Dengan suasana santai di pinggir sungai, angin sepoi-sepoi menambah kenyamanan hari libur itu. Rika dan Nora duduk di atas rerumputan hijau, menikmati bekal mereka yang dibawa dari rumah.
"Nyaman sekali di sini... aku seperti menyatu dengan alam," ucap Nora, meregangkan tubuhnya sambil menatap langit biru.
Rika yang masih dikuasai oleh kehadiran Rise sesaat terdiam, lalu bertanya dengan nada penasaran, "Hei, Nora. Obrolan cewek itu biasanya seperti apa sih?"
Nora menoleh sambil mengerutkan kening. "Kau itu perempuan, kenapa kau bertanya begitu?" Lalu ia tersenyum mengerti. "Ooh, aku lupa. Kau kan tomboy, nggak peka, dan sering nggak nyambung kalau diajak ngobrol soal cewek-cewekan."
Rika langsung tersentak, wajahnya sedikit memerah karena ucapan Nora. "Tajam sekali ucapanmu! Sakit, tahu!" katanya sambil menahan rasa sakit hati bercanda.
Nora tertawa kecil, merasa puas dengan reaksinya. "Santai saja, Rika. Kadang-kadang kita para cewek memang ngobrolin hal-hal kecil, seperti pakaian, gaya rambut, atau mungkin seseorang yang kita sukai." Nora tersenyum lebar dan menatap ke arah sungai, seakan ada cerita lain di balik kata-katanya.
Rika mengernyitkan alis. "Seseorang yang kita sukai, ya? Aku nggak pernah berpikir tentang itu." Dia berpikir sejenak. "Lagipula, siapa yang sempat memikirkan hal-hal seperti itu? Banyak sekali yang harus dipikirkan, mulai dari ujian sampai... ya, masalah kutukan."
Nora terkekeh. "Itulah kenapa aku bilang kau nggak peka. Kadang kita perlu meluangkan waktu untuk hal-hal kecil yang menyenangkan. Tidak melulu soal pertarungan atau misi."
Rika menghela napas sambil menggigit sepotong roti dari bekalnya. "Ya, mungkin aku harus belajar santai seperti ini lebih sering."
Mereka berdua duduk dalam keheningan sesaat, menikmati suasana tenang di pinggir sungai. Percakapan mereka ringan, sesekali Nora menggoda Rika, dan Rika membalas dengan tanggapan sarkastis yang membuat tawa kecil terdengar di antara keduanya.
"Jadi, apa obrolan cewek favoritmu, Nora?" tanya Rika tiba-tiba, ingin menggali lebih dalam.
Nora tersenyum lembut. "Mungkin tentang impian masa depan. Aku ingin tahu, seperti apa kita beberapa tahun lagi. Apa kita masih di sini, bertarung melawan kutukan? Atau mungkin hidup damai di suatu tempat?"
Rika menatapnya sebentar, lalu tersenyum kecil. "Aku juga ingin tahu. Semoga di masa depan, kita bisa menikmati lebih banyak momen seperti ini, tanpa gangguan."
Nora mengangguk setuju. "Iya, semoga."
Rika yang sedang bersandar di rerumputan sambil memandang langit tiba-tiba menoleh ke arah Nora dengan mata berbinar. "Hey, Nora. Kamu ada nggak... orang yang kamu suka?"
Rika terlihat serius, mungkin untuk pertama kalinya mencoba terlibat dalam obrolan khas cewek. Matanya bersinar penuh rasa ingin tahu.
Nora terkekeh kecil melihat perubahan sikap Rika yang begitu kontras. Dengan santai, dia menjawab, "Rahasia. Itu kan hal pribadi, Rika."
Sontak, ekspresi Rika langsung berubah. Ia memalingkan wajah dengan kesal, melipat kedua tangannya di dada. "Hmph, aku nanya serius tapi kau malah jawab seperti itu," ucapnya dengan nada ngambek. Wajahnya memerah, tapi lebih karena kesal daripada malu.
Nora tersenyum geli melihat Rika yang tiba-tiba merajuk. "Wah, wah, Rika ngambek ya?" ucapnya sambil mendekatkan wajahnya ke arah Rika yang memalingkan wajahnya. "Ayolah, jangan gitu. Itu kan rahasia pribadi, nggak bisa langsung diomongin begitu aja."
Rika hanya mendengus, masih membelakangi Nora. "Aku cuma tanya, tapi kamu malah jawabnya begitu! Hmph."
Nora mulai berpikir bagaimana caranya agar Rika tidak ngambek lagi. "Oke, oke. Gimana kalau aku beliin kamu makanan favoritmu setelah ini? Es krim cokelat favoritmu, ya?"
