Chereads / Bunga Kutukan / Chapter 12 - Diriku Yang Baru

Chapter 12 - Diriku Yang Baru

Seminggu telah berlalu sejak luka-lukanya mulai sembuh. Di hari itu, Rika akhirnya kembali ke Sekolah Penyihir Falleyan. Namun, dia sudah bukan lagi Rika yang sama. Saat dia berjalan di sepanjang lorong sekolah, murid-murid lain memandangnya dengan rasa ingin tahu yang bercampur takut.

"Astaga, itu Rika, kan?"

"Lihat bekas lukanya... dia tampak menyeramkan sekarang."

"Dia benar-benar berubah setelah ekspedisi itu..."

Bisikan-bisikan di sekelilingnya bertebaran, tapi Rika tidak memperdulikannya. Wajahnya tetap datar, matanya kosong, dan langkahnya kaku. Jahitan luka di dahinya menambah kesan dingin yang kini melekat pada dirinya. Bekas luka di tubuh dan wajahnya menjadi bukti nyata dari betapa beratnya ekspedisi yang ia lalui.

Setibanya di kelas, Rika langsung menyelonong masuk tanpa sepatah kata. Tidak ada ucapan "selamat pagi" seperti biasanya, tidak ada senyuman kecil yang dulu sering terlihat di wajahnya. Ia hanya berjalan menuju kursinya dan duduk dengan pandangan yang tertuju pada meja di depannya, tenggelam dalam diam.

Di sisi lain, Nora yang duduk tidak jauh dari Rika memperhatikan sahabatnya dengan prihatin. Meskipun tubuhnya masih terbalut perban di beberapa bagian, semangat Nora tidak padam. Ia merasa bahwa ia harus melakukan sesuatu untuk mengembalikan semangat Rika, meskipun hanya sedikit.

Nora bangkit dari kursinya dan menghampiri Rika dengan langkah pelan. "Hei, Rika," sapanya dengan lembut. "Senang melihatmu kembali di sini."

Rika hanya menoleh sebentar, namun tanpa ekspresi. Tidak ada tanda-tanda kegembiraan atau reaksi apapun.

Nora duduk di sampingnya, mencoba mencari kata-kata yang tepat. "Aku tahu banyak yang terjadi, dan aku juga tahu kamu mengalami masa-masa sulit. Tapi, kita semua di sini untukmu, Rika. Aku di sini untukmu," ucapnya, berharap bisa menyentuh hati sahabatnya.

Namun, Rika tetap diam. Tatapannya kosong, seakan kata-kata Nora tidak bisa menembus dinding yang kini melindungi emosinya.

Nora tersenyum, meskipun terasa getir. "Ingat dulu, kamu pernah bilang padaku bahwa kita akan menghadapi semua ini bersama? Itu masih berlaku, Rika. Kau tidak sendirian."

Rika mendesah pelan, menundukkan kepala sedikit. "Aku tahu, Nora... tapi saat ini, aku hanya merasa... kosong."

Nora menggenggam tangan Rika dengan lembut. "Aku paham, tapi rasa kosong itu tidak akan bertahan selamanya. Kamu akan kembali menemukan dirimu, perlahan. Dan aku akan ada di sisimu, setiap langkahnya."

Meski ekspresi Rika tidak berubah, ada sedikit keringanan dalam suaranya saat ia berbisik, "Terima kasih, Nora."

Nora tersenyum lebih lebar kali ini. "Kapanpun, Rika. Kapanpun."

Rika memperhatikan seluruh tubuh Nora, mulai dari atas sampai bawah. Rika bertanya kepada Nora mengenaik kondisinya dengan wajah tenang "Bagaimana dengan keadaamu? Sudah lebih baik atau lebih parah?".

Nora mengangguk sambil tersenyum cerah, "Aku baik-baik saja, Rika. Kamu kira aku lemah?"

Rika menatap sahabatnya dengan mata yang agak menurun, namun sedikit kehangatan tampak mulai muncul di balik tatapan dinginnya. "Kau terlihat cukup kuat," ucap Rika pelan, mencoba melontarkan candaan kecil, meski suaranya terdengar kaku.

Nora tertawa kecil. "Ya, tentu saja! Aku ini penyihir yang tangguh, tahu? Jangan remehkan aku."

Rika mengangguk sedikit, pandangannya mulai lebih hidup. "Aku senang mendengarnya... meskipun luka-lukamu tampaknya belum sepenuhnya sembuh."

Nora mengangkat bahu. "Ah, ini hanya luka kecil. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Kamu harus lebih khawatir tentang dirimu sendiri. Bagaimana perasaanmu sekarang?"

Rika terdiam sejenak, menatap tangannya yang penuh bekas luka. "Rasanya aneh... seperti ada sesuatu yang hilang. Tapi aku tahu itu bagian dari diriku yang harus kubiasakan."

Nora menatap Rika dengan lembut, tapi tidak menekan lebih jauh. "Kau akan kembali, Rika. Pelan-pelan, tapi pasti."

Mereka terus berbicara, melupakan sejenak suasana kelas yang mulai ramai. Rika, meskipun masih dingin, mulai terlibat lebih banyak dalam percakapan dengan Nora. Mereka membicarakan masa lalu, misi-misi yang mereka jalani bersama, hingga obrolan santai tentang teman-teman sekolah mereka.

Tanpa mereka sadari, waktu berlalu begitu cepat.

Tiba-tiba, suara pintu kelas yang terbuka membuat mereka terkejut. Bu Guru Carmela telah memasuki ruangan dengan langkah tenang, dan suasana kelas langsung berubah menjadi hening.

"Cepat kembali ke tempat duduk kalian, kita akan mulai pelajaran sekarang," kata Bu Guru Carmela dengan suara tegas, namun lembut.

Nora terkikik kecil dan berbisik kepada Rika, "Sepertinya kita terlalu asyik ngobrol."

Rika mengangguk pelan, ekspresi wajahnya tetap datar, tetapi ada sedikit senyuman yang terlintas singkat di wajahnya sebelum dia kembali fokus ke depan.

Bu Carmela berdiri di depan kelas, melihat ke arah seluruh murid sebelum menghela napas panjang. "Sebelum kita mulai pelajaran hari ini, ibu ingin meminta waktu sebentar," katanya dengan suara yang agak bergetar. 

Semua murid langsung fokus mendengarkannya, suasana kelas menjadi hening.

"Rika, Nora, Zephyr," Bu Carmela melanjutkan, "Ibu benar-benar minta maaf kepada kalian bertiga... atas apa yang terjadi saat ekspedisi."

Tiba-tiba, dia membungkukkan badannya sebagai tanda permohonan maaf. Suasana kelas langsung berubah tegang. Semua murid terkejut, dan beberapa dari mereka bahkan tampak bingung. Ini bukan hal yang biasa dilakukan oleh seorang guru di Sekolah Penyihir Falleyan.

Rika, Nora, dan Zephyr yang duduk di barisan depan terlihat terkejut. Nora menggigit bibirnya dan Zephyr menundukkan kepala, tak tahu harus bereaksi bagaimana. Namun, Rika, meskipun wajahnya tetap datar, segera berdiri dan membalas ucapan Bu Carmela.

"Ibu tidak perlu meminta maaf," kata Rika dengan nada dingin, namun tegas. "Kami tahu risiko dari setiap misi yang kami ambil. Tidak ada yang perlu disesali."

Kata-kata Rika terdengar tegas, tetapi dingin. Kelas itu menjadi semakin sunyi, suasana tegang menggantung di udara. Murid-murid lain menahan napas, beberapa dari mereka menatap Rika dengan rasa hormat yang samar, sementara yang lain terlihat gugup.

Bu Carmela menegakkan tubuhnya perlahan, terlihat agak sedih, tetapi dia tetap berusaha menjaga wibawanya sebagai seorang guru. "Tetap saja, sebagai pengawas misi itu, ibu merasa bertanggung jawab. Ibu hanya ingin kalian tahu, kami semua di sini merasa kehilangan Leonis, dan kami bersyukur kalian selamat."

Suasana kelas semakin berat, ketegangan memenuhi setiap sudut ruangan. Bahkan, bisikan murid-murid di belakang kelas berhenti total. Semua orang menahan diri, tidak tahu harus berbuat apa. Beberapa murid saling bertukar pandang, merasa tidak nyaman dengan situasi tersebut.

Nora melirik Rika, mencoba menangkap sesuatu di wajah sahabatnya, namun Rika tetap tidak menunjukkan banyak ekspresi. Zephyr, di sisi lain, masih diam sambil menatap mejanya, wajahnya terlihat agak suram.

Rika akhirnya duduk kembali di kursinya, dan dengan dingin menambahkan, "Kami akan terus melanjutkan apa yang harus kami lakukan. Itulah satu-satunya hal yang penting."

Perlahan, suasana kelas mulai kembali normal. Murid-murid lain, meskipun masih merasa canggung, mulai fokus kembali ke pelajaran. Bu Carmela pun menarik napas panjang dan kembali ke materi pelajaran yang akan diajarkan. Namun, bayangan dari percakapan sebelumnya masih menggantung di udara, meskipun tidak lagi seberat sebelumnya.

Nora berbisik ke arah Rika, mencoba mencairkan suasana, "Kau benar-benar tahu cara membuat semuanya tegang, ya?"

Rika tidak menjawab, hanya menatap ke depan dengan tatapan kosong, tetapi dari sudut matanya, sedikit senyuman tipis muncul, meskipun hanya sesaat.

Rika akhirnya membuka mulut, tanpa mengalihkan tatapannya dari depan kelas, "Kamu juga panik, yah?" katanya dengan nada datar. "Mampus rasain, emang enak?"

Nora menoleh cepat, matanya melebar seolah tidak percaya. "Apa? Aku tidak panik!" katanya setengah berbisik, tapi wajahnya yang tersenyum lebar tidak bisa menyembunyikan kegugupannya. "Hanya... terkejut saja, oke?"

Rika tetap diam sejenak, sebelum akhirnya sudut bibirnya terangkat sedikit, "Yah, kelihatan kok. Kalau panik ya panik aja, ngaku."

Nora tertawa pelan, menutup mulutnya dengan tangan agar tidak menarik perhatian Bu Carmela. "Aku cuma khawatir kau akan melontarkan sesuatu yang lebih dingin dan membuat semuanya lebih canggung," katanya sambil mengerling ke arah Rika.

Rika mengangkat bahu ringan, masih dengan wajah datarnya, "Harusnya kau sudah terbiasa."

Nora menghela napas panjang sambil tersenyum, "Yah, aku sudah terbiasa... tapi kau selalu punya cara bikin suasana jadi makin... mencekam."

Rika menahan tawa tipisnya, tetap menatap ke depan dengan ekspresi tenang, tetapi ada kehangatan samar yang terasa di antara mereka.

Di seberang ruangan, Zephyr melirik sekilas ke arah mereka berdua dan hanya menggeleng pelan, seolah dia sudah menerima dinamika antara Rika dan Nora sebagai sesuatu yang biasa. Pelajaran baru dimulai, tapi di antara candaan kecil dan bisikan, suasana tegang dari sebelumnya sudah perlahan mencair.

"Diam-diam, ya? Kalau Bu Carmela dengar kita, habis kita," bisik Rika dengan nada peringatan yang diselingi canda.

Nora tertawa lagi, kali ini lebih lembut. "Yah, kalau begitu, kau yang harus jaga bicara."

Rika tersenyum tipis lagi, tapi kali ini ada sedikit keceriaan yang muncul di matanya. Pelajaran terus berlanjut, tapi momen ringan ini memberi mereka sedikit ruang untuk bernapas, meski hanya sejenak.