Di pagi hari ini menjelang siang, di tengah ketegangan yang menyelimuti mereka sejak tiba di Desa Verdalia, kelompok Rika tahu bahwa sebelum memulai ekspedisi mereka, ada hal-hal penting yang perlu dipersiapkan. Mereka berkumpul di sebuah kedai kecil di tengah desa, mencoba merancang langkah-langkah berikutnya.
"Baiklah," Rika memulai, menghela napas pelan. "Kita butuh penginapan untuk sementara waktu. Desa ini besar, pasti ada tempat yang bisa kita gunakan untuk tinggal selama ekspedisi ini."
Nora mengangguk, masih terlihat sedikit mengantuk setelah perjalanan panjang. "Dan kita juga perlu mengatur keuangan kita. Aku tidak tahu berapa lama kita akan di sini, jadi kita harus menggunakan uang dengan bijak."
Zephyr, yang selalu berpikir praktis, menimpali. "Aku setuju. Selain itu, kita butuh peralatan untuk menulis laporan—kertas, pena bulu, dan mungkin kita perlu mencari cara untuk mengirim pesan ke sekolah atau pusat kendali."
Leonis, meskipun terkadang ceroboh, ikut menambahkan dengan antusias, "Bagaimana dengan burung pengirim pesan? Kita perlu mendapatkan satu untuk mengirimkan laporan. Apa ada toko hewan di sini atau mungkin kita bisa meminjam burung dari penduduk setempat?"
Rika tersenyum tipis, sedikit terkejut bahwa Leonis bisa berpikir sejauh itu. "Itu ide bagus. Kita harus menanyakan kepada warga desa apakah mereka punya burung pengirim. Atau mungkin kita bisa menemukan tempat yang menjualnya."
Sambil menyeruput teh panas, Zephyr menatap sekeliling, memastikan tidak ada yang mendengarkan mereka terlalu dekat. "Tekanan kutukan ini masih terasa. Walaupun begitu, kita harus tetap tenang dan fokus pada tugas kita."
Nora mendesah pelan, lalu tersenyum nakal. "Yah, setidaknya sekarang kita bisa santai sedikit sebelum hal-hal gila mulai terjadi. Lagipula, aku ingin mencicipi masakan lokal desa ini dulu."
Leonis tertawa kecil. "Kau selalu saja memikirkan makanan, Nora."
"Lebih baik daripada kau yang selalu memikirkan bagaimana jadi pahlawan," balas Nora sambil mengedipkan mata.
Rika menahan tawanya, tapi kemudian kembali serius. "Oke, pertama, kita cari penginapan. Lalu kita beli perlengkapan untuk menulis laporan, dan terakhir, kita cari burung pengirim pesan. Siapa yang mau ikut aku mencari penginapan?"
Zephyr mengangkat tangan. "Aku akan ikut. Kita bisa bertanya pada penduduk setempat tentang tempat tinggal yang aman dan murah."
Leonis mengangguk. "Aku akan ke toko untuk mencari alat tulis. Kertas, pena bulu, dan tinta. Mungkin aku juga akan menanyakan tentang burung pengirim."
Nora meregangkan tubuhnya dengan santai. "Dan aku akan memeriksa sekitar. Siapa tahu ada toko yang menjual sesuatu yang menarik."
Rika tersenyum kecil, lega bahwa mereka semua sudah punya tugas masing-masing. Meskipun tekanan dari aura kutukan itu masih terasa, setidaknya mereka bisa tetap fokus pada tujuan mereka.
Keadaan Rika dan Zephyr saat ini
Rika dan Zephyr berjalan beriringan menyusuri jalanan berbatu di Desa Verdalia. Meskipun terlihat tenang, ada sesuatu yang menggelitik di belakang kepala Rika—tekanan dari aura kutukan yang mereka rasakan sejak tiba. Namun, ia berusaha untuk tidak memperlihatkannya kepada Zephyr.
"Aku heran, kenapa desa sebesar ini tidak terlalu ramai?" tanya Zephyr, memecah keheningan.
Rika mengangguk setuju. "Iya, terasa aneh. Tapi mungkin kita terlalu sensitif karena aura kutukan itu. Desa ini terlihat damai di permukaan."
