Dan mengiringi langkah Vipera keluar dari gedung perkantoran mereka. Gadis itu mengerlingnya aneh ketika Dan memintanya untuk menunggu di depan kantor sementara ia mengambil kendaraan yang biasa digunakan Altair.
"Kenapa aku harus ikut denganmu?" herannya ketika Dan memaksa ia masuk ke dalam mobil. "Lagian ini mobil Pak Altair kan? Bagaimana kalau dia membutuhkan kendaraan?"
"Jangan cemaskan dia?" ujar Dan seraya mendorong Vipera masuk ke dalam mobil dan menutup pintunya. "Dia yang meminta aku pergi bersamamu karena khawatir kau akan diganggu Anjani."
Vipera terdiam untuk beberapa saat, ekspresinya terlihat seperti bingung. Ia membasahi bibir bawahnya perlahan dan menggigit bibir merah itu secara perlahan. 'Kenapa?' pikirnya dalam hati. Seorang Altair sampai mengkhawatirkan ia yang hanya karyawan kecil.
Bagi Vipera itu aneh dan sedikit menakutkan. Karena semakin Altair memperhatikannya, maka keluarganya akan semakin berusaha untuk membuat Vipera tersingkir.
Gadis itu menoleh ketika Dan duduk di belakang stir. "Apa? Masih khawatir kalo dia butuh mobil?" sahut Dan dengan cengiran lebar. "Dia punya banyak mobil dan masih ada sopir."
Vipera mengangguk pelan dan mengalihkan tatapnya. "Kau mau kemana?" tanya Dan ketika mereka keluar dari halaman kantor.
"Kemana aja asal ga di kantor," sahut Vipera, membuat cengiran di wajah Dan semakin melebar.
Dan memilih sebuah mall yang paling ramai untuk Vipera mengambil data, mengerjakan beberapa pekerjaannya dari dalam mobil sembari memantau Vipera. Gadis itu menolak bantuannya untuk melakukan survey, karena itu mau tidak mau Dan berdiam diri. Hanya memperhatikannya dari jauh.
Vipera yang tengah berbincang dengan beberapa pengunjung mall terkejut ketika bahunya ditarik dengan kasar dari belakang. Orang-orang di sekitarnya berteriak, terkejut dan heran. Gadis itu terhuyung dan terjerembab ketika tubuhnya ditarik paksa secara mendadak.
Kakinya yang belum sembuh sempurna berdenyut nyeri ketika Vipera bangkit, membersihkan debu yang menempel pada pakaiannya. Beberapa orang membantu memungut kertasnya yang berserakan dan memberikan benda itu pada Vipera lalu pergi. Mereka sepertinya tidak ingin melihat keributan yang mungkin terjadi. Vipera mengambil kertas-kertas itu dan mengucapkan terima kasih dilengkapi dengan senyum setengah meringis karena kakinya terasa sangat nyeri.
Felicia mencoba menariknya kembali ketika Vipera berkemas untuk meninggalkan tempat itu. "Kau mencoba menghindariku setelah apa yang kau lakukan?" desisnya.
Vipera menghela nafas panjang sebelum memutar tubuh, menatap Felicia yang balas menatapnya tajam seolah siap menelan tubuh gadis itu kapan saja.
"Setelah apa yang saya lakukan?" ucap Vipera pelan. "Memangnya apa yang saya lakukan?"
"Jangan pikir kami tidak tahu jika kau merayu Altair untuk memutuskan Anjani, kau juga mempengaruhinya untuk menentang keluarganya!"
Vipera tersenyum tipis, "Maaf tapi saya sungguh tidak mengerti apa yang Anda katakan. Keputusan Altair tidak ada hubungannya dengan saya."
"Tidak ada hubungannya denganmu? Lalu mengapa dia selalu membelamu, mengapa dia bahkan sampai menentang kakek dan ibunya untukmu!" jerit Felicia. "Dia bahkan mempermalukan putriku untukmu!"
