Di tengah suasana kelas yang tenang dan membosankan, Rika duduk termenung, menatap langit biru yang terbentang melalui jendela kelas. Matanya terlihat kosong, seakan pikirannya melayang entah ke mana.
"Rika, apa yang kau pikirkan?" tanya Rise tiba-tiba, suaranya muncul dari telapak tangan Rika seperti biasa. Entah kenapa pemandangan itu sudah seperti hal biasa bagi Rika.
Rika menghela napas panjang sebelum menjawab, "Aku sedang merasa bosan saja, aku tidak tahu ingin melakukan apa."
Rise tertawa kecil, suaranya terdengar sinis. "Orang gila, padahal ada banyak makhluk kutukan di dunia ini yang bisa kita habisi, dan kau juga punya aku dengan kekuatan hebat dan luar biasa. Tapi kau malah merasa bosan?"
Rika mengangkat bahu tanpa minat. "Aku serius, hari ini benar-benar tidak ada yang menarik. Lagi pula, aku tidak bisa sembarangan bertukar tubuh denganmu setiap saat."
Rise terdiam sesaat, lalu menimpali dengan nada mengejek, "Dasar membosankan! Kalau begitu, bagaimana dengan adikku, Shiko? Kau bertanya, tapi sama saja, tak ada perkembangan. Masih belum ada seorang pun yang menemukan dia dan menjadikannya wadah seperti kau dan aku."
Rika menoleh sedikit ke arah telapak tangannya, tersenyum miring. "Oh, jadi kau bilang aku ini hanya wadah untukmu? Kau cuma numpang doang di tubuhku, dasar freeloader."
Rise mendengus. "Aku bisa saja mengambil alih tubuhmu kapan saja kalau aku mau, tapi aku punya sopan santun untuk tidak melakukannya terus-menerus."
"Yakin, sopan santun? Kau? Lagipula, kalau tidak ada aku, kau tidak bisa berbuat apa-apa," balas Rika dengan nada menantang.
Debat kecil antara Rika dan Rise pun berlanjut, meskipun suasana kelas tetap sepi dan tak ada yang tahu tentang percakapan intens ini. Seakan-akan mereka adalah dua sisi dari satu koin, selalu bertengkar tapi saling membutuhkan.
Di tengah percakapan itu, Rika sekali lagi menghela napas panjang, merasa betapa aneh dan rumitnya hidupnya sekarang.
Rika mulai tertawa kecil, memperparah suasana. "Rise, kau itu cuma numpang jadi terima saja nasibmu. Jika aku tidak menemukanmu waktu itu, saat ini kau hanyalah Sabit Merah yang tertancap di batu," ucap Rika dengan nada mengejek yang lebih tajam dari biasanya.
Tidak terima dengan ejekan tersebut, Rise merespon dengan tindakan yang tak terduga. Tubuh Rika tiba-tiba pingsan di dunia nyata, dan dalam sekejap, ia terjebak di Alam Bawah Sadar milik Rise. Saat matanya terbuka, Rika dikejutkan oleh pemandangan yang tak pernah ia bayangkan.
Di hadapannya, Rise muncul dalam wujud yang jauh berbeda dari sebelumnya—seorang gadis kecil, tampak tidak lebih dari 10 tahun, dengan wajah yang tampak kesal dan penuh kemarahan. Rika menatap Rise dengan tatapan heran, tak bisa menahan tawanya.
"Halo, anak kecil! Kamu ngambek ya?" goda Rika, senyum jahil tersungging di bibirnya. "Siapa sangka kau bisa seimut ini?"
Rise mengerutkan alisnya, melipat kedua tangan di dada, terlihat semakin jengkel. "Aku bukan anak kecil! Jangan panggil aku seperti itu!" teriaknya, suaranya terdengar lebih tinggi dan cempreng dari biasanya.
Rika berusaha menahan tawa, tapi wajahnya jelas menunjukkan betapa dia menikmati situasi ini. "Jadi, ini wujud aslimu, ya? Kenapa kau lebih pendek dariku sekarang? Aku kira kau akan jauh lebih tinggi... Tapi, yah, itu mungkin waktu kau masih hidup dan jadi manusia. Sekarang, kau hanya Kutukan yang terjebak di tubuhku."
Rise mendengus, matanya masih memandang tajam ke arah Rika. "Aku bukan hanya kutukan! Kau tahu betapa kuatnya aku!" balasnya dengan nada penuh pembelaan.
"Yah, yah, kau memang kuat, tapi lihat dirimu sekarang. Kau terlihat seperti adik kecilku yang ngambek karena mainannya direbut," ucap Rika sambil duduk di dekat Rise, mencoba menahan diri untuk tidak tertawa terlalu keras.
"Aku tidak perlu penjelasan darimu! Dan jangan sekali-sekali meremehkanku hanya karena wujudku seperti ini!" Rise kembali mendengus, kali ini dengan nada yang lebih tersinggung.
Rika menatap Rise dengan penuh keheranan. "Jadi, kenapa kau muncul seperti ini, eh? Ini pertama kalinya kau menyeretku ke alam bawah sadar dan... kau jadi seperti ini?"
