Di hari ke-14 musim Erntesegen, Rika menghela napas panjang sambil menyeka keringat dari dahinya. Tanah di sekitarnya penuh dengan lumpur, dan tubuhnya sudah dipenuhi bercak tanah yang tak lagi bisa dibedakan dari kulitnya. Ia sudah bekerja tanpa henti selama hampir dua minggu, memanen tanaman, mengangkat hasil panen, dan berusaha membantu para petani yang lebih tua.
Rika mengeluh dalam hatinya, "Buset dah! Ini kerja paksa atau apa?! Aku lelah!" gumamnya dengan nada kesal. Dia tidak menyangka kerja bakti seperti ini bisa begitu melelahkan. Meski begitu, dia tetap melanjutkan pekerjaan tanpa banyak bicara, karena setiap kali ia mengeluh, selalu saja ada orang tua yang menghampirinya sambil menasihati, "Nak, kerja kerasmu hari ini akan memberikan hasil yang baik untuk masa depanmu."
Dengan berat hati, Rika mengangguk setiap kali mendengar nasihat itu. Namun, ia tetap merasa kesal. Pada akhirnya, ia memutuskan untuk berjalan menjauh, mencari tempat yang teduh untuk beristirahat sejenak. Ia menemukan sebuah pohon besar di pinggir ladang, dengan daun-daun yang rimbun memberikan keteduhan yang sempurna. Rika duduk di bawah pohon itu, bersandar pada batangnya sambil menghela napas panjang.
Namun, saat dia mendongak ke atas untuk melihat daun-daun yang bergoyang, dia langsung terkejut. Di atas pohon itu, duduk dengan santai, ada dua orang yang sangat dikenalnya—Nora dan Eva! Keduanya terlihat sangat nyaman, duduk di dahan yang kuat tanpa sedikit pun terlihat lelah atau berkeringat. Bahkan pakaian mereka tampak bersih tanpa ada noda tanah atau lumpur sedikit pun.
"Heh?! Sedang apa kalian di atas sana?! Bukannya ikut bekerja seperti yang lain?!" teriak Rika dengan nada kesal, tapi juga heran.
Nora melambai santai dari atas dahan. "Hei, Rika! Kami sedang menikmati pemandangan dari sini. Kau tahu, dari atas sini, kami bisa melihat seluruh ladang dan melihatmu bekerja keras tanpa henti," ucapnya dengan senyum lebar di wajahnya.
Eva ikut menyahut dengan nada menggoda, "Ya ampun, Rika! Kau terlihat seperti banteng yang tidak kenal lelah. Tapi kau tahu? Melihatmu dari atas sini sungguh menyenangkan. Kami merasa seperti para bangsawan yang sedang menonton rakyat jelata bekerja."
Rika mendengus, tatapannya kesal. "Sialan kalian! Bukannya turun dan membantu malah malah menonton dari atas sana?!"
Nora tertawa kecil. "Hei, hei, tenang saja. Kami sudah selesai bekerja sejak pagi tadi. Kau saja yang terlalu bersemangat bekerja seperti kuda," candanya sambil melambai-lambaikan tangannya, seolah ingin menenangkan Rika.
Eva mengangguk setuju. "Benar! Lagipula, aku dan Nora sedang menikmati istirahat terakhir sebelum festival besok. Kita tidak akan punya banyak waktu untuk duduk santai seperti ini lagi."
Rika menggeleng-gelengkan kepala, masih dengan ekspresi kesal di wajahnya. "Ya ampun, kalian benar-benar tidak tahu diri. Kalau begitu, aku juga akan beristirahat di sini. Setidaknya aku bisa mengeluh tanpa ada yang menasehati," katanya sambil duduk bersandar di batang pohon, mencoba menikmati sejenak ketenangan sebelum kembali ke ladang.
Rika mencoba duduk bersandar dengan santai di bawah pohon, memejamkan mata sejenak sambil menarik napas dalam-dalam. Dia berusaha menikmati ketenangan di bawah bayangan dedaunan. Namun, di balik wajahnya yang tampak santai itu, sebenarnya ada kekesalan yang terus mengendap dalam hatinya. Nora dan Eva yang sejak tadi duduk di atas pohon, ternyata terus-menerus menjatuhkan daun-daun kering tepat di atas kepala Rika.
