Malam yang sudah ditentukan akhirnya tiba. Langit di atas Desa Verdalia gelap pekat, diterangi hanya oleh cahaya rembulan dan beberapa bintang yang berkelip di kejauhan. Angin malam bertiup lembut, membawa serta keheningan yang seolah mempertegas ketegangan yang semakin mendekat. Di tengah semua itu, Rika, Leonis, Zephyr, dan Nora berkumpul di luar penginapan, siap dengan persiapan yang telah mereka siapkan dari hari sebelumnya.
Rika, yang mengenakan mantel tebal dan membawa sarung pedang di pinggangnya, terlihat tenang. Namun, ia tidak bisa menahan senyum kecil ketika melihat Nora, yang setengah tertidur dan menguap sambil berusaha mengikat rambutnya yang berantakan.
"Oi, Nora, kau yakin sudah cukup tidur tadi?" Zephyr bertanya dengan nada bercanda, sambil mengangkat satu alis. "Kau terlihat seperti baru bangun dari mimpi buruk."
Nora mengerutkan hidungnya, tersenyum setengah mengantuk. "Aku butuh lebih banyak tidur. Tapi, hei, aku masih bisa mengalahkan kutukan sambil ngantuk, percaya deh."
Rika tertawa kecil sambil menepuk bahu Nora. "Jangan sampai tertidur saat pertarungan nanti, ya. Kau tahu, kami butuh kamu."
Leonis yang sibuk memeriksa peralatannya menoleh, ikut menambahkan dengan nada jahil. "Kalau kau jatuh tertidur di tengah pertempuran, jangan khawatir, aku akan menyeretmu keluar. Itu pun kalau aku sempat."
Nora melempar pandangan penuh keusilan ke arah Leonis. "Tentu saja, kau hanya perlu menggendongku kalau aku jatuh tertidur."
Zephyr tertawa terbahak-bahak, dan bahkan Rika tidak bisa menahan senyum. Suasana di antara mereka mulai terasa lebih ringan, seolah-olah canda dan tawa itu mengurangi sedikit beban berat yang mereka rasakan sebelumnya.
Setelah mereka selesai bercanda, Rika berdiri dan menatap teman-temannya satu per satu. "Oke, semuanya, kita sudah siap. Ini mungkin tidak akan mudah, tapi kita sudah tahu apa yang harus dilakukan. Kita selesaikan ini dan pastikan desa ini aman."
Zephyr menarik napas panjang, lalu mengangguk. "Aku sudah siap. Tidak ada kutukan yang bisa menghentikanku."
Leonis, yang biasanya penuh dengan strategi dan perhitungan, kali ini tersenyum lebar. "Ayo buat malam ini berakhir dengan cepat. Aku tidak sabar untuk kembali ke penginapan dan istirahat."
Nora, yang sudah sepenuhnya terjaga sekarang, mengacungkan jempol dengan penuh semangat. "Ayo kita buat makhluk kutukan itu menyesal telah muncul di desa ini!"
Di tengah perjalanan menuju lokasi yang telah ditentukan, angin malam berhembus dingin, membuat suasana semakin mencekam. Rika berjalan di depan, memimpin kelompok, namun tiba-tiba ia teringat sesuatu yang seharusnya disampaikan lebih awal.
"Ah, ada yang lupa aku beri tahu," kata Rika dengan suara yang agak tenang, tapi cukup untuk menarik perhatian yang lainnya.
Zephyr yang berada di sampingnya menoleh dengan penasaran. "Apa yang kau lupakan, Rika?"
Rika berhenti sejenak, menghela napas dalam-dalam sebelum berbicara. "Makhluk Kutukan yang akan kita hadapi… dia bukan Tingkat Istimewa seperti yang kita pikirkan."
"Bukan Tingkat Istimewa?" Leonis mengernyit, merasa bingung. "Lalu apa?"
Rika menatap mereka satu per satu, wajahnya lebih serius dari sebelumnya. "Makhluk itu… ternyata Tidak Terdaftar."
Sontak, suasana menjadi tegang. Nora, yang baru saja mulai merasa percaya diri, langsung melangkah mundur sedikit, meresapi informasi baru itu. "Tidak Terdaftar? Jadi... kekuatannya lebih besar dari yang kita kira?"
Rika mengangguk perlahan. "Bukan hanya itu. Sepertinya... dia memiliki Bunga Kutukan."