Rise menatap ke bawah, sejenak terdiam, sebelum akhirnya menjawab dengan suara yang lebih tenang. "Ini bukan wujud asliku... Tapi ini cerminan dari emosiku yang lama terkubur. Mungkin karena kau terus mengejekku, emosiku kembali muncul... dan begini jadinya."
Rika terdiam sejenak, lalu tersenyum lembut. "Jadi, kau juga punya sisi rapuh, ya? Meski begitu, aku tidak akan berhenti menggodamu. Kau menghibur, meski caramu sering berlebihan."
Mendengar kata-kata itu, Rise tampak merajuk, tapi ada sedikit senyum di sudut bibirnya yang sulit ia sembunyikan. Percakapan mereka berlanjut di alam bawah sadar itu, penuh canda tawa dan dinamika aneh antara dua jiwa yang saling bertolak belakang, tapi saling membutuhkan satu sama lain.
Beberapa saat kemudian, suasana dalam alam bawah sadar Rise dipenuhi dengan percakapan ringan dan tawa mereka. Namun, Rika menyadari waktu yang terus berlalu dan kembali teringat akan keadaan di dunia nyata. Dia merasa perlu untuk segera kembali.
"Jadi Rise," ucap Rika, suaranya penuh penekanan, "kembalikan aku ke dunia nyata. Aku sedang ada pelajaran, dan aku tidak tahu apa yang akan terjadi jika Ibu Calmera melihat tubuhku pingsan."
Rika menatap mata Rise dengan tajam, mencoba menyampaikan betapa pentingnya hal ini. Untuk pertama kalinya, Rika melihat ekspresi rapuh dan gemetar di wajah Rise. Sisi rapuh dari Rise ini terasa sangat berbeda dari sikap keras dan dominan yang biasa ia tunjukkan.
Rise menggigit bibir bawahnya, matanya terlihat bergetar. "Kau benar-benar membuatku sulit," katanya dengan suara lembut, mencerminkan ketidaknyamanan dan kepanikan yang ia rasakan.
Rika memperhatikan perubahan ini dengan cermat. "Aku tahu ini bukan saatnya untuk main-main. Aku harus segera kembali."
Rise, dengan rasa enggan yang jelas, akhirnya mengangguk. "Baiklah, aku akan mengembalikanmu. Tapi ingat, jangan terlalu banyak mengejekku lagi."
Dengan kata-kata itu, Rise mengarahkan tangannya yang kecil ke arah Rika, dan dalam sekejap, dunia sekitar mereka bergetar. Suasana dalam alam bawah sadar mulai memudar, dan Rika merasa dirinya kembali ke dunia nyata.
Saat Rika membuka matanya, dia mendapati dirinya kembali di kelas, dengan tubuhnya yang sebelumnya pingsan kini sudah kembali dalam posisi duduk dengan normal. Rika bisa merasakan tatapan khawatir dari teman-teman sekelasnya, termasuk Ibu Calmera yang berdiri di depannya dengan ekspresi cemas.
Rika cepat-cepat duduk tegak dan berusaha untuk terlihat normal, sambil mengabaikan rasa berdebar di dadanya. "Apa yang terjadi?" tanyanya dengan nada tenang, berusaha untuk tidak menunjukkan kekacauan yang baru saja ia alami.
Ibu Calmera menghela napas lega. "Kau akhirnya sadar. Kami sempat khawatir, tetapi sepertinya kau baik-baik saja sekarang."
Rika memberikan senyum lemah dan mengangguk. "Terima kasih, Bu. Maaf kalau saya membuat panik."
Sementara itu, di alam bawah sadar, Rise menatap kosong ke arah tempat Rika sebelumnya berada, sedikit merasa lega bahwa Rika telah kembali dengan selamat. Dengan perasaan campur aduk antara kesal dan lega, Rise kembali ke posisinya di dalam tubuh Rika, menunggu hingga waktu mereka berikutnya untuk berinteraksi lebih lanjut.
Ibu Carmela berjalan ke depan kelas, wajahnya menunjukkan keseriusan yang jarang terlihat, membuat suasana kelas menjadi hening. "Anak-anak, kita akan segera melakukan ekspedisi ke beberapa desa untuk menambah pengalaman kalian dalam menangani kutukan. Kalian akan dibagi ke dalam empat kelompok, dan setiap kelompok akan bertugas di desa yang berbeda," ucapnya, suaranya tegas dan jelas.
Dengan selembar kertas di tangannya, Ibu Carmela mulai menyebutkan nama-nama murid yang akan tergabung dalam masing-masing kelompok.
"Kelompok 1 akan pergi ke Desa Estoria. Anggotanya: Aelric, Solana, Vayne, dan Myra."
Beberapa murid di kelas mengangguk, saling pandang, dan mulai mendiskusikan siapa yang akan mereka temui di desa tersebut.
"Kelompok 2 akan menuju Desa Fallmere. Anggotanya: Kael, Lysandra, Velric, dan Zara."