Mereka bertanya kepada beberapa penduduk setempat, dan akhirnya menemukan sebuah penginapan kecil di pinggir desa. Tempat itu tampak sederhana, tapi cukup nyaman untuk mereka tinggali selama ekspedisi.
"Ini cukup, bukan?" tanya Zephyr sambil memeriksa kamar yang ditawarkan oleh pemilik penginapan.
Rika mengangguk puas. "Cukup untuk kita. Yang penting ada tempat tidur dan atap di atas kepala. Kita akan menginap di sini. Nanti kita informasikan kepada yang lain."
Setelah selesai, mereka kembali menuju kedai kecil untuk menunggu teman-teman mereka yang lain.
Keadaan Leonis saat ini
Sementara itu, Leonis melangkah masuk ke dalam toko alat tulis kecil di tengah desa. Di sana, ia langsung disambut oleh pemilik toko, seorang pria tua yang ramah dengan janggut putih tebal.
"Apa yang bisa kubantu, anak muda?" tanya pria tua itu dengan senyum hangat.
Leonis menjelaskan kebutuhan mereka—kertas, pena bulu, dan tinta untuk menulis laporan selama ekspedisi. Pemilik toko mengambil barang-barang yang diminta dari rak dan meletakkannya di meja.
"Ini semua yang kau perlukan," katanya. "Tapi hati-hati, aura desa ini terasa berat, bukan?"
Leonis tersenyum gugup, tidak mau terlalu banyak memikirkan hal itu. "Ya, kami juga merasakannya. Tapi kami akan baik-baik saja."
Setelah membayar, Leonis menanyakan soal burung pengirim pesan. Sayangnya, toko itu tidak menjual burung, tapi pemilik toko menyarankan untuk pergi ke bagian barat desa, di mana ada seorang peternak yang mungkin bisa membantu.
"Terima kasih, Pak," ujar Leonis sambil tersenyum. "Aku akan pergi ke sana nanti."
Setelah selesai membeli semua peralatan, Leonis pun kembali ke kedai kecil, membawa barang-barang yang dibutuhkan.
Keadaan Nora saat ini
Nora, yang lebih suka menikmati suasana santai, melangkah ringan menyusuri pasar desa. Banyak kios yang menjual berbagai macam barang, mulai dari perhiasan hingga makanan tradisional. Namun, perutnya yang lapar menariknya ke arah kios makanan.
"Ini baunya enak sekali," gumamnya sambil menghampiri kios yang menjual roti panggang dan sup panas.
Ia membeli beberapa roti dan sup, memastikan itu cukup untuk dibagi bersama teman-temannya. Saat berjalan, ia terus memperhatikan suasana desa, merasakan aura kutukan yang terasa semakin kuat.
"Kenapa desa ini terasa sangat aneh... seperti ada yang mengintai," gumam Nora dalam hati. Tapi, meskipun ada perasaan itu, ia tetap tenang.
Setelah selesai membeli makanan, Nora kembali menuju kedai kecil, berharap teman-temannya sudah selesai dengan tugas masing-masing.
Kembali di Kedai Kecil
Di kedai kecil itu, Rika dan Zephyr sudah duduk menunggu ketika Leonis datang dengan kantong penuh peralatan tulis.
"Aku berhasil mendapatkan semuanya, tapi soal burung pengirim... kita harus pergi ke bagian barat desa," kata Leonis sambil meletakkan kantong di atas meja.
Beberapa menit kemudian, Nora tiba dengan membawa makanan di tangannya. "Aku membawakan makanan untuk kita semua!" serunya ceria.
Rika menghela napas lega melihat semua orang kembali dengan selamat. "Baiklah, kita sudah mendapatkan penginapan, alat tulis, dan makanan. Setelah makan, kita bisa lanjutkan persiapan ke peternak burung di bagian barat desa."
Mereka semua mengangguk setuju, dan mulai makan bersama di kedai kecil itu, berusaha mengabaikan tekanan kutukan yang masih terasa di udara, setidaknya untuk sementara waktu.