Keheningan tiba-tiba menyelimuti mereka. Zephyr terdiam, memproses informasi tersebut. "Tunggu sebentar, bagaimana bisa Makhluk Kutukan memiliki Bunga Kutukan? Bukankah itu hanya bisa dimiliki manusia yang terkutuk?"
Rika menggelengkan kepala pelan. "Aku juga tidak tahu. Ini pertama kalinya aku mendengar hal seperti itu."
Leonis meletakkan tangannya di dagu, berpikir keras. "Jika Makhluk Kutukan bisa memiliki Bunga Kutukan, maka kekuatannya pasti jauh lebih menakutkan dari yang kita duga."
"Aku tidak punya jawaban pasti untuk itu," Rika melanjutkan, menatap tanah sejenak sebelum menatap kembali teman-temannya. "Tapi, yang perlu kita lakukan adalah bersiap. Aku yakin ini tidak akan mudah."
Kata-kata Rika membuat mereka semua tersentak. Nora, yang biasanya terlihat santai, kini memandang Rika dengan tatapan serius, merasakan ketegangan di setiap kata yang diucapkan. Zephyr dan Leonis saling pandang, kebingungan dan ketakutan mulai merayapi mereka.
"Jadi... kita mungkin akan kehilangan salah satu dari kita?" Zephyr bertanya dengan nada yang agak bergetar.
Rika mengangguk perlahan, ekspresi wajahnya tetap tegar. "Ya, siapa yang tahu?. Tapi kita tetap harus melakukan ini. Jika tidak, desa ini akan hancur."
Keheningan kembali menguasai mereka. Namun, meskipun rasa takut menghantui, tekad mereka tidak goyah. Dengan saling mendukung, mereka tahu bahwa mereka harus tetap maju, tidak peduli betapa mengerikannya apa yang menunggu di depan.
"Baiklah," ujar Leonis dengan nada mantap, meski matanya menunjukkan sedikit keraguan. "Kita selesaikan ini. Apapun yang terjadi."
Nora menghela napas panjang dan mengangguk. "Ya, kita sudah sejauh ini. Kita tidak akan mundur."
Rika tersenyum kecil, merasa bersyukur memiliki teman-teman seperti mereka. "Ayo, kita lanjutkan. Tidak ada jalan kembali sekarang."
Mereka melanjutkan perjalanan selama empat puluh lima menit, menyusuri jalan setapak yang semakin gelap. Setiap langkah membawa mereka lebih dekat ke tempat di mana Makhluk Kutukan itu bersembunyi. Meskipun malam terasa semakin berat, tekad mereka tidak goyah. Suara angin yang menderu di antara pepohonan menciptakan suasana yang mencekam.
Akhirnya, di depan mereka muncul sebuah bangunan tua yang sudah tidak berpenghuni. Dindingnya retak, dan sebagian atapnya sudah runtuh. Inilah tempat di mana pertarungan mereka akan terjadi—tempat di mana Makhluk Kutukan Tingkat Tidak Terdaftar menunggu.
Rika memberi isyarat dengan tangannya. "Semua sesuai rencana. Kita masuk dari berbagai arah dan pastikan kita tidak memberinya kesempatan untuk melarikan diri."
Zephyr, Leonis, dan Nora mengangguk tegas, masing-masing bergerak ke posisi mereka. Rika sendiri mengambil napas dalam-dalam sebelum mendobrak pintu dari sisi depan, sementara yang lain masuk dari jendela yang rusak dan pintu belakang.
Saat mereka semua masuk ke dalam bangunan tua itu, mereka merasakan aura kutukan yang begitu kuat menyelimuti seluruh ruangan. Namun, apa yang mereka temukan di dalamnya jauh lebih mengejutkan daripada yang mereka bayangkan.
Di tengah ruangan yang gelap dan berdebu, berdiri seorang gadis. Wujudnya seperti manusia, dan dia tampak seumuran dengan Rika dan Nora. Rambutnya panjang dan hitam, berkilau di bawah sinar bulan yang menerobos melalui celah-celah di atap. Dia mengenakan pakaian lusuh, namun sorot matanya memancarkan kekuatan yang mengerikan.
"Apa...?" bisik Zephyr dengan kaget, suaranya hampir tak terdengar.
Leonis berdiri mematung, matanya tidak bisa lepas dari sosok gadis itu. "Makhluk Kutukan ini... wujudnya seperti manusia?"