Rika tetap diam, meskipun sedikit tersentuh oleh tawaran itu.
Nora kemudian mendekatkan tubuhnya ke arah Rika, lalu menggelitik pinggangnya. "Nah, kamu nggak bisa ngambek lama-lama sama aku, kan? Hayo, ketawa dulu!"
Rika yang kaget langsung tertawa kecil, berusaha menahan tawa sambil mendorong tangan Nora. "Berhenti! Itu nggak adil!"
"Kalau kamu nggak mau berhenti ngambek, aku bakal terus gelitikin kamu sampai kamu nggak kuat lagi," ancam Nora sambil terus menggelitik, membuat Rika tak bisa menahan tawanya.
"Baik, baik! Aku nggak ngambek lagi, aku nyerah!" ucap Rika di antara tawanya.
Nora akhirnya berhenti dan tersenyum puas. "Nah, kan! Kamu jauh lebih lucu kalau tersenyum. Jangan ngambek-ngambek lagi, ya."
Rika masih tertawa kecil, sambil mengambil napas. "Hmph, dasar kamu licik. Tapi... terima kasih, Nora. Kamu selalu tahu cara bikin aku nggak marah lagi."
Nora tersenyum hangat dan menepuk bahu Rika. "Tentu saja, kita kan sahabat."
Rika akhirnya tak bisa menahan senyum kecilnya. "Tapi kau harus cerita suatu hari nanti," katanya sambil melirik Nora, masih sedikit cemberut tapi sudah jauh lebih rileks.
Nora tersenyum penuh kemenangan. "Deal!"
Namun, kebahagiaan itu tak bertahan lama. Tiba-tiba, suara asing mengganggu ketenangan mereka. Muncul sebuah mulut di telapak tangan Rika—mulut yang dengan jelas adalah milik Rise. "Hey, Rika! Maaf mengganggu waktu indahmu dengan pacarmu!" seru Rise dengan nada menggoda, mengejutkan keduanya.
"Eh?!" Rika dan Nora langsung terkejut dan hampir tersedak mendengar ucapan itu. Nora mundur sedikit, memandang tangan Rika dengan tatapan bingung, sementara Rika balas memelototi tangan yang dihuni oleh Rise.
"Sembarangan mulutmu!" Rika berteriak dengan wajah merah. "Aku bukan pacar Nora, kampret! Lagipula, dari mana kau tahu dia itu Nora?!"
"Tenang, tenang!" Rise tertawa dari telapak tangan Rika. "Aku tahu lebih banyak dari yang kau kira. Lagipula, siapa lagi yang bisa tahan berlama-lama denganmu selain dia?"
Nora, yang masih terkejut dengan kehadiran Rise, perlahan menenangkan dirinya dan berusaha tersenyum kecil. "Uh... hai, Rise? Ada apa sebenarnya?"
"Sudahlah, jangan pedulikan itu," ucap Rise sambil bergumam, terdengar serius tiba-tiba. "Aku ada hal penting yang harus kuberitahukan. Ada Makhluk Kutukan Tingkat Istimewa di sekitar daerah ini. Dia mengincar sesuatu, tapi aku belum tahu apa tujuannya."
Mendengar hal itu, Rika langsung waspada. "Makhluk Kutukan? Di sini?" Wajahnya berubah serius, memandang ke arah sekitar.
"Benar," lanjut Rise. "Aku bisa merasakannya. Energinya besar, lebih kuat dari kutukan biasa. Sepertinya dia tidak sekadar berkeliaran tanpa tujuan."
Nora langsung memasang sikap siaga, seolah siap menghadapi apa pun. "Jika memang itu benar, kita harus segera bertindak. Makhluk Kutukan Tingkat Istimewa bukan sesuatu yang bisa dianggap remeh."
Rika mengangguk. "Kita nggak bisa membiarkan makhluk itu berkeliaran. Tapi kenapa dia ada di sini? Apa yang sebenarnya dia incar?"
"Entah," jawab Rise. "Tapi yang pasti, kita harus bertindak cepat. Jika dia menyerang tanpa kita siap, situasinya bisa berbahaya."
Nora memandang ke arah hutan dengan tatapan penuh tekad. "Baiklah, kalau begitu kita selidiki. Ayo, kita berangkat sekarang."
Rika mengepalkan tangannya. "Ya, tidak ada waktu untuk bersantai lagi. Ayo kita habisi!" Ketiganya akhirnya bergerak bersama, meninggalkan momen santai mereka untuk menghadapi ancaman baru yang tak terduga.