"Kalau itu, Anda bisa bertanya langsung pada Altair," sahut Vipera seraya memutar kembali tubuhnya. Felicia menjangkau bahu gadis itu tapi ia terkejut ketika sebuah tangan kokoh menahannya.
Perempuan itu menoleh dan mendesis seperti kobra lapar ketika menatap mata Dan yang menyala marah. "Kau lagi," desisnya kasar, berusaha melepaskan cengkeraman Dan yang membuat lengannya terasa nyeri.
"Sepertinya Anda belum puas dengan apa yang terjadi semalam ya," sahut Dan pelan, ia melepaskan tangan Felicia dengan perlahan dan menatapnya tajam. "Saya ingatkan Nyonya, jika Anda ingin perusahaan kalian masih bisa memberi kalian makan, sebaiknya berhenti mengganggu Vipera."
Felicia mendecih, selama ini ia menganggap Dan hanyalah seorang asisten yang tidak berguna. Pria yang selamanya akan menjadi bawahan karena itu ia memandang rendah pada Dan, tapi setelah perbincangan bersama keluarga Ron semalam ia akhirnya tahu bahwa Dan adalah putra keluarga Theo. Salah satu pengusaha properti yang paling disegani, fakta itu membuat Felicia tidak ingin membuat keributan lebih jauh.
Apalagi Afon sudah mewanti-wantinya untuk tidak mencari masalah dengan Dan. "Kita bisa mendekatinya," ucapan Afon semalam membuat Felicia mundur dan menjauh.
Dan mengejar Vipera yang berpindah tempat, memaksa gadis itu kembali ke mobil. "Kakimu pasti sakit," ujarnya seraya mendorong lembut gadis itu.
Mereka kembali ke kantor sebelum jam kerja berakhir. Vipera menolak ketika Dan menuntunnya. "Aku ga papa," sahutnya seraya mendorong lengan Dan saat pria itu mencoba membantunya.
"Kakimu?"
"Ga papa, cuma nyeri sedikit. Diolesin pereda nyeri juga oke," sahut Vipera, ia mengambil semua barangnya dari mobil dan berjalan mendahului Dan.
Altair melirik heran ketika Vipera kembali dengan kaki sedikit pincang, ia memperhatikan Dan yang bergegas ke mejanya dan mengambil sesuatu sebelum mendatangi Vipera. Terlihat berlutut di hadapan gadis itu, entah melakukan apa. Tapi Altair enggan keluar dari ruangannya karena tidak ingin membuat Vipera tidak nyaman. Memilih memanggil Dan setelah ia kembali ke ruangan sekretaris.
"Apa yang terjadi?" tanya Altair ketika Dan duduk di hadapannya.
"Kami bertemu Nyonya Felicia," sahut Dan, membuat mata Altair menyala seketika.
"Dia masih berani mengganggu?" sergahnya.
"Yah, sepertinya dia berpikir Vipe sendirian."
"Apalagi yang dia lakukan?"
"Tidak ada."
"Lalu kenapa Vipe sampai pincang begitu?"
"Oh, Nyonya Felicia menariknya secara mendadak, dia terjatuh."
"Dan kau biarkan?" sungut Altair.
"Vipe melarang saya mendekat saat dia mengumpulkan data," sahut Dan. "Dan saya tidak melihat perempuan itu datang. Tapi, dia tidak apa-apa."
"Kau yakin?"
"Ya, saya sudah memberinya pereda nyeri," sahut Dan. Ia menatap Altair dengan mata sedikit menyipit. "Anda benar-benar peduli padanya," ujarnya kemudian, membuat sepasang telinga Altair memerah.
"Apa maksudmu? Perusahaan sedang banyak pekerjaan, tentu saja aku tidak mau jika perencana terbaikku kenapa-kenapa," sergah Altair. Kesal ketika Dan tertawa kecil.
