Sudah satu bulan berlalu sejak ekspedisi mengerikan itu, dan sejak saat itu, hidup Rika tidak pernah sama lagi. Luka-luka fisik yang ia derita mungkin mulai sembuh, tapi luka di dalam hatinya masih terasa dalam. Sekolah Penyihir Falleyan kini tahu, bahwa misi yang mereka jalani membawa lebih banyak duka daripada kemenangan. Kematian Leonis di tangan Makhluk Kutukan masih menghantui benaknya, dan perubahan dalam diri Rika sangat terasa—dia yang dulu hangat dan penuh semangat kini berubah menjadi sosok yang dingin dan terisolasi.
Hari ini, di bawah sinar matahari yang terik, Rika berlatih di halaman belakang rumahnya. Suara logam yang bergesekan terdengar jelas saat Claymore warisan ayahnya berayun dengan keras melawan tiang kayu yang sudah mulai terkikis oleh serangan-serangannya. Pedang besar itu, yang biasanya sulit dikendalikan bagi orang lain, terlihat begitu ringan di tangan Rika. Setiap ayunan menunjukkan kekuatan dan teknik yang tajam, namun ada sesuatu yang berbeda—kekosongan di balik gerakannya, seakan setiap serangan tidak lagi didorong oleh tujuan, melainkan oleh kebiasaan.
Rika menghela napas panjang, mengangkat pedangnya tinggi-tinggi sebelum mengayunkannya sekali lagi dengan kekuatan penuh. Tiang kayu itu retak, namun dia tidak berhenti. Dia terus menyerang, mengulang pola-pola gerakan yang dia pelajari bertahun-tahun, sementara pikirannya melayang kembali ke ekspedisi itu—ke saat-saat terakhir Leonis, wajah pucatnya saat ia tak lagi bernapas, dan teriakan Nora yang masih terdengar di benaknya.
"Satu lagi...," gumamnya, mengayunkan pedangnya sekali lagi dengan energi yang tampaknya tidak ada habisnya. Keringat mengalir di dahinya, tapi dia tidak peduli. Baginya, rasa lelah dan sakit fisik adalah cara untuk mengalihkan pikirannya dari rasa sakit yang jauh lebih dalam.
Ketika dia berhenti sejenak untuk mengatur napas, Rika menatap Claymore di tangannya. Warisan ayahnya. Senjata yang dulu ia gunakan untuk melindungi, sekarang tampak lebih seperti alat pelampiasan amarah dan rasa bersalah. Seiring waktu, tangannya mulai bergetar, bukan karena lelah, tapi karena emosi yang sulit ia tahan. Namun, Rika hanya menggeretakkan giginya dan kembali berdiri tegak, menguatkan diri.
Dia melanjutkan latihannya tanpa jeda, memusatkan seluruh perhatian pada setiap ayunan dan setiap gerakan pedangnya, seolah hanya itu yang bisa membuatnya tetap bertahan. Dunia di sekitarnya menghilang, dan hanya ada dia dan Claymore itu.
"Fokus," bisik Rika lagi, kali ini dengan nada lebih tegas, namun bukan pada pedang atau latihannya, melainkan pada dirinya sendiri.
Namun, amarah yang telah lama terpendam di dalam dirinya mulai merangkak keluar. Setiap kenangan buruk, setiap kekalahan, dan rasa bersalah yang ia simpan seolah meledak. Ia sudah tidak tahan lagi.
"Apa gunanya semua ini?" gumam Rika dengan nada penuh frustrasi. "Aku... aku bahkan tidak bisa menyelamatkan mereka. Leonis... dan diriku sendiri. Apa gunanya bertarung kalau aku terus kalah?"
Dengan marah, Rika melempar Claymore itu ke tanah. Pedang besar itu menghantam tanah dengan bunyi dentingan berat. Ia menatap pedang itu dengan penuh kebencian, meskipun dalam hatinya ia tahu bahwa yang benar-benar ia benci bukanlah senjata itu, melainkan dirinya sendiri.
"Apa gunanya semua ini? Semua pelatihan ini… semua pengorbanan… kalau pada akhirnya aku tetap tak berguna," bisiknya dengan suara gemetar. Rika meremas rambutnya dengan frustrasi, tak kuasa menahan perasaan yang bercampur aduk di dalam dirinya.
Saat itu, suara langkah kaki yang pelan terdengar dari arah belakang. Rika tidak menyadarinya pada awalnya, tenggelam dalam amarah dan kebingungannya sendiri.
