Chereads / Vipera, Menantu di Luar Radar / Chapter 20 - Bab 20. Persiapkan Dirimu

Chapter 20 - Bab 20. Persiapkan Dirimu

Vipera mengerling ponselnya yang tak henti berdenting sejak sore. Ia sudah menahan diri untuk tidak membuka semua pesan sejak membaca pesan dari Anjani dan Afon sesore ini. Ia tahu bahwa beberapa media menulis berita tentang masa lalu Anjani. Karena tidak mau sakit hati, Anjani mengabaikan semua pemberitahuan akan berita itu.

Setelah berpakaian, gadis itu keluar dari kamar. Lev menunggunya di ruang keluarga bersama Bi Sumi. Keduanya menatap gadis itu hingga ia duduk di sisi Bi Sumi.

"Kalian kenapa?" herannya karena tatapan keduanya mengikutinya sejak ia keluar dari kamar. Tangannya mengambil potongan buah di mangkuk yang dipegang Bi Sumi.

"Kau baik-baik saja?" tanya Lev, Vipera tersenyum kecut. Lev pasti mengkhawatirkannya karena pemberitaan tentang Anjani.

"Ya, aku baik-baik aja, kau kan sudah bertanya sejak sore," jawab Vipera. "Lagian kalian sudah menghapus berita itu bukan? Dan yang kasih tahu," sambungnya.

"Ya, tapi sepertinya tidak akan berhenti sampai disitu," sahut Lev. "Mereka pasti akan mencari cara lain untuk mengganggumu. Ah, kudengar ayahmu datang ke kantor?"

"Hmm, ya tapi dia hanya ingin bicara dengan Altair," sahut Vipera.

Lev mengerlingnya, "Anjani masih berusaha untuk mengejarnya. Selama Altair tidak menanggapinya mereka masih akan tetap mengganggumu."

"Selama ini juga begitu kan?" sahut Vipera. "Kadang rasanya malah aneh kalo salah satu dari mereka tak menggangguku," sambungnya, membuat Lev mau tidak mau tertawa.

"Kau menjadikan gangguan meraka sebagai kebutuhan?" kekehnya.

"Non sesekali tuh harusnya balas meraka," sungut Bi Sumi, ia yang melihat bagaimana gadis cantik itu selalu menjadi bahan perundungan keluarga Afon membuatnya kesal setengah mati.

"Dibalas juga percuma Bi, mereka pastinya hanya akan makin menjadi," sahut Vipera dengan tersenyum.

Lev mengambil ponsel Vipera yang tak berhenti berdenting sejak ia keluar dari kamar. Mengerling gadis itu, ia sepertinya tak peduli dengan ponselnya yang bawel sejak tadi.

"Buka aja kalo penasaran," sahut Vipe ketika menangkap tatapan Lev. "Bawel banget tuh ponsel dari sore," sambungnya. Tapi Lev memberikan ponsel itu padanya.

"Altair menghubungimu, sepertinya ia mengirimkan banyak pesan," sahut Lev. Mata Vipera terlihat bingung saat nama Altair tercetus dari bibir Lev.

"Ngapain?" heran Vipera, Lev mengedikkan bahu.

"Tanya sendiri," sahutnya seraya meletakkan ponsel di tangan gadis itu. Vipera mau tidak mau mengambilnya. Terkejut ketika menyadari betapa banyak pesan yang dikirimkan Altair padanya.

'Ini orang kenapa sih?' pikirnya bingung. Sebelum ini, Altair bahkan tak pernah menoleh padanya. Ia akhirnya membuka semua pesan Altair. Pria itu mengkhawatirkan dirinya, itu aneh. Gadis itu bangkit ketika Altair meneleponnya.

"Saya baik-baik saja," jawab Vipera, ia di sisi jendela menatap langit kelam yang tanpa hiasan. "Terima kasih."

"Mereka tidak akan mengganggumu lagi mulai sekarang," sahut Altair. "Aku dan Dan sudah menyelesaikannya. Dan jika kau perlu istirahat sebentar kau boleh cuti," sambungnya.

"Saya sungguh baik-baik saja, saya masih bisa bekerja," sahut Vipera keras kepala. "Terima kasih juga karena Anda telah membantu saya."

"Kau sudah makan?" tanya Altair pelan. Sejenak Vipera menjauhkan ponselnya dan menatap benda itu seolah ia sedang menatap Altair, dengan ekspresi bingung.