"Dari kemarin Anda selalu mengatakan alasan yang sama, tapi saya bukan itu alasan sebenarnya bukan?" ujarnya seraya bangkit. "Saya melihatnya, saat Anda menggendong Vipe dari lift," sambungnya kemudian, menyeringai senang dari pintu ruangan Altair sebelum menghilang di balik bingkai kayu tersebut.
Altair memakinya kesal ketika punggung Dan lenyap di balik pintu. Wajah, telinga dan lehernya terasa panas. 'Sial,' makinya dalam hati.
Tidak hanya Lev, bahkan Dai pun ternyata bisa membaca perasaannya. Setengah dari dirinya merasa kehilangan wibawa karena rahasia terdalam hatinya terungkap. Tapi setengah lagi merasa senang. Altair memutar pulpen di tangannya seraya tersenyum sendiri. Berpikir haruskah ia mengungkapkan perasaannya pada Vipera? Tapi gadis itu selalu menghindar darinya. Terlihat tidak nyaman saat ia berusaha mendekat.
Ia harus mendekati gadis itu secara alami, tidak boleh terlihat bahwa ia sedang mengejarnya. Haruskah ia meminta bantuan Lev? Tapi itu akan memalukan, bagaimanapun mereka saingan cinta. Sekalipun Lev menyatakan mundur sampai Altair berhasil memikat Vipera dan bersedia membantu, tapi rasanya aneh jika meminta bantuan pria itu. Altair menggelengkan kepala menolak ide yang terlintas dalam pikirannya.
Altair melirik keluar ruangan, ia sengaja mengubah posisi mejanya setelah Vipera keluar dari kantor tadi siang. Sekarang ia bisa memandang gadis itu dari dalam ruangannya hanya dengan membuka sedikit tirai. Tersentak ketika Vipera terlihat bersiap untuk pulang. Altair bergegas menutup laptopnya, meraih ponsel dan bergegas keluar ruangan.
Seluruh bawahannya ikut bangkit begitu ia melangkah keluar. Hanya Vipera yang masih berlama-lama di mejanya menunggu semua orang pulang. Ia tidak ingin bertemu Altair setelah pria itu memandangi dan mendatanginya hampir seharian ini.
"Ayo," Dan menghampiri dan mengambil alih tas Vipera. Menunggunya yang berjalan sedikit tertatih dengan sabar.
"Tumben kau ngga bareng bos?" tanya Vipera ketika mereka keluar dari lift. Dan menyeringai lebar, tidak mungkin ia mengatakan bahwa Altair memintanya menemani gadis itu turun karena kakinya masih sakit.
"Mungkin dia ingin pulang sendiri," sahut Dan pelan. "Tunggu disini, aku akan ambil mobil," sambungnya.
"Bukannya kau selalu bareng Pak Altair ke kantor?"
"Aku selalu menyimpan kendaraan di sini untuk keadaan darurat," sahut Dan. "Tunggu disini," pesannya dengan senyum. Vipera balas tersenyum dan mengangguk.
Tapi sebelum Dan muncul, kendaraan lain berhenti di hadapannya. Kendaraan yang sengaja menunggu Dan pergi untuk mendekat. Vipera menghela nafas ketika mobil itu berhenti di depannya, helaan nafas yang kian berat ketika Altair turun dan membuka pintu untuknya.
"Masuklah," ujar pria itu, menatap manik gelap Vipera dengan tatapan yang menyiratkan dia tidak mau ditolak.
Vipera mengerling ke arah lain, darimana seharusnya kendaraan Dan muncul. "Aku sudah bilang padanya, aku yang mengantarmu," sahut Altair seraya mendorong lembut punggung Vipera untuk segera masuk.
"Tapi…."
"Masuklah, kau mau dilihat banyak orang?" ujar Altair, membuat Vipera mau tidak mau masuk ke mobil mewah itu. Memutar mata ketika Altair menutup pintu dengan lembut dilengkapi senyum.