Rika dan Nora berlari memasuki hutan, langkah mereka cepat namun hati-hati. Setelah sepuluh menit berlari dalam keheningan hutan, akhirnya mereka tiba di sebuah area terbuka yang tampak aneh. Di tengah-tengah lingkaran pepohonan yang rimbun, berdiri sebuah sosok bayangan dengan aura gelap yang memancar kuat—Makhluk Kutukan Tingkat Istimewa.
Makhluk itu, yang memiliki tubuh setengah humanoid dengan cakar tajam dan mata merah menyala, berdiri tegak menatap Rika dan Nora. Tanpa menyerang terlebih dahulu, ia justru berbicara dengan suara yang berat dan misterius, suaranya bergaung di udara.
"Selamat datang," katanya. "Aku sudah menunggu kalian."
Rika dan Nora berhenti di tempat mereka, saling bertukar pandang. Rika yang merasa tegang berusaha tetap tenang, sementara Nora berdiri tegak, siap melindungi.
"Kau bisa berbicara?" Rika bertanya, nadanya penuh kekhawatiran. "Makhluk Kutukan sepertimu jarang sekali berbicara. Apa maumu?"
Makhluk Kutukan itu memutar tubuhnya perlahan, mengamati mereka dengan penuh minat. "Namaku Vigny," ucapnya dengan suara rendah, memperkenalkan diri. "Dan aku memang tidak seperti kutukan biasa. Aku punya tujuan di sini, dan... tampaknya aku juga tidak sendirian."
Rika mengerutkan kening. "Apa maksudmu?"
Vigny menyipitkan matanya, dan tiba-tiba ia tersenyum penuh arti. "Ada jiwa lain di dalam tubuhmu, bukan? Seseorang yang kau coba sembunyikan... tapi aku bisa merasakannya. Energinya... kuat dan penuh kebencian. Jangan mencoba menipuku, manusia kecil."
Mendengar itu, Rika merasakan napasnya tercekat. Rise di dalam tubuhnya langsung merespons, suara kecil terdengar di kepala Rika. "Sialan, makhluk ini bisa merasakan keberadaanku."
Nora menatap Rika dengan tatapan penuh pertanyaan, tetapi ia tidak mengatakan apapun.
Rika berusaha tetap tenang meski dalam hati ia gelisah. "Itu bukan urusanmu," jawab Rika keras. "Apa yang sebenarnya kau inginkan?"
Vigny tertawa kecil, getaran suaranya mengguncang udara di sekitar mereka. "Aku sedang mencari Pedang Higanbana. Pedang terkutuk yang telah lama hilang, dan pemilik barunya yang akan segera bangkit. Kau tahu siapa yang kumaksud, bukan?"
Mata Rika melebar sejenak. "Pedang Higanbana? Shiko...?" gumamnya, ingat cerita tentang adik Rise, Shiko, yang menguasai Bunga Kutukan Higanbana.
Nora, yang sudah merasa ada sesuatu yang tidak beres, memandang dengan serius. "Shiko... adik dari Rise? Jadi, kau mengejar kebangkitan Shiko?"
Vigny mengangguk pelan. "Benar. Pedang Higanbana adalah kunci kebangkitan Shiko, dan aku ditugaskan untuk menemukannya." Tatapan Vigny menjadi semakin dalam dan berbahaya. "Tapi sekarang, aku merasa aku menemukan sesuatu yang lebih menarik—kenapa harus mencari pedangnya, jika aku bisa menghancurkan pewarisnya sebelum pedangnya kembali?"
Rika langsung terdiam. Ia sadar, bahwa ini bukan hanya tentang Shiko, tetapi juga tentang dirinya sendiri. "Kalau begitu... aku adalah targetmu juga?"
Vigny menatap mereka berdua dengan tatapan licik, lalu tersenyum dingin. "Benar sekali. Kau, pewaris Mawar Hitam, akan menjadi rintangan bagi kebangkitan Shiko. Jadi, aku harus menghabisimu di sini, sebelum kau menjadi lebih kuat."
Ketegangan semakin memuncak. Rika dan Nora bersiap menghadapi pertarungan melawan Makhluk Kutukan Istimewa yang kini memiliki tujuan untuk menghabisi mereka, sementara rahasia tentang Shiko dan Pedang Higanbana semakin jelas terungkap.
Nora menggenggam erat senjatanya dan berkata dengan tegas, "Kalau begitu, kau harus melewati kami dulu!"
Rika menggenggam telapak tangannya erat, mendengar suara Rise yang terdengar mendesak dari mulut kecil di tangannya. "Rika, bertukar denganku. Kau tahu kau tidak cukup kuat untuk menghadapi makhluk ini. Aku akan menjaga tubuhmu dengan baik. Percayalah."
