Di pagi hari yang cerah, Rika bangun dengan perasaan kaget dan bingung. Matahari sudah bersinar terang, sinarnya menyelinap masuk dari balik tirai yang belum ia buka. Ia mendadak teringat, Hari ini ujian Bunga Kutukan!
"Astaga! Aku terlambat!" serunya, langsung bangkit dari tempat tidur dengan panik. Tanpa berpikir panjang, ia segera bergegas ke kamar mandi, hanya membasuh wajah seadanya. Sarapan? Ia meraih sepotong roti yang masih ada di meja, menggigitnya sambil berlari mondar-mandir di rumahnya, mencari peralatan sekolah yang berceceran.
Dengan tergesa-gesa, Rika memasukkan buku-buku dan catatannya ke dalam tas, menggantungnya di punggung, lalu berlari keluar dari rumah tanpa sempat merapikan rambutnya yang berantakan. "Sial! Kenapa aku bisa lupa ujiannya hari ini!" gerutunya, setengah kesal pada dirinya sendiri.
Sepanjang jalan, ia berlari dengan roti yang masih tergigit di mulutnya, rambutnya yang belum tersisir tergerai liar. Setiap langkahnya terasa seperti perlombaan dengan waktu. Dalam hati, ia makin jengkel. "Kenapa hari ini begitu kacau?! Harusnya aku lebih siap!" pikirnya sambil mengeluh.
Dua belas menit kemudian, dengan nafas terengah-engah, akhirnya Rika sampai di gerbang sekolah. Kakinya berhenti mendadak, tatapannya langsung terpaku pada pemandangan yang membuatnya kebingungan. "Apa? Kenapa... kenapa sepi sekali di sini?!"
Sekolah yang biasanya ramai pada pagi hari kini sunyi, hampir tidak ada orang. Rika berdiri membatu, mulutnya terbuka lebar. "Jangan-jangan... aku salah hari?"
Perasaan jengkel makin menguasai Rika. "Ini sungguh tidak mungkin... Aku hampir telat, tapi sekolah malah sepi?! Apa aku bangun terlalu pagi?" pikirnya dengan frustrasi. Ia mengacak rambutnya yang sudah berantakan, semakin kesal pada situasinya.
Tiba-tiba, ia merasakan sesuatu yang dingin di bagian belakang lehernya. Rika melompat kaget. "Apa ini?!" teriaknya sambil memegang lehernya yang terasa seperti disiram es. Ia berbalik, dan melihat Nora, sahabatnya, berdiri di sana dengan senyum puas di wajahnya.
"Nora!" seru Rika, setengah marah.
Nora tertawa kecil, melambaikan tangannya yang masih bersinar dengan es dari Bunga Kutukan "Edelweiss" miliknya. "Rika! Jarang-jarang kamu berangkat pagi, ya?" candanya sambil berjalan mendekat dengan santai.
Rika menghela napas, masih jengkel. "Kau mengagetkanku! Dan... bisakah kau berhenti pamer Bunga Kutukanmu setiap waktu? Aku sedang tidak ingin bercanda sekarang!" katanya, nadanya terdengar kesal.
Nora menggelengkan kepala, masih tertawa kecil. "Ayo, kita masuk. Ujian belum dimulai kok. Masih ada waktu," ujarnya sambil berjalan menuju pintu masuk sekolah, dengan Rika yang masih jengkel mengikuti di sampingnya.
Rika mendengus kesal, tetapi tidak bisa menahan tawa kecil saat melihat sahabatnya. "Kau selalu punya cara untuk membuatku kesal, ya?" ujarnya sambil menarik nafas panjang.
Dengan setengah jengkel dan setengah tertawa, Rika mengikuti Nora masuk ke area sekolah. Mereka berjalan melewati lapangan yang masih sepi, beruntung Rika masih punya waktu sebelum ujian dimulai. Perasaan gugupnya mulai mereda ketika ia melihat beberapa siswa lain mulai berdatangan, meskipun sebagian besar masih belum terlihat.