"Vipe?" suara Altair terdengar cemas.

"Ah, iya. Saya sudah makan," sahut Vipera buru-buru.

"Kalau begitu istirahatlah," sambung Altair. "Selamat tidur."

Vipera lagi-lagi menatap ponselnya, sikap Altair terhadapnya akhir-akhir ini jadi aneh. Bagi Vipera itu cukup mengganggu, karena semakin Altair aneh maka Anjani makin menggila. Dalam hati ia berpikir harus menghindari Altair agar hidupnya lebih damai. Ia kembali ke ruang keluarga tapi hanya ada Lev yang tengah berkutat dengan pekerjaan disana.

"Kau masih bekerja di jam seperti ini?" tanya Vipera seraya duduk di sampingnya.

"Hmm, ada sedikit pekerjaan yang harus kuselesaikan malam ini," sahut Lev tanpa menoleh. "Altair bilang apa?"

"Ngga tuh, cuma nanya aku baik-baik aja apa engga," sahut Vipera lengkap dengan ekspresi bingungnya. Lev mengerlingnya dan tersenyum.

"Kenapa?"

"Aneh aja sih," sahut Vipera heran.

"Mungkin Anjani benar, dia mutusin pertunangan mereka karena tertarik padamu," kekeh Lev.

"Apaan deh, manusia yang cuma peduli sama uang dan pekerjaan kaya dia?" decih Vipera.

"Setiap orang akan memiliki masa untuk mencintai seseorang. Bisa saja kan itu benar?"

Vipera menatap Lev dengan tatapan anehnya, tertawa kecil kemudian. "Tapi itu ngga berlaku buat Altair," kekehnya kemudian.

"Jangan denial," sahut Lev pelan. "Dia orang yang akan melakukan apa saja demi sesuatu yang dia inginkan. Kau tidak akan bisa mengelak jika dia mengejarmu," sambungnya.

"Apa sih? Ga jelas," sungut Vipera, membuat Lev tertawa.

'Kuharap kau akan tetap mengatakan hal yang sama jika Altair benar-benar mendekatimu nanti,' harapnya dalam hati. Walaupun Lev tahu, Altair tidak akan berhenti sampai ia berhasil menaklukkan gadis ini.

Vipera meluruskan kakinya dan mulai mengerjakan beberapa gambar sebelum tidur. Lev menatapnya sebentar sebelum ia kembali fokus pada pekerjaannya yang masih tersisa.

"Jangan tidur terlalu lama, kau masih belum pulih seratus persen," ujar Lev ketika ia menyelesaikan pekerjaannya. Vipera menoleh dan mengacungkan kedua jempolnya seraya tersenyum dan menggumamkan terima kasih. Lev meninggalkannya sendirian di ruang keluarga.

"Aku mau menyeduh kopi, kau mau coklat?" tawarnya.

"Tidak bisakah kau menawariku kopi sesekali?" protes Vipera.

"Asam lambungmu lumayan parah, aku ga mau bolak balik kerumah sakit hanya karena kau merengek ingin kopi," sahutnya dari bar mini.

"Kenapa ngga sekalian kau tawari susu?" sungut Vipera, memancing tawa Lev.

"Kau mau latte macchiato?" tawarnya, setidaknya varian itu tak terlalu pekat.

"Hmm," Vipera mengacungkan jempol pada sahabatnya.

Lev memberikan cangkir mungil berisi latte macchiato pada gadis itu beberapa menit kemudian dan duduk di sisinya. Menunggu Vipera menyelesaikan gambar. "Yang terjadi hari ini, kurasa mereka tidak akan berhenti sampai disitu," sahut Lev pelan.

Vipera menutup tab tabletetnya, mengangguk. "Aku tahu," sahutnya pelan. "Mereka tidak akan berhenti sampai aku kalah."

"Mau membiarkan kau kalah sekali lagi?" tanya Lev, ada cengiran di wajahnya.

"Inginnya tidak, tapi aku juga tidak ingin merepotkan kau maupun Dan terus menerus," jawab Vipera, ia menatap Lev cukup lama. "Rasanya dari kecil aku selalu merepotkan kalian terus."

"Memangnya kau mau merepotkan siapa lagi? Ah, tapi hari ini Dan yang melakukan lebih banyak. Dia dan Altair yang membungkam media," sahut Lev.

