Akhirnya, hari yang ditunggu-tunggu oleh Rika tiba. Tidak ada lagi bekerja layaknya kuda, kini saatnya menikmati festival Erntesegen! Kota Kerajaan Varka yang biasanya dipenuhi para pekerja di ladang, kini berubah menjadi lautan manusia yang merayakan hasil panen. Semua penduduk dari berbagai desa berkumpul, mengisi halaman utama kota dengan tawa dan kegembiraan.
Di antara kerumunan, tampak Raja Varka ikut membantu mengangkat peti hasil panen. Dengan senyum lebar di wajahnya, sang Raja berbicara dengan rakyatnya seolah mereka adalah teman lama. "Aku bosan hanya duduk di istana, jadi kali ini aku turun langsung! Hahaha," katanya sambil tertawa riang. Suasana pun menjadi semakin meriah dengan kehadiran pemimpin mereka.
Rika berjalan dengan santai di jalanan kota yang ramai, sesekali melirik ke arah orang-orang yang tengah mempersiapkan acara. Di sisinya, tentu saja ada Nora, yang berjalan dengan semangat seperti anak kecil yang tak sabar menikmati festival. Mata Nora berkilau, melihat berbagai hiasan dan stan makanan yang berjejer rapi di sepanjang jalan.
"Rika, lihat! Ada pertunjukan musik di sana! Dan lihat itu, ada makanan yang enak!" seru Nora dengan penuh semangat, tangannya menunjuk ke berbagai arah.
Rika hanya tersenyum tipis, merasa bahwa Nora benar-benar menikmati momen ini. Namun, sikapnya kali ini berbeda—lebih dingin dan tenang. Mungkin rasa lelah dari musim panen masih membekas, atau mungkin dia hanya ingin menikmati festival dengan caranya sendiri.
"Aku tidak menyangka kau bisa semangat seperti ini, Nora. Biasanya kau yang selalu mengeluh duluan saat kita kerja keras di ladang," goda Rika sambil melirik Nora.
Nora tertawa kecil, lalu memukul bahu Rika dengan lembut. "Hei, hari ini kita seharusnya bersenang-senang, bukan membicarakan kerjaan! Lagipula, festival ini hanya datang setahun sekali, jadi aku tidak ingin melewatkan satu pun keseruannya!" ujar Nora dengan senyum lebar.
Rika menghela napas panjang, melihat betapa antusiasnya Nora. "Baiklah, kalau begitu. Ayo kita keliling lebih banyak lagi. Lagipula, aku ingin mencicipi makanan khas yang hanya ada saat festival ini," ucapnya dengan nada lebih rileks.
Mereka berdua melanjutkan perjalanan, menyusuri jalanan kota yang penuh warna-warni dekorasi dan suara meriah dari para musisi yang memainkan lagu-lagu rakyat. Wajah Rika mungkin terlihat lebih tenang, tetapi di dalam hatinya, dia merasa sedikit hangat melihat kebahagiaan Nora dan rakyat Varka yang merayakan hasil panen bersama.
Di tengah keramaian itu, Rika merasa ada sesuatu yang berbeda hari ini—perasaan lega dan kebahagiaan yang sederhana. "Ya, mungkin ini yang aku butuhkan," gumamnya sambil melirik Nora yang sedang mencicipi kue manis dari salah satu stan.
Hari yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba, dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Rika merasa dirinya benar-benar bebas dan bisa menikmati waktu tanpa beban. Ia memandangi hiruk-pikuk festival yang penuh warna, mencium aroma makanan yang menggoda, dan mendengar tawa anak-anak yang berlarian di sekitar mereka.
Nora, yang berjalan di samping Rika, sesekali melirik temannya dengan pandangan yang lebih lembut. Ia menyadari perubahan yang terjadi pada Rika setelah ekspedisi terakhir mereka. Rika yang biasanya ceria dan agak ceroboh, kini berubah menjadi lebih tenang dan dingin. Bahkan, penampilannya berubah drastis. Rambut panjang Rika yang biasa terurai kini dipotong pendek sebahu, memberikan kesan tomboy yang memukau. Nora tak henti-hentinya memandangi Rika, merasa kagum sekaligus sedikit canggung.
