Chereads / Bunga Kutukan / Chapter 10 - Denyut Kematian Part 2

Chapter 10 - Denyut Kematian Part 2

Rika terbaring di tanah, rasa sakit menyelimuti seluruh tubuhnya. Nafasnya berat, dan pandangannya buram oleh darah yang mengalir dari luka-lukanya. Meskipun begitu, tekadnya belum goyah. Ia masih hidup, dan selama ia masih bisa bergerak, ia tidak akan menyerah.

Makhluk Kutukan itu berjalan perlahan menuju Rika, seolah-olah kemenangan sudah pasti berada di tangannya. Namun, di tengah rasa sakit yang luar biasa, Rika merasakan sesuatu yang aneh di dalam dirinya. Sebuah kekuatan yang selama ini terpendam mulai bergerak, bangkit dari kedalaman dirinya.

"Rise..." bisik Rika di dalam pikirannya, mencoba menghubungi jiwa yang selama ini tinggal di dalam tubuhnya. "Aku... butuh bantuanmu."

Tak lama kemudian, suara Rise terdengar samar di pikirannya. "Kau akhirnya memanggilku, Rika. Sepertinya kau berada dalam masalah besar kali ini."

"Aku tidak bisa mengalahkan makhluk ini sendiri," Rika mengaku, merasa terpojok. "Kita harus bekerja sama. Apa pun risikonya."

Rise terdiam sejenak sebelum menjawab dengan tegas. "Baiklah, tapi kau harus siap. Jika aku mengambil alih tubuhmu lagi, kau tahu apa yang akan terjadi."

Rika mengangguk pelan, meskipun tidak ada yang bisa melihatnya. "Aku siap. Lakukan saja."

Seiring dengan keputusan Rika, tubuhnya mulai diselimuti oleh aura hitam yang pekat. Bunga Kutukan 'Mawar Hitam' yang terhubung dengan jiwa Rise mulai tumbuh di sekitar tubuhnya, memancarkan kekuatan yang mengerikan. Perlahan-lahan, kontrol tubuh Rika beralih ke Rise.

Ketika makhluk kutukan itu tiba di hadapan Rika, ia terkejut melihat perubahan yang terjadi. Rika—atau lebih tepatnya Rise—bangkit dengan gerakan anggun, meskipun tubuh itu penuh luka. Mata Rise yang kini mengendalikan tubuh Rika bersinar merah gelap, memancarkan aura kebencian yang kuat.

"Jadi, kau sudah tahu. Kalau aku ada di dalam tubuh gadis ini?," suara Rise bergema, dingin dan tajam. "Pengamatanmu hebat juga, tidak heran sedari tadi kau hany fokus mengincar Rika."

Makhluk Kutukan itu membalas perkataan Rise yang sekarang mengendalikan tubuh Rika dengan senyuman sinis dan tatapan tajamnya. "Tentu saja aku tahu, mungkin tidak salah aku menggunakan adikmu sebagai senjataku."

"Baiklah... boleh aku tanya satu hal? Sudah siap untuk mati?" Rise menantangnya dengan tatapan dingin dan tajam layaknya pisau.

Makhluk Kutukan itu menyeringai, merasa tertantang. "Oh? Kau pikir dengan kekuatanmu yang saat ini, kau bisa melawanku?"

Tanpa memperpanjang kata-kata, Rise melesat maju dengan kecepatan yang jauh melebihi kemampuan Rika sebelumnya. Dalam sekejap, ia sudah berada di hadapan makhluk kutukan itu, dan dengan satu ayunan tangan, ia mengirimkan serangan yang penuh dengan energi kutukan langsung ke tubuh lawannya.

Makhluk Kutukan itu terhempas ke belakang, terkejut oleh kekuatan mendadak yang dihadapinya. Namun, sebelum dia bisa pulih, Rise sudah berada di atasnya, menyerang tanpa henti dengan serangan yang lebih cepat dan lebih kuat dari sebelumnya. Setiap serangan yang dilepaskan membawa kehancuran, memecah keheningan malam dengan dentuman keras.

"Aku tidak akan membiarkanmu menguasai desa ini, atau siapa pun!" Rise berteriak sambil terus menyerang, kemarahan dan tekadnya bergabung menjadi kekuatan yang tak terbendung.

Pertempuran terus berlangsung dengan intens, tetapi dengan Rise yang kini mengendalikan tubuh Rika, keseimbangan kekuatan mulai berubah. Makhluk Kutukan yang sebelumnya tampak tak terkalahkan mulai terdesak, menghadapi kekuatan kutukan yang jauh lebih besar dari yang pernah ia duga.