"Rika?" Sebuah suara lembut memanggil namanya.
Rika terdiam sejenak, menoleh perlahan. Di sana, berdiri Eva, temannya dari Sekolah Penyihir Falleyan. Eva menatapnya dengan raut wajah khawatir, matanya penuh perhatian. Dia berjalan mendekat, perlahan-lahan, seolah takut langkahnya akan memicu kemarahan Rika yang meledak-ledak.
"Eva?" Rika memanggil, suaranya serak. Ia mencoba meredam emosinya, tapi luka batin yang ia simpan membuatnya sulit untuk tenang.
Eva mendekat, lalu duduk di sampingnya di tanah. Ia melihat Claymore yang tergeletak beberapa meter jauhnya, lalu beralih menatap Rika yang masih terlihat terpukul. "Aku dengar dari yang lain... kamu mengalami masa yang sulit, jadi aku memutuskan untuk datang. Aku khawatir tentangmu."
Rika mengalihkan pandangannya, mencoba menghindari tatapan Eva yang penuh kepedulian. "Aku... aku tak tahu lagi apa yang harus kulakukan, Eva. Setiap hari rasanya semakin sulit. Setiap kali aku mencoba untuk bangkit, aku merasa semuanya sia-sia. Aku tak bisa menyelamatkan Leonis. Aku tak bisa menyelamatkan siapa pun."
Eva diam sejenak, membiarkan Rika meluapkan rasa frustrasinya. "Rika," katanya lembut, "kamu sudah melakukan yang terbaik. Apa yang terjadi di ekspedisi itu bukan salahmu."
"Tapi nyatanya, Leonis sudah tiada," kata Rika dengan getir. "Dan aku… aku yang masih hidup, tapi rasanya seperti aku yang seharusnya tidak ada di sini."
Eva menatap Rika dengan tegas. "Jangan bicara seperti itu. Kehidupanmu berharga, dan kami semua—aku, Nora, Zephyr—kami butuh kamu. Jangan mengabaikan dirimu sendiri karena rasa bersalah."
Rika tetap diam, meskipun kata-kata Eva mulai sedikit meresap ke dalam hatinya.
Eva meraih tangan Rika dengan lembut, menguatkannya. "Aku tidak bisa mengubah apa yang sudah terjadi, tapi aku bisa berada di sini untukmu sekarang. Kamu tidak sendirian, Rika."
Rika menutup matanya, menghela napas panjang, mencoba meredakan emosi yang masih berkecamuk di dalam dirinya. Kehadiran Eva membawa sedikit rasa tenang, meskipun luka-luka batin itu masih jauh dari sembuh.
"Terima kasih, Eva," Rika akhirnya berkata, suaranya pelan namun tulus.
"Selalu," jawab Eva, tersenyum lembut. "Sekarang... bagaimana kalau kita mulai dari awal lagi? Satu langkah kecil saja. Kita bisa lalui ini bersama."
Rika menatap Eva dengan raut penasaran. "Kenapa kau tidak ikut ekspedisi waktu itu?"
Eva mendengus sambil menyilangkan tangannya di dada. "Aku ada misi lain," jawabnya santai, namun nada sombongnya jelas terdengar. "Penyihir elite seperti aku ikut ekspedisi begitu? Tch, terlalu mudah. Makhluk kutukan seperti itu? Pasti tidak butuh waktu lama untuk menyelesaikannya kalau aku ikut."
Rika hanya menggelengkan kepala, tersenyum kecil meskipun sedikit terganggu oleh kesombongan Eva. Namun sebelum Rika sempat membalas lebih jauh, Eva tiba-tiba merasakan sesuatu. Raut wajahnya berubah serius, alisnya mengerut, dan ia mengedarkan pandangan ke sekeliling.
"Aneh..." gumam Eva pelan, lebih kepada dirinya sendiri. "Kenapa ada aura bunga kutukan yang begitu hebat di sini... tekanannya luar biasa."
Rika mendesah, sepertinya sudah siap untuk percakapan ini. "Itu bukan dari sekeliling," jawab Rika tenang. "Itu dari aku."
Eva terkejut, menatap Rika dengan mata membelalak. "Maksudmu...?"
Rika mengangguk. "Ini... dari jiwa yang ada di dalam diriku. Bunga Kutukan Mawar Hitam."