"Rika, kau tahu nggak, kau terlihat sangat keren dengan potongan rambut baru itu," ujar Nora sambil mengedipkan mata. "Benar-benar ala cewek tomboy yang berkelas. Aku sampai nggak bisa berhenti memandangimu."
Rika hanya tersenyum tipis, tidak terlalu menanggapi pujian itu. "Yah, aku hanya ingin perubahan. Setelah semua yang terjadi... rasanya potong rambut bisa sedikit meringankan beban," jawabnya dengan nada santai.
Mereka berdua terus berjalan menyusuri jalan utama festival, menikmati berbagai hiburan yang ada. Tak lama kemudian, mereka melihat dua sosok yang familiar di antara kerumunan. Zephyr dan Althea, dua teman sekelas mereka, tampak sedang berbicara dengan akrab. Rika melambaikan tangan dan menghampiri mereka.
"Hey, Zephyr, Althea! Apa yang kalian lakukan di sini?" tanya Rika sambil tersenyum. Nora di sampingnya juga ikut melambai dengan semangat.
Zephyr, yang selalu terlihat tenang dan sedikit misterius, hanya mengangguk dengan senyum tipis di wajahnya. Namun, sebelum ia sempat menjawab, Althea mengambil alih dan menjawab dengan senyuman manis. "Kami? Kami sedang berkencan," jawab Althea dengan polos dan tanpa ragu.
Rika tertegun sejenak, namun reaksinya cukup tenang. "Oh, begitu ya? Wah, selamat kalian berdua," katanya sambil tersenyum hangat. Namun, di sebelahnya, Nora menunjukkan ekspresi terkejut yang luar biasa.
"A-apa?! Kalian pacaran?! Sejak kapan? Kenapa aku tidak tahu?! Kenapa kalian tidak memberitahuku?! Wah, aku benar-benar terkejut!" seru Nora dengan suara melengking yang langsung menarik perhatian orang-orang di sekitar mereka.
Althea hanya tertawa kecil melihat reaksi Nora, sementara Zephyr menggaruk kepalanya yang tidak gatal, sedikit bingung harus menjawab apa. "Yah, kami belum lama mulai berkencan. Hanya saja, belum sempat memberitahu siapa-siapa," jawab Zephyr sambil tersenyum kaku.
Nora, yang masih terkejut, memandang Rika dengan ekspresi tidak percaya. "Rika! Kau sudah tahu tentang ini?!"
Rika menggeleng pelan. "Aku baru tahu sekarang, sama seperti kau, Nora. Tapi lihatlah mereka, kelihatan sangat cocok bersama," ucapnya sambil tersenyum, merasa sedikit bahagia melihat teman-temannya saling menemukan kebahagiaan.
Melihat itu, Nora akhirnya tersenyum lebar, meskipun ia masih sedikit kesal karena tidak diberitahu lebih awal. "Hmph, kalian berdua benar-benar membuat kejutan. Tapi aku senang untuk kalian! Pastikan kalian menikmatinya hari ini, ya!" katanya sambil mengedipkan mata dengan penuh semangat.
Althea dan Zephyr hanya tertawa kecil, merasa suasana menjadi lebih hangat dan akrab. Mereka melanjutkan percakapan ringan sambil menikmati festival bersama-sama, tanpa beban dan penuh tawa.
Rika hanya tertawa kecil sambil melirik ke arah Nora yang ada di sampingnya. Ia merasa suasana ini adalah kesempatan bagus untuk menggodanya sedikit. Rika menyenggol bahu Nora dengan senyum usil di wajahnya.
"Lagipula... laki-laki mana yang mau sama gadis berambut silver, pendek, dan menjengkelkan seperti ini?" ujar Rika sambil tertawa pelan, jelas sengaja membuat lelucon untuk menggoda sahabatnya itu.
Nora menoleh dengan cepat, wajahnya berubah memerah dalam sekejap. "A-apa maksudmu?! Aku tidak pendek! Dan rambut silverku ini justru unik, oke!" balas Nora dengan suara agak tinggi, terlihat jelas ia merasa tersinggung sekaligus malu.