"Pasang sabuk pengamanmu," ujar Altair ketika ia sudah duduk di balik kemudi. "Atau perlu aku yang pasang?"
"Ah, tidak," ujar Vipera cepat, bibirnya menggumamkan beberapa omelan kecil saat melihat wajah senang Altair.
"Jangan ditahan," ujar Altair dengan senyum, sekilas ia mendengar omelan kecil Vipera. "Aku tidak keberatan diomelin," sambungnya membuat wajah Vipera memerah. Senyum Altair semakin cerah melihat rona merah menjalari wajah Vipera.
"Tidak keberatan kan kalau makan dulu sebelum pulang?" tanya Altair ketika mereka memasuki jalanan yang masih padat.
Sebuah tawaran yang ingin sekali ditolak Vipera, berdua di mobil bersama Altair saja sudah menjadi siksaan baginya. Apalagi jika harus duduk berdua untuk makan malam, rasanya akan sangat menyebalkan. Wajah Altair tanpa statusnya saja sudah menarik perhatian orang-orang, apalagi jika mereka tahu siapa dia. Vipera tidak ingin menjadi perhatian orang lain, tapi jika ia pergi bersama Altair memasuki sebuah restoran semua mata akan menatapnya.
"Diam berarti setuju," ujar Altair, Vipera menoleh mendengar kesimpulan ngaconya itu. Menggeleng kuat-kuat.
"Sepertinya itu bukan ide bagus," sahut Vipera kemudian, Altair menoleh dengan alis bertaut.
"Kau ngga mau pergi bersamaku?"
"Tidak, bukan begitu," aduuh, jadi serba salah kan? Mana ia menatap Vipera dengan wajah sok innocent yang membuat gadis itu mengeluh.
"Lalu?"
"Anda baru saja mengakhiri pertunangan dengan seseorang, apa yang dikatakan orang-orang jika melihat Anda bersama saya?" ujar Vipera setengah mengeluh.
Bibir Altair menyungging senyum kecil. "Aku memesan ruangan privat, ga ada yang akan melihat kita," sahutnya kemudian.
Vipera mengerlingnya, antara sebal dan putus asa karena ia tahu Altair tidak akan menerima alasan apapun. Gadis itu mengalihkan tatap ketika Altair berpaling dan tersenyum, penuh kemenangan. Vipera melirik keluar ketika Altair menghentikan kendaraannya di sebuah restoran mewah.
"Ayo turun," ujar Altair. Menatap Vipera heran karena gadis itu bergeming. "Kenapa? Ngga suka makanan disini?"
"Saya tidak pernah makan di tempat semewah ini," sahut Vipera, sebuah kebohongan yang luar biasa karena Lev maupun Dan sering menyeretnya untuk makan di tempat ini.
Bibir Altair menyungging senyum tak percaya. "Lev bilang kau suka makanan penutupnya," ujarnya kemudian, membuat wajah Vipera memerah.
"Tapi pakaian saya hari ini tidak pantas untuk masuk ke sana," sahut Vipera.
"Tidak ada dresscode hari ini, lagipula kau datang bersamaku tidak akan ada yang akan berani menilai pakaianmu. Ayo," ujar Altair seraya menarik lembut tangan Vipera agar gadis itu keluar.
Mau tidak mau Vipera menerima uluran tangan Altair dan mengikuti langkahnya menuju ruangan mereka. Aneh rasanya ketika tangannya yang berada dalam genggaman Altair, ada debaran halus yang memenuhi dada Vipera. Ia melirik wajah tegas Altair yang tengah berbicara dengan seseorang melalui ponselnya. Pria itu mengeratkan genggamannya ketika Vipera mencoba menarik tangannya.
"Kakimu masih sakit bukan?" cetusnya saat Vipera bersikeras melepaskan genggaman tangan mereka. Pria itu justru merangkul bahunya sekarang, membuat Vipera merasa canggung ketika seseorang menuntun mereka ke sebuah ruangan.