Namun, meskipun Rise berhasil mendesak lawannya, ia menyadari bahwa kekuatan Bunga Kutukan Higanbana yang dipegang oleh makhluk itu masih sangat berbahaya. Setiap serangan dari pedang itu mengancam untuk merobek kenyataan, membawa aura kematian yang bahkan Rise sendiri merasa sulit untuk dilawan.

"Rika, kita harus menyelesaikan ini sekarang!" Rise berkata dalam benak Rika, mengetahui bahwa mereka tidak bisa terus bertarung selamanya. "Jika kita tidak menghentikan dia sekarang, kita semua akan binasa." 

Rika yang masih ada di dalam kesadarannya mengangguk setuju. "Lakukan apa pun yang perlu kita lakukan, Rise."

Dengan keputusan itu, Rise mengumpulkan seluruh sisa kekuatan yang dimilikinya. Bunga Mawar Hitam di sekitarnya mekar sepenuhnya, memancarkan energi yang begitu besar hingga udara di sekitar mereka bergetar. Dia bersiap untuk mengeluarkan serangan pamungkas, yang akan menghancurkan makhluk kutukan itu sekali dan untuk selamanya.

"Ini adalah akhirnya!" Rise berteriak, melepaskan seluruh kekuatannya dalam satu serangan besar, menghantam langsung ke arah makhluk kutukan yang kini terjebak dalam kekuatannya sendiri.

Sebuah ledakan besar terjadi, menerangi langit malam yang gelap dengan cahaya hitam yang memancar dari pusat pertempuran. Dalam sekejap, suara ledakan bergema ke seluruh penjuru desa, dan tanah di sekitar mereka bergetar hebat.

Ketika debu mulai mereda, hanya tersisa kesunyian. Makhluk kutukan itu tidak terlihat lagi. Tubuhnya telah hancur, lenyap bersama dengan kekuatan kutukannya.

Rika, yang kini kembali mengendalikan tubuhnya setelah Rise melepaskan kendali, jatuh berlutut di tanah. Napasnya berat, tubuhnya terasa sangat lemah, tapi ia berhasil. Mereka berhasil.

Zephyr dan Nora yang perlahan mulai sadar dari pingsan mereka, melihat Rika dengan tatapan kagum dan khawatir. Mereka semua tahu, pertarungan ini telah membawa mereka ke batas kemampuan mereka.

"Rika..." Zephyr berkata dengan lemah, mendekati temannya yang terbaring lemah di tanah. "Kau melakukannya."

Rika tersenyum tipis, meskipun rasa sakit masih menjalar di seluruh tubuhnya. "Kita... melakukannya," katanya pelan, menahan semua rasa sakit dari lukanya.

Malam itu, udara di Desa Verdalia terasa berat, meskipun ancaman dari Makhluk Kutukan telah berhasil mereka atasi. Langit malam yang sebelumnya kelam kini mulai menampakkan bintang-bintang, seolah menyiratkan harapan. Namun, di hati Rika dan teman-temannya, mereka tahu ini belum benar-benar berakhir.

Nora, yang tampak kelelahan, menatap Rika yang terkulai di bahunya. "Rika, kamu masih kuat?" tanyanya dengan nada khawatir.

Rika, yang wajahnya pucat karena luka parah di kepala dan perut, tersenyum lemah. "Aku... aku akan baik-baik saja. Tapi, ada satu hal lagi yang harus aku lakukan."

Nora mengerutkan kening, tak yakin apa yang dimaksud Rika. "Apa itu? Kamu sudah terluka cukup parah. Kamu harus istirahat."

Dengan napas yang terengah-engah, Rika mengarahkan pandangannya ke arah Pedang Higanbana yang tergeletak tak jauh dari tempat mereka berdiri. Mata Rika dipenuhi tekad meski tubuhnya hampir tak bisa bergerak. "Bawa aku ke sana, Nora... Aku harus mengambil pedang itu."

Nora terdiam sejenak, menatap pedang merah dengan hiasan bunga yang kini tampak tak berdaya di tanah. Dia tahu betapa berbahayanya pedang itu—bukan hanya karena kekuatan yang terkandung di dalamnya, tetapi juga karena jiwa Shiko yang masih bersemayam di sana. "Kamu serius? Pedang itu bisa berbahaya, terutama untukmu, Rika."