Namun, Rika tidak berhenti sampai di situ. "Oh? Unik, ya? Mungkin itu alasan kenapa Zephyr tidak memilihmu dan malah bersama Althea," lanjut Rika sambil tertawa kecil, benar-benar menikmati reaksi Nora yang semakin memerah.
"Agh! Dasar Rika!" seru Nora, wajahnya semakin merah. Ia akhirnya merasa tidak tahan dengan godaan Rika dan tanpa mengatakan sepatah kata pun lagi, Nora berbalik dan berjalan cepat menjauh, meninggalkan Rika, Zephyr, dan Althea yang masih tertawa kecil melihat kejadian itu.
Rika menghela napas sejenak, melihat punggung Nora yang menjauh dengan langkah cepat. "Yah, sepertinya aku keterlaluan," gumam Rika sambil tersenyum kecut. Ia lalu berpamitan kepada Zephyr dan Althea. "Maaf ya, aku harus pergi mengejar Nora dulu sebelum dia benar-benar marah dan tidak mau bicara denganku."
Zephyr mengangguk sambil tersenyum. "Pergilah. Kalau tidak, nanti kau akan mendapat ceramah panjang," jawabnya dengan nada bercanda.
Althea hanya tersenyum lembut, mengerti betul bagaimana dinamika persahabatan mereka. "Semoga berhasil, Rika. Nora memang suka ngambek, tapi dia cepat luluh kalau dibujuk dengan baik."
Rika tersenyum dan melambaikan tangan sebelum berlari menyusul Nora, meninggalkan Zephyr dan Althea yang kembali melanjutkan menikmati festival. Di dalam hatinya, Rika tahu ia harus segera membujuk sahabatnya itu sebelum suasana menjadi benar-benar canggung. "Nora, tunggu aku!" serunya sambil berlari melewati keramaian festival, mencari sosok berambut silver yang ia kenal dengan baik.
Setelah mencari ke sana kemari, akhirnya Rika menemukan Nora di salah satu toko kue favorit mereka, sebuah tempat kecil namun selalu ramai dengan aroma manis yang menggoda. Di dalam, Nora terlihat duduk sendirian di sudut toko, menikmati kue lapis kesukaannya yang berisi krim stroberi dan potongan kecil buah ceri merah.
Rika menghela napas lega dan tersenyum kecil saat melihat sosok sahabatnya. "Hah, ketemu juga," gumamnya sebelum masuk ke dalam toko dan langsung menghampiri meja Nora. Ia menyapa dengan suara yang sedikit bercanda untuk mencairkan suasana, "Wah, jadi ini tempat persembunyianmu? Aku sampai keliling festival mencarimu, tahu!"
Nora mengangkat pandangannya dari kue yang sedang ia nikmati, menatap Rika dengan ekspresi yang masih sedikit masam. Namun, melihat senyum ceria Rika yang biasa, bibirnya mulai melunak. "Apa maumu, Rika?" tanyanya, mencoba terdengar kesal namun suaranya jelas melembut.
Rika tertawa pelan dan duduk di kursi di depan Nora tanpa menunggu undangan. "Aku hanya ingin meminta maaf. Tadi aku keterlaluan menggodamu di depan Zephyr dan Althea," katanya sambil menggaruk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal. "Tapi kau tahu, aku hanya bercanda, kan?"
Nora menghela napas, tapi kali ini tanpa rasa kesal yang tadi ia tunjukkan. "Kau benar-benar menyebalkan, Rika," ujarnya pelan, namun senyum kecil mulai terlihat di sudut bibirnya. "Tapi aku memaafkanmu, kali ini saja."
Rika merasa lega mendengarnya. "Ah, syukurlah! Althea memang benar, kau mudah luluh kalau dibujuk dengan baik," balasnya sambil tertawa kecil, senang melihat sahabatnya kembali tersenyum.
Namun, tanpa disadari oleh Rika, Nora menunduk sedikit dan berbisik pelan, nyaris tak terdengar, "Aku harap... kau terus melakukan itu padaku, karena aku menyukai itu..."
Rika yang sedang menikmati suasana perbaikan hubungan mereka hanya sempat menangkap sedikit dari kata-kata Nora. Ia mengerutkan kening dan mencondongkan tubuhnya ke depan. "Hah? Kau bilang apa barusan, Nora?"