Nora mempererat cengkeraman senjatanya, namun jelas kebingungan. "Seorang gadis?"
Namun, perhatian Rika segera teralihkan dari sosok gadis itu ketika dia melihat sesuatu yang tergeletak di dekat kaki gadis itu—sebuah pedang. Pedang itu dihiasi dengan ukiran bunga berwarna merah yang mencolok, terletak di sarungnya yang indah namun memancarkan aura gelap.
Rika merasa darahnya membeku seketika.
"Pedang itu... Itu Pedang Higanbana!" pikir Rika dengan panik. Jantungnya berdegup kencang. Bagaimana mungkin?!
Gadis itu, yang tampaknya menyadari tatapan Rika, mengambil pedang tersebut dan menggenggamnya dengan lembut. Tatapan gadis itu beralih ke Rika, seolah-olah dia tahu bahwa Rika memahami betapa berbahayanya senjata di tangannya.
"Jadi, kau menyadarinya," gadis itu berbicara untuk pertama kalinya, suaranya lembut namun penuh ancaman. "Ya, ini adalah Pedang Higanbana, bunga kutukan yang diwariskan untuk mengakhiri penderitaan dunia."
Rika tidak bisa mempercayai apa yang sedang terjadi. Makhluk Kutukan ini tidak hanya memiliki wujud manusia, tapi juga mengendalikan kekuatan Bunga Kutukan yang legendaris—pedang yang seharusnya dimiliki Shiko, adik Rise.
Bagaimana mungkin pedang itu ada di sini? Dan... bagaimana bisa dia menggunakannya?
Sebuah firasat buruk merayap dalam benak Rika. "Tunggu sebentar," pikirnya, mencoba merangkai teka-teki yang ada di depannya. "Makhluk Kutukan ini belum bersatu dengan Pedang Higanbana... Mungkin Jiwa Shiko menolak Makhluk Kutukan ini sebagai wadahnya."
Sejenak, rasa lega mengalir dalam diri Rika. Namun, ada sesuatu yang tidak beres. Sejak awal, tatapan Makhluk Kutukan itu tidak pernah lepas dari dirinya. Seolah-olah, Rika adalah satu-satunya targetnya.
"Kenapa dia hanya memperhatikanku...?" bisik Rika dalam hati, perasaannya bercampur antara kewaspadaan dan kebingungan.
Sebelum Rika bisa merenungkan lebih jauh, Makhluk Kutukan itu tiba-tiba menghilang dari pandangannya dengan kecepatan luar biasa. Dalam sekejap, ia muncul di hadapan Rika, dan tanpa peringatan, melepaskan pukulan keras langsung ke wajah Rika.
"Rika!" Zephyr berteriak, tapi terlambat. Pukulan itu begitu kuat, membuat tubuh Rika terpental keluar dari bangunan tua. Suara retakan terdengar saat tubuhnya menghantam tanah dengan keras.
Rika tergeletak di tanah, merasakan sakit yang luar biasa menyebar dari wajahnya. Hidung dan mulutnya mulai mengeluarkan darah, sementara dahinya mengalami pendarahan yang mengalir perlahan ke wajahnya. Napasnya tersengal-sengal, dan pandangannya sedikit kabur. Namun, meski tubuhnya dihantam begitu keras, pikirannya masih fokus pada satu hal: Kenapa Makhluk Kutukan itu begitu mengincarku?
Zephyr dan Nora langsung berlari keluar dari bangunan, berusaha mencapai Rika yang sedang terluka. Namun, sebelum mereka bisa mendekatinya, Makhluk Kutukan itu muncul kembali, berdiri di antara mereka dan Rika, dengan senyum dingin yang menyeringai di wajahnya.
"Rika!" seru Zephyr lagi, kali ini dengan nada marah dan khawatir.
Makhluk Kutukan itu perlahan mengangkat pedang Higanbana, dan tatapannya tetap terkunci pada Rika, seolah-olah tidak ada yang lain di dunia ini selain dirinya.
Rika, meski terluka parah, mencoba bangkit dengan tertatih-tatih. Dengan darah yang mengalir dari hidung, mulut, dan dahinya, dia menatap Makhluk Kutukan itu dengan penuh tekad. Aku tidak akan kalah... Tidak malam ini.