"Hah... mungkin mereka pikir ini lucu," pikir Rika sambil menghela napas, tetap mencoba mengabaikan daun-daun yang jatuh mengenai rambutnya. Namun, lama-kelamaan, kekesalannya makin bertambah. Nora dan Eva tertawa kecil dari atas, seolah menikmati candaan mereka yang tidak berujung.
Rika mulai mengerutkan keningnya, dan bibirnya menyunggingkan senyuman tipis penuh kepasrahan, seolah mencoba menahan amarahnya. Tapi, setelah beberapa menit, akhirnya kesabaran Rika mencapai batasnya. Dia berdiri dengan cepat, mengepalkan tangannya, dan dengan satu gerakan yang penuh amarah, dia memukul batang pohon besar itu dengan sekuat tenaga.
Duum!
Pohon itu bergetar hebat, daun-daun kering berjatuhan lebih deras dari sebelumnya, dan ranting-ranting kecil bergoyang keras. Nora dan Eva yang duduk dengan santai di atas dahan langsung terkejut, tubuh mereka bergoyang-goyang tak seimbang.
"Heh?! Apa yang kau lakukan, Rika?!" teriak Nora panik sambil berusaha menjaga keseimbangannya.
Eva juga tampak ketakutan, matanya membelalak saat ia memegang dahan dengan erat. "Astaga, Rika! Kami hanya bercanda! Jangan marah begitu!"
Rika menatap mereka dengan wajah datar, tapi ada kilatan kekesalan di matanya. "Kalian pikir ini lucu? Menjatuhkan daun-daun kering ke atas kepalaku? Sekarang rasakan akibatnya!" jawab Rika sambil memukul batang pohon itu sekali lagi, membuat pohon semakin bergetar.
Nora dan Eva hanya bisa saling pandang sambil mencoba bertahan di atas dahan yang bergoyang. Mereka benar-benar tak menyangka bahwa candaan mereka akan membuat Rika bereaksi sejauh ini. Akhirnya, dengan wajah yang sedikit memerah, keduanya menyerah dan melompat turun dari pohon, mendarat dengan sempurna di tanah.
"Baik, baik, kami menyerah. Kami tidak akan melakukannya lagi," kata Eva sambil mengangkat tangan seolah meminta maaf.
Nora mengangguk cepat, masih terengah-engah akibat kejutan tadi. "Iya, iya! Kami janji tidak akan mengganggumu lagi, Rika."
Rika hanya menghela napas dan mengibaskan daun-daun yang menempel di rambutnya. "Bagus kalau kalian mengerti. Sekarang, biarkan aku beristirahat dengan tenang," katanya sambil kembali duduk di bawah pohon, kali ini dengan senyuman puas di wajahnya.
Rika menghela napas panjang, merasakan ketenangan sesaat setelah berhasil menegur Nora dan Eva. Dia menyandarkan punggungnya pada batang pohon besar, mencoba menikmati momen santainya yang langka. Namun, baru beberapa detik dia menikmati ketenangan itu, tiba-tiba sebuah suara baru mengganggunya.
"Wah, kekuatan fisik yang sangat hebat," ucap suara perempuan yang terdengar halus namun penuh kekaguman.
Rika langsung membuka mata dan melihat ke arah sumber suara dengan ekspresi jengkel, "Agh! Siapa lagi seka-" Namun, sebelum dia bisa melampiaskan kekesalannya, pandangannya tertuju pada sosok yang tidak ia sangka. Seorang gadis dengan rambut pirang yang terikat rapi dan mengenakan seragam sekolah yang terlihat rapi berdiri tidak jauh dari mereka. Itu adalah Althea, teman sekelas Rika yang biasanya duduk di deretan paling depan.
Melihat sosok yang familiar itu, Rika langsung terdiam sejenak. Dia menyadari kekesalannya yang berlebihan barusan dan merasa sedikit bersalah. "Oh, Althea... Aku tidak tahu itu kamu. Maafkan aku, tadi aku terlalu kesal," kata Rika dengan nada yang lebih lembut, berusaha meminta maaf.
Althea tersenyum lembut, seperti biasanya. Sifatnya yang tenang dan penuh kesabaran membuat suasana menjadi lebih tenang. "Tidak apa-apa, Rika. Aku yang seharusnya meminta maaf karena mengganggu waktu istirahatmu," jawab Althea sambil melangkah mendekat.