Rika menelan ludah, menahan rasa sakit yang menjalar di tubuhnya. "Aku tahu... tapi aku tidak bisa membiarkan pedang ini di sini. Kalau jatuh ke tangan yang salah, kita tidak akan pernah bisa menghentikan kebangkitan Shiko." Suaranya terdengar tegas, meski tubuhnya lemah.

Nora mengangguk dengan penuh pengertian. "Baiklah... tapi kamu harus janji untuk istirahat setelah ini."

Dengan susah payah, Nora membantu Rika berdiri. Setiap langkah terasa berat, namun Nora dengan lembut menopang tubuh Rika yang lemah. Mereka berdua mendekati Pedang Higanbana. Aura kutukan yang kuat masih menguar dari pedang itu, membuat bulu kuduk mereka merinding.

Setibanya di depan pedang, Rika berjongkok perlahan, dengan bantuan Nora. Dia menatap pedang itu sejenak, merasakan kehadiran Shiko di dalamnya, tapi kali ini Shiko diam—seolah menunggu. Rika mengambil napas dalam-dalam, lalu meraih gagang Pedang Higanbana. Sentuhan dingin dari logamnya langsung merasuk ke dalam tubuhnya, membuat jantungnya berdegup kencang.

"Aku akan menyimpannya untuk sementara," bisik Rika, suaranya hampir tak terdengar. "Sampai kita bisa menemukan solusi yang lebih baik."

Nora mengangguk. "Kita akan temukan caranya. Tapi sekarang, ayo kembali. Kamu butuh perawatan."

Rika terdiam sejenak, wajahnya pucat dan lelah. Sebuah pertanyaan yang mengusik pikirannya tiba-tiba muncul. Dengan suara yang hampir tak terdengar, ia bertanya, "Di mana... Leonis?"

Nora tidak menjawab. Dia memalingkan wajah, dan suasana mendadak menjadi tegang. Zephyr yang berdiri di samping mereka hanya bisa menarik napas dalam, wajahnya tampak masam, penuh kesedihan yang terpendam. Tatapannya menghindari mata Rika.

"Leonis..." Zephyr menggumam dengan suara serak, menundukkan kepalanya. "Dia sudah tidak ada, Rika."

Hening. Kata-kata itu seolah menembus udara dingin malam, memotong napas dan waktu. Dunia terasa melambat di sekeliling mereka.

Rika menatap Zephyr tanpa ekspresi. Dalam keadaan terluka parah, dia seolah tak mampu merasakan apa-apa lagi, bahkan kesedihan. Alih-alih menangis atau menunjukkan emosi, ia hanya tersenyum samar, seolah menerima kenyataan itu dengan tenang.

"Oh... ternyata begitu..." gumamnya dengan suara pelan, matanya sayu. Senyuman di wajahnya terasa dingin, hampir kosong, seperti orang yang telah terbiasa kehilangan. Namun, di balik senyuman itu, ada rasa sakit yang tak terungkap.

Nora menggigit bibirnya, tak sanggup berkata apa-apa lagi. Zephyr mengepalkan tinjunya, menahan emosi yang mulai menguasainya. Mereka tahu Rika terluka lebih dari sekadar fisik malam ini.

"Ya... ternyata begitu," Rika mengulangi, seolah meyakinkan dirinya sendiri. Namun, mereka semua tahu—kehilangan itu telah meninggalkan jejak yang tak akan pernah hilang di hati mereka.

Setelah beberapa saat, Rika tampak kebingungan dan lemah, tapi pikirannya tetap berusaha memahami situasi di sekitarnya. Dengan sisa tenaga, ia bertanya, suaranya pelan tapi jelas, "Kenapa kalian berdua juga terluka? Apa yang sebenarnya terjadi?"

Nora menatap Rika, sedikit ragu sebelum menjawab, namun akhirnya ia menarik napas panjang. "Kami terluka setelah kau terpental keluar oleh makhluk kutukan itu," jawabnya perlahan. "Begitu kau terhempas keluar, makhluk itu langsung mengalihkan perhatiannya pada kami."

Zephyr, yang berdiri diam di samping, mengangguk dengan mata yang masih menatap tanah. Nora melanjutkan dengan suara yang sedikit bergetar, "Ia... ia menusuk Leonis lebih dulu. Kami tidak sempat melindunginya. Setelah itu, makhluk itu menyerangku dan Zephyr tanpa henti."