Nora dengan cepat menggelengkan kepalanya, pipinya sedikit memerah. "Tidak, tidak! Aku hanya bilang kalau kue ini enak sekali," kilahnya sambil mengunyah potongan kue lapisnya dengan ekspresi yang dibuat-buat.
Rika menatapnya dengan curiga sejenak, lalu hanya mengangkat bahu dan tertawa. "Yah, kalau begitu, aku traktir kue lainnya sebagai permintaan maafku. Bagaimana?" katanya sambil memesan dua potong kue lagi, kali ini rasa cokelat dan krim vanila.
Nora hanya mengangguk dengan senyuman kecil di wajahnya. Meski ia berusaha menutupi perasaannya, dalam hatinya, Nora merasa senang. Kebersamaan mereka selalu penuh canda dan godaan, dan itulah yang ia harapkan terus ada di antara mereka.
Waktu terus berlalu tanpa terasa, dan malam yang ditunggu-tunggu pun tiba. Kota Kerajaan Varka dipenuhi oleh cahaya lampion yang bergemerlapan, musik merdu mengalun di seluruh penjuru, dan suara tawa rakyat yang meriah memenuhi udara. Rika, kini sendirian, menikmati suasana malam festival yang hangat. Ia mengenakan pakaian barunya—sebuah baju santai berwarna gelap yang dipadukan dengan mantel tipis yang berkibar tertiup angin malam. Penampilannya sederhana, namun tetap menunjukkan karisma yang membuatnya tampak menonjol di antara keramaian.
Sambil berjalan menuju menara jam, tempat ia berjanji untuk bertemu dengan Nora, Rika memutuskan untuk menikmati suasana sendirian lebih dulu. "Hah... setidaknya aku bisa menikmati festival ini tanpa harus memikirkan pekerjaan lagi," gumamnya sambil mengamati sekelilingnya. Namun, ia tidak bisa menahan diri dari mencibir sedikit saat melihat pasangan-pasangan muda yang berjalan beriringan, tertawa dan saling berpegangan tangan.
"Kenapa festival ini terasa seperti tempat berkumpulnya semua pasangan ya?" keluh Rika sambil menendang-nendang kerikil di jalan. Di saat inilah, suara yang sudah lama tidak terdengar dalam pikirannya akhirnya muncul kembali.
"Heh, cemburu melihat semua orang berpasangan, ya? Padahal kau yang memutuskan untuk datang sendirian," suara Rise bergema di dalam kepala Rika, dengan nada menggoda khas yang selalu membuat Rika kesal.
Rika memutar bola matanya, sedikit terkejut mendengar suara itu setelah sekian lama. "Oh, jadi kau akhirnya muncul lagi, huh? Kupikir kau sudah tertidur selamanya di dalam sana," jawab Rika, berbicara dalam hati agar orang-orang di sekitarnya tidak mengira ia sedang berbicara sendiri.
"Hanya beristirahat sejenak. Lagipula, aku tahu kau sangat merindukan suaraku. Bagaimana, kau menikmati festival ini?" tanya Rise dengan nada yang penuh ejekan.
Rika menghela napas panjang, berusaha mengabaikan godaan dari Rise. "Aku sudah cukup senang bisa berjalan-jalan tanpa harus diganggu olehmu. Kau tahu, aku merasa sedikit lebih damai tanpamu," katanya dengan senyum tipis, meskipun ia tahu kalau Rise tidak akan diam begitu saja.
"Hah, kau berusaha menutupi perasaanmu lagi, Rika. Padahal aku bisa merasakan kalau sebenarnya kau agak kesepian tanpa kehadiranku," goda Rise, menambahkan nada menggoda yang membuat Rika langsung mengerutkan kening.
"Pfft, jangan membuatku tertawa, Rise. Aku mungkin kesepian, tapi yang jelas bukan karena aku merindukan gangguanmu," jawab Rika dengan nada sarkastik. Namun di dalam hatinya, ia merasa sedikit lega mendengar suara Rise lagi, menandakan bahwa kekuatan mereka mulai kembali terkumpul.
