dengan tulisan tangan yang familiar.
"Untuk pemilik berikutnya, hanya kau yang bisa memahami esensi ini. Jangan abaikan amarahmu, karena ia adalah senjatamu."
Rika membacanya dengan saksama, dadanya berdegup kencang. "Ini tulisan Ibu..." katanya pelan, jari-jarinya menyentuh kalimat itu. Ia mengenali gaya tulisan yang rapi namun kuat, seperti sosok ibunya yang ia ingat.
"Rage Essence… jadi ini milik Ibu? Apa artinya hanya aku yang bisa memahaminya?" gumamnya, semakin tenggelam dalam rasa ingin tahunya. Namun, meskipun ia mencoba memahami lebih lanjut, simbol-simbol itu tetap menjadi misteri.
Beberapa jam berlalu, dan Rika mulai merasa lelah. Matanya memerah karena membaca tanpa henti, tetapi ia enggan menyerah. "Buset! Susah sekali bahasanya!" serunya, akhirnya menutup buku itu dengan kesal.
Ia merebahkan dirinya di kasur, menarik napas panjang, lalu menatap langit-langit kamar. "Aku akan melanjutkannya besok di sekolah. Mungkin saja ada cara lain untuk memecahkan ini… atau mungkin Nora tahu sesuatu. Dia selalu aneh, jadi mungkin dia paham soal ini."
Namun, saat hendak meletakkan buku itu di sampingnya, sebuah pikiran melintas di benaknya. "Tapi kalau aku taruh sembarangan, siapa tahu ada yang mencoba mencurinya. Lagi pula, ini penting."
Dengan hati-hati, Rika memeluk buku itu erat di dadanya. Rasanya hangat, seolah ada energi yang mengalir darinya. "Siapa tahu kan, kalau aku tidur dengan buku ini, mungkin Ibu akan muncul dalam mimpiku dan kasih petunjuk," gumamnya sambil tersenyum kecil, mencoba bercanda dengan dirinya sendiri.
Ia memejamkan mata, pelan-pelan tenggelam dalam tidur. Namun, sebelum benar-benar terlelap, ia bergumam pelan, "Apa ini semua ada hubungannya dengan apa yang terjadi pada Ayah dan Ibu? Kalau benar… aku harus mencari tahu, apa pun risikonya."
Dan malam itu, Rika tertidur dengan buku itu dalam pelukannya, membawa harapan akan jawaban yang mungkin akan ia temukan. Di luar jendela, bulan bersinar terang, seolah mengawasi perjalanan baru yang akan dimulai olehnya.
Rika mencoba memejamkan matanya, tetapi pikirannya tidak mau diam. Ia berbolak-balik di kasurnya, mencari posisi yang nyaman. Sesekali, ia memeluk buku "Rage Essence" lebih erat, berharap kehangatan benda itu bisa menenangkannya.
"Harusnya aku capek banget, kan? Latihan sore tadi itu gila-gilaan," gumamnya frustrasi. "Tapi kenapa malah jadi begini?! Tidur, dong, tubuhku!"
Rika membalikkan badannya lagi, kali ini menghadap ke dinding, lalu menghela napas panjang. Namun, keheningan kamar hanya memperburuk suasana. Ia mendengar detak jam, angin yang menerpa jendela, dan bahkan desah nafasnya sendiri terasa terlalu keras.
"Arghhh!" serunya pelan sambil mengacak-acak rambutnya. Rika duduk di tepi kasur, wajahnya penuh rasa kesal. "Kenapa susah banget sih tidur malam ini?"
Ia berdiri, mengambil gelas dari meja kecil di samping kasur, lalu berjalan menuju teko air. Tangannya yang sedikit gemetar menuangkan air ke gelas, menandakan betapa terganggunya ia dengan kondisinya sendiri.
Setelah meneguk air itu, Rika menatap bayangannya di cermin kamar. "Oke, Rika. Ini bukan masalah besar. Kau hanya perlu tidur. Itu saja," katanya sambil memompa semangatnya sendiri.
Ia kembali ke kasur, menarik selimut hingga ke dagunya, dan memejamkan mata rapat-rapat. "Pokoknya malam ini aku harus tidur! Tidak peduli apa pun, tidur!"
Rika berusaha keras untuk fokus pada keheningan, mencoba mengosongkan pikirannya. Namun, meskipun tubuhnya mulai tenang, pikiran tentang buku di pelukannya terus menghantui, membuat malam itu terasa sangat panjang.
Rika terus mencoba berbagai posisi tidur, dari miring ke kanan, lalu ke kiri, hingga terlentang sambil memeluk buku "Rage Essence." Tapi semua itu tak membuahkan hasil. Keringat kecil mulai muncul di dahinya, menambah rasa frustrasinya.
"Aku menyerah," gumamnya pelan, menatap langit-langit kamar dengan pandangan kosong. Namun, otaknya yang lelah terus memutar ulang pertanyaan-pertanyaan tentang buku itu, membuat tidurnya semakin jauh dari jangkauan.
Ia akhirnya memutuskan mencoba posisi lain—posisi yang bahkan tidak masuk akal. Ia meletakkan bantal di bawah perutnya, memiringkan tubuh sedikit, dan menjulurkan satu kaki ke luar kasur, sementara kedua tangannya masih memeluk buku itu erat.
"Huh... entah kenapa ini nyaman," bisiknya dengan nada hampir tak percaya. Matanya perlahan mulai terasa berat, dan ia akhirnya tertidur pulas.
Namun, saat tertidur, kebiasaan barunya mulai terlihat. Ia mulai menggumamkan kata-kata tak jelas dalam tidurnya, sesekali mengerutkan dahi seolah sedang memikirkan sesuatu yang sulit. Posisi tidur yang aneh itu justru menambah keunikannya. Selimutnya terlempar ke bawah kasur, dan kakinya yang menjulur malah mengayun pelan seperti anak kecil yang sedang berayun di taman.
Jika ada yang melihatnya sekarang, pasti akan berpikir, "Apakah ini wujud seorang introvert amatir kalau di rumah?!"
Namun, Rika tidak peduli. Untuk pertama kalinya malam itu, pikirannya berhenti berlari, tubuhnya benar-benar rileks, dan ia terlelap dalam dunia mimpinya, meninggalkan semua rasa penasaran dan frustrasi tentang buku itu—setidaknya untuk malam ini.