Setelah selesai makan di kedai kecil, mereka berempat pun menuju penginapan yang telah dipesan oleh Rika dan Zephyr. Di sepanjang perjalanan, tawa kecil dan candaan tak henti-hentinya menghiasi suasana, membuat perasaan tegang yang sempat mereka rasakan sedikit memudar.
"Hei, Leonis, jangan sampai kamu lupa lagi letak kamarmu seperti waktu itu!" goda Zephyr sambil tertawa.
Leonis hanya mengerucutkan bibirnya dengan kesal. "Itu kan dulu! Sekarang aku lebih fokus."
Rika ikut tertawa. "Fokus jadi kuli, mungkin?"
"Sudahlah, yang penting kita sudah punya tempat tinggal sementara. Semoga malam ini kita bisa tidur nyenyak," ujar Nora sambil tersenyum puas, mengingat pasar yang dia kunjungi tadi cukup ramai.
Sesampainya di penginapan, mereka meletakkan barang-barang di kamar masing-masing, suasana ceria dan penuh kehangatan masih terasa. Setelah semua urusan tempat tinggal selesai, mereka segera bersiap untuk berangkat menuju bagian barat desa untuk membeli burung pengirim.
Sembari mereka berjalan menuju peternakan di Barat Desa, pembicaraan tentang keadaan desa mulai muncul.
"Aneh, ya. Desa sebesar ini tapi rasanya agak sepi. Padahal ini masih siang," ujar Rika sambil melirik ke sekitar.
Zephyr mengangguk, seakan setuju dengan pernyataan Rika. "Iya, aku juga merasa begitu. Terasa kosong."
Namun, Leonis dengan cepat menyangkalnya. "Kalian terlalu berlebihan. Di pusat desa tadi ramai, kok. Mungkin kita cuma berada di bagian yang kurang aktif."
Nora mengangguk menambahkan. "Benar, di pasar tadi ramai sekali. Banyak orang yang lalu-lalang, bahkan aku sampai kesulitan bergerak di antara mereka."
Meski begitu, Nora merasa ada sesuatu yang berbeda. Perasaan tidak nyaman terus menghantuinya sejak mereka tiba di desa ini. Setelah berpikir sejenak, Nora akhirnya membuka suara lagi. "Tapi, kalian merasa tidak? Seperti ada yang mengintai kita? Aku merasa begitu sejak tadi."
Zephyr mengerutkan alisnya. "Mengintai? Maksudmu ada yang mengawasi kita?"
Rika menoleh ke arah Nora dengan wajah bingung, tetapi menggelengkan kepalanya. "Aku tidak merasa apa-apa. Mungkin kamu hanya terlalu lelah."
Leonis juga tampak tak peduli. "Mungkin imajinasimu terlalu liar. Lagipula, siapa yang mau mengintai kita di sini?"
Nora hanya tersenyum samar, meskipun hatinya masih diliputi kekhawatiran. "Mungkin... mungkin memang aku yang berlebihan," gumamnya pelan. Tapi dalam hati, ia masih bertanya-tanya, "Siapa yang mengincarku...? Aku merasa seperti ada yang mengintai."
Dengan perasaan yang sedikit cemas, mereka melanjutkan perjalanan ke peternakan burung. Meski semua tampak biasa, Nora tidak bisa menghilangkan perasaan bahwa mereka sedang diawasi oleh sesuatu yang tidak terlihat.
Setelah 20 menit berjalan kaki menyusuri jalan setapak yang sepi, mereka akhirnya tiba di peternakan. Namun, alih-alih disambut dengan ramah, mereka langsung diserang oleh hewan peliharaan sang peternak—seekor anjing penjaga besar dengan bulu hitam lebat yang tampak lebih menyeramkan daripada lucu.
"Astaga! Apa itu?!" seru Leonis panik, sambil menunjuk anjing yang mulai berlari ke arah mereka dengan kecepatan tinggi.
Rika menoleh dengan wajah terkejut, "Lari!!"