Ia terbiasa dengan ruang privat seperti ini, yang membuat Vipera merasa canggung karena malam ini hanya ada dia dan Altair. Biasanya dia bersama Dan serta Lev, bercanda atau bekerja sambil menikmati makanan masing-masing mereka akan betah berada cukup lama di ruangan seperti ni. Tapi berdua dengan Altair dalam ruangan yang sunyi seperti ini, apa yang bisa mereka bicarakan? Bahkan ia mungkin tak akan berani sekedar menatap matanya yang gelap dan tajam.
"Duduklah dengan tenang, aku tidak akan memakanmu disini," ujar Altair ketika Vipera berdiam diri setelah berada dalam ruangan. Mata indahnya menyapu seluruh ruangan dengan tatapnya.
"Maaf," sahut Vipera pelan. "Saya hanya merasa canggung jika hanya berdua dengan Anda disini."
Altair menelan salivanya perlahan, mengerti kecanggungan gadis ini. Ia sendiri pun harus mengakui canggung rasanya hanya ada mereka disana. 'Harusnya aku menyeret Dan ke sini, tapi kalau dia ikut si brengsek itu pasti akan memonopoli Vip,' gumamnya dalam hati.
"Haruskah aku memanggil Dan?" tawarnya kemudian, sekalipun dalam hati ia akan menyesali tawaran ini jika Vipera menerimanya. Tapi gadis itu menggeleng.
Menunggu Dan datang akan memakan waktu lebih panjang, sementara Vipera sudah sangat ingin berbaring dan menyelesaikan beberapa pekerjaan desainnya.
"Kenapa?"
"Anda mau duduk berjam-jam disini hanya untuk menunggu dia?"
Altair tersenyum dan memasang wajah sedikit menggoda. "Aku tidak keberatan karena ada kau disini," sahutnya tak tahu malu. Hanya tersenyum ketika gadis di hadapannya menatapnya kesal sekaligus merasa aneh.
"Anda sedikit menyebalkan ya," sahut Vipera kemudian. Altair terkekeh kecil mendengar omelannya. Ia menghentikan tawa ketika beberapa orang membawakan makanan yang mereka pesan.
"Ah kuharap kau suka, aku memesan sesuai rekomendasi Lev," sahut Altair setelah mereka kembali tinggal berdua.
Vipera menatap makanan di hadapannya, semua makanan yang tersaji adalah makanan kesukaannya. Sejauh mana Altair mencari tahu tentang dirinya? Bahkan bersedia merendahkan diri bertanya pada Lev? Pria yang Vipera pikir sangat dibencinya karena merupakan kekasih tunangannya.
Mereka menikmati makanan dalam diam, Altair sesekali menatap gadis di hadapannya dengan tersenyum. Membuat Vipera menelan makanannya dengan susah payah seolah ia sedang menelan duri. Ingin sekali rasanya memaki pria itu, karena telah membuatnya tidak bisa menikmati makanan enak.
Pria itu menunggu Vipera menikmati makanan penutupnya sementara ia berbincang dengan seseorang melalui ponselnya. Hanya sesekali ia menatap gadis yang fokus pada makanannya itu, tersenyum kecil menikmati wajah cantiknya yang terlihat sedikit lebih rileks.
"Kau ingin makanan lain?" tawar Altair ketika Vipera meletakkan sendoknya. Gadis itu menggeleng, perutnya terasa penuh. Makan malamnya sudah terlalu banyak untuk malam ini.
"Cukup, terima kasih," sahut Vipera. Ia benar-benar ingin berbaring sekarang.
Keduanya keluar dari restoran setengah jam kemudian, sialnya secara tak sengaja bertemu dengan Afon yang sepertinya tengah makan malam bersama kliennya. Matanya menatap Vipera tajam, membuat gadis itu secara naluriah mundur dan memegang lengan Altair dengan jari gemetar.
*Bersambung*