Pagi itu di taman kota Kerajaan Varka, Rika sudah duduk di bawah pohon dengan wajah murung, menatap langit yang mulai cerah. Di dalam kepalanya, ia bisa mendengar suara Rise yang bersikap malas, berkomentar tanpa henti dari dalam pikiran Rika.
"Heran, kemana yang lainnya? Kenapa mereka bertiga lama sekali..." keluh Rise sambil mendesah panjang, suaranya terdengar di dalam kepala Rika.
Rika mendesah lebih dalam lagi. "Aku juga nggak ngerti... Kita mau berangkat ekspedisi penting, tapi mereka malah terlambat."
Sementara itu, mulut kecil Rise muncul di telapak tangan Rika, tertawa kecil. "Kasihan banget, lagi nungguin temen, ya? Haha! Karma itu ada, Rika!" ejek Rise, mengingat bagaimana Rika mengejeknya kemarin.
Rika memutar matanya, lalu menjawab dengan nada penuh ancaman, "Mulutmu bisa diam tidak? Aku bisa saja bunuh diri dan kita berdua mati bersama."
Tersentak mendengar ancaman serius itu, mulut kecil Rise segera merespons dengan nada lebih lunak. "Waduh, kalem dong. Yang sabar, ya?" Rise kemudian menghilangkan mulut kecilnya, tidak ingin memperpanjang masalah.
Beberapa menit kemudian, akhirnya Nora, Leonis, dan Zephyr terlihat berlari menuju tempat Rika. Ketiganya tampak panik dan tergesa-gesa, menyadari betapa terlambatnya mereka.
Nora menjadi yang pertama berbicara. "Rika! Maaf, maaf banget! Kami benar-benar nggak sengaja terlambat. Ada sedikit masalah pagi ini..."
Leonis, yang berusaha menyusul napasnya, mengangguk cepat. "Iya, maaf banget, Rika! Kami... err, aku kehilangan sesuatu tadi pagi, jadi kami butuh waktu buat nyari!"
Zephyr, yang biasanya lebih tenang, juga ikut membungkuk sedikit. "Kami nggak punya alasan yang baik, tapi kami benar-benar minta maaf. Kami seharusnya lebih cepat."
Rika yang sudah menunggu terlalu lama, akhirnya meledak. "Apa kalian serius?! Ini ekspedisi yang sangat penting, dan kalian malah terlambat tanpa alasan yang jelas! Leonis, kehilangan barang bukan alasan untuk menunda seluruh tim! Kalian ini seharusnya lebih bertanggung jawab!"
Nora, Leonis, dan Zephyr hanya bisa menunduk di bawah tatapan marah Rika. Rika tidak berhenti memarahi mereka, suaranya terdengar lebih tegas dari biasanya. "Kalau kita mau bekerja sebagai tim, kita harus saling percaya dan tepat waktu! Apa yang akan terjadi kalau di medan kutukan kalian terlambat seperti ini?! Bisa-bisa kita semua dalam bahaya!"
Nora mengangkat tangan sedikit, berusaha menenangkan Rika. "Rika, kami benar-benar minta maaf. Kami janji ini nggak akan terjadi lagi."
Leonis juga menyusul. "Iya, ini yang terakhir kalinya! Kami nggak akan telat lagi."
Rika menatap mereka dengan tajam sejenak, lalu menghela napas panjang. "Baiklah, aku terima permintaan maaf kalian. Tapi serius, jangan ulangi lagi. Kita nggak bisa main-main dalam ekspedisi ini."
Akhirnya suasana mulai mencair, meskipun masih ada sedikit ketegangan di udara. Rika berdiri, menghadap mereka semua dengan lebih tenang. "Ayo, kita berangkat sekarang. Desa Verdalia menunggu."
Dengan perasaan lega, kelompok Rika memulai perjalanan mereka yang panjang menuju Desa Verdalia. Jalan setapak yang terbentang di depan terlihat menantang, dengan rute sejauh 10 kilometer yang harus mereka tempuh.
Saat baru beberapa meter berjalan, Nora mulai menunjukkan tanda-tanda kelelahan. Dia menarik lengan Rika dan mengeluh, "Rika... gendong aku... aku lelah..." Suaranya manja, sementara tangannya menggenggam erat tangan Rika.