Sambil melanjutkan perjalanannya ke menara jam, Rika tidak bisa menahan senyumnya. Ia mungkin tidak mau mengakuinya, tetapi percakapan kecil dengan Rise ini membuatnya merasa sedikit lebih hidup. Bagaimanapun juga, walau sering menggoda dan membuat pusing, kehadiran Rise telah menjadi bagian dari dirinya yang tak terpisahkan, terutama dalam situasi-situasi seperti ini.
"Jadi, Rika... apa rencanamu selanjutnya? Menunggu Nora sambil termenung sendirian di sini? Atau mungkin... kau berharap seseorang mendatangimu dan mengajakmu menikmati festival ini bersama?" goda Rise sekali lagi.
Rika hanya mendengus, mengabaikan godaan tersebut. "Kita lihat saja nanti, Rise. Kalau kau ingin berbicara, lebih baik kau temani aku sampai Nora tiba," katanya, sambil melangkah dengan percaya diri menuju menara jam, di tengah keramaian festival yang gemerlap.
Rika akhirnya tiba di menara jam, tempat yang sudah ia sepakati untuk bertemu dengan Nora. Ia duduk di tangga batu di depan menara, menikmati keramaian festival dari kejauhan. Dengan tatapan datarnya, ia mengunyah roti yang baru saja dibelinya di salah satu stan festival. Aroma mentega yang gurih memenuhi udara, dan dengan wajah polosnya, Rika menggumam, "Hmmm, roti ini enak juga... tidak terlalu manis, tapi lembut."
Namun, kenikmatan sederhana itu hanya bertahan sejenak. Beberapa menit kemudian, langkah cepat terdengar mendekat, dan Rika menoleh. Ia hampir tersedak saat melihat sosok yang muncul di hadapannya.
Nora berdiri di sana, mengenakan pakaian yang sangat mirip dengan milik Rika. Baju santai berwarna gelap dengan mantel tipis yang hampir sama. Bedanya, Nora menambahkan pita kecil berwarna biru di rambutnya yang berwarna perak, memberikan kesan yang lebih manis pada penampilannya.
Rika terdiam sejenak, memandang Nora dari ujung kepala hingga ujung kaki. Ekspresi datarnya berubah menjadi kebingungan. "Eh... Nora? Apa... kau sengaja memakai baju yang sama denganku?" tanya Rika sambil mengangkat sebelah alisnya, jelas-jelas terlihat bingung.
Nora menatap balik Rika dengan sedikit rasa malu, pipinya merona merah. "Apa? Tidak mungkin aku sengaja! Aku hanya memilih pakaian yang nyaman... Aku tidak tahu kalau kita akan mirip seperti ini!" jawab Nora cepat, membela diri sambil mencoba menyembunyikan rasa malunya.
Rika tertawa kecil, mengangkat bahunya sambil memandang Nora dengan pandangan geli. "Yah, mau bagaimana lagi? Kita terlihat seperti pasangan serasi sekarang," godanya, sengaja menekankan kata 'pasangan' untuk mengusik Nora.
"Pasangan?! Siapa juga yang mau jadi pasanganmu, dasar bodoh!" balas Nora sambil melipat tangan di depan dada, wajahnya semakin memerah.
Melihat ekspresi Nora yang kesal tapi tetap manis, Rika hanya tersenyum tipis. "Yah, anggap saja kita pasangan di festival ini," ujarnya sambil menawarkan roti yang ia pegang kepada Nora. "Mau coba? Roti ini lumayan enak, kau pasti suka."
Nora menatap roti itu sejenak sebelum mengambilnya dengan cemberut. "Aku tidak perlu disuapi olehmu. Tapi, terima kasih," katanya, menggigit roti dengan raut wajah yang masih kesal namun terlihat senang.
Rika tertawa, suasana canggung dan keheranan mereka berubah menjadi tawa kecil yang hangat. Mereka mungkin mengenakan pakaian yang sama, tapi yang membuat momen itu istimewa adalah kebersamaan mereka. Tanpa perlu berkata lebih banyak, keduanya menikmati festival malam itu, berjalan bersama di bawah lampion yang berkelap-kelip di langit malam yang indah.