Tanpa perlu disuruh dua kali, mereka berempat berbalik dan lari terbirit-birit meninggalkan anjing besar yang menggonggong dengan ganas. Nora, yang masih memeluk lengan Rika, berteriak sambil menarik Rika lebih cepat. "Rika! Kenapa kita selalu mendapat masalah seperti ini?!"
"Jangan tanya aku! Ini bukan salahku!" Rika berusaha berlari lebih cepat, tapi terpaksa menarik Nora yang sedikit melambat di belakangnya.
Zephyr, yang paling atletis di antara mereka, berlari di depan sambil melirik ke belakang. "Hewan ini cepat sekali! Kalau kita tidak melakukan sesuatu, kita bisa habis dimakannya!"
Leonis mengeluh sambil tersengal-sengal, "Kenapa kita harus diincar oleh semua makhluk yang ada di sini?! Aku sudah cukup menjadi kuli hari ini!"
Nora, sambil tetap berpegangan erat pada Rika, berteriak lagi. "Aku... aku tidak mau dikejar anjing besar seperti ini lagi!"
Rika menggerutu. "Kita harus naik ke tempat yang tinggi!"
Zephyr segera mengangguk sambil mencari jalan keluar. "Lihat, ada pohon besar di sana! Kita bisa panjat pohon itu!"
Tanpa pikir panjang, mereka semua menuju pohon besar yang berdiri kokoh tak jauh dari peternakan. Satu per satu mereka mulai memanjat, dengan Zephyr yang pertama, disusul oleh Rika yang membantu Nora naik, dan terakhir Leonis yang berusaha memanjat dengan wajah putus asa.
"Kenapa kita harus selalu terjebak dalam situasi seperti ini!" keluh Leonis, sambil mendongak ke arah anjing yang masih terus menggonggong di bawah mereka.
Sementara mereka duduk di atas cabang pohon, semua terengah-engah kelelahan. Rika mencoba mengambil napas panjang, lalu berkata, "Baiklah... sepertinya anjing itu tidak akan berhenti menunggu kita turun. Ada ide, siapa yang mau negosiasi dengan hewan itu?"
Nora, yang masih menempel di batang pohon, menggeleng sambil berkata, "Aku tidak mau... Aku bahkan tidak mau turun!"
Zephyr tertawa kecil meski lelah. "Bagaimana kalau kita tunggu sampai peternaknya datang?"
Rika mengangguk pasrah. "Ya, itu mungkin satu-satunya pilihan kita."
Mereka akhirnya memutuskan untuk menunggu di atas pohon, berharap sang peternak datang untuk menyelamatkan mereka dari situasi konyol itu.
Setelah berjam-jam berlalu, sore hari pun tiba. Matahari mulai tenggelam, dan keempat anggota kelompok itu masih terjebak di atas pohon. Tak hanya satu anjing yang menunggu di bawah mereka, kini ada tiga ekor, semuanya mengelilingi pohon dengan sabar.
Leonis memandang ke bawah dengan wajah lelah. "Sebenarnya... berapa banyak hewan yang dimiliki peternak ini? Kita sudah dikepung!"
Zephyr, yang bersandar di batang pohon dengan tangan di kepala, hanya bisa mengeluh, "Aku merasa seperti tawanan yang sedang diintai oleh makhluk buas... Ini lebih parah dari ujian apapun."
Nora duduk di cabang terendah, memeluk lututnya dengan wajah masam. "Aku tidak percaya... kita seharusnya hanya membeli burung pengirim, bukan bertarung melawan anjing-anjing raksasa!"
Rika, yang berusaha tetap tenang, menghela napas panjang. "Seandainya ada cara untuk mengalihkan perhatian mereka... tapi sepertinya kita terjebak."
Mereka semua hanya bisa mengeluh dan tertawa lemah di tengah rasa lelah. Pada akhirnya, harapan mereka datang juga. Dari kejauhan, suara gerobak terdengar, dan seekor kuda yang menarik gerobak jerami mendekat dengan perlahan. Di atas gerobak itu, duduk seorang pria tua dengan topi jerami dan senyum ramah di wajahnya.
Melihat kondisi empat orang anak muda yang terjebak di atas pohon, sang peternak tertawa kecil. "Hahaha! Apa yang kalian lakukan di atas sana? Sepertinya anjing-anjingku sudah membuat kalian terjebak, ya?"