"Kenapa aku berpikir kalau ujian sudah dimulai?" gumam Rika sambil mengusap keningnya yang sedikit berkeringat. "Padahal aku datang lebih awal dari biasanya."
Nora tersenyum lebar, "Mungkin karena kau terlalu memikirkan ujian Bunga Kutukan. Tenang saja, Rika. Lagipula, ini hanya ujian teori. Yang penting kita belajar."
Rika menarik napas dalam-dalam, "Iya, kau benar... tapi tetap saja, ini pertama kalinya kita diuji tentang penggunaan Bunga Kutukan."
Dengan langkah sedikit enggan, Rika akhirnya berjalan berdampingan dengan Nora menuju kelas, masih merasa jengkel, tapi tak bisa menahan senyum kecil di sudut bibirnya.
Nora menatap Rika dengan cemas saat mereka berjalan menuju kelas. "Tunggu Rika..." Nora berhenti sejenak, nada suaranya lebih serius. "Kau itu tidak memiliki kekuatan Bunga Kutukan. Bagaimana kau akan melewati ujian tahun ini? Tahun lalu kamu beruntung bisa melewatinya karena berhasil mengalahkan kutukan Tingkat Langkah. Tapi kali ini, ujiannya jauh lebih sulit."
Rika menghela napas panjang, menundukkan kepalanya sambil memikirkan hal yang sama. "Aku tidak tahu, Nora. Tahun kemarin, aku memang berhasil lolos karena dapat promosi setelah mengalahkan kutukan itu... Tapi sekarang?" Rika terdiam sejenak, menatap ke depan dengan tatapan kosong. "Aku ini... aku tidak punya Kutukan Bunga seperti yang lain. Aku tidak tahu apa yang bisa kulakukan."
Nora memandang Rika dengan penuh perhatian. "Kau tahu, Rika, kamu bisa saja memiliki kekuatan yang belum terlihat. Kadang kekuatan seseorang tidak selalu langsung tampak di permukaan."
Rika tersenyum kecil tapi getir. "Kalau itu benar, aku berharap kekuatanku muncul sekarang... Sebelum aku gagal di ujian ini."
Mereka terus melangkah, dan suasana di antara mereka terasa berat. Nora mencoba mengangkat suasana, berkata, "Yah, setidaknya kamu selalu bisa mengandalkan otakmu. Kau pintar, Rika. Bahkan tanpa Kutukan Bunga, kau tetap bisa bertahan sejauh ini."
Rika tertawa kecil, tapi tidak sepenuhnya merasa terhibur. "Mungkin... Tapi sepertinya kali ini, otak saja tidak cukup."
Saat mereka sampai di depan kelas, Nora tersenyum dan menepuk pundak Rika. "Hei, apapun yang terjadi, kau tahu aku ada di sini untuk mendukungmu, kan? Kalau kau butuh bantuan saat ujian, aku akan coba membantu semampuku."
Rika mengangguk, merasa sedikit lebih tenang. "Terima kasih, Nora. Kau sahabat terbaik."
Sesaat setelah mereka masuk ke kelas, suasana menjadi sunyi. Semua murid sudah duduk di tempatnya, dan beberapa detik kemudian, pintu kelas terbuka lebar. Masuklah Ibu Guru Carmela, dengan tatapan tegas namun lembut.
"Baiklah, murid-murid. Hari ini adalah hari ujian Bunga Kutukan. Aku harap kalian semua sudah siap, ayo ikut Ibu menuju lapangan" ucapnya dengan suara yang jelas dan tegas, membuat seluruh ruangan terasa lebih serius.
Sesampainya di lapangan. Ibu Guru Carmela mengatur para murid untuk berkumpul. Udara yang tadinya terasa tenang mendadak dipenuhi dengan ketegangan saat beliau melanjutkan penjelasannya. "Hari ini, ujian Bunga Kutukan kita memiliki tambahan baru. Bagi yang tidak memiliki Bunga Kutukan, kalian akan mendapatkan ujian berbeda, yaitu 'Berburu Kutukan.'"