Leonis, yang berada tepat di belakang mereka, langsung melihat ini sebagai kesempatan. Dengan sikap penuh percaya diri, dia menawarkan, "Nora, kalau kamu lelah aku bisa menggendongmu. Biar aku yang melakukannya."
Namun, sebelum Leonis sempat melanjutkan niat heroiknya, Rika dengan sigap menjawab, "Kau jangan ikut-ikutan, dasar pria yang suka cari kesempatan." Tanpa menunggu jawaban lebih lanjut, Rika melepas tasnya dan memberikannya kepada Leonis. "Kalau kamu mau membantu, bawakan tasku saja."
Wajah Leonis langsung berubah murung. "Kenapa aku yang jadi kuli..." gumamnya sambil mengangkat tas Rika yang terasa cukup berat.
Rika, yang kini bebas dari beban tas, mengangkat Nora dan menggendongnya dengan mantap di punggungnya. "Oke, ayo kita lanjut," katanya dengan suara tegas, sementara Nora tertawa kecil, menikmati perlakuan istimewanya.
Perjalanan mereka pun dimulai, namun rute yang mereka lalui tidak semudah yang dibayangkan. Jalan berbatu dan licin membuat setiap langkah terasa berat. Di beberapa bagian, mereka harus melewati jembatan kayu yang rapuh dan sempit, sementara di bagian lain, mereka terjebak dalam tanah becek setelah hujan turun malam sebelumnya.
Selama perjalanan yang panjang itu, Nora tidak berhenti manja. "Rika, kamu hebat ya. Punggungmu kuat sekali..." katanya sambil menenggelamkan wajahnya di bahu Rika.
Rika hanya mendesah sambil tetap fokus pada langkahnya. "Kau memang benar-benar memanfaatkan situasi, Nora."
Nora tertawa kecil, "Ya ampun, Rika. Aku cuma ingin sedikit perhatian. Lagipula, siapa lagi yang bisa aku andalkan selain kamu?"
Rika tersenyum kecil mendengar itu, meski merasa sedikit jengkel. "Kau ini ya, selalu manja. Kalau tahu begini, aku lebih baik membiarkan Leonis menggendongmu tadi."
"Eh, jangan! Aku lebih suka digendong olehmu daripada dia. Kamu lebih nyaman, Rika."
Leonis, yang berjalan di belakang mereka dengan tas berat di punggungnya, mendesah panjang sambil mengeluh, "Kenapa aku yang jadi korban di sini... Aku cuma mau membantu, tapi malah jadi kuli..."
Zephyr, yang berjalan di samping Leonis, tersenyum kecil dan menepuk punggung temannya. "Kau harus terbiasa, Leonis. Kalau bersama mereka, selalu ada kejutan yang tak terduga."
Perjalanan semakin sulit dengan jarak yang masih jauh di depan, tapi suasana di antara mereka tetap terjaga dengan canda tawa dan obrolan ringan. Nora terus memanjakan diri di punggung Rika, sementara Rika mencoba bertahan dengan sabar. Meskipun jalannya berat, kebersamaan mereka membuat perjalanan yang sulit terasa sedikit lebih ringan.
Setelah 2-3 hari perjalanan yang melelahkan, Rika dan kelompoknya akhirnya tiba di dekat Desa Verdalia. Malam sudah mulai merangkak, dan mereka memutuskan untuk beristirahat sebelum benar-benar memasuki desa keesokan harinya. Mereka menemukan sebuah area terbuka di sekitar desa untuk bermalam, dan segera memulai persiapan.
Rika akhirnya terbebas dari pelukan Nora setelah sepanjang hari menggendongnya. Dia meletakkan Nora dengan hati-hati di atas tanah dan menghela napas panjang. "Akhirnya... kau turun juga," katanya sambil meregangkan bahunya yang terasa pegal.
Nora tertawa kecil sambil duduk, "Terima kasih sudah jadi transportasiku, Rika. Punggungmu nyaman sekali."
"Jangan terlalu terbiasa. Lain kali, giliran Leonis yang menggendongmu," kata Rika setengah bercanda, setengah serius.