"Bukankah kau melakukan hal yang sama?"

"Hmm, tidak seberapa. Altair yang lebih banyak dan sepertinya dia juga bertengkar dengan keluarganya untukmu," sahut Lev. "Aku mengatakan ini karena berharap kau mempersiapkan diri. Kakek dan ibu Altair adalah orang-orang yang dulu membangun permusuhan dengan keluargamu."

Vipera menatap Lev, "Aku sempat mendengar cerita itu," ujarnya perlahan. "Tapi, aku satu-satunya yang tersisa dari Santana, mereka tidak akan peduli padaku saat ini. Tidak ada yang bisa diambil dariku dan aku tidak akan menyaingi mereka dalam hal apapun."

"Terkadang, sesuatu yang sudah dimulai sejak lama tidak akan memandang apakah kau melakukan sesuatu yang membuat mereka tersaingi atau tidak. Permusuhan kadang diwariskan Vipe. Sekalipun Altair mungkin tidak menganggap kau adalah musuhnya, tetapi ibu dan kakeknya tetaplah memandang kau sebagai Santana. Mereka bisa saja melakukan sesuatu untuk membuat kau menjauh dari Altair."

Vipera mengangguk pelan, pertama kali bertemu dengan ibu Altair ia sudah merasakan ketidaksukaan wanita itu padanya. Sekalipun wanita tersebut membelanya atas perlakuan buruk Anjani tetapi Vipera dapat merasakan aura permusuhan yang menguar dari tatapannya.

"Lalu menurutmu, aku harus resign?"

Lev tertawa pelan, "ga perlu seekstrim itu," kekehnya. "Perusahaan Altair bukanlah perusahaan keluarga, dia membangunnya sendiri. Perusahaan keluarga yang dibangun oleh kakeknya sekarang dipegang oleh sepupu Altair, selama kau tidak bekerja dengan perusahaan itu kurasa mereka tidak akan mengganggumu. Lagipula Altair cukup disegani, bahkan kakeknya tidak bisa ikut campur dalam perusahaan Altair, tapi kau tetap harus waspada."

"Aku mengerti," sahut Vipera pelan.

"Kalau kau merasa tidak aman dan tidak nyaman disana, kau bisa bergabung denganku," sambung Lev.

"Mungkin nanti, karena sepertinya Dan juga tidak akan lama disana. Dia tetap harus melanjutkan perusahaan ayahnya kan?"

"Hmm dan kau juga pastinya harus melanjutkan perusahaan yang didirikan ibumu. Om Theo tidak akan memegang perusahaan itu selamanya, dia sudah lama ingin menyerahkan perusahaan itu padamu."

Vipera menghela nafas panjang, "kurasa aku akan mempercayakannya pada Dan saja, aku bukan orang yang layak untuk memimpin sebuah perusahaan. Lagipula selama 15 tahun terakhir Om Theo yang memegang perusahaan itu, kurasa Dan lebih layak," sahut Vipera.

"Kurasa begitu lebih baik, karena jika ada yang tahu bahwa perusahaan Santana masih berjalan kau tidak akan bisa hidup dengan tenang seperti ini," sahut Lev setengah tertawa.

"Aku tidak mengerti," sahut Vipera. "Mengapa keluarga Kakek memiliki banyak musuh?"

"Paman bilang kakekmu terhitung sangat sukses dulunya, karena itu banyak yang iri. Dan lagi, tidak banyak yang bisa menyainginya saat itu, beliau mendapatkan banyak pekerjaan dengan mengalahkan beberapa pesaing terdekatnya. Tentu saja itu membuat saingannya semakin tidak menyukai keluarga kalian."

"Ngomong-ngomong aku sudah lama tidak melihat pamanmu, dia benar-benar jarang datang ya?"

Lev mengekeh, "banyak yang bilang sejak istrinya berkhianat dan menikah dengan ayahmu, dia memilih meninggalkan negara ini. Sesekali dia datang untuk melihat perusahaan."

"Kau tidak merindukannya?" heran Vipera. Lev masih memiliki keluarga terdekat, adik dari ayahnya yang memilih tinggal di luar negeri. Pria itu sesekali dulu datang untuk melihat Lev.

"Hmm, dibilang rindu ya rindu, tapi engga juga. Kami masih saling berkomunikasi setiap hari."