Rika menatap Althea dengan sedikit bingung, tapi juga merasa lega karena Althea tidak tersinggung. "Kau di sini sendirian? Kukira kau sudah kembali ke rumah setelah ekspedisi," tanya Rika mencoba mengalihkan pembicaraan.
Althea menggeleng pelan. "Tidak juga. Hari ini aku kebetulan sedang membantu di sekitar ladang ini. Kau tahu, keluargaku berasal dari Desa Lyseria. Kami biasanya ikut panen di sini setiap musim Erntesegen."
Rika mengangguk mengerti, ingatannya kembali ke ekspedisi sebelumnya. "Oh, iya... Kau dari kelompok 4 saat ekspedisi ke Desa Lyseria, kan? Bagaimana keadaan di sana?"
Althea tersenyum, matanya menunjukkan kelembutan yang selalu menjadi ciri khasnya. "Keadaannya jauh lebih baik sekarang, setelah bantuan dari kelompok kita. Para penduduk sangat bersyukur."
Rika merasa sedikit lega mendengar itu, tapi juga masih ada sedikit rasa bersalah yang tertinggal. "Aku senang mendengarnya. Dan... sekali lagi, maaf ya, aku tadi terlalu terbawa suasana."
Althea mengangguk dengan senyuman lembut di wajahnya. "Tidak apa-apa, Rika. Aku mengerti kau pasti lelah setelah bekerja keras selama musim panen ini. Lagipula, kau sudah banyak membantu para petani di sini. Aku sangat mengapresiasi itu," ucapnya, tulus.
Nora yang dari tadi diam, tiba-tiba ikut menyela dengan wajah iseng. "Wah, Rika. Lihat tuh, kau dipuji-puji. Jarang-jarang ada yang memujimu, kan?" katanya sambil tertawa kecil.
Rika hanya memutar bola matanya dan tersenyum tipis, kali ini tidak terlihat marah. "Cukup, Nora. Setidaknya biarkan aku menikmati sedikit pujian ini tanpa komentar sarkastik darimu," balasnya dengan nada bercanda.
Althea terkekeh pelan melihat interaksi mereka. "Kalian benar-benar dekat, ya. Senang melihatnya," ucapnya dengan senyum hangat.
Rika mengangguk sambil tersenyum kecil. "Ya, mungkin sedikit terlalu dekat. Tapi, begitulah adanya," jawabnya sambil memandang Althea. "Terima kasih sudah datang, Althea. Obrolan singkat ini membuat hariku sedikit lebih ringan."
Althea hanya tersenyum dan mengangguk. "Sama-sama, Rika. Istirahatlah sebentar lagi, ya. Jangan terlalu memaksakan diri," katanya sebelum melangkah pergi, meninggalkan Rika, Nora, dan Eva yang kembali menikmati waktu istirahat mereka di bawah pohon besar itu.
Rika memandangi Althea yang berjalan menjauh, lalu menoleh ke arah Nora dengan senyum menggoda. "Alamak! Althea... sudah cantik, baik, perhatian, lemah lembut pula. Tidak seperti Nora," ucap Rika dengan nada bercanda, sambil melirik ke arah Nora yang langsung menunjukkan ekspresi tidak senang.
Mata Nora langsung menyipit dan tanpa pikir panjang, dia menutup mulut Rika dengan tangan, mencoba menghentikan omongannya. "Cukup! Jangan lanjutkan lagi, Rika!" kata Nora dengan nada setengah kesal, sementara wajahnya mulai memerah, entah karena marah atau... mungkin sedikit cemburu.
Rika mencoba melepaskan tangan Nora dari mulutnya, tetapi usahanya sia-sia karena Nora semakin mempererat cengkeramannya. "Nora, lepas! Aku hanya bercanda!" gumam Rika dengan suara yang teredam.
Di sisi lain, Eva yang duduk tidak jauh dari mereka, hanya mengamati dengan senyum nakal di wajahnya. Dia mengambil gigitan dari bekalnya sambil menatap mereka dengan ekspresi menjengkelkan. "Wah, wah... sepertinya ada yang cemburu nih~" ucap Eva dengan nada menggoda, suaranya terdengar jelas meski dia masih sibuk mengunyah makanannya.
Nora melotot ke arah Eva, tapi tidak melepaskan tangannya dari mulut Rika. "Diam kau, Eva! Jangan ikut-ikutan!" serunya, tapi jelas godaan Eva malah membuat situasi semakin kacau.