Eva benar-benar kebingungan sekarang. "Mawar Hitam? Maksudmu... Sang Pengguna Bunga Kutukan Legendaris? Rise? Dia ada di sini?! Jangan bilang... kau adalah wadah untuk jiwanya?"
Rika menatap Eva dengan tenang, meskipun dalam hatinya ada sedikit kekhawatiran tentang bagaimana Eva akan bereaksi. "Iya. Aku adalah wadah bagi jiwa Rise."
Eva mundur selangkah, wajahnya penuh keterkejutan dan kekhawatiran. "Kau... kau memegang jiwa legendaris itu? Ini luar biasa... tapi juga sangat berbahaya, Rika."
Rika mengangguk pelan, seolah mengerti kekhawatiran Eva. "Aku tahu. Tapi ini sudah menjadi kenyataanku sekarang. Dan aku harus belajar menghadapinya... seperti aku menghadapi yang lainnya."
Eva terdiam sejenak, mencoba memproses apa yang baru saja ia dengar. Setelah beberapa detik, ia menghela napas panjang dan akhirnya berkata, "Kalau begitu, kita harus benar-benar berhati-hati. Rise... Mawar Hitam... kekuatannya tidak bisa diremehkan. Tapi aku percaya kamu bisa mengendalikannya, Rika."
Rika tersenyum tipis, lalu menghela napas panjang. "Aku tidak punya pilihan lain, kan?"
Tanpa menunggu lebih lama, Rika memejamkan mata, membiarkan Rise mengambil alih tubuhnya. Perlahan, hiasan mawar hitam mulai muncul di rambutnya, menjalar indah namun menakutkan. Kedua tanduk kecil perlahan muncul di dahinya, menandai kehadiran sosok yang berbeda di dalam tubuh Rika.
"Bo!" terdengar suara yang berbeda, lebih dalam dan penuh percaya diri. "Ini aku, Rise."
Eva, yang awalnya sudah bersiap siaga, langsung memasang sikap waspada begitu melihat perubahan drastis pada Rika. Namun, dia tidak bisa menahan diri untuk bersikap sedikit bercanda meskipun ketegangan terasa. "Buset... beneran ternyata! Oke, oke, aku minta ampun karena udah sombong tadi!"
Rise menyeringai lebar, mata Rika yang sekarang tampak lebih gelap bersinar penuh keisengan. "Hmm, ampun? Bukankah kamu tadi bilang terlalu mudah untuk ekspedisi yang mereka lakukan? Ah, jadi kamu bilang kamu lebih kuat dari aku, ya?"
Eva menelan ludah, tapi masih mencoba bertahan dengan sikap cerianya. "Haha, nggak, nggak, aku cuma bercanda! Lagian, siapa sih yang bisa menandingi Sang Mawar Hitam?"
Rise mendekat, membuat Eva semakin waspada, namun ia hanya tertawa. "Santai saja, aku cuma menguji nyalimu. Dan ternyata kau cukup menyenangkan."
Eva menghela napas lega, tapi tetap berhati-hati. "Wah, kamu benar-benar... beda dari Rika, ya."
"Jelas. Aku adalah Rise, bukan Rika. Tapi... jangan khawatir, aku nggak punya niat jahat kok. Setidaknya, untuk sekarang." Rise menyeringai lagi sebelum mundur, membiarkan tubuh Rika kembali pada keadaan semula.
Rika perlahan membuka mata, kembali menjadi dirinya sendiri. "Itulah... yang kuhadapi sekarang. Kehadiran Rise ini, kadang rumit."
Eva tersenyum kecut. "Ya, aku bisa lihat... tapi selama kita tahu cara mengendalikannya, aku yakin semuanya akan baik-baik saja."
Rika melanjutkan, "Kau tahu Shiko, adik Rise yang menggunakan Bunga Kutukan Higanbana kan? Dia ada di sini, jiwa-nya masih terperangkap di dalam pedangnya. Dia tidak mendapatkan wadah yang cocok untuk menampung kekuatannya."
Mendengar ini, wajah Eva langsung berubah, terlihat bingung dan terkejut. "Yah... kalau dia bangkit, bisa gawat sih," Rika menambahkan, nada suaranya mencerminkan ketidakpastian dan kekhawatiran yang mendalam.
Eva tampak terhenyak. "Sebenarnya, kau itu apa, hah?! Bisa memegang kedua hal legendaris itu! Apalagi itu urutan pertama dan kedua yang merupakan Bunga Kutukan terkuat."