Sejenak Vipera menatap Lev dengan sedikit rasa iri, sejak kecil mereka bersama. Lev sekalipun tidak lagi memiliki orang tua tapi ia memiliki seorang paman yang sangat memperhatikannya. Ia tak pernah kekurangan, seluruh kebutuhannya tercukupi. Vipera sejatinya juga tidak pernah kekurangan, karena uang yang diwariskan ibunya lebih dari cukup. Hanya saja Afon selalu menjadi benalu baginya, sang ayah selalu datang saat ia membutuhkan uang untuk membiayai perusahaan karena keuangan perusahaan selalu digerogoti oleh gaya hidup istri dan anak-anaknya.

"Kau beruntung masih memiliki beliau," sahut Vipera pelan, Lev tersenyum dan merengkuh kepalanya lembut. Merebahkan kepala berambut legam itu di bahunya.

"Kau memiliki kami," sahut Lev pelan, tangannya mengusap lembut rambut Vipera yang menjuntai di bahunya. "Apapun yang kami miliki, kau pun memilikinya."

"Hmm, tapi kurasa sebaiknya mulai sekarang kalian mencari calon istri masing-masing," ujar Vipera seraya menarik kepalanya dari bahu Lev. "Kalian sudah beranjak tua."

"Apa yang kau cemaskan?" kekeh Lev. "Yang pertama kali harus mencari jodoh itu kau, perempuan satu-satunya diantara kita."

"Menurutmu orang sepertiku layak?"

Lev menatap wajah cantik itu dari samping, sejak remaja Vipera selalu menjauh dari teman-teman mereka. Wajah cantiknya selalu menarik perhatian teman-teman pria mereka, tapi karena ia selalu menarik diri dari pergaulan pada akhirnya mereka yang tertarik dengannya mundur secara perlahan. Apalagi Anjani dan Va selalu menjadi penghalang bagi siapapun yang mencoba mendekati Vipera. Setiap kali ada yang pria yang tertarik pada Vipe, maka Anjani akan melakukan segala cara untuk membuatnya terlihat buruk di mata semua orang. Itulah sebabnya Lev mengorbankan dirinya untuk menjadi kekasih gadis itu selama hampir enam tahun, agar Anjani tidak mencari masalah dengan siapapun yang berusaha mendekati Vipera.

Lev berusaha membuat gadis itu hidup layaknya gadis lain, yang mengenal cinta monyet. Tapi sekeras apapun ia berusaha menyingkirkan Anjani dari kehidupan Vipera, keluarganya yang lain selalu membuat celah agar Anjani bisa mengganggunya. Va bahkan tidak segan memukul siapapun yang mencoba mendekati Vipera, membuat pria manapun memilih mundur. Sehingga gadis itu berusia hampir 25 tahun ia tak pernah mengenal cinta sekalipun.

Jadi ketika sekarang Vipera bertanya seperti itu, Lev hanya bisa merengkuhnya sekali lagi. "Kau layak, tentu saja," sahut Lev dengan suara serak, rasanya pedih setiap kali Vipera merasa bahwa ia tidak berharga. Keluarganya telah membuat gadis itu kehilangan kepercayaan diri, kehilangan kebanggaan atas dirinya sendiri.

"Kau sangat layak, kau berhak bahagia Vipe," ujar Lev. Vipera melirik wajahnya yang berusaha tersenyum.

"Entahlah, kadang rasanya itu sedikit mengerikan," sahut Vipera. "Aku tak pernah memiliki gambaran yang indah tentang cinta," sambungnya.

"Perlukah aku mendaftarkanmu untuk kencan buta?" goda Lev. Vipera memajukan bibirnya beberapa mili dan menggeleng keras.

"Tidak, aku tidak akan bisa melakukannya," sahutnya sedikit tertawa. "Aku sudah merasa nyaman dengan cara ini. Tapi jika kau menemukan orang yang benar-benar kau cintai, aku akan ikut senang karenanya. Aku berharap kau dan juga Dan akan menemukan orang terbaik untuk kalian."

"Aku maupun Dan bisa mengurus sendiri jodoh kami. Kau hanya perlu fokus pada dirimu mulai sekarang. Cemaskan saja jodohmu," sahut Lev seraya menyentil dahinya lembut.

"Kupikir ga menikah juga seru sih," jawab Vipera. Lev memberinya senyum menguatkan.

"Apapun pilihanmu nanti, aku maupun Dan akan mendukungmu," sahut seraya mengacak rambut Vipe.