Rika terdiam mendengar penjelasan itu, rasa lelah di tubuhnya seolah bertambah berat. Tapi lagi-lagi, ia hanya tersenyum tipis, meski senyuman itu lebih seperti bayangan daripada ekspresi bahagia. "Aku mengerti…" katanya singkat, meski dalam hatinya ada rasa penyesalan yang sulit ia akui.

Nora menatap Rika dengan penuh simpati, memegangi pundaknya dengan lembut, "Tapi kita sudah melakukan yang terbaik, Rika. Kami bertahan, dan kamu juga bertahan. Dan yang terpenting, kita harus tetap hidup... untuk menghadapi hari berikutnya."

Mereka bertiga kembali ke penginapan, dengan Rika yang sudah tak berdaya. Ia hanya duduk di kursi, lemas dan terlihat kehilangan semangat. Wajahnya pucat, dan matanya yang biasanya cerah kini tampak redup. Sementara itu, Zephyr duduk di meja, fokus menulis laporan untuk dikirim ke sekolah Penyihir Falleyan menggunakan burung posnya. Sesekali, ia melirik ke arah Rika, merasa gelisah melihat sahabatnya dalam keadaan seperti itu.

Nora mengamati Rika sejenak, merasakan beban yang teramat berat di hatinya. Kehilangan Leonis masih membekas dalam pikiran mereka, dan setiap kali memikirkan namanya, rasa sakit itu seakan kembali menghantam. Setelah selesai dengan urusannya, ia bergegas menghampiri Rika. Dengan lembut, ia meletakkan pedang Rika yang ada di pinggangnya di samping kursi dan mengambil pedang Higanbana dari tangannya. "Ini harus disimpan dengan aman," bisiknya pada diri sendiri, bertekad untuk menjaga barang-barang yang berharga ini agar tidak jatuh ke tangan yang salah.

Nora kemudian duduk di samping Rika, memandang sahabatnya dengan penuh kasih. "Rika, aku akan merawatmu sekarang," katanya lembut. Ia melihat luka-luka yang menghiasi wajah Rika, luka sobek di dahi yang menganga, dan memar-memar lain yang menunjukkan betapa parahnya pertarungan yang baru saja mereka lalui.

Nora membuka tas medisnya dan mengeluarkan alat-alat yang diperlukan. "Kita harus cepat. Ini mungkin akan sedikit menyakitkan, tapi aku janji aku akan berusaha semaksimal mungkin agar kamu merasa nyaman."

Dengan penuh ketelitian, Nora mulai menjahit luka sobek di dahi Rika, berusaha semaksimal mungkin agar tidak membuatnya terlalu kesakitan. Setiap jarum yang menusuk kulit Rika membuatnya menghela napas perlahan, namun ia berusaha menahan diri untuk tidak mengeluh. Di tengah proses tersebut, Nora mengingat kembali bagaimana mereka berjuang melawan makhluk kutukan, mengingatkan dirinya sendiri tentang keberanian Rika yang tak tergoyahkan.

"Rika," kata Nora, mencoba mengalihkan perhatian sahabatnya. "Ingat waktu kita pertama kali bertemu di sekolah? Kau sangat berani saat menghadapi sihir gelap yang menyerang kita. Itulah kenapa aku selalu mengagumimu."

Rika mengangguk lemah, meski hatinya terasa berat. Ia teringat betapa penuh semangatnya saat itu, bagaimana ia selalu bersedia maju ke depan meski bahaya mengintai. "Aku hanya... melakukan apa yang harus dilakukan," jawabnya pelan, suara Rika hampir tak terdengar.

Nora terus merawat Rika, menambal wajahnya yang memar dengan hati-hati, membasuhnya dengan lembut agar rasa sakit sedikit mereda. "Bersabarlah, Rika. Ini akan cepat berlalu. Kita akan menghadapinya bersama, seperti yang selalu kita lakukan."

Setelah selesai menjahit luka di dahi, Nora membersihkan luka-luka lainnya, memperhatikan setiap detail dengan cermat. Rika terdiam, merasakan sentuhan lembut dari tangan sahabatnya, yang berusaha menyembunyikan rasa sakit di dalam dirinya. Dalam hatinya, ia bertekad untuk tidak menyerah—tidak hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk Leonis dan semua yang telah berjuang bersamanya.

"Nora, mengapa kau dan Zephyr bisa terluka?" Rika bertanya, suara Rika mulai terdengar lebih kuat. "Apa yang terjadi saat aku... saat makhluk kutukan itu menyerang?"