Leonis, yang sedang membantu Zephry menyiapkan perlengkapan tenda, tersenyum lelah. "Tidak, terima kasih. Aku sudah cukup jadi kuli dengan membawa tasmu, Rika."
Zephry terkekeh sambil membetulkan pasak tenda. "Tenang, Leonis. Kau mungkin tidak mendapatkan kesempatan menggendong Nora, tapi setidaknya kau punya bakat jadi pengangkut barang yang handal."
Rika tersenyum mendengar percakapan mereka. "Baiklah, ayo kita selesaikan tenda ini cepat. Semakin cepat kita beres, semakin cepat kita bisa makan malam."
Sementara Rika, Zephry, dan Leonis sibuk mendirikan tenda, Nora mengambil peran sebagai koki malam itu. Dia mulai menyiapkan bahan-bahan masakan dari bekal mereka. "Aku akan membuat sesuatu yang hangat untuk kita semua. Kalian pasti lapar setelah perjalanan panjang," katanya dengan ceria.
"Harapannya, masakanmu kali ini tidak terlalu asin, Nora," candanya Zephry sambil menarik tali tenda.
Nora menjulurkan lidahnya ke arah Zephry. "Kalau tidak suka, kau bisa masak sendiri."
"Hei, hei, jangan bertengkar dulu," ujar Rika sambil menancapkan pasak terakhir. "Kita sudah lelah. Yang penting kita makan sesuatu yang mengisi perut."
Leonis tertawa kecil. "Asalkan bukan aku yang memasak. Percayalah, kau tidak ingin mencicipi masakan Leonis."
Nora melanjutkan memasak dengan senyuman. Aroma sedap mulai tercium di udara malam, membuat suasana semakin hangat meski lelah masih terasa. Setelah beberapa saat, Nora memanggil mereka, "Makanannya sudah siap!"
Rika, Zephry, dan Leonis langsung menghampiri, duduk di sekitar api unggun yang kecil namun cukup untuk menerangi mereka. Nora menyajikan semangkuk sup hangat dan roti.
"Ini dia. Selamat makan!" kata Nora sambil tersenyum puas melihat hasil masakannya.
Mereka makan bersama dalam keheningan sejenak, menikmati kehangatan makanan dan api unggun di tengah malam yang dingin. Perjalanan panjang mungkin berat, tapi dengan kebersamaan seperti ini, mereka merasa perjalanan menjadi lebih ringan.
Rika menatap api unggun dan berkata pelan, "Besok kita akan memasuki Desa Verdalia. Kita harus bersiap untuk apapun yang mungkin terjadi."
Zephry mengangguk setuju, "Ya, kita tidak tahu apa yang menunggu di sana. Yang jelas, kita harus tetap waspada."
Nora, yang biasanya ceria, terlihat sedikit serius kali ini. "Tapi untuk sekarang, mari nikmati malam ini. Kita butuh energi untuk besok."
Leonis menambahkan dengan nada bercanda, "Asal masakan Nora terus sebaik ini, aku siap untuk apapun."
Tawa kecil terdengar dari kelompok itu, mengakhiri malam mereka dengan rasa kebersamaan yang hangat, meski bayangan tantangan di Desa Verdalia sudah menanti.
Pagi itu, Rika bangun lebih awal dari yang lain. Udara dingin pagi hari menyentuh kulitnya, membuatnya sedikit menggigil. Dia melirik ke arah Nora yang masih tertidur di sampingnya, terlihat begitu damai. Dengan lembut, Rika menyelimuti Nora menggunakan selimut miliknya agar temannya itu tetap hangat.
Rika kemudian keluar dari tenda, menikmati ketenangan pagi. Namun, ketenangan itu segera berakhir ketika suara yang sudah akrab terdengar dari telapak tangannya.
"Rika~!! Bagaimana? Sudah puas kan??" Suara Rise menggema dari mulut kecil yang muncul di telapak tangan Rika.
Rika mendesah dan menggelengkan kepalanya. "Pagi-pagi sudah omong kosong. Apa sih maksudmu, Rise?" kata Rika dengan nada malas sambil mencari perlengkapan untuk membuat kopi.
"Yah, sudah dua hari penuh kita berjalan, menggendong Nora sepanjang perjalanan. Kau harusnya merasa lebih baik sekarang, kan?" Rise berceloteh, jelas menyukai momen ketika ia bisa menggoda Rika.