Rika berusaha berdiri meski tubuhnya terasa berat. Darah yang mengalir dari hidung, mulut, dan dahinya membasahi pakaiannya, namun matanya masih menyala dengan tekad yang tak tergoyahkan. Aku tidak akan kalah... Tidak malam ini. Pikiran itu terus bergema di dalam kepalanya, meski tubuhnya sudah sangat lemah.
Dari kejauhan, ia bisa melihat Makhluk Kutukan itu berjalan keluar dari bangunan tua. Teman-temannya—Leonis, Zephyr, dan Nora—terkapar tak sadarkan diri di lantai yang kotor dan berdebu. Hatinya mencelos, tapi dia tahu dia harus terus berjuang.
Makhluk Kutukan itu mendekat, tatapan matanya tajam seperti pisau, menusuk ke arah Rika yang sudah kelelahan. Dengan setiap langkahnya, ujung Pedang Higanbana yang dia pegang menyeret di atas tanah, mengeluarkan suara gesekan yang memekakkan telinga. Setiap suara gesekan seolah menambah beban mental Rika, membuatnya sadar akan bahaya yang semakin dekat.
Saat jarak di antara mereka menipis, Makhluk Kutukan itu berhenti tepat di depan Rika. Tanpa sepatah kata pun, dia meraih rambut Rika dengan kasar, menariknya ke atas. Rika terangkat, tubuhnya yang lemas tak mampu melawan, dan rasa sakit yang teramat sangat menjalar dari kulit kepalanya.
"Aaah!" Rika mengerang kesakitan, tangannya mencoba mencengkeram tangan Makhluk Kutukan itu, tapi kekuatannya sudah habis. Napasnya terengah-engah, dan pandangannya mulai berkunang-kunang.
Makhluk Kutukan itu menatapnya dengan dingin, tanpa emosi. "Kau lemah," katanya dengan nada yang datar, "dan malam ini, kau akan binasa."
Namun, di balik rasa sakit itu, Rika menatap balik dengan mata penuh tekad, meski tubuhnya sudah tidak sanggup lagi, hatinya menolak menyerah. Aku harus melindungi mereka... aku harus bertahan, tidak peduli apa pun yang terjadi.
Saat serangan makhluk kutukan itu menghantam Rika dengan kekuatan penuh, tubuh Rika terlempar ke udara dengan kecepatan yang mengerikan. Meski tubuhnya terasa seperti akan hancur berkeping-keping, tekadnya masih kuat. "Aku harus melindungi mereka...," batinnya berteriak, "Tidak peduli apa pun yang terjadi."
Makhluk kutukan itu tidak memberikan kesempatan bagi Rika untuk bangkit kembali. Saat Rika masih berada di udara, makhluk itu melompat tinggi, melesat ke arahnya dengan kecepatan kilat, menyerang dari berbagai sudut. Setiap serangan terasa seperti gelombang kemarahan yang mematikan, memburu tubuh Rika tanpa ampun. Cakar makhluk itu menggores punggungnya, kemudian berputar cepat, menghantam bahunya dengan kekuatan yang membuat tulangnya terasa patah.
"Rika!" Zephyr berteriak dari kejauhan, tetapi tidak bisa mendekat karena mengalami beberapa luka fatal yang di terimanya .
Di puncak serangannya, makhluk kutukan itu menyiapkan pukulan terakhir—sebuah pukulan yang membawa tambahan kekuatan Bunga Kutukan dari Shiko, membuat serangan itu jauh lebih dahsyat. Pukulan keras menghantam tepat di perut Rika, seolah menghancurkan segalanya dari dalam.
Dengan satu serangan itu, tubuh Rika terpental lebih jauh dari lokasi pertarungan. Udara terlempar dari paru-parunya, rasa sakit yang menyayat menjalar ke seluruh tubuhnya, dan dunianya perlahan memudar menjadi gelap. Dia tidak bisa lagi menahan rasa sakit yang begitu intens. Saat tubuhnya menghantam tanah dengan keras, debu berhamburan ke udara, dan seketika, Rika pun tidak sadarkan diri.
"Hentikan!" teriak Nora dengan wajah penuh keputusasaan, melihat tubuh Rika terbaring tak bergerak di kejauhan.
Nora menggertakkan giginya, menatap makhluk kutukan itu dengan penuh kemarahan, sementara Zephyr bersiap untuk balas menyerang. Namun, dengan Rika yang tidak lagi sadar, situasi ini menjadi semakin sulit. Mereka tahu, mereka harus bertindak cepat sebelum semuanya berakhir dengan bencana.