Rika terdiam sesaat, hatinya bimbang. Tapi ia tahu, Rise benar. Dengan napas berat, akhirnya ia menyerah. "Baiklah... lakukan."
Begitu Rika mengizinkan Rise mengambil alih, perubahan langsung terjadi. Tubuh Rika mulai mengeluarkan aura gelap yang mencekam, dua tanduk kecil perlahan muncul di dahinya, dan hiasan mawar hitam mulai terbentuk di rambutnya. Hawa dingin menyelimuti sekitarnya, menandakan bahwa yang kini berdiri bukan lagi Rika, melainkan Rise.
Aura itu begitu menakutkan hingga membuat Vigny, Makhluk Kutukan Istimewa, yang sejak tadi terlihat percaya diri, mulai bergemetar. Matanya melebar ketika ia merasakan energi gelap yang luar biasa mengelilingi sosok di depannya.
"Jadi, dari tadi kau bersikap sombong," ucap Rise dengan suara yang penuh ancaman, langkahnya maju mendekati Vigny. "Makhluk Kutukan lemah sepertimu benar-benar berpikir bisa melawan aku? Sungguh bodoh."
Vigny mencoba menyembunyikan ketakutannya, tetapi tubuhnya sedikit bergetar, mengungkapkan kegelisahannya. "Kau... kau bukan manusia biasa... siapa sebenarnya kau?"
Rise menyeringai lebar, tatapannya dingin dan penuh kebencian. "Aku? Aku adalah Rise, mantan Iblis, kakak dari Shiko, dan yang akan menghancurkanmu."
Tanpa peringatan, Rise bergerak cepat, menyerang Vigny dengan kekuatan luar biasa. Serangannya begitu cepat hingga Vigny nyaris tidak bisa bereaksi. Tinju Rise, yang tertutupi duri-duri tajam dari Teknik Bunga Kutukannya, Mawar Berduri, menghantam tubuh Vigny, mengirimkan kutukan yang menyebar perlahan ke seluruh tubuhnya.
"Apa yang kau...!" Vigny berusaha melawan, tetapi sudah terlambat. Racun kutukan mulai merasuki tubuhnya, membuat gerakannya melambat dan kekuatannya melemah.
Rise tertawa kecil, menikmati kepanikannya. "Seharusnya kau tidak menantang seseorang yang jauh lebih kuat dari dirimu." Ia mengangkat tangan, siap memberikan serangan akhir. "Sekarang, mati."
Dengan satu serangan terakhir, Rise menghantam inti jiwa Vigny, menghancurkannya. Makhluk Kutukan itu mengeluarkan raungan kesakitan sebelum tubuhnya berubah menjadi asap hitam yang berputar-putar di udara, lalu menghilang sepenuhnya.
Rise menghela napas panjang, seolah menikmati kemenangan itu. Namun, ia tahu batas waktunya hampir habis. "Cukup mudah," gumamnya. "Tapi Rika pasti akan marah besar kalau aku terlalu lama di sini."
Dengan aura yang perlahan meredup, tanduk kecil di dahinya mulai menghilang, menandakan bahwa tubuh Rika kembali sepenuhnya.
Setelah tanduk-tanduk kecil di dahinya menghilang, tubuh Rika akhirnya kembali sepenuhnya. Ia merasa tubuhnya lemah dan kehabisan energi. "Sialan," gumamnya dengan lemah, "Aku langsung sempoyongan..."
Tubuhnya hampir terjatuh, namun Nora dengan sigap menahan Rika sebelum ia kehilangan keseimbangan. "Hei, hati-hati," ucap Nora sambil tertawa kecil, mencoba mencairkan suasana tegang yang baru saja terjadi. "Kau tidak boleh jatuh di depan sahabatmu seperti ini."
Rika memaksakan senyum lelah. "Terima kasih, Nora. Kau selalu menyelamatkanku."
Mereka berdua tertawa kecil bersama, berusaha meredakan ketegangan yang masih terasa. Namun, tanpa mereka sadari, dari kejauhan di atas sebuah gunung, sosok misterius yang mengenakan jubah hitam dengan wajah tertutup sedang mengamati mereka. Matanya tajam, penuh rasa ingin tahu dan sedikit kekhawatiran.
"Rise... sudah kembali," gumam sosok itu pelan, suaranya dingin. Setelah mengucapkan kata-kata itu, sosok tersebut berbalik dan perlahan menghilang dari puncak gunung, meninggalkan tempat itu dengan niat yang tidak jelas.
Kedamaian sesaat yang dirasakan Rika dan Nora mungkin tidak akan berlangsung lama...