Rika menggelengkan kepala, sedikit tersenyum meski ketegangan masih terasa di udara. "Aku juga tidak tahu. Sepertinya aku terjebak di tengah pertempuran antara kekuatan yang tidak kuinginkan. Rise dan Shiko... mereka punya sejarah yang lebih dalam dari apa yang bisa kulihat."
Eva mengangguk, berusaha memahami. "Jadi, kau bukan hanya wadah untuk Rise, tapi juga terlibat dengan masalah Shiko? Ini rumit, Rika. Kau perlu hati-hati."
Rika menatap ke kejauhan, wajahnya penuh resolusi. "Aku tahu. Itulah sebabnya aku berlatih keras. Aku harus bisa mengendalikan kekuatan ini. Jika Shiko bangkit, aku tidak ingin dia menjadikan semua orang di sekitarku sebagai sasaran. Dan jika Rise memerlukan bantuan, aku tidak bisa berpaling."
Eva melangkah lebih dekat, menaruh tangan di bahu Rika. "Kita akan mencari jalan keluar bersama. Kau tidak sendirian dalam ini, ingat? Aku ada di sini untuk mendukungmu, terlepas dari betapa rumitnya situasi ini."
Rika tersenyum lembut, rasa terima kasih meliputi hatinya. "Aku tahu, Eva. Dan aku menghargainya."
Eva mengangkat alis sambil tersenyum jahil. "Oh iya, omong-omong... di mana Nora? Kau tidak bersama dia? Kalian itu kan sudah seperti lem, tidak bisa lepas kalau sudah bersama," ucapnya sambil bercanda, memiringkan kepala sedikit untuk mempertegas godaannya.
Rika mendengus pelan, meskipun tak bisa menyembunyikan sedikit senyum di sudut bibirnya. "Kau pikir aku dan Nora itu apa, hah? Dia sedang dirawat. Luka yang dialaminya juga cukup parah. Tapi dia masih selamat, dan aku bersyukur," jawabnya, sedikit jengkel namun tetap memperlihatkan kepedulian.
"Cie cieee! Ada yang khawatir nih!" Eva menggoda lagi, kali ini dengan lebih riang, mencoba memecah suasana serius yang sempat menyelimuti.
Rika menatap Eva dengan pandangan datar, tidak terlalu terpengaruh oleh godaan itu. "Khawatir? Tentu saja aku khawatir. Dia teman yang berharga, meskipun terkadang terlalu banyak bicara," Rika menjawab dengan nada dingin, tapi ada kehangatan tersirat di balik kata-katanya.
Eva tertawa kecil. "Masih saja kau berubah, tapi tetap tak bisa menyembunyikan rasa pedulimu itu. Sifat dinginmu tak mengubah kenyataan bahwa kau masih Rika yang lama."
Rika mengangkat bahu, membiarkan godaan Eva berlalu begitu saja. "Aku tidak punya pilihan. Keadaan memaksaku menjadi lebih kuat. Kelembutan tidak akan membawa kita jauh dalam dunia ini."
Eva mengangguk, memahami perubahan yang terjadi pada temannya. "Aku mengerti. Tapi jangan lupa, bahkan di dunia yang keras ini, kita masih bisa menjaga hati kita tetap hangat. Kita harus menjaga apa yang penting."
Rika menghela napas panjang, menatap ke tanah sebentar sebelum menatap Eva lagi. "Mungkin kau benar. Tapi terkadang, sulit untuk tetap hangat ketika segalanya terasa begitu dingin."
Eva mendekat dan menepuk bahu Rika dengan ringan. "Itulah gunanya teman, Rika. Kalau dunia ini terlalu dingin, kita bisa saling menghangatkan. Kau tidak perlu menghadapinya sendirian."
Rika tersenyum kecil, kali ini tanpa sisa rasa dingin. "Terima kasih, Eva. Aku tidak sering bilang ini, tapi aku senang kau ada di sini."
"Jangan khawatir, aku akan terus mengingatkanmu untuk tetap peduli," Eva menjawab dengan tawa ringan. "Dan aku akan selalu ada di sisimu, Rika."
Keduanya kemudian terdiam sejenak, menikmati momen kebersamaan mereka, sementara angin sejuk berhembus lembut di halaman belakang, membawa harapan di tengah segala tantangan yang akan mereka hadapi.