Nora menatap Rika, matanya penuh simpati. "Kami terluka saat kau dipukul keluar oleh makhluk kutukan itu. Ketika kau terpental, ia langsung mengincar kami. Leonis berusaha melindungi kita, dan saat itu dia ditusuk, aku dan Zephyr juga terkena serangan. Kami berjuang sekuat tenaga untuk bertahan, tapi saat itu, semuanya terasa begitu cepat."

Rika terdiam sejenak, merenungkan kata-kata Nora. Rasa bersalah mulai menyelimuti pikirannya, namun ia tahu bahwa semua itu bukan kesalahannya. "Aku... aku seharusnya lebih berhati-hati," katanya pelan.

Nora menggenggam tangan Rika dengan lembut, "Kita semua berjuang dengan cara kita masing-masing. Yang terpenting adalah kita masih bersama. Kita akan terus bertahan untuk menghadapi apa pun yang ada di depan kita."

Rika mengangguk, meski ada rasa sakit yang menyelubungi hatinya. Dia tahu bahwa meskipun luka fisiknya bisa sembuh, luka emosional akan memakan waktu. Namun, dengan dukungan sahabat-sahabatnya, ia merasa sedikit lebih kuat.

Saat mereka duduk di sana, dalam keheningan yang dipenuhi dengan harapan dan tekad, Rika merasa bahwa mereka akan mampu melewati segala rintangan yang ada di depan. Bersama-sama.

Tiba-tiba, rasa tenang itu terguncang ketika mulut Rise muncul di telapak tangan Rika. Suaranya yang dalam dan penuh misteri menggema di dalam pikiran Rika, seolah membangkitkan kesadaran akan bahaya yang mengintai. "Makhluk Kutukan itu menargetmu karena jiwa ku ada di tubuhmu," katanya, nada suaranya mengandung rasa urgensi yang mendalam.

Rika terkejut, mengangkat tangan kanannya yang terlihat aneh dengan kehadiran mulut itu. "Rise! Kenapa kamu muncul sekarang?" tanya Rika, kebingungan dan ketakutan melingkupinya.

Nora dan Zephyr, yang mendengar percakapan itu, saling memandang dengan cemas. Mereka belum sepenuhnya memahami hubungan antara Rika dan Rise, namun aura yang menyelimuti Rika saat itu membuat mereka merasa tidak nyaman.

"Aku tidak punya pilihan lain," jawab Rise, suaranya menambah ketegangan di udara. "Makhluk itu tidak hanya mengincar dirimu, tetapi juga apa yang ada di dalam dirimu—jiwa ku. Mereka ingin membangkitkan kembali kekuatanku, dan itu hanya bisa terjadi jika mereka menguasai tubuhmu."

Rika menggigit bibirnya, rasa sakit di dalam hati semakin menguat. "Tapi... aku tidak bisa membiarkan itu terjadi. Aku harus melindungi diriku dan semua orang di sekitarku!"

"Begitulah cara mereka beroperasi. Mereka akan terus memburu kita sampai aku bisa mengendalikan kekuatanku sepenuhnya," Rise menjelaskan, suaranya kini lebih lembut namun tegas. "Kau harus bersiap menghadapi ancaman ini. Kita harus bekerja sama untuk menghentikan kebangkitan yang tidak diinginkan ini."

Nora, yang masih memegangi tangan Rika, mengangguk dengan tegas. "Kami akan membantumu, Rika. Kita akan menemukan cara untuk mengendalikan situasi ini. Kita tidak akan membiarkan makhluk kutukan itu mengambil alih."

Zephyr, yang awalnya terdiam, akhirnya berbicara. "Kita perlu strategi. Jika makhluk kutukan itu mengetahui keberadaan Rise, kita harus melindungi Rika dengan cara apa pun. Kita harus berlatih dan mempersiapkan diri."

Rika menatap sahabat-sahabatnya dengan penuh rasa syukur, meski hatinya terasa berat dengan tanggung jawab yang kini ada di pundaknya. "Aku akan melawan, tidak hanya untuk diriku, tetapi juga untuk kalian. Kita akan menghadapinya bersama."

Kehadiran Rise di tangan Rika menjadi pengingat akan bahaya yang mereka hadapi, tetapi juga memberikan kekuatan baru untuk melangkah maju. Rika tahu, meskipun ada tantangan di depan, mereka akan melawan dengan semua yang mereka punya—bersama, sebagai satu kesatuan.