Rika dan Nora mulai menikmati festival malam itu bersama-sama, menyusuri jalan-jalan yang dipenuhi dengan lampion berwarna-warni dan suara musik yang riang. Suasana begitu meriah; stan makanan dan permainan tersebar di setiap sudut, membuat mereka berdua tenggelam dalam hiruk-pikuk festival.
Namun, kebersamaan mereka sering kali terganggu oleh Nora yang berkali-kali menghilang dari sisi Rika. Entah itu karena ia melihat stan makanan baru, terseret dalam kerumunan orang yang menari, atau tiba-tiba tertarik dengan permainan yang disiapkan untuk anak-anak. Rika hanya bisa menghela napas dan terkekeh setiap kali Nora tiba-tiba menghilang dan kembali dengan wajah yang bersemangat.
"Nora, bisa nggak kau berhenti menghilang sebentar saja? Aku sampai kelelahan mengejarmu," keluh Rika sambil mengelap keringat di dahinya.
Nora, dengan senyum ceria dan tangan penuh dengan makanan, mengangkat bahunya. "Aku nggak bisa menahan diri, Rika! Semuanya terlihat begitu menarik!" ujarnya, menggigit takoyaki yang baru saja ia beli. "Lagipula, ini festival! Kapan lagi kita bisa menikmati semua ini bersama?"
Rika hanya bisa menggelengkan kepala sambil tersenyum lelah. "Kau ini... Semangatmu benar-benar nggak ada habisnya."
Seiring malam semakin larut, mereka mencoba berbagai permainan dan mencicipi beragam makanan. Rika, yang awalnya hanya mengikuti kemauan Nora, akhirnya mulai menikmati dirinya sendiri. Mereka tertawa bersama saat mencoba menangkap ikan emas, meskipun keduanya gagal. Mereka juga berusaha memenangkan boneka di stan permainan, dan meskipun Rika kalah berkali-kali, ia tidak bisa menahan tawa melihat ekspresi kemenangan Nora.
Saat malam mencapai puncaknya, orang-orang berkumpul di sebuah lapangan terbuka, tempat yang sudah disiapkan untuk menonton kembang api. Rika dan Nora pun ikut bergabung, mencari tempat yang nyaman untuk duduk bersama di bawah langit malam yang dipenuhi bintang.
Rika mendongak, melihat langit yang gelap mulai dipenuhi cahaya-cahaya kecil yang berkelap-kelip, pertanda bahwa kembang api akan segera dimulai. "Ini pasti akan menjadi malam yang indah," gumam Rika dengan senyum tipis di wajahnya.
Nora menoleh, memandang Rika yang terlihat tenang dan damai. "Kau benar," katanya pelan. "Aku senang kita bisa menikmati ini bersama."
Detik berikutnya, suara ledakan kecil terdengar, diikuti oleh cahaya warna-warni yang mekar di langit. Kembang api pertama meluncur ke udara, meledak menjadi percikan cahaya yang memukau. Rika dan Nora duduk berdampingan, menikmati setiap ledakan cahaya yang mengisi langit, menciptakan pemandangan yang luar biasa indah.
Rika menoleh ke arah Nora, melihat wajahnya yang bersinar dalam cahaya kembang api. Ia tersenyum, merasa bahwa meskipun hari-hari mereka dipenuhi oleh perjuangan dan tantangan, malam ini mereka bisa melupakan semuanya dan menikmati momen kebersamaan ini.
"Nora, terima kasih," ucap Rika tiba-tiba.
Nora menoleh, sedikit terkejut. "Untuk apa?"
"Untuk selalu ada di sisiku," jawab Rika dengan nada lembut, matanya tidak lepas memandang langit yang dipenuhi cahaya. "Aku bersyukur kau ada di sini."
Nora tersenyum, rasa hangat mengisi hatinya. "Aku juga bersyukur bisa ada di sini bersamamu, Rika."
Kembang api terakhir meledak, menciptakan hujan cahaya yang memenuhi langit, menandai puncak dari malam festival yang indah. Mereka berdua menatap langit, merasakan kebahagiaan yang sederhana namun berarti, berharap kebersamaan ini akan terus berlanjut meski hari-hari sulit masih menunggu di depan.