Eva hanya mengangkat bahu sambil tersenyum jahil. "Aku cuma bilang apa yang kulihat kok. Kalau kalian terus berantem seperti ini, bisa-bisa yang di sekitar mengira kalian pasangan," tambah Eva dengan nada mengolok-olok.
Rika akhirnya berhasil menyingkirkan tangan Nora dan menghirup napas panjang. "Pasangan apanya?! Aku dan Nora hanya teman dekat!" Rika membela diri dengan cepat, namun pipinya sedikit memerah karena ledekan Eva.
Nora mendengus kesal sambil melipat tangannya di dada, tampak cemberut. "Huh! Eva, kau benar-benar tahu bagaimana cara membuat suasana menjadi lebih kacau," keluhnya, tetapi ada senyuman kecil di sudut bibirnya, menunjukkan bahwa dia tidak benar-benar marah.
Eva hanya tertawa kecil sambil melanjutkan makan. "Yah, begitulah aku. Lagipula, melihat kalian berdua seperti ini adalah hiburan tersendiri bagiku," ucap Eva sambil melirik mereka berdua dengan tatapan nakal.
Rika dan Nora hanya saling pandang sejenak, sebelum akhirnya mereka berdua tertawa kecil bersama. Meski sering bertengkar, kebersamaan mereka tetap membuat suasana menjadi lebih hidup dan ceria.
Namun, tawa mereka tidak berlangsung lama. Rika tiba-tiba berdiri dari tempat duduknya dan menepuk-nepuk celananya yang berdebu. "Oke, cukup istirahatnya. Aku harus kembali bekerja. Ini hari terakhir kita panen, dan sejujurnya aku sudah cukup muak melakukan ini setiap hari," ucap Rika dengan nada setengah bercanda, setengah serius.
Nora melepaskan tangannya dari mulut Rika dan memandangnya dengan sedikit kaget. "Hah, kau serius mau kembali bekerja sekarang? Padahal kita masih punya waktu untuk istirahat sebentar lagi," kata Nora sambil menghela napas. Namun, sebelum Rika bisa menjawab, Nora sudah mengambil handuk kecil dari sakunya dan dengan lembut mengelap noda tanah di wajah Rika.
"Kau benar-benar tidak bisa diam, ya. Selalu saja ada kotoran di wajahmu," ujar Nora sambil mengusap keringat di dahi Rika. Sentuhan lembut itu membuat Rika sedikit terkejut, namun dia hanya diam dan membiarkan Nora melakukannya.
Di sisi lain, Eva yang melihat interaksi itu tidak bisa menahan godaannya. "Wah, wah, benar-benar pemandangan yang manis! Rika, kau benar-benar dirawat seperti bayi," ucap Eva sambil tersenyum nakal, sambil menutup mulutnya untuk menahan tawa.
Rika hanya mendengus dan tersenyum kecil. "Sudah cukup, Nora. Kalau terus begini, kita bisa dibilang pasangan betulan," balas Rika sambil mengangkat alis ke arah Eva yang masih terus menggoda mereka.
Nora berhenti sejenak, kemudian menyimpan kembali handuknya sambil tersenyum tipis. "Baiklah, baiklah. Tapi jangan lupa untuk beristirahat nanti. Jangan sampai kau pingsan di ladang, Rika," katanya dengan nada perhatian.
Rika hanya mengangkat bahu, merasa sudah puas dengan kondisi saat ini. "Tentu, aku akan bekerja dengan tenang dan selesai tepat waktu. Besok adalah festival, jadi aku ingin melihatnya tanpa rasa lelah," ucapnya sambil tersenyum.
Setelah itu, Rika kembali ke ladang, bergabung dengan para pekerja lain yang masih sibuk memanen. Matahari mulai condong ke barat, cahayanya yang keemasan menyinari ladang yang luas, menciptakan pemandangan yang indah.
Rika berhenti sejenak di tengah ladang, memandangi area yang penuh dengan orang-orang yang bekerja bersama. Dia membayangkan festival besok, di mana seluruh warga akan berkumpul dan merayakan hasil panen dengan gembira. Dengan senyuman kecil di wajahnya, dia merasa ada harapan dan kebahagiaan yang menunggu mereka di akhir musim Erntesegen ini.
"Ya, besok akan menjadi hari yang menyenangkan," gumam Rika, sebelum kembali melanjutkan pekerjaannya dengan semangat baru, menantikan akhir yang indah dari musim yang penuh perjuangan ini.