Esoknya, Altair menjulurkan leher untuk memastikan Vipera baik-baik saja. Pria itu selalu memiliki alasan untuk melihat gadis itu hampir setiap jam. Membuat beberapa karyawan lainnya merasa aneh. Ruly menyikut Vipera ketika untuk kelima kalinya Altair keluar dari ruangannya dan melongok ke arah mereka.

"Kau ada apa dengan bos?" tanya Ruly heran, "ini sudah kelimakalinya dia melongok hanya untuk melihatmu."

"Kenapa tanya aku? Tanya saja dia," sahut Vipera, membuat Ruly menyeringai sebal.

"Apa karena masalah kemarin ya?" tanya Ruly lebih kepada dirinya sendiri. Vipera kali ini menoleh dan menatapnya sebentar.

"Mm mungkin sih, apa dia merasa terganggu ya?"

"Maksudmu dia merasa terganggu karena Anjani adalah mantan tunangannya? Kau berpikir dia akan ikut menyalahkanmu begitu?"

"Entahlah," sahut Vipera pelan. Dan sudah memberitahunya pembicaraan mereka dengan ibu dan kakek Altair, sampai Lev mengingatkannya bahwa kedua orang itu mungkin akan menargetkan dirinya karena Altair membelanya.

"Kurasa tidak, beliau sepertinya justru lebih khawatir padamu ketimbang pada Anjani tuh," sahut Ruly pelan. "Tapi kalau kau butuh bantuan, aku bisa membantumu bicara pada beliau," sambungnya kemudian.

Vipera menggumamkan terima kasih diiringi gelengan. "Sudahlah, kalau memang beliau merasa terganggu aku bisa bicara sendiri pada beliau nanti," sahutnya kemudian. Ruly menepuk lembut bahu gadis itu sebelum mendorong kursi kembali ke mejanya sendiri.

Vipera yang merasa risih dengan tingkah abnormal Altair akhirnya memilih bangkit dan berjalan meninggalkan kantor dengan alasan dia akan keluar untuk melakukan survei. Ruly menatapnya penuh tanya.

"Survei lapangan," sahut Vipera pelan, membuat alis Ruly naik beberapa mili. Gadis itu belum pulih sepenuhnya dan dia akan melakukan survei lapangan sendirian?

"Jangan gila, kau belum sepenuhnya pulih," sahut Ruly akhirnya. "Mau sakit lagi?"

"Ngga masalah kok, ini kan hanya sekedar survei. Aku tahu kok batasannya," sahut Vipera. Ia sungguh ingin segera keluar karena tatapan Altair membuatnya tidak nyaman.

Sementara itu, Dan yang sudah eneg melihat Altair bolak balik setiap satu jam dari ruangannya ke ujung ruangan sekretaris hanya untuk menatap Vipera dari sana akhirnya bangkit ketika untuk kesekiankalinya Altair keluar.

"Apa yang Anda lakukan?" bisik Dan, ia keluar dari mejanya dan menghampiri Altair yang berdiri di ujung ruangan menatap Vipera yang berkemas. Pria itu menoleh pada Dan dengan alis berkerut.

"Dia mau kemana?" tanya Altair, mengabaikan pertanyaan Dan.

"Siapa yang tidak risih setiap jam dipelototin," sahut Dan, sama sekali tidak berusaha menyembunyikan nada kesal dalam suaranya. "Dia pasti memilih pergi."

Mata Altair membola mendengar jawaban itu. "Kau ikuti dia," sahut Altair. "Jangan biarkan dia keluar sendirian. Jangan sampai Anjani atau siapapun mendapatkan kesempatan mengganggunya."

"Kenapa Anda tidak melakukannya sendiri?" sungut Dan, sekalipun dalam hati ia senang karena mengikuti Vipera berarti ia bebas dari kebawelan Altair dan yang pasti itu mengurangi kecemasannya akan gadis itu.

"Kau mau kukembalikan pada Theo Grup?" sungut Altair, Dan menyeringai sebal dan memungut beberapa benda pribadinya sebelum menyusul Vipera.

"Sampai besok Emily," pamit Dan dengan nada genit pada Emily yang ingin sekali melempar buku paling tebal di mejanya tapi karena Altair masih berdiri disana, gadis itu terpaksa hanya menyeringai sebal pada Dan.

*Bersambung*