Rika menuang air ke dalam panci kecil dan menyalakan kompor portabel. "Oh tolonglah, kau benar-benar tidak berguna soal ini. Aku kelelahan, bukannya puas," balasnya sambil menyiapkan kopi bubuk.
"Huh? Kau lelah? Bukankah itu karena kau yang keras kepala dan mau saja menggendong Nora sepanjang jalan? Kalau aku di posisimu, sudah kubiarkan saja dia jalan sendiri. Atau paling tidak, biarkan Leonis menggendongnya. Kasihan dia yang jadi kuli bawa tas."
Rika tersenyum sedikit mendengar ucapan Rise, meskipun ia tahu kutukan itu hanya sedang mencoba menggodanya. "Leonis jadi kuli karena dia suka cari kesempatan, dan soal Nora... yah, mungkin aku terlalu baik. Tapi jangan salah, aku bisa jadi jahat juga."
Rise terkikik, "Tentu, tentu. Tapi jujur saja, kau pasti merasa lebih baik setelah menyadari kalau Nora sangat bergantung padamu. Siapa tahu, mungkin suatu hari nanti dia akan benar-benar jadi pacarmu. Hehehe."
Rika mendengus sambil mengaduk kopinya. "Sudah mulai lagi. Dengar, Rise, aku tidak peduli soal hal itu. Dan lagi, kau bicara seolah-olah kau tahu banyak tentang hubungan manusia, padahal kau hanyalah kutukan yang terjebak di dalam tubuhku."
"Tentu saja aku tahu!" seru Rise dengan nada sok tahu. "Aku dulu juga manusia, ingat? Aku tahu hal-hal seperti itu."
Rika menghela napas panjang. "Terserah kau saja. Aku hanya ingin menikmati kopi pagiku tanpa gangguan."
Dia membawa cangkir kopinya ke bibir, menghirup aroma hangat yang mulai memenuhi udara. Suasana pagi itu hening sejenak, hanya terdengar suara desiran angin lembut dan gemericik air dari sungai kecil di dekat mereka. Bahkan Rise tampak diam untuk sesaat.
Setelah menyeruput kopinya, Rika menatap jauh ke depan. "Apa menurutmu kita akan menemukan sesuatu yang berbahaya di Desa Verdalia?"
Rise terdiam sejenak sebelum menjawab, "Aku tidak bisa memastikan, tapi ada sesuatu di sana. Sesuatu yang terasa... familiar, tapi belum jelas. Kita harus berhati-hati."
Rika mengangguk, "Ya, aku juga merasa ada yang tidak beres. Tapi kita tidak punya pilihan selain maju. Desa itu menunggu."
Dengan percakapan yang lebih serius ini, Rika dan Rise akhirnya kembali merenung dalam keheningan, siap menghadapi apapun yang akan datang di Desa Verdalia.
Rika yang sedang terhanyut dalam percakapan serius dengan Rise tiba-tiba terhenti saat ia merasakan pelukan hangat dari belakang. Nora, masih setengah tertidur, berjalan pelan sambil membalut tubuhnya dengan selimut, seperti kokon yang melindunginya dari dinginnya pagi. Dengan suara manja, Nora berkata, "Rika...! Mau kopi!"
Rika menoleh sedikit ke belakang, tidak heran dengan tingkah laku Nora yang selalu seperti ini setiap pagi. Ia membiarkan Nora menenggelamkan wajahnya di punggungnya, merasa hangat meskipun terkadang sifat Nora ini bisa sedikit mengganggu. "Pagi-pagi sudah manja lagi," gumam Rika tanpa banyak reaksi.
Seperti yang sudah diduga, Rise tidak bisa menahan diri untuk tidak menggoda mereka berdua. "Wah, wah! Lihat itu, Rika! Sepertinya kau memang benar-benar pacarnya, kan? Ah, manis sekali," ejek Rise dari telapak tangan Rika, suaranya sarat dengan canda tawa.
Rika mendesah panjang, sudah terbiasa dengan ejekan semacam itu. "Diamlah, Rise," ujarnya dengan malas.
Sementara itu, Nora, yang sepertinya baru menyadari bahwa Rika sedang berbicara dengan Rise, tersenyum kecil dan berkata, "Oh, selamat pagi, Rise! Senang melihatmu pagi-pagi begini." Tanpa basa-basi, Nora dengan gesit mengambil cangkir kopi yang sedang dipegang Rika.
"Hey, tunggu dulu!" protes Rika, tapi sudah terlambat. Nora sudah menyeruput kopi itu, wajahnya tampak puas menikmati rasa hangat yang mengalir di tenggorokannya.
Nora memiringkan kepalanya dengan manis dan menjawab, "Kopinya enak, terima kasih, Rika." Dia sama sekali tidak peduli dengan protes Rika, malah tersenyum seakan kopi itu memang sudah menjadi haknya.
Rika hanya bisa menghela napas dan memutar matanya, sambil kembali membuat kopi baru untuk dirinya sendiri. "Kalau kau memang ingin kopi, kenapa tidak bilang dari awal, sih?" keluh Rika sambil menyiapkan panci air lagi.
Nora hanya tertawa kecil, masih menempel di punggung Rika dengan ekspresi puas. Sementara itu, Rise kembali tertawa dengan suara kecil dari telapak tangan Rika, menikmati kekacauan kecil yang terjadi di antara mereka bertiga.
Percakapan ringan pagi itu, meskipun sedikit kacau, setidaknya membawa kehangatan sebelum mereka menghadapi tantangan berikutnya di Desa Verdalia.
"Rise, aku memintamu untuk kembali. Dua orang temanku yang lainnya seperti nya juga bangun" Kata Rika menoleh kebelakang melihat ke arah tenda.
Setelah memerintahkan Rise untuk kembali, Rika tersenyum nakal dan bergumam pelan, "Mau saja dibohongi." Ia merasa sedikit puas dengan lelucon kecilnya. Namun, tak lama kemudian, Nora yang masih setengah mengantuk tertawa pelan sambil menyandarkan dirinya lebih erat pada Rika. "Kamu bohong ya?" tanyanya sambil menenggelamkan wajahnya ke bahu Rika.
"Ya, jelas. Dia itu kadang terlalu banyak bicara, bikin suasana jadi ribet," jawab Rika sambil menghela napas panjang, merasa lega setelah beberapa saat tanpa gangguan dari Rise.
Mendengar itu, Nora justru semakin manja. Ia memeluk Rika lebih erat lagi, menempel dengan rasa nyaman. "Kalau begitu, sekarang kita tinggal berdua saja, ya?" bisik Nora sambil menyeringai kecil, matanya masih terlihat berat karena kantuk.
Rika hanya tersenyum, tapi tidak banyak bicara. Dalam situasi ini, meskipun terkadang Nora bisa merepotkan dengan sifat manjanya, ada sesuatu yang membuat Rika merasa tenang dan nyaman dengan kehadiran temannya itu. "Ya, sekarang tinggal berdua," jawabnya pelan sambil menatap jauh ke depan, ke arah matahari yang mulai sedikit terbit di kejauhan.
"Kamu tahu, Rika, aku senang banget bisa pergi berekspedisi denganmu," kata Nora, suaranya terdengar lembut dan hangat. "Walaupun jaraknya jauh, dan kadang perjalanan ini berat, selama ada kamu, rasanya lebih menyenangkan."
Rika tersenyum mendengar kata-kata itu, sedikit merasa canggung. "Kau terlalu berlebihan, Nora. Aku cuma temanmu, tidak ada yang spesial."
"Tapi bagiku kamu spesial," jawab Nora dengan polos, wajahnya sedikit memerah meskipun masih diselimuti kantuk. Ia menggeliat sedikit di punggung Rika, merasa nyaman dengan kehangatan pagi yang perlahan-lahan mulai terasa.
Rika tertawa kecil dan menepuk pelan tangan Nora yang masih memeluknya. "Kau memang manja sekali pagi ini."
Nora mengangguk pelan. "Aku kan suka manja kalau lagi sama kamu."
Percakapan mereka terus berlanjut, penuh canda tawa dan kehangatan, sementara cahaya pagi semakin terang. Mereka berbicara tentang segala hal, mulai dari rencana ekspedisi, cerita lucu saat perjalanan, hingga hal-hal kecil yang membuat mereka tertawa bersama.
Tiba-tiba, suara ayam berkokok memecah suasana pagi itu, menandakan bahwa hari benar-benar sudah dimulai. Rika dan Nora saling berpandangan dan tertawa kecil, menyadari bahwa momen santai mereka akan segera berakhir.
"Yah, waktunya bangun beneran," kata Rika sambil berdiri dan meregangkan badannya. "Ayo, kita siapkan semuanya untuk melanjutkan perjalanan."
Nora mengangguk pelan, tapi tetap memeluk Rika untuk beberapa detik lagi sebelum akhirnya melepaskan dirinya. "Iya, iya, tapi jangan lupa... aku masih mau kopi lagi nanti," katanya sambil menyeringai manis.
Rika hanya menggelengkan kepala sambil tersenyum, siap menghadapi tantangan yang akan datang dengan Nora di sisinya.
Setelah semua persiapan selesai, mereka berempat akhirnya melangkah memasuki Desa Verdalia. Pagi yang seharusnya biasa terasa aneh bagi Nora, Leonis, dan Zephyr. Aura Bunga Kutukan yang sangat kuat tiba-tiba melingkupi desa, menekan mereka seperti angin dingin yang datang tanpa peringatan. Nora berhenti berjalan, matanya melirik ke arah kanan dan kiri, mencoba mencari sumber tekanan itu.
"Sialan... kenapa auranya kuat sekali?" bisik Leonis, wajahnya berubah tegang.
Zephyr yang biasanya tenang kini terlihat berkeringat. Ia mengerutkan kening sambil memeriksa lingkungan sekitar, seolah-olah ada sesuatu yang mengintai mereka. "Ini mirip... dengan ujian kita dulu," katanya, suaranya penuh kewaspadaan. "Aura ini mengingatkanku pada saat Bunga Kutukan pertama kali bangkit."
Sementara itu, di sisi lain, Rika tidak merasakan apa-apa. Bunga Kutukan bukanlah bagian dari dirinya. Namun, ia tak bisa mengabaikan kode yang diberikan oleh Rise. Tangan kanannya bergetar halus, pertanda bahwa sesuatu yang sangat kuat ada di sekitar mereka.
"Rise, kau juga merasakannya?" bisik Rika pelan, menutupi mulutnya dengan tangan agar yang lain tidak bisa mendengar percakapan mereka.
"Iya, ini benar-benar aura yang kuat... Sepertinya aura ini milik Shiko," jawab Rise dalam benak Rika.
Rika tertegun. Shiko? Pikiran itu membuat jantungnya berdegup lebih cepat. Tapi, Pedang Higanbana belum ditemukan... Belum ada wadah untuk adikmu, bukan? Bagaimana mungkin tekanannya sekuat ini?
Rise, yang biasanya penuh percaya diri, terdiam sejenak. "Aku tidak tahu... tapi ini tidak mungkin aura biasa. Ini terasa sangat mirip dengan milik Shiko."
Rika berusaha tetap tenang meski hatinya dipenuhi kebingungan. Jika benar ini aura Shiko, kenapa bisa muncul sekarang? Apakah adiknya telah kembali atau ada sesuatu yang lebih besar sedang terjadi? Ia mencoba untuk tidak menampilkan kekhawatirannya di hadapan teman-temannya, pura-pura tidak tahu soal ini. Tapi, semua petunjuk mengarah ke hal yang sama.
Namun, meskipun ketakutan mulai merasuki mereka, keempatnya tetap melangkah masuk lebih jauh ke dalam Desa Verdalia. Warga desa terlihat seperti biasa, menjalankan aktivitas mereka dengan tenang. Tidak ada tanda-tanda kekacauan atau bahaya, setidaknya di permukaan.
Nora, Leonis, dan Zephyr masih tampak waspada, meskipun berusaha menyembunyikan perasaan mereka di balik canda tawa ringan saat mereka berbaur dengan masyarakat desa. Rika, di sisi lain, tetap mencoba bersikap biasa, meski pikirannya masih tertuju pada misteri aura kutukan yang baru saja mereka rasakan.
Namun, pertanyaan itu tetap menggelayut dalam benaknya. Apa sebenarnya yang menanti mereka di Desa Verdalia ini?