Ibu Carmela terus membaca daftar itu dengan lancar.
"Kelompok 3, Rika, kamu akan pergi ke Desa Verdalia. Anggotanya: Nora, kamu sendiri, lalu ada dua anak laki-laki, yaitu Zephyr dan Leonis."
Rika yang tadinya setengah mengantuk, tiba-tiba terjaga penuh ketika mendengar namanya. Nora yang duduk di sebelahnya hanya tersenyum dan memberi anggukan kecil, merasa senang bisa berada di kelompok yang sama.
Zephyr, seorang laki-laki tinggi berambut hitam dengan mata tajam, mengangguk tanpa banyak bicara. Leonis, di sisi lain, tersenyum lebar. Rambut pirangnya berantakan, dan matanya yang berkilauan menunjukkan semangat yang tak terbendung.
"Kelompok 4," lanjut Ibu Carmela, "akan menuju Desa Lyseria. Anggotanya: Cedric, Elowen, Kian, dan Althea."
Satu per satu kelompok disebutkan, hingga Ibu Carmela selesai membagi semua murid. Rika mendengar desas-desus di kelas tentang masing-masing desa, tetapi pikirannya terfokus pada satu hal—apa yang akan terjadi di Desa Veldara dan bagaimana perjalanan ini akan mempengaruhi hubungannya dengan kutukan yang dimiliki oleh tubuhnya.
"Besok pagi kita berangkat. Kalian semua diminta untuk mempersiapkan peralatan kalian dengan baik, karena perjalanan ini tidak akan mudah," ujar Ibu Carmela sebelum mengakhiri pertemuan di kelas.
Waktu istirahat sudah tiba, Rika memanggil seluruh anggotanya untuk berkumpul di pojok halaman sekolah saat jam istirahat. Ia berdiri dengan tangan terlipat, tatapannya tajam dan serius.
"Hey, kalian para Pengguna Bunga Kutukan. Cepat kumpul kemari, kita harus merencanakan untuk besok," kata Rika sambil menunggu reaksi dari anggota timnya. "Pertama, aku ingin bertanya, di ekspedisi ini... apa yang akan kita cari?"
Leonis, dengan senyum cerah dan percaya diri, segera angkat bicara. "Untuk apa kita membuat rencana? Kita ini kan semuanya pengguna Bunga Kutukan, jadi apapun yang terjadi, kita bisa tangani dengan mudah!"
Namun, sebelum ia bisa melanjutkan, Rika dengan cepat menempelkan perekat di mulut Leonis, membuatnya tidak bisa bicara lagi. "Lebih baik kau diam, itu membuatku sakit hati. Aku ini tidak memiliki Bunga Kutukan," kata Rika, matanya menyipit dengan wajah jengkel.
Nora tertawa kecil di sebelah Rika, "Kau memang terlalu percaya diri, Leonis. Tapi Rika benar. Kita perlu rencana yang matang."
Zephyr, yang sejak tadi diam saja, akhirnya berbicara. "Aku setuju dengan Rika dan Nora. Meskipun kita kuat, Desa Verdalia bukan tempat yang biasa. Ada banyak laporan tentang kutukan yang tidak bisa dijelaskan. Kita harus siap dengan skenario terburuk."
Leonis yang masih mencoba berbicara, namun tak bisa, hanya bisa mengangkat bahu sambil mengangguk, seolah setuju dengan apa yang dikatakan Zephyr.
Rika pun akhirnya mengambil alih diskusi, "Oke, jadi rencananya begini. Kita akan berangkat besok pagi, dan begitu sampai di desa, kita akan langsung mencari petunjuk tentang aktivitas kutukan di sana. Nora dan aku akan mengecek pusat desa, sementara Zephyr dan Leonis memeriksa area pinggir desa. Kita harus tahu lebih banyak tentang kutukan yang mengganggu desa ini sebelum kita mulai melawan."
Zephyr menambahkan, "Pastikan kita membawa peralatan sihir dan perlindungan yang memadai. Jika ada sesuatu yang tidak bisa kita tangani, lebih baik kita mundur dulu dan merencanakan langkah selanjutnya."
Nora mengangguk, menyetujui rencana tersebut. "Baik, jadi kita bagi tugas dan tetap dalam komunikasi. Jika salah satu dari kita menemukan sesuatu yang aneh, segera beri tahu yang lainnya."
Leonis akhirnya berhasil melepaskan perekat dari mulutnya. "Baiklah, baiklah! Aku akan melakukan bagian tugas ku. Tapi aku yakin kita tidak akan menemui masalah besar," katanya sambil tertawa.
Rika menghela napas, "Semoga saja begitu. Tapi lebih baik kita bersiap untuk kemungkinan terburuk."
Setelah mereka berdiskusi lebih lanjut tentang detil-detil kecil rencana mereka, keempatnya akhirnya merasa siap untuk ekspedisi besok. Rika, Nora, Zephyr, dan Leonis saling pandang, merasakan campuran antusiasme dan ketegangan menjelang tantangan yang menunggu mereka di Desa Verdalia.