Rika yang mendengarnya merasa tidak percaya. Matanya langsung menatap Nora dengan penuh amarah. "Sialan! Kau bilang tadi cuma teori?!"
Nora, yang merasa bersalah, mencoba menghindari tatapan Rika dan pura-pura tak mendengar, meskipun jelas-jelas ia merasakan tekanan dari sahabatnya itu.
Ibu Guru Carmela melanjutkan penjelasannya dengan tegas. "Dalam ujian 'Berburu Kutukan,' kalian akan dihadapkan dengan berbagai tingkatan kutukan—dari Tingkat Rendah, Tingkat Langkah, Tingkat Istimewa, hingga yang paling berbahaya, kutukan Tingkat Tidak Terdaftar."
Rika masih terdiam, tetapi detik berikutnya dia tak bisa menahan diri lagi. "HAH?! Sialan, kau mau membunuhku, Bu?!" serunya, tak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar.
Ibu Guru Carmela tetap tenang dan menjawab dengan nada sabar namun tegas, "Tentu saja tidak, Rika. Kau akan diberi Kutukan Pendukung dan Pelindung untuk membantu melindungimu."
Rika mendengus keras, tidak puas dengan jawaban itu. "Kutukan Pendukung dan Pelindung? Serius? Itu sama saja seperti mengirimku ke kematian! Kenapa aku harus menjalani ujian ini sendirian?" protesnya sambil melangkah maju ke arah gurunya.
Debat mulai memanas, dan suasana di sekitar menjadi tegang. Rika menatap Ibu Guru Carmela dengan penuh ketidakpercayaan, sementara guru itu tetap sabar dalam menjelaskan.
"Ini adalah bagian dari ujian, Rika. Kau tidak memiliki Bunga Kutukan, jadi ujian ini dirancang untuk mengukur potensi lain yang mungkin kau miliki, kau mungkin tidak memiliki Bunga Kutukan tapi kamu masih memiliki Kekuatan Mentah, jadi... gunakanlah kekuatan fisikmu itu. Kau bisa melakukannya," jawab Ibu Guru Carmela dengan tenang, meski melihat Rika masih tampak jengkel.
Nora yang merasa bersalah, akhirnya menenangkan Rika dengan menepuk pundaknya. "Hei, tenanglah. Kau pasti bisa melakukannya. Aku akan menunggumu di sini, oke?"
Rika menghela napas panjang, merasa sedikit tenang tapi masih marah-marah sendiri. "Sialan... Aku tak peduli! Aku akan selesaikan ini, mau bagaimanapun caranya!"
Dengan suasana hati yang jengkel dan tangan mengepal, Rika akhirnya berangkat menuju hutan untuk memulai ujian 'Berburu Kutukan'—tanpa Kutukan Pendukung dan Pelindung, seperti yang dijanjikan. Sambil berjalan dengan penuh kekesalan, dia bergumam sendiri, "Aku tidak peduli! Akan kuhabisi kutukan-kutukan itu satu per satu!" Tatapan tajamnya terus fokus ke dalam hutan yang semakin dalam dan gelap.
Rika terus berjalan semakin jauh ke dalam hutan, amarahnya membara. Langkahnya semakin cepat dan kuat, hingga setiap gerakannya terasa seperti ekspresi frustrasi yang meledak-ledak. "Dimana semua makhluk terkutuk ini?!" geramnya, sambil sekali lagi memukul sebuah pohon besar di depannya. Suara keras terdengar, dan lubang besar tercipta di batang pohon yang tak berdaya menghadapi amarah Rika.
"Sialan! Aku butuh sesuatu untuk dihancurkan, selain pohon bodoh ini!" Rika menggeram, tangannya gemetar karena marah yang tak kunjung mereda. Dengan tekad yang semakin memuncak, dia terus berjalan lebih jauh lagi ke dalam hutan, seolah-olah mengabaikan kegelapan dan suasana misterius yang mulai menyelimuti sekitarnya.