Rika, yang sudah kelelahan, hanya bisa tersenyum kecut. "Ya, Pak. Mereka benar-benar menjaga kami dengan baik."
Peternak itu turun dari kudanya, lalu dengan satu siulan keras, ketiga anjing itu berhenti menggonggong dan duduk dengan patuh di sisi peternaknya. "Kalian bisa turun sekarang, mereka tidak akan menggigit... kecuali kalian mencoba kabur tanpa pamit."
Leonis, yang sudah kehabisan tenaga, mengeluh pelan. "Akhirnya... aku pikir kita akan tidur di atas pohon malam ini."
Nora tertawa kecil meski masih lelah, lalu dengan hati-hati turun dari pohon, diikuti oleh Rika, Zephyr, dan Leonis. Setelah mereka semua turun, peternak itu tersenyum dan memberi tepukan di punggung Leonis. "Kalian mencari burung pengirim, kan? Ayo, aku tunjukkan koleksiku."
Leonis, masih terengah-engah, menatap peternak dengan tatapan bingung. "Buset, kok bisa tahu orang ini?"
Peternak tua itu hanya tersenyum dan mengangguk penuh arti. "Di desa ini, kabar cepat tersebar. Selain itu, aku bisa mengenali calon pelanggan dari jauh."
Dengan petunjuk peternak, mereka mengikuti arahnya menuju kandang burung merpati. Kandang tersebut cukup besar dan dipenuhi dengan burung merpati beraneka warna, masing-masing tampak tenang di dalam sangkarnya. Beberapa burung bahkan sudah siap untuk terbang, seakan menunggu perintah.
Selama mereka memilih burung yang akan digunakan untuk mengirim pesan, Rika memutuskan untuk bertanya kepada peternak tua. "Pak, kenapa bagian desa yang ini sepi sekali? Padahal, ini masih siang."
Peternak tua itu tersenyum santai, matanya menyiratkan kebijaksanaan yang mendalam. "Ah, itu. Desa ini memang cenderung tenang, terutama di sekitar sini. Banyak dari penduduknya yang lebih suka berada di pusat desa, di mana ada pasar dan kegiatan sehari-hari yang lebih ramai. Kami di sini, di ujung desa, lebih suka suasana yang damai."
Rika terlihat penasaran dan memutuskan untuk melanjutkan obrolan. "Apakah ada alasan khusus kenapa desa ini sepi? Mungkin ada yang terjadi baru-baru ini?"
Peternak tua itu mengerutkan dahinya sejenak, kemudian mengangguk. "Sebenarnya, ada beberapa masalah akhir-akhir ini. Terutama masalah keamanan. Beberapa penduduk di daerah sekeliling melaporkan kejadian-kejadian aneh. Tapi, kami di sini lebih memilih untuk tetap tenang dan berusaha menjaga keamanan kami sendiri."
Rika mendengarkan dengan seksama. "Apakah kejadian aneh itu sering terjadi?"
Peternak tua itu mengangkat bahu. "Katakanlah begitu. Banyak yang merasa ada yang mengintai, meskipun tidak ada yang bisa benar-benar memastikan. Hanya ada perasaan tidak nyaman yang melayang di udara."
Leonis, yang sudah memilih burungnya, mendekat dengan rasa ingin tahu. "Kau berarti berpikir ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar kecelakaan biasa, bukan?"
Peternak tua itu mengangguk sambil tersenyum. "Mungkin saja. Kadang-kadang, ada hal-hal yang tidak bisa dijelaskan dengan logika biasa. Kita hanya perlu waspada dan terus menjaga diri."
Dengan percakapan yang berlanjut, Rika, Leonis, Nora, dan Zephyr merasa sedikit lebih siap untuk melanjutkan misi mereka, meski masih ada rasa penasaran yang mendalam tentang apa yang sebenarnya terjadi di desa ini. Mereka memilih beberapa burung pengirim yang sehat dan siap untuk terbang, kemudian berterima kasih kepada peternak sebelum melanjutkan perjalanan mereka.