Chereads / Bunga Kutukan / Chapter 13 - Bekerja Layaknya Kuda Part 1

Chapter 13 - Bekerja Layaknya Kuda Part 1

Dengan dimulainya liburan, Rika harus meninggalkan dunia bermainnya dan terjun langsung ke kesibukan musim Erntesegen. Di musim panen raya Kerajaan Varka ini, setiap orang, termasuk Rika, harus bahu-membahu bekerja di ladang.

Pada musim Erntesegen, udara di Kerajaan Varka dipenuhi aroma tanah basah dan hasil panen yang segar. Ladang-ladang membentang luas, penuh dengan tanaman yang siap dipetik, dan seluruh rakyat kerajaan ikut serta dalam perayaan panen besar-besaran. Bagi Rika, musim ini berarti bekerja tanpa henti. Setiap pagi dia bangun sebelum matahari terbit dan langsung menuju ke ladang bersama penduduk lainnya, siap untuk memulai hari yang panjang dan melelahkan.

Rika menghela napas panjang sambil melihat hamparan ladang di hadapannya. "Kalau ini terus-terusan, aku benar-benar akan jadi kuda pekerja," gumamnya, menyiapkan sabit dan karung untuk mengumpulkan hasil panen.

Di sebelahnya, seorang wanita tua yang bekerja di ladang tersenyum penuh semangat. "Kamu muda dan kuat, Rika. Tenagamu bisa menghidupi satu ladang sendiri!" katanya sambil tertawa.

Rika hanya tersenyum simpul, mencoba tetap bersemangat meski tubuhnya terasa lelah. "Yah, selama aku nggak perlu panen sampai malam, aku bisa bertahan."

Setiap kali dia merasa lelah, pikiran Rika kembali ke apa yang telah dia lalui di ekspedisi sebelumnya. Dibandingkan dengan ancaman kutukan dan pertarungan hidup-mati, bekerja di ladang memang tidak seberat itu, tetapi tetap saja, kelelahan fisik dan panas terik menjadi tantangan tersendiri.

Hari-hari berlalu dalam kesibukan, dan selama musim Erntesegen, Rika mulai terbiasa dengan ritme baru. Dia bekerja sepanjang hari, hanya beristirahat sejenak untuk makan siang dan minum bersama warga lainnya di pinggir ladang. Pada malam hari, Rika akan pulang dengan tubuh pegal dan berbaring di tempat tidur, tertidur begitu kepalanya menyentuh bantal.

Namun, meskipun ini adalah pekerjaan yang melelahkan, Rika merasa ada ketenangan tersendiri di dalamnya. Tidak ada tekanan dari pertempuran atau kekuatan kutukan yang harus dia hadapi; hanya hasil kerja keras yang nyata—sesuatu yang bisa dia lihat dan rasakan langsung.

Suatu sore saat mereka sedang beristirahat di bawah pohon, seorang pemuda dari desa tersenyum padanya, "Rika, kau benar-benar kuat, ya? Baru beberapa hari saja, tapi hasil kerjamu luar biasa."

Rika hanya mengangguk, sedikit tersipu. "Yah, aku tidak punya pilihan selain terus bekerja."

Dan begitulah, selama musim Erntesegen, Rika terus bekerja layaknya kuda, bersama seluruh rakyat Kerajaan Varka. Di tengah rasa lelah, dia menemukan kebersamaan yang berbeda—kebersamaan yang tidak penuh ketegangan, tetapi penuh rasa syukur atas panen yang melimpah.

Pada hari ke-5 musim Erntesegen, Rika mulai kehilangan kesabarannya. Di sekelilingnya, anak-anak kecil dengan riang bermain lumpur di ladang, berlari-lari sambil menertawakan satu sama lain, tak peduli bahwa mereka menyipratkan lumpur ke arah hasil panen dan pakaian para pekerja. Setiap kali Rika hendak menegur mereka, ada saja anak lain yang mengganggu, dan dia harus berkali-kali membentak mereka untuk menjaga ketertiban.

Sampai akhirnya, Nora datang menghampirinya dengan senyum tenang di wajahnya. "Rika, kamu sudah kerja keras. Istirahatlah sebentar, ya?" katanya, lalu menarik tangan Rika ke pinggir ladang. Dia mendorong Rika untuk duduk di bawah pohon rindang, lalu mengelus kepalanya lembut.

Rika hanya menghela napas berat, lelah namun merasa sedikit terhibur dengan kehadiran Nora. "Aku benar-benar capek dengan mereka. Sudah berkali-kali aku tegur, tapi mereka masih saja lari-lari ke sana kemari, membuat kekacauan…"

Nora tertawa kecil sambil mengeluarkan bekal yang dia bawa. "Anak-anak memang begitu, Rika. Mereka cuma ingin bersenang-senang. Lagipula, kau juga butuh waktu untuk tenang sejenak."

Rika menggeleng pelan, mengakui kebenaran kata-kata Nora. "Yah… mungkin kau benar. Tapi aku heran, bagaimana bisa mereka tidak kelelahan? Tenaganya seperti tak habis-habis."

Nora hanya tersenyum sambil memberikan sebungkus roti pada Rika. "Kalau soal tenaga yang tak habis-habis, sepertinya kau juga tidak jauh berbeda. Lihat saja, dari hari pertama Erntesegen, kau hampir tidak istirahat."

Rika menerima roti itu dan menggigitnya perlahan. Sambil mengunyah, ia bergumam, "Tapi aku tidak tahan melihat mereka terus membuat kekacauan…"

Nora tertawa, mencoba menggoda Rika, "Kau memang tidak bisa lepas dari pekerjaan, ya? Tapi coba tenang sebentar, anggap ini bagian dari proses, seperti kita yang tidak bisa lepas dari satu sama lain."

Rika hanya memutar bola matanya, tersenyum tipis. "Kau memang pandai bicara, Nora. Mungkin aku memang harus menerima kalau istirahat sejenak ini tak akan menghancurkan ladang."

Mereka pun duduk di sana, menikmati makanan sederhana mereka dan tertawa bersama, menemukan ketenangan di tengah pekerjaan yang berat. Meskipun dunia mereka penuh dengan bahaya dan tuntutan, mereka menyadari bahwa kebersamaan yang saling mendukung adalah kekuatan terbesar yang mereka miliki.

Nora menatap Rika dengan lembut, kemudian mengulurkan tangannya, mengelus perlahan luka jahitan yang ada di wajah Rika, terutama luka besar di dahinya. "Rika, aku selalu bertanya-tanya... Kenapa setiap kali Rise yang mengambil alih tubuhmu, semua luka ini menghilang? Tapi begitu tubuhmu kembali padamu, semua luka itu muncul lagi?"

Rika menatap Nora, sedikit terkejut dengan pertanyaan itu. Dia terlihat bingung, jelas tidak punya jawaban yang pasti. "Hmm... Itu juga sering kupikirkan, Nora. Mungkin... tubuhku beregenerasi lebih cepat saat Rise mengambil alih, atau mungkin jiwa Rise mempengaruhi fisikku dengan cara tertentu. Entahlah, mungkin itu semacam... ilusi penyembuhan yang dia ciptakan, atau mungkin dia punya kekuatan yang bisa menyembunyikan luka-luka ini sementara."

Nora mendengarkan dengan penuh perhatian, meskipun dia tahu bahwa jawaban Rika terdengar sangat spekulatif. "Ilusi penyembuhan? Atau regenerasi? Kau terdengar seperti sedang menjelaskan sesuatu dari buku sihir yang bahkan tidak pernah kubaca," katanya dengan senyum kecil di bibirnya.

Rika tertawa kecil, meskipun suaranya terdengar lelah. "Yah, aku juga tidak tahu pasti. Ini hanya dugaanku saja. Mungkin Rise memiliki kontrol yang lebih baik terhadap energi kutukan Mawar Hitam, jadi dia bisa memanipulasi tubuhku lebih sempurna daripada aku sendiri. Atau bisa jadi... ini efek samping dari dia yang mencoba melindungiku, dengan cara yang hanya dia mengerti."

Nora mengangguk pelan, meski masih ada banyak kebingungan di matanya. "Jadi, kau sendiri tidak benar-benar tahu kenapa itu terjadi?"

Rika menghela napas panjang, kemudian mengangkat bahu. "Jujur saja, tidak tahu. Aku bukan ahli soal kutukan atau bunga kutukan. Mungkin ini sesuatu yang hanya Rise sendiri yang mengerti. Aku hanya... berusaha bertahan dan menerima keadaan ini."

Nora tersenyum, mengelus rambut Rika dengan lembut. "Yang penting kau masih di sini, bersamaku. Luka-luka itu hanya bagian dari perjalanan kita, bukan?"

Rika menatapnya dan memberikan senyuman tipis. "Iya, mungkin kau benar. Selama kita masih bisa duduk di sini dan mengobrol seperti ini, itu sudah cukup bagiku."

Nora tersenyum hangat, tapi rasa penasaran terlihat jelas di matanya. "Ngomong-ngomong, Rika... Aku masih penasaran soal satu hal lagi. Di mana kau menyimpan Pedang Higanbana itu sekarang? Setelah semua yang terjadi, aku khawatir jika jiwa Shiko mungkin mencoba bangkit kapan saja."

Rika menghela napas, mengusap keningnya yang berjahit dengan santai, lalu menjawab tanpa terlalu banyak berpikir. "Higanbana? Ah, jangan khawatir, aku menyimpannya di tempat yang aman. Sejauh ini, belum ada tanda-tanda kalau jiwa Shiko akan melakukan sesuatu. Lagi pula, aku selalu memastikan kalau energi kutukannya tidak terlepas tanpa kendali."

Nora mengernyitkan dahi, merasa jawabannya agak mengambang. "Tempat yang aman, ya? Kau benar-benar tidak mau memberitahuku di mana tepatnya?"

Rika hanya tersenyum tipis, mengangkat bahu. "Rahasia kecilku. Lagipula, semakin sedikit yang tahu, semakin aman, bukan? Percayalah, aku sudah memikirkan tempat terbaik untuk menyimpannya."

Nora terdiam sejenak, kemudian mengubah topik dengan nada cemas. "Kalau begitu, bagaimana dengan Claymore warisan ayahmu? Aku tahu betapa berharganya pedang itu bagimu. Kau masih menjaganya, kan? Aku takut kalau kau terlalu emosi dan malah merusak pedang itu."

Rika tertawa kecil, kali ini senyum di wajahnya terlihat lebih tulus. "Claymore itu? Jangan khawatir. Aku mungkin sudah sedikit berubah, tapi aku tidak akan sampai menghancurkan peninggalan terakhir dari Ayahku. Pedang itu... mungkin satu-satunya benda yang mengingatkanku pada masa-masa indah bersamanya. Aku menyimpannya dengan baik. Bahkan kalau aku sedang marah atau kesal, aku akan memastikan tidak ada yang terjadi pada pedang itu."

Nora menghela napas lega, kemudian menepuk bahu Rika dengan penuh rasa syukur. "Syukurlah. Aku tahu kau pasti menjaga benda itu dengan hati-hati. Itu juga bagian dari kenanganmu, kan?"

Rika menatap langit sejenak, lalu mengangguk pelan. "Iya... Kenangan yang tak akan pernah kulupakan. Dan aku tidak akan membiarkan apapun merusaknya."

Rika mengalihkan pandangannya dari langit, tatapannya berubah serius. "Tapi ada sesuatu yang aneh tentang Claymore itu, Nora. Terkadang, aku merasakan energi kutukan yang mengalir dari pedang itu. Padahal, seharusnya pedang itu hanyalah senjata biasa. Aku tidak tahu dari mana datangnya energi kutukan itu," jelas Rika, suaranya terdengar bingung dan sedikit khawatir.

Nora mengerutkan alisnya. "Energi kutukan dari Claymore itu? Bukankah itu hanya pedang biasa yang diwariskan dari ayahmu?"

Rika mengangguk, lalu melanjutkan, "Itulah yang kupikirkan awalnya. Tapi saat aku menggunakan pedang itu, aku bisa merasakan sesuatu yang berbeda. Meskipun begitu, yang membuatku makin bingung adalah saat Rise mengambil alih tubuhku, dia tidak bisa menggunakannya. Seolah pedang itu menolak untuk digunakan olehnya."

Nora terdiam, mencoba mencerna penjelasan Rika. "Jadi kau berpikir, mungkin ayahmu membuat pedang itu dengan bahan atau teknik khusus? Sesuatu yang bisa mempengaruhi kutukan?"

Rika mengangguk pelan, masih memikirkan kemungkinan tersebut. "Mungkin. Aku tidak tahu pasti bahan apa yang digunakan oleh ayahku saat membuat pedang itu, tapi yang jelas, ada sesuatu yang spesial. Dan aku merasa... pedang itu hanya bisa digunakan olehku, bukan oleh siapapun yang memiliki kekuatan kutukan."

Nora menatap Rika dengan penuh rasa ingin tahu, tetapi sebelum bisa bertanya lebih jauh, Rika berdiri, mengakhiri pembicaraan. "Yah, cukup tentang itu. Kita masih punya banyak pekerjaan di ladang ini. Anak-anak tengik itu pasti sudah menunggu korban baru untuk dilempari lumpur," kata Rika dengan nada datar, tapi kali ini sedikit senyum tersirat di sudut bibirnya.

Nora tertawa kecil, mengangguk. "Baiklah, Rika. Ayo, kita lanjutkan pekerjaan ini. Lagipula, siapa yang bisa menolak melihat wajahmu yang datar saat marah pada anak-anak itu?"

Rika hanya menghela napas, lalu mulai berjalan kembali ke ladang. "Sialan kau, Nora," gumamnya pelan, tetapi kali ini ada sedikit kehangatan di nada suaranya.