Waktu terus berlalu, dan tanpa disadari, dia telah berada di bagian hutan yang belum pernah dia jelajahi sebelumnya. Semakin dalam dia masuk, semakin gelap dan sunyi hutan itu. Namun, di tengah keheningan itu, sebuah pemandangan menarik perhatian Rika.
Di depan matanya, tampak sebuah gua besar. Rika tertegun sejenak, tatapannya terpaku pada pintu masuk gua yang gelap dan mengintimidasi. "Apa ini?" gumamnya, rasa penasaran mulai menggantikan sedikit dari kemarahannya. Dengan hati-hati, dia melangkah masuk ke dalam gua, dinding-dinding batu yang dingin menyambutnya.
Semakin jauh ia masuk, suasana di dalam gua semakin aneh. Udara terasa berat, seolah ada sesuatu yang menunggu di sana. Hingga akhirnya, di tengah kegelapan, ia melihatnya—sebuah batu besar berdiri tegak, dan di atasnya tertancap sebuah senjata yang berkilauan dalam bayang-bayang gua.
Mata Rika membelalak, tak percaya dengan apa yang ia lihat. "Itu... Sabit Merah?" bisiknya. Dia mendekat dengan langkah hati-hati, seolah tidak ingin percaya bahwa senjata legendaris yang pernah diceritakan oleh Ibu Guru Carmela itu benar-benar ada di hadapannya.
Sabit Kutukan "Sabit Merah" yang tertancap di atas batu besar berkilauan dengan aura menakutkan yang membuat Rika merasa cemas. Meskipun terpesona oleh kehadiran senjata legendaris itu, ia tetap merasa ada sesuatu yang tidak beres. Dengan hati-hati, ia menjaga jarak beberapa meter, berusaha untuk tetap waspada.
Rika mengingat apa yang pernah diceritakan Ibu Guru Carmela tentang Bunga Kutukan 'Mawar Hitam' yang terdapat pada sabit tersebut. Dia tahu bahwa kekuatan dari sabit ini sangat dahsyat, bahkan bisa setara dengan kekuatan dewa. Dan lebih penting lagi, ada Jiwa Rise yang dikenal sangat kuat di dalamnya.
Dengan tekad yang bulat, Rika memberanikan diri untuk melangkah maju. Langkahnya terasa berat, dan setiap detik rasanya seperti bertaruh nyawa. Dia berdiri tepat di hadapan sabit, melihat dengan seksama senjata itu seolah-olah menantangnya untuk mengambilnya.
Tangan Rika menggenggam gagang sabit dengan erat, dan dia mulai menariknya keluar dari batu. Keringat mulai membasahi dahinya, dan setiap tarikan membuatnya merasa semakin tertekan. "Sialan, ini benar-benar berat!" keluhnya sambil menarik sabit dengan segenap tenaga. Berbagai usaha dan kekuatan dikerahkan, namun sabit itu terasa seolah menolak untuk bergerak.
Dengan satu tarikan terakhir yang penuh tenaga, sabit akhirnya berhasil dicabut dari batu. Segera setelah sabit lepas, Rika merasakan dorongan kekuatan yang sangat besar mengalir ke dalam tubuhnya. Sensasi itu bukan hanya sekadar kekuatan fisik, tapi juga sebuah kekuatan spiritual yang sangat mengganggu. Bunga Kutukan 'Mawar Hitam' serta Jiwa Rise menyatu dengan tubuhnya, dan rasa sakit yang luar biasa langsung melanda.
Rika menjerit kesakitan, tubuhnya bergetar hebat karena perubahan yang terjadi dalam dirinya. "Aaaaahhh!" teriaknya, merasakan setiap serabut sarafnya seperti terbakar oleh energi yang sangat kuat. Dia berusaha untuk menahan rasa sakit yang hampir membuatnya pingsan, namun ia terus berdiri, berusaha mengendalikan diri dan mengatasi kekuatan baru yang mengalir dalam dirinya.
Dengan susah payah, Rika menahan segala rasa sakit dan berusaha untuk tetap sadar, mengingatkan dirinya bahwa dia harus menghadapi apa pun yang terjadi demi menyelesaikan ujian dan mungkin, untuk tujuan yang lebih besar dari sekadar lulus ujian. Tapi pada akhirnya dia menyerah, ia pun pingsan dan terbaring lemah di dalam gua.
Di Alam Bawah Sadar
Rika terbangun di tempat yang benar-benar asing. Cahaya redup, langit-langit tak terlihat, dan suasana seperti sebuah ruangan kosong yang terbentang tanpa batas. Perasaan aneh menyelimuti tubuhnya, membuatnya sedikit bingung. "Dimana ini…?" tanyanya pada dirinya sendiri, memandang sekeliling dengan waspada.
Tak lama kemudian, sebuah suara lembut namun mengintimidasi terdengar, seolah-olah menjawab pertanyaannya. "Selamat pagi! Sudah bangun?" Suara perempuan itu terdengar riang tapi juga menyimpan sesuatu yang tidak nyaman di dalamnya. "Kamu sekarang ada di Alam Bawah Sadarku, tenang saja. Aku juga berterimakasih padamu, yah? Karena kamu bersedia untuk menjadi wadah untukku."
Rika tertegun. "Wadah…?" gumamnya, masih berusaha memahami apa yang terjadi. Dari balik bayangan, muncul sosok perempuan dengan aura misterius. Sosok itu mengenakan gaun hitam dengan kelopak mawar hitam yang mengelilinginya, memberi kesan berbahaya sekaligus anggun. Dia menatap Rika dengan senyuman yang tidak sepenuhnya ramah.
"Kau… siapa?" tanya Rika, masih dalam kebingungan dan kekhawatiran.
Perempuan itu tertawa pelan. "Aku adalah Rise. Atau lebih tepatnya, Jiwa yang sekarang bersarang dalam tubuhmu," jawabnya dengan nada santai. "Aku adalah pemilik Bunga Kutukan 'Mawar Hitam,' senjata yang baru saja kau ambil. Dan sekarang, aku hidup di dalam dirimu, terikat bersama."
Rika tersentak, langkahnya mundur dengan gugup. "Apa maksudmu 'terikat'? Aku... aku tidak pernah setuju untuk menjadi wadahmu!" protesnya dengan tegas.
Rise tersenyum lebih lebar, matanya bersinar sedikit gelap. "Oh, tapi kau sudah melakukannya begitu kau menyentuh Sabit Merah itu. Sekarang kita terikat, dan tidak ada jalan keluar," katanya sambil mendekati Rika. "Tapi jangan khawatir. Aku tak berniat untuk langsung menguasaimu... Yah, setidaknya tidak jika kamu bersedia bekerja sama denganku."
Rika memandangnya dengan curiga. "Apa yang kamu inginkan dariku?"
Rise menghela napas, seolah mempertimbangkan kata-katanya. "Sederhana saja. Aku ingin tubuhmu... selama sepuluh menit saja. Hanya sepuluh menit untuk mengambil alih kendali tubuhmu. Setelah itu, aku akan membiarkanmu kembali seperti biasa."
"Tidak mungkin! Kenapa aku harus mempercayaimu?" jawab Rika dengan tegas, matanya penuh perlawanan.
Senyuman Rise memudar, dan tatapannya berubah menjadi serius dan dingin. "Karena jika kau menolak," katanya dengan nada tajam, "Aku bisa menghancurkan tubuhmu dari dalam. Aku memiliki kekuatan penuh atas Bunga Kutukan ini, dan kau baru saja menanggung sedikit dari kekuatanku. Jika aku mau, aku bisa membuat tubuhmu berantakan dalam hitungan detik."
Rika terdiam, merasakan ancaman nyata di balik kata-kata itu. Rasa takut mulai merayapi dirinya, tapi di sisi lain, ia juga tahu bahwa ia tidak bisa membiarkan orang lain menguasainya begitu saja.
"Pilihan ada di tanganmu, Rika," lanjut Rise, nadanya kembali tenang namun penuh tekanan. "Berikan aku sepuluh menit... atau kau akan kehilangan segalanya."
Rika menelan